Share

62. Permohonan

Author: Nalla Ela
last update Last Updated: 2025-01-21 23:54:35

Amethyst duduk memeluk lututnya di sofa ruang tamu. Pagi yang mendung membuat suasana mellow di hatinya. Ia mencoba mengusir bayangan Dominic yang selalu datang di kepalanya.

Aiden diam sejenak menatap Amethyst dalam dengan nampan berisi teh herbal yang masih mengepul. Ia menarik sudut bibirnya dan menghampiri Amethyst seolah tak terjadi apapun.

"Aku membuatkanmu minuman hangat, Am." Aiden meletakkan cangkir teh itu di meja.

Amethyst menoleh, menatap Aiden sejenak sebelum mengangguk. “Terima kasih,” gumamnya pelan. Mengambil cangkir itu dan menikmati aromanya yang menyegarkan.

Aiden duduk di hadapannya. Merasa canggung untuk suatu alasan. "Jadi ... bagaimana perasaanmu sekarang?" tanyanya agak ragu.

Amethyst tersenyum separuh. kedua tangannya memegang cangkir. "Aku ... aku tidak tahu. Aku masih mencoba mengatur benang kusut di pikiranku," jelasnya gamblang.

Aiden mengangguk mengerti. Ia memandang Amethyst dengan matanya yang teduh. “Kau tidak perlu memaksakan diri, Am. Pelan-pe
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Bersandar pada Ketakutan   63. Pertemuan Di Ujung Harapan

    Amethyst turun dengan langkah gamang. Kegelisahan telah menyelimuti hatinya semenjak ia memutuskan untuk ikut Reira kemari. Hari ini sangat panas, tapi angin berhembus kencang dari arah pantai.Ia memandang Reira yang memegang tangannya untuk semakin meyakinkan pilihannya. Senyum tipis ia berikan untuk membalasnya.Villa itu ternyata terlihat lebih besar dari yang ia lihat. Hanya saja ... nampak sunyi dan mencekam walau cahaya matahari cukup terang dari jendela-jendela besar yang dibiarkan terbuka.Reira berhenti di depan sebuah pintu besar, mempersilahkan Amethyst untuk masuk ke dalam. "Aku akan menunggumu di sini. Bocah itu biasanya suka melamun sendirian di serambi."Amethyst memegang tangannya yang mendingin. Berjalan perlahan melewati ruang keluarga yang seharusnya hangat, namun terlihat dingin tanpa sentuhan kehangatan sedikitpun.Dari tempatnya berdiri, ia melihat pria yang begitu ia rindukan berdiri menatap hamparan laut. Tubuhnya terlihat kecil dan ringkih. Amethyst bahkan se

    Last Updated : 2025-01-22
  • Bersandar pada Ketakutan   64. Flashback Obrolan Amethyst dan Reira

    Reira menghela napas berat, menyiapkan dirinya untuk memberitahu sesuatu yang lebih berat. Ia menimbang sebelum memutuskan untuk memberitahunya."Amethyst ...," panggilnya pelan dengan suara bergetar. "Sebenarnya ini bukan hakku untuk memberitahumu, tapi kurasa kau perlu tahu segalanya tentang Dominic."Jantung Amethyst berdetak kencang menanti apa yang akan Reira katakan padanya."Kau mungkin sering bertanya-tanya mengapa Dominic begitu terobsesi padamu." Reira berhenti sejenak. Mengatur kata-kata yang tepat. "Dia haus akan kasih sayang, Am. Psikolognya memberitahuku tentang luka terpendam yang mungkin sengaja Dominic sembunyikan dari dunia. Tapi aku tahu apa itu."Bahu amethyst melemas, "apakah luka tentang masa kecilnya?" tanyanya gamang.Reira sedikit terperangah. "Kau tahu?"Amethyst menggeleng pelan, "hanya sedikit."reira menatapnya lurus. "Itu karena dia melihat Ibunya bunuh diri tepat di depannya saat ia masih kecil untuk memahami segalanya."Amethyst merasa tenggorokannya te

    Last Updated : 2025-01-23
  • Bersandar pada Ketakutan   65. Kehangatan Yang Dirindukan

