Di ruang konsultasi rumah sakit, Dominic duduk menyilangkan kaki merasa dingin di hatinya menunggu penjelasan tentang keadaan Amethyst.Di hadapannya, dokter Eleanor, spesialis kejiwaan memaparkan kondisi Amethyst secara profesional dan juga simpati."Tuan Blackwood," ujar dokter Eleanor pelan. Ia membuka hasil evaluasi yang ia pegang sedikit gentar dibawah tatapan Dominic yang menusuk."Setelah observasi yang kami lakukan terhadap keadaan nona Amethyst, kita bisa melihat kalau beliau mengalami depresi berat dan beberapa tingkahnya mengarah ke bipolar. Kondisi itu bisa muncul ke permukaan jika beliau berada pada tingkat stress yang cukup tinggi."Dominic terdiam mendengar penjelasan yang terasa menusuk. Rasa bersalah mulai menggelayutinya. Namun, egonya mengatakan hal lain. "Dengan ini, Amethyst pasti akan bergantung padaku sepenuhnya," pikirnya. "Apa penyebabnya?" tanya Dominic sedikit tegang, walau ia sudah tahu jawabannya. Dokter Eleanor menghela napas, meletakkan kedua tanganny
Rumah megah Dominic kini bagai penjara bagi Amethyst. Semua gerakannya selalu diawasi. Bahkan, balkon dan jendela kamar Dominic kini ditambahi teralis besi, semakin membuatnya terpenjara sepenuhnya. Sejak keluar dari rumah sakit, ia tahu... semua telah berubah. Ia tak bisa lagi menatap Dominic seperti sebelumnya. Kini hanya ada rasa takut dan ketidakberdayaan ketika bersamanya. Dokter Eleanor telah memberinya banyak petuah agar Ia tetap bertahan untuk dirinya sendiri. Dan Ia akan berusaha untuk tidak kalah pada keadaan seperti dulu. Ia duduk di kursi membaca buku mencoba mengusir rasa jenuh yang mulai menghampiri. Pintu kamar itu telah dikunci rapat dan dijaga ketat oleh dua bodyguard. Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Dominic datang dengan langkah penuh intimidasi, memindai keadaan Amethyst dengan tajam. "Kau tidak tidur," ucap Dominic memecah keheningan. Amethyst menutup bukunya dengan kasar. Matanya dipenuhi kebencian ketika menatap pria itu. "Apa kau kehilangan kosa kata
Michael akhirnya berdiri di depan rumah megah Dominic. Sudah berminggu-minggu ia tak mendapatkan kabar dari Amethyst, setelah pertemuan terakhir mereka. Nomornya tak bisa dihubungi sama sekali. Ia tahu ada yang tidak beres.Saat gerbang besar itu terbuka, ia langsung melangkah masuk mengabaikan para bodyguard yang menatapnya awas. Dominic menenggak sampanye dengan santai di ruang tamu. Menyambut Michael dengan senyuman sinis terkesan mengejek. "Michael Callahan," Dominic menyapa dengan nada dingin. "Apa yang membawamu ke sini?"Michael dipenuhi emosi yang berkecamuk, menatapnya tajam. "Dimana adikku? Aku berusaha menghubunginya selama ini, tapi tak berhasil. Apa yang kau lakukan padanya?!"Dominic bangkit dengan tenang dan melangkah penuh intimidasi pada Michael yang masih berdiri di tengah ruangan. "Amethyst ada di sini, tentunya dia aman bersamaku," katanya dengan nada santai, tetapi matanya tetap dingin seperti es. "Jangan bermain-main denganku, Blackwood!" Michael membalas de
Suara bising klab malam tak mempengaruhi Michael. Sudah hampir tiga jam ia duduk di bar dengan segelas bir yang ia pesan kesekian kalinya. Raut wajah adiknya yang menyedihkan selalu membayanginya. Perkataan Dominic telah memukul telak dirinya. Ia memang egois kala itu, memilih hidup nyaman meninggalkan ibu dan adiknya yang melolong minta pertolongan. Kini, ia ingin menebus semuanya dengan membawa Amethyst pulang bersamanya. "Tunggu kakak, Amy." Kedua mata Michael bersinar dengan tekad kuat. Suara kursi yang berderak mengalihkan perhatian Michael sebentar. Begitu menyadari seorang Ethan Gray yang duduk disebelahnya, senyuman sinis terbit di wajahnya. "Callahan," Ethan menyapa dengan suara rendah. Tangannya melambai, memesan segelas vodka untuknya. "Kudengar kau mendatangi Dominic," ucapnya tanpa basa-basi. Tubuh Michael menegang. Ia tahu Ethan adalah bagian dari Dominic. Laki-laki licik ini pasti menginginkan sesuatu. "Apa yang kau mau?" tanyanya dingin.Ethan menyeringai, matany
