Beranda / Romansa / Bersandar pada Ketakutan / 58. Kehidupan Baru Tanpa Dominic

Share

58. Kehidupan Baru Tanpa Dominic

Penulis: Nalla Ela
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-16 23:10:06

Sore itu, Michael mengajak Amethyst berbelanja bulanan. Michael sibuk dengan daftar yang ia buat di ponselnya, berbeda dengan Amethyst yang langsung mengambil semua yang kiranya ia butuhkan ke dalam troli.

“Eh, ini kan tidak ada di daftar,” protes Michael sambil mengangkat sekotak cookies yang baru saja dimasukkan Amethyst.

“Aku ingin makan sesuatu yang manis-manis. Kakak tahu aku selalu butuh ini untuk mood booster,” jawab Amethyst sambil terkikik, menyembunyikan cemilannya dibalik tumpukan barang yang mereka beli.

Michael menggelengkan kepala, tapi tetap membiarkannya mengambil makanan ringan yang ia suka. "Baik, kalau berat badanmu meningkat ... jangan salahkan aku."

“Oh, please. Biasanya kau juga ikut memakannya," sergahnya tak terima.

Michael mengendik, "ya ... ya ... perempuan selalu benar," ledek nya dihadiahi pelototan tajam.

---

Setelah puas berbelanja, Amethyst mengajak kakaknya untuk nonton film di rumah. Akhir-akhir ini, mereka jarang menghabiskan waktu bersama
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bersandar pada Ketakutan   59. Kabar Tentang Dominic

    Sejak pembicaraan mereka tentang Aiden, hubungan kakak beradik ini terasa canggung dan dingin. Tak ada lagi obrolan santai, canda dan tawa ringan mereka tentang film di ruang keluarga yang mendingin. Situasi ini mengingatkannya tentang keadaan mereka sebelum ini. Amethyst menyadari kalau kakaknya hanya menginginkan yang terbaik untuknya. Hanya saja, egonya menolak membenarkan semua fakta itu. Pagi ini, Amethyst bertekad untuk memperbaiki hubungan mereka. Ia duduk lama di meja makan dengan segelas kopi yang mulai mendingin. Dari sudut matanya, ia melihat Michael berlalu untuk mengisi air tanpa melihat ke arahnya. “Selamat pagi,” sapa Amethyst pelan, walau ragu mencoba memulai sesuatu. Namun, Michael hanya mengangguk tanpa menoleh kearahnya. “Pagi.” Suaranya bahkan terdengar dingin. Amethyst menggigit bibirnya mencoba merangkai kata-kata di kepalanya. “Aku minta maaf,” akhirnya ia membuka suara, “aku tahu aku egois.” Michael berhenti sejenak, menatap adiknya dengan alis terangk

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Bersandar pada Ketakutan   60. Tangisan ditengah Hujan

    Sudah hampir jam sembilan malam Michael mondar-mandir di teras rumah, matanya tak lepas dari jalanan, berharap adiknya akan muncul dari balik gerimis dan senyum seperti biasa.Ia menggenggam ponselnya erat-erat menunggu dengan cemas kabar dari Aiden yang ia mintai tolong. Tak lama kemudian, Aiden datang dengan motornya. Jaketnya basah kuyup, tapi ia tak peduli. “Dia tidak bilang apa-apa sebelum pergi?” tanya Aiden dengan khawatir.Michael menggeleng cepat. “Tidak. Semenjak aku sampai di rumah, aku belum melihatnya. Kupikir dia tidak enak badan, jadi aku masuk ke kamarnya dan mendapati dia tidak ada."Aiden berpikir cepat, menatap Michael menginterogasi. "Apa yang sudah terjadi sebenarnya? tidak mungkin dia tiba-tiba menghilang."Michael menunduk penuh rasa bersalah. "Kita bertengkar sedikit sebelum ini," jelasnya lirih. Ia merasa bersalah telah mengucapkan kata-kata itu disaat ia tahu kondisi psikis adiknya yang baru membaik.Aiden meraup wajahnya kasar. Mencoba menenangkan emosinya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19
  • Bersandar pada Ketakutan   61. Cinta Yang Masih Sama