    Dominic duduk di serambi Villa, memandang deburan ombak dengan perasaan yang ringan. Ia mengelus tangan Amethyst yang berada di pangkuannya, enggan untuk melepasnya.Amethyst merasa geli sekaligus sedih melihatnya. "Dom," panggilnya pelan. "Aku tidak akan pergi kemanapun. Kau bisa melepaskan tanganku supaya aku bisa memasak makan siang untuk kita berdua."Dominic membisu, menatap Amethyst dengan pandangan campur aduk. Ada rsa haru dan ketakutan yang dominan merayapi hatinya. Ia takut Amethyst menghilang dari pandangannya."Kita akan kelaparan kalau kau terus menahanku," candanya untuk mencairkan suasana.Meski berat, Dominic akhirnya mau melepaskannya. "Aku temani," bisiknya memohon.Helaan napas panjang Amethyst keluarkan. Namun, ia akhirnya mengiyakan. Mencoba mengerti dengan kondisi Dominic.Amethyst dengan lincah mengeluarkan bahan masakan dari kulkas yang cukup lengkap. Ia ingin memasak sesuatu yang sederhana seperti sup ayam.Matanya sesekali mengintip Dominic yang duduk tenang

    Last Updated : 2025-01-24
  • Bersandar pada Ketakutan   66. Kebencian Michael

    Sesuai kesepakatannya dengan Amethyst, Michael datang menjemput adiknya. Ia memang membiarkan amethyst ke sini, tapi ia juga akan tetap waspada. “Michael Callahan,” suara feminim tapi tajam dan dingin membuat Michael menoleh. Reira berdiri angkuh melipat tangannya menelisik penampilan Michael. Dia banyak menerima informasi tentang kehebatan kakak MIchael membasmi musuh kliennya di meja hijau. Michael hanya meliriknya malas. "Aku tidak mengenalmu, jadi jangan repot berbasa-basi," sahutnya tak acuh. Walau merasa tersinggung, Reira tak mengambil hati. Ia makin menatapnya tajam. "Sombong sekali. Yah ... kau adalah pengacara kondang, siapa yang tidak mengenalmu." Michael diam tak menanggapi. Ia hany berpikir kalau wanita glamor ini adalah salah satu antek Dominic. “Jadi kau berubah menjadi kakak yang perhatian sekarang? Kupikir, kau akan selamanya menjadi pria pengecut yang melarikan diri dari masalah keluarganya," sindir Reira keras dan menusuk. Michael memicingkan mata ke arah Rei

    Last Updated : 2025-01-25
  • Bersandar pada Ketakutan   67. Ketakutan Yang Nyata

    Amethyst berdiri di depan Villa Dominic dengan napas tertahan. Ia berkali-kali meyakinkan dirinya untuk tetap datang ke sini dan mengesampingkan masa lalu. Ketika ia membuka pintu, Dominic telah berdiri menyambutnya dengan senyum diwajahnya. Pria itu masih terlihat rapuh, tapi sorot matanya terlihat bersinar kali ini. “Kau datang lagi,” gumam Dominic dengan senang. Amethyst tersenyum tipis menghampiri Dominic perlahan. “Aku sudah bilang padamu kalau aku akan membantumu. Tidak mungkin aku ingkar.” Dominic tersenyum saat lengannya digandeng. Mereka masuk ke ruang keluarga yang sepi, namu terasa hangat bagi Dominic karena kedatangan Amethyst. “Kau sudah makan?” tanya Amethyst sambil melirik secangkir kopi hitam yang sudah tandas setengahnya. Dominic menggeleng pelan. “Belum terlalu lapar.” Amethyst mendesah. “Dominic ... kau harus menjaga dirimu. jangan biasakan untuk minum kafein sebelum makan," omelnya. "Apa butuh aku untuk mengatur segala urusanmu?" tanya Amethyst sebal. Dom