Malam yang awalnya tenang kini berubah mencekam. Ethan Gray membuat lautan darah dengan menebas semua bodyguard yang menjaga rumah Dominic dengan keji. Hanya ditemani lima orang bawahan terkuat milik Fernaldi, ia sanggup membabat habis semua orang yang mencoba menghalangi jalannya. Ethan menatap pintu kamar Dominic dengan seringai. "Mari kita jemput piala kemenangan."Perlahan Ethan membuka pintu kamar Dominic. Di sana, ia menemukan Amethyst tengah menatapnya dengan waspada."Apa maumu?" suara Amethyst terdengar serak, menatap nyalang pada Ethan.Ethan tersenyum lembut, ia mendekati Amethyst yang terus mundur menjaga jarak darinya. "Aku datang untuk menyelamatkanmu, Amethyst ... aku tau kau sangat menderita bersama Dominic, bukan?""Jangan pura-pura menjadi pahlawan! aku tau kau pun juga sama dengan Dominic. Jadi, simpan semua basa-basimu bajingan!" Amethyt menyalak dengan mata memerah.Ethan mengendik, "Aku tidak mau berpura-pura, kau memang sebuah aset yang berharga untuk saat ini
Sudah dua hari Amethyst dikurung dalam kamar yang berubah berantakan karena ulah Amethyst yang mengamuk."keluarkan aku, bajingan!" Amethyst terus menggedor pintu kamar, tak memperdulikan tangannya yang mulai lebam.Berada di sini semakin membuatnya lemah. suara berisik mulai datang silih berganti di kepalamya.Selama di sana, ia tak dapat memejamkan matanya sekalipun. Terbiasa tidur dengan obat penenang, kini ia merasa tersiksa. Suara pintu yang berderit membuat Amethyst melesat ke arahnya. Pikirannya saat ini hanya "segera lari dari sini".Ethan yang baru saja memasuki ruangan langsung menangkap tubuh Amethyst. "Tidak semudah itu, manis ... kau harus berada di sini setidaknya sampai Dominic mati ditanganku." Ia tersenyum keji. Tubuh Amethyst sedikit bergetar ketika mendengar nama Dominic. Namun ia menepisnya dengan cepat."Terserah kau mau melakukan apa, tapi jangan kaitkan aku dengan masalah kalian berdua."Ethan terbahak mendengarnya, "kenapa tidak? padahal kau adalah kunci unt
Di villanya, Ethan menyeringai setelah membocorkan keberadaannya. Ia lelah menunggu Dominic menemukannya. Pria itu memang lamban untuk menggali informasi. Jika tidak begitu, maka pria itu tak akan memintanya untuk menyelidiki Amethyst dulu. "Datanglah padaku, kalian semua," gumam Ethan dengan nada rendah, matanya menatap layar dengan seringai kepuasan. "Semakin banyak pemain, maka akan semakin seru juga permainannya." --- Di gedung kantor Dominic yang kini dijadikan markas pria itu, Lucas segera mendapat informasi setelah berhasil mendapati mobil Ethan dari sebuah kamera pengawas. ia mengetik dengan cepat dan mendapat alamat villa persembunyian Ethan. "Aku menemukannya," ucap Lucas, suaranya tegas. "Ternyata selama ini ia menempati Villa milik keluarga Grey ... miliknya," jelas Lucas menggebu penuh semangat. Dominic bangkit dari kursinya dan segera memakai mantelnya. "Siapkan semua orang, kita berangkat sekarang." Lucas mengangguk, segera menghubungi Marcus dan yang lain. K