    Hujan mulai reda saat Michael memutuskan untuk menghampiri Amethyst yang terdiam dengan wajah pucat dan basah kuyup.Tanpa sepatah kata, Michael duduk disampingnya. Tangannya memegang bahu Amethyst dengan hati-hati."Amy," panggilnya pelan.Amethyst perlahan menoleh, menatap kakaknya dengan mata bengkak. Sorot matanya penuh rasa bersalah dan kesedihan. Ia mengangguk pelan, menunduk tak mampu menghadapi kakaknya yang nampak khawatir.Michael menghela napas, melepas jaket basah adiknya dan memakaikannya jaket tebal yang ia pakai. Ia membimbingnya untuk masuk ke dalam mobil. Amethyst hanya diam dan duduk bersandar, menatap jendela mobil dengan pandangan kosong.Aiden melihatnya dari kaca spion tengah dengan ekspresi khawatir. "Kau baik-baik saja, Am?" tanyanya kemudian.Amethyst hanya mengangguk kecil tanpa menoleh. Tatapan Aiden yang sulit diartikan masih tertuju padanya. Ia agaknya menyayangkan hati Amethyst yang masih saja tertuju pada Dominic setelah semuanya.perjalanan mereka diw

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Bersandar pada Ketakutan   62. Permohonan

    Amethyst duduk memeluk lututnya di sofa ruang tamu. Pagi yang mendung membuat suasana mellow di hatinya. Ia mencoba mengusir bayangan Dominic yang selalu datang di kepalanya. Aiden diam sejenak menatap Amethyst dalam dengan nampan berisi teh herbal yang masih mengepul. Ia menarik sudut bibirnya dan menghampiri Amethyst seolah tak terjadi apapun. "Aku membuatkanmu minuman hangat, Am." Aiden meletakkan cangkir teh itu di meja. Amethyst menoleh, menatap Aiden sejenak sebelum mengangguk. “Terima kasih,” gumamnya pelan. Mengambil cangkir itu dan menikmati aromanya yang menyegarkan. Aiden duduk di hadapannya. Merasa canggung untuk suatu alasan. "Jadi ... bagaimana perasaanmu sekarang?" tanyanya agak ragu. Amethyst tersenyum separuh. kedua tangannya memegang cangkir. "Aku ... aku tidak tahu. Aku masih mencoba mengatur benang kusut di pikiranku," jelasnya gamblang. Aiden mengangguk mengerti. Ia memandang Amethyst dengan matanya yang teduh. “Kau tidak perlu memaksakan diri, Am. Pelan-pe

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21
  • Bersandar pada Ketakutan   63. Pertemuan Di Ujung Harapan

    Amethyst turun dengan langkah gamang. Kegelisahan telah menyelimuti hatinya semenjak ia memutuskan untuk ikut Reira kemari. Hari ini sangat panas, tapi angin berhembus kencang dari arah pantai.Ia memandang Reira yang memegang tangannya untuk semakin meyakinkan pilihannya. Senyum tipis ia berikan untuk membalasnya.Villa itu ternyata terlihat lebih besar dari yang ia lihat. Hanya saja ... nampak sunyi dan mencekam walau cahaya matahari cukup terang dari jendela-jendela besar yang dibiarkan terbuka.Reira berhenti di depan sebuah pintu besar, mempersilahkan Amethyst untuk masuk ke dalam. "Aku akan menunggumu di sini. Bocah itu biasanya suka melamun sendirian di serambi."Amethyst memegang tangannya yang mendingin. Berjalan perlahan melewati ruang keluarga yang seharusnya hangat, namun terlihat dingin tanpa sentuhan kehangatan sedikitpun.Dari tempatnya berdiri, ia melihat pria yang begitu ia rindukan berdiri menatap hamparan laut. Tubuhnya terlihat kecil dan ringkih. Amethyst bahkan se

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • Bersandar pada Ketakutan   64. Flashback Obrolan Amethyst dan Reira

    Reira menghela napas berat, menyiapkan dirinya untuk memberitahu sesuatu yang lebih berat. Ia menimbang sebelum memutuskan untuk memberitahunya."Amethyst ...," panggilnya pelan dengan suara bergetar. "Sebenarnya ini bukan hakku untuk memberitahumu, tapi kurasa kau perlu tahu segalanya tentang Dominic."Jantung Amethyst berdetak kencang menanti apa yang akan Reira katakan padanya."Kau mungkin sering bertanya-tanya mengapa Dominic begitu terobsesi padamu." Reira berhenti sejenak. Mengatur kata-kata yang tepat. "Dia haus akan kasih sayang, Am. Psikolognya memberitahuku tentang luka terpendam yang mungkin sengaja Dominic sembunyikan dari dunia. Tapi aku tahu apa itu."Bahu amethyst melemas, "apakah luka tentang masa kecilnya?" tanyanya gamang.Reira sedikit terperangah. "Kau tahu?"Amethyst menggeleng pelan, "hanya sedikit."reira menatapnya lurus. "Itu karena dia melihat Ibunya bunuh diri tepat di depannya saat ia masih kecil untuk memahami segalanya."Amethyst merasa tenggorokannya te