    Last Updated : 2025-01-26
  • Bersandar pada Ketakutan   68. Langkah Pertama

    Dominic duduk diam di ruang tamu terapis datang. Sejak tadi tangannya terus menggenggam Amethyst. Rasa takut, gugup, dan cemas membuatnya gusar. Amethyst memberikan senyuman untuk menguatkannya. "Kau tidak sendiri, Dominic." Dominic hanya mengangguk kecil. Kalimat Amethyst tak berhasil meredakan kegugupannya. "Apa ini akan berhasil?" tanyanya skeptis. “Tidak ada yang tahu,” jawab Amethyst jujur. “Tapi kau harus mencobanya, Dominic. Ini bukan hanya tentangmu ... ini juga tentang kita. ” "Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" tanya Dominic memastikan. Dia tak bisa melalui proses ini jika tanpa Amethyst di sampingnya. Melihat ekspresi Dominic yang seperti anak kecil sedikit menimbulkan geli di hatinya. “Selalu," katanya dengan senyum lembut. --- "Selamat siang, Tuan Dominic." Dokter Eleanor tersenyum melihat keduanya tampak akur. "Lama tidak bertemu, Amethyst," sapanya ramah. "Siang, dok. Saya di sini menemani Dominic." Amethyst merasa sungkan. "Tidak apa, kulihat Tuan Do

    Last Updated : 2025-01-27
  • Bersandar pada Ketakutan   69. Kedatangan Aiden

    Sore itu, Dominic duduk di ruang tamu dengan sebuah majalah di tangannya. Harinya semakin ringan setelah Amethyst kembali datang ke hidupnya."Dia selalu mengusirku kalau aku mengikutinya memasak," keluhnya sedikit kesal.Matanya dengan resah melirik ke arah dapur. Berharap Amethyst segera selesai.Saat itulah, bel pintu berbunyi. Ini sedikit janggal. Karena semua orang yang ia percaya biasanya langsung masuk setelah ia beri akses kunci biometrik di pintunya."Siapa itu?" tanyanya dalam hati.Ia beranjak membuka pintu dan menemukan seorang pria yang berdiri tegang di pintu rumahnya.Dominic memandang datar tamu yang sangat mengejutkan untuknya. "Mau apa kau kemari, Hawthorn?"Aiden Hawthorn yang biasanya percaya diri, kini nampak gugup saat berhadapan dengan Dominic. Tapi, dia harus merasa harus meluruskan semuanya."KIta perlu bicara, Dominic," ucapnya tanpa basa-basi.Dominic menaikkan sebelah alisnya penasaran. "Masuk," katanya dingin.Mata Aiden berpendar ke seluruh penjuru ruanga

    Last Updated : 2025-01-28
  • Bersandar pada Ketakutan   70. Reset

    Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa

    Last Updated : 2025-01-30

Latest chapter

  • Bersandar pada Ketakutan   71. Mengendalikan Diri

    Dominic kembali terus menjalani terapinya dengan rutin. Kehadiran Amethyst memang sangat berefek untuk hidupnya. Sudah beberapa minggu Amethyst terus memantau perkembangannya. Menemaninya olahraga, memasak hidangan lezat dan sehat, mengajaknya mengobrol, dan semakin berani menegurnya jika ia kembali keterlaluan. "KAu terlihat semakin membaik," kata Dr. Eleanor memecah keheningan. Dominic mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Ya, aku punya mentor yang hebat," sahutnya dengan senyum tipis, membayangkan wajah galak Amethyst. Dr. Eleanor tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Kurasa kau sudah bisa meregulasi emosimu. Aku harap kau akan selalu seperti ini." "Tapi ingat ... kau harus menanamkan pada pemikiranmu kalau kau berubah bukan semata untuk menyenangkan pasanganmu, tapi kau berubah karena kau ingin menjadi pribadi yang lebih baik," lanjutnya tenang, memandang Dominic penuh apresiasi. Dominic menghela napas pelan. “Aku mencoba menahan diriku. Aku tidak lagi memaksanya melaku

  • Bersandar pada Ketakutan   70. Reset

    Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa

  • Bersandar pada Ketakutan   69. Kedatangan Aiden

    Sore itu, Dominic duduk di ruang tamu dengan sebuah majalah di tangannya. Harinya semakin ringan setelah Amethyst kembali datang ke hidupnya."Dia selalu mengusirku kalau aku mengikutinya memasak," keluhnya sedikit kesal.Matanya dengan resah melirik ke arah dapur. Berharap Amethyst segera selesai.Saat itulah, bel pintu berbunyi. Ini sedikit janggal. Karena semua orang yang ia percaya biasanya langsung masuk setelah ia beri akses kunci biometrik di pintunya."Siapa itu?" tanyanya dalam hati.Ia beranjak membuka pintu dan menemukan seorang pria yang berdiri tegang di pintu rumahnya.Dominic memandang datar tamu yang sangat mengejutkan untuknya. "Mau apa kau kemari, Hawthorn?"Aiden Hawthorn yang biasanya percaya diri, kini nampak gugup saat berhadapan dengan Dominic. Tapi, dia harus merasa harus meluruskan semuanya."KIta perlu bicara, Dominic," ucapnya tanpa basa-basi.Dominic menaikkan sebelah alisnya penasaran. "Masuk," katanya dingin.Mata Aiden berpendar ke seluruh penjuru ruanga

  • Bersandar pada Ketakutan   68. Langkah Pertama

    Dominic duduk diam di ruang tamu terapis datang. Sejak tadi tangannya terus menggenggam Amethyst. Rasa takut, gugup, dan cemas membuatnya gusar. Amethyst memberikan senyuman untuk menguatkannya. "Kau tidak sendiri, Dominic." Dominic hanya mengangguk kecil. Kalimat Amethyst tak berhasil meredakan kegugupannya. "Apa ini akan berhasil?" tanyanya skeptis. “Tidak ada yang tahu,” jawab Amethyst jujur. “Tapi kau harus mencobanya, Dominic. Ini bukan hanya tentangmu ... ini juga tentang kita. ” "Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" tanya Dominic memastikan. Dia tak bisa melalui proses ini jika tanpa Amethyst di sampingnya. Melihat ekspresi Dominic yang seperti anak kecil sedikit menimbulkan geli di hatinya. “Selalu," katanya dengan senyum lembut. --- "Selamat siang, Tuan Dominic." Dokter Eleanor tersenyum melihat keduanya tampak akur. "Lama tidak bertemu, Amethyst," sapanya ramah. "Siang, dok. Saya di sini menemani Dominic." Amethyst merasa sungkan. "Tidak apa, kulihat Tuan Do

  • Bersandar pada Ketakutan   67. Ketakutan Yang Nyata

    Amethyst berdiri di depan Villa Dominic dengan napas tertahan. Ia berkali-kali meyakinkan dirinya untuk tetap datang ke sini dan mengesampingkan masa lalu. Ketika ia membuka pintu, Dominic telah berdiri menyambutnya dengan senyum diwajahnya. Pria itu masih terlihat rapuh, tapi sorot matanya terlihat bersinar kali ini. “Kau datang lagi,” gumam Dominic dengan senang. Amethyst tersenyum tipis menghampiri Dominic perlahan. “Aku sudah bilang padamu kalau aku akan membantumu. Tidak mungkin aku ingkar.” Dominic tersenyum saat lengannya digandeng. Mereka masuk ke ruang keluarga yang sepi, namu terasa hangat bagi Dominic karena kedatangan Amethyst. “Kau sudah makan?” tanya Amethyst sambil melirik secangkir kopi hitam yang sudah tandas setengahnya. Dominic menggeleng pelan. “Belum terlalu lapar.” Amethyst mendesah. “Dominic ... kau harus menjaga dirimu. jangan biasakan untuk minum kafein sebelum makan," omelnya. "Apa butuh aku untuk mengatur segala urusanmu?" tanya Amethyst sebal. Dom

  • Bersandar pada Ketakutan   66. Kebencian Michael

    Sesuai kesepakatannya dengan Amethyst, Michael datang menjemput adiknya. Ia memang membiarkan amethyst ke sini, tapi ia juga akan tetap waspada. “Michael Callahan,” suara feminim tapi tajam dan dingin membuat Michael menoleh. Reira berdiri angkuh melipat tangannya menelisik penampilan Michael. Dia banyak menerima informasi tentang kehebatan kakak MIchael membasmi musuh kliennya di meja hijau. Michael hanya meliriknya malas. "Aku tidak mengenalmu, jadi jangan repot berbasa-basi," sahutnya tak acuh. Walau merasa tersinggung, Reira tak mengambil hati. Ia makin menatapnya tajam. "Sombong sekali. Yah ... kau adalah pengacara kondang, siapa yang tidak mengenalmu." Michael diam tak menanggapi. Ia hany berpikir kalau wanita glamor ini adalah salah satu antek Dominic. “Jadi kau berubah menjadi kakak yang perhatian sekarang? Kupikir, kau akan selamanya menjadi pria pengecut yang melarikan diri dari masalah keluarganya," sindir Reira keras dan menusuk. Michael memicingkan mata ke arah Rei