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-23
  • Bersandar pada Ketakutan   65. Kehangatan Yang Dirindukan

    Dominic duduk di serambi Villa, memandang deburan ombak dengan perasaan yang ringan. Ia mengelus tangan Amethyst yang berada di pangkuannya, enggan untuk melepasnya.Amethyst merasa geli sekaligus sedih melihatnya. "Dom," panggilnya pelan. "Aku tidak akan pergi kemanapun. Kau bisa melepaskan tanganku supaya aku bisa memasak makan siang untuk kita berdua."Dominic membisu, menatap Amethyst dengan pandangan campur aduk. Ada rsa haru dan ketakutan yang dominan merayapi hatinya. Ia takut Amethyst menghilang dari pandangannya."Kita akan kelaparan kalau kau terus menahanku," candanya untuk mencairkan suasana.Meski berat, Dominic akhirnya mau melepaskannya. "Aku temani," bisiknya memohon.Helaan napas panjang Amethyst keluarkan. Namun, ia akhirnya mengiyakan. Mencoba mengerti dengan kondisi Dominic.Amethyst dengan lincah mengeluarkan bahan masakan dari kulkas yang cukup lengkap. Ia ingin memasak sesuatu yang sederhana seperti sup ayam.Matanya sesekali mengintip Dominic yang duduk tenang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-24
  • Bersandar pada Ketakutan   66. Kebencian Michael

    Sesuai kesepakatannya dengan Amethyst, Michael datang menjemput adiknya. Ia memang membiarkan amethyst ke sini, tapi ia juga akan tetap waspada. “Michael Callahan,” suara feminim tapi tajam dan dingin membuat Michael menoleh. Reira berdiri angkuh melipat tangannya menelisik penampilan Michael. Dia banyak menerima informasi tentang kehebatan kakak MIchael membasmi musuh kliennya di meja hijau. Michael hanya meliriknya malas. "Aku tidak mengenalmu, jadi jangan repot berbasa-basi," sahutnya tak acuh. Walau merasa tersinggung, Reira tak mengambil hati. Ia makin menatapnya tajam. "Sombong sekali. Yah ... kau adalah pengacara kondang, siapa yang tidak mengenalmu." Michael diam tak menanggapi. Ia hany berpikir kalau wanita glamor ini adalah salah satu antek Dominic. “Jadi kau berubah menjadi kakak yang perhatian sekarang? Kupikir, kau akan selamanya menjadi pria pengecut yang melarikan diri dari masalah keluarganya," sindir Reira keras dan menusuk. Michael memicingkan mata ke arah Rei

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25

Bab terbaru

  • Bersandar pada Ketakutan   71. Mengendalikan Diri

    Dominic kembali terus menjalani terapinya dengan rutin. Kehadiran Amethyst memang sangat berefek untuk hidupnya. Sudah beberapa minggu Amethyst terus memantau perkembangannya. Menemaninya olahraga, memasak hidangan lezat dan sehat, mengajaknya mengobrol, dan semakin berani menegurnya jika ia kembali keterlaluan. "KAu terlihat semakin membaik," kata Dr. Eleanor memecah keheningan. Dominic mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Ya, aku punya mentor yang hebat," sahutnya dengan senyum tipis, membayangkan wajah galak Amethyst. Dr. Eleanor tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Kurasa kau sudah bisa meregulasi emosimu. Aku harap kau akan selalu seperti ini." "Tapi ingat ... kau harus menanamkan pada pemikiranmu kalau kau berubah bukan semata untuk menyenangkan pasanganmu, tapi kau berubah karena kau ingin menjadi pribadi yang lebih baik," lanjutnya tenang, memandang Dominic penuh apresiasi. Dominic menghela napas pelan. “Aku mencoba menahan diriku. Aku tidak lagi memaksanya melaku