  • Bersandar pada Ketakutan   65. Kehangatan Yang Dirindukan

    Dominic duduk di serambi Villa, memandang deburan ombak dengan perasaan yang ringan. Ia mengelus tangan Amethyst yang berada di pangkuannya, enggan untuk melepasnya.Amethyst merasa geli sekaligus sedih melihatnya. "Dom," panggilnya pelan. "Aku tidak akan pergi kemanapun. Kau bisa melepaskan tanganku supaya aku bisa memasak makan siang untuk kita berdua."Dominic membisu, menatap Amethyst dengan pandangan campur aduk. Ada rsa haru dan ketakutan yang dominan merayapi hatinya. Ia takut Amethyst menghilang dari pandangannya."Kita akan kelaparan kalau kau terus menahanku," candanya untuk mencairkan suasana.Meski berat, Dominic akhirnya mau melepaskannya. "Aku temani," bisiknya memohon.Helaan napas panjang Amethyst keluarkan. Namun, ia akhirnya mengiyakan. Mencoba mengerti dengan kondisi Dominic.Amethyst dengan lincah mengeluarkan bahan masakan dari kulkas yang cukup lengkap. Ia ingin memasak sesuatu yang sederhana seperti sup ayam.Matanya sesekali mengintip Dominic yang duduk tenang

  • Bersandar pada Ketakutan   64. Flashback Obrolan Amethyst dan Reira

    Reira menghela napas berat, menyiapkan dirinya untuk memberitahu sesuatu yang lebih berat. Ia menimbang sebelum memutuskan untuk memberitahunya."Amethyst ...," panggilnya pelan dengan suara bergetar. "Sebenarnya ini bukan hakku untuk memberitahumu, tapi kurasa kau perlu tahu segalanya tentang Dominic."Jantung Amethyst berdetak kencang menanti apa yang akan Reira katakan padanya."Kau mungkin sering bertanya-tanya mengapa Dominic begitu terobsesi padamu." Reira berhenti sejenak. Mengatur kata-kata yang tepat. "Dia haus akan kasih sayang, Am. Psikolognya memberitahuku tentang luka terpendam yang mungkin sengaja Dominic sembunyikan dari dunia. Tapi aku tahu apa itu."Bahu amethyst melemas, "apakah luka tentang masa kecilnya?" tanyanya gamang.Reira sedikit terperangah. "Kau tahu?"Amethyst menggeleng pelan, "hanya sedikit."reira menatapnya lurus. "Itu karena dia melihat Ibunya bunuh diri tepat di depannya saat ia masih kecil untuk memahami segalanya."Amethyst merasa tenggorokannya te

  • Bersandar pada Ketakutan   63. Pertemuan Di Ujung Harapan

    Amethyst turun dengan langkah gamang. Kegelisahan telah menyelimuti hatinya semenjak ia memutuskan untuk ikut Reira kemari. Hari ini sangat panas, tapi angin berhembus kencang dari arah pantai.Ia memandang Reira yang memegang tangannya untuk semakin meyakinkan pilihannya. Senyum tipis ia berikan untuk membalasnya.Villa itu ternyata terlihat lebih besar dari yang ia lihat. Hanya saja ... nampak sunyi dan mencekam walau cahaya matahari cukup terang dari jendela-jendela besar yang dibiarkan terbuka.Reira berhenti di depan sebuah pintu besar, mempersilahkan Amethyst untuk masuk ke dalam. "Aku akan menunggumu di sini. Bocah itu biasanya suka melamun sendirian di serambi."Amethyst memegang tangannya yang mendingin. Berjalan perlahan melewati ruang keluarga yang seharusnya hangat, namun terlihat dingin tanpa sentuhan kehangatan sedikitpun.Dari tempatnya berdiri, ia melihat pria yang begitu ia rindukan berdiri menatap hamparan laut. Tubuhnya terlihat kecil dan ringkih. Amethyst bahkan se

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status