  • Bersandar pada Ketakutan   70. Reset

    Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa

  • Bersandar pada Ketakutan   69. Kedatangan Aiden

    Sore itu, Dominic duduk di ruang tamu dengan sebuah majalah di tangannya. Harinya semakin ringan setelah Amethyst kembali datang ke hidupnya."Dia selalu mengusirku kalau aku mengikutinya memasak," keluhnya sedikit kesal.Matanya dengan resah melirik ke arah dapur. Berharap Amethyst segera selesai.Saat itulah, bel pintu berbunyi. Ini sedikit janggal. Karena semua orang yang ia percaya biasanya langsung masuk setelah ia beri akses kunci biometrik di pintunya."Siapa itu?" tanyanya dalam hati.Ia beranjak membuka pintu dan menemukan seorang pria yang berdiri tegang di pintu rumahnya.Dominic memandang datar tamu yang sangat mengejutkan untuknya. "Mau apa kau kemari, Hawthorn?"Aiden Hawthorn yang biasanya percaya diri, kini nampak gugup saat berhadapan dengan Dominic. Tapi, dia harus merasa harus meluruskan semuanya."KIta perlu bicara, Dominic," ucapnya tanpa basa-basi.Dominic menaikkan sebelah alisnya penasaran. "Masuk," katanya dingin.Mata Aiden berpendar ke seluruh penjuru ruanga

  • Bersandar pada Ketakutan   68. Langkah Pertama

    Dominic duduk diam di ruang tamu terapis datang. Sejak tadi tangannya terus menggenggam Amethyst. Rasa takut, gugup, dan cemas membuatnya gusar. Amethyst memberikan senyuman untuk menguatkannya. "Kau tidak sendiri, Dominic." Dominic hanya mengangguk kecil. Kalimat Amethyst tak berhasil meredakan kegugupannya. "Apa ini akan berhasil?" tanyanya skeptis. “Tidak ada yang tahu,” jawab Amethyst jujur. “Tapi kau harus mencobanya, Dominic. Ini bukan hanya tentangmu ... ini juga tentang kita. ” "Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" tanya Dominic memastikan. Dia tak bisa melalui proses ini jika tanpa Amethyst di sampingnya. Melihat ekspresi Dominic yang seperti anak kecil sedikit menimbulkan geli di hatinya. “Selalu," katanya dengan senyum lembut. --- "Selamat siang, Tuan Dominic." Dokter Eleanor tersenyum melihat keduanya tampak akur. "Lama tidak bertemu, Amethyst," sapanya ramah. "Siang, dok. Saya di sini menemani Dominic." Amethyst merasa sungkan. "Tidak apa, kulihat Tuan Do

  • Bersandar pada Ketakutan   67. Ketakutan Yang Nyata

    Amethyst berdiri di depan Villa Dominic dengan napas tertahan. Ia berkali-kali meyakinkan dirinya untuk tetap datang ke sini dan mengesampingkan masa lalu. Ketika ia membuka pintu, Dominic telah berdiri menyambutnya dengan senyum diwajahnya. Pria itu masih terlihat rapuh, tapi sorot matanya terlihat bersinar kali ini. “Kau datang lagi,” gumam Dominic dengan senang. Amethyst tersenyum tipis menghampiri Dominic perlahan. “Aku sudah bilang padamu kalau aku akan membantumu. Tidak mungkin aku ingkar.” Dominic tersenyum saat lengannya digandeng. Mereka masuk ke ruang keluarga yang sepi, namu terasa hangat bagi Dominic karena kedatangan Amethyst. “Kau sudah makan?” tanya Amethyst sambil melirik secangkir kopi hitam yang sudah tandas setengahnya. Dominic menggeleng pelan. “Belum terlalu lapar.” Amethyst mendesah. “Dominic ... kau harus menjaga dirimu. jangan biasakan untuk minum kafein sebelum makan," omelnya. "Apa butuh aku untuk mengatur segala urusanmu?" tanya Amethyst sebal. Dom

  • Bersandar pada Ketakutan   66. Kebencian Michael

    Sesuai kesepakatannya dengan Amethyst, Michael datang menjemput adiknya. Ia memang membiarkan amethyst ke sini, tapi ia juga akan tetap waspada. “Michael Callahan,” suara feminim tapi tajam dan dingin membuat Michael menoleh. Reira berdiri angkuh melipat tangannya menelisik penampilan Michael. Dia banyak menerima informasi tentang kehebatan kakak MIchael membasmi musuh kliennya di meja hijau. Michael hanya meliriknya malas. "Aku tidak mengenalmu, jadi jangan repot berbasa-basi," sahutnya tak acuh. Walau merasa tersinggung, Reira tak mengambil hati. Ia makin menatapnya tajam. "Sombong sekali. Yah ... kau adalah pengacara kondang, siapa yang tidak mengenalmu." Michael diam tak menanggapi. Ia hany berpikir kalau wanita glamor ini adalah salah satu antek Dominic. “Jadi kau berubah menjadi kakak yang perhatian sekarang? Kupikir, kau akan selamanya menjadi pria pengecut yang melarikan diri dari masalah keluarganya," sindir Reira keras dan menusuk. Michael memicingkan mata ke arah Rei

  • Bersandar pada Ketakutan   65. Kehangatan Yang Dirindukan

    Dominic duduk di serambi Villa, memandang deburan ombak dengan perasaan yang ringan. Ia mengelus tangan Amethyst yang berada di pangkuannya, enggan untuk melepasnya.Amethyst merasa geli sekaligus sedih melihatnya. "Dom," panggilnya pelan. "Aku tidak akan pergi kemanapun. Kau bisa melepaskan tanganku supaya aku bisa memasak makan siang untuk kita berdua."Dominic membisu, menatap Amethyst dengan pandangan campur aduk. Ada rsa haru dan ketakutan yang dominan merayapi hatinya. Ia takut Amethyst menghilang dari pandangannya."Kita akan kelaparan kalau kau terus menahanku," candanya untuk mencairkan suasana.Meski berat, Dominic akhirnya mau melepaskannya. "Aku temani," bisiknya memohon.Helaan napas panjang Amethyst keluarkan. Namun, ia akhirnya mengiyakan. Mencoba mengerti dengan kondisi Dominic.Amethyst dengan lincah mengeluarkan bahan masakan dari kulkas yang cukup lengkap. Ia ingin memasak sesuatu yang sederhana seperti sup ayam.Matanya sesekali mengintip Dominic yang duduk tenang

  • Bersandar pada Ketakutan   64. Flashback Obrolan Amethyst dan Reira

    Reira menghela napas berat, menyiapkan dirinya untuk memberitahu sesuatu yang lebih berat. Ia menimbang sebelum memutuskan untuk memberitahunya."Amethyst ...," panggilnya pelan dengan suara bergetar. "Sebenarnya ini bukan hakku untuk memberitahumu, tapi kurasa kau perlu tahu segalanya tentang Dominic."Jantung Amethyst berdetak kencang menanti apa yang akan Reira katakan padanya."Kau mungkin sering bertanya-tanya mengapa Dominic begitu terobsesi padamu." Reira berhenti sejenak. Mengatur kata-kata yang tepat. "Dia haus akan kasih sayang, Am. Psikolognya memberitahuku tentang luka terpendam yang mungkin sengaja Dominic sembunyikan dari dunia. Tapi aku tahu apa itu."Bahu amethyst melemas, "apakah luka tentang masa kecilnya?" tanyanya gamang.Reira sedikit terperangah. "Kau tahu?"Amethyst menggeleng pelan, "hanya sedikit."reira menatapnya lurus. "Itu karena dia melihat Ibunya bunuh diri tepat di depannya saat ia masih kecil untuk memahami segalanya."Amethyst merasa tenggorokannya te

  • Bersandar pada Ketakutan   63. Pertemuan Di Ujung Harapan

    Amethyst turun dengan langkah gamang. Kegelisahan telah menyelimuti hatinya semenjak ia memutuskan untuk ikut Reira kemari. Hari ini sangat panas, tapi angin berhembus kencang dari arah pantai.Ia memandang Reira yang memegang tangannya untuk semakin meyakinkan pilihannya. Senyum tipis ia berikan untuk membalasnya.Villa itu ternyata terlihat lebih besar dari yang ia lihat. Hanya saja ... nampak sunyi dan mencekam walau cahaya matahari cukup terang dari jendela-jendela besar yang dibiarkan terbuka.Reira berhenti di depan sebuah pintu besar, mempersilahkan Amethyst untuk masuk ke dalam. "Aku akan menunggumu di sini. Bocah itu biasanya suka melamun sendirian di serambi."Amethyst memegang tangannya yang mendingin. Berjalan perlahan melewati ruang keluarga yang seharusnya hangat, namun terlihat dingin tanpa sentuhan kehangatan sedikitpun.Dari tempatnya berdiri, ia melihat pria yang begitu ia rindukan berdiri menatap hamparan laut. Tubuhnya terlihat kecil dan ringkih. Amethyst bahkan se

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status