Hembusan angin dingin yang menerpa tubuh mereka semakin membuat suasana yang mengerikan. Michael dan Aiden berdiri tegang di belakang Marcus yang berdiri tegap siap membidik Ethan dengan SS2 Pindad yang ia bawa.Awalnya Michael merasa ngeri melihat Marcus yang membawa senjata sebesar itu, tapi melihat senyum tengilnya itu semua bisa dimengerti.Ethan tak merasa gentar sekalipun. Baginya, malam ini hasilnya adalah jika bukan ia yang mati, maka Dominic lah yang akan mati ditangannya. "Dominic." Ethan mengejeknya yang begitu berambisi untuk menyelamatkan kekasihnya. "Jangan bersembunyi. kita itu sama ... tidak pantas untuk mendapat kasih sayang. itu adalah hal basi."Dominic mengepalkan tangan dengan keras hingga buku-buku jarinya memutih. "Aku tidak sama sepertimu, Ethan. Aku masih memiliki hati dan pikiran waras untu tidak memberondong orang-orang tak bersalah."Kepala Ethan mengangguk remeh kata-katanya. "Oh, kalau kau begitu mencintainya, tunjukan." Dia menggeser pistolnya kearah ja
Seperti hari-hari sebelumnya, Dominic kembali datang dengan membawa seikat bunga mawar di tangannya. Dia tetap datang, mengabaikan omelan Michael yang sangat terganggu dengan kehadiannya. Michael melipat tangannya di dada dengan ekspresi muak melihat Dominic yang sudah datang pagi ini. "Kau berhasil membuat mood-ku jelek sepanjang hari dengan tampangmu yang sok keren itu," ocehnya kesal. Namun, Dominic hanya tersenyum, makin memperdalam kerutan di dahi Michael. "Kau hanya perlu menutup mata." Ucapan Dominic bak bensin yang mengguyur amarah Michael hingga berkobar. "Sialan! Jika bukan karena adikku, aku juga tidak sudi melihat tampang jelekmu. Apa ini salah satu pembuktianmu? dengan melakukan hal menggelikan ini setiap hari?" Michael menatap sinis pria yang duduk di depannya ini. Daominic menunduk untuk menyembunyikan seringainya. "Jika hal menggelikan ini bisa membuktikan keseriusanku, maka aku akan terus melakukannya." Iamengangkat wajahnya untuk menatap ekspresi sebal Michael.
Dominic bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Jika dulu ia akan melakukan apapun walaupun harus merusak, kini ia akan membuktikan kalau ia pun bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan cara yang benar, tanpa menyakiti siapapun. Dan itu dimulai dari hal-hal kecil. Hari ini, Amethyst pulang berbelanja dikejutkan dengan keberadaan Dominic di depan pagar rumahnya. Pria itu berpenampilan rapi, mengenakan setelan jas navy, duduk di atas kapal mobilnya dengan keren. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Amethyst curiga. Dominic berdiri menghampirinya dengan senyum santai. "Menunggumu, tentu saja." Ia berinisiatif mengambil alih belanjaan Amethyst yang nampak berat. Amethyst menghela napas. "Sejak kapan?" Dominic melirik arlojinya. "Dua jam yang lalu. Pulang dari kantor aku langsung kesini." Matanya membelalak. "Kau gila? Kenapa tidak menghubungiku dulu jika mau mampir?" Dominic terkekeh. "Sebenarnya, aku ingin memberi kejutan untukmu, tapi dengan begini juga kau bisa melihat bet
Dominic melirik ponselnya yang terus bergetar di atas meja, menampilkan nama Michael Callahan yang terus menghubunginya akhir-akhir ini. "Angkat saja," celetuk Amethyst merasa gerah karena bunyinya getarannya sangat mengganggu. "Padahal kau yang melarang ku selama ini untuk berbicara dengan Michael."Amethyst mencebik, memilih fokus dengan tayangan televisi yang lebih menarik. Dominic mengacak singkat rambut Amethyst sebelum bangkit menuju balkon dengan ponsel yang masih bergetar di tangannya. “Ada apa?” tanya Dominic santai. “Aku ingin bertemu,” jawab Michael tanpa basa-basi. “Empat mata," sambungnya. Dominic mendesah pelan. “Apa kau ingin berdebat denganku seperti kemarin-kemarin? Atau kau ingin mengancam ku?"“Temui aku di cafe depan kantor kejaksaan. Aku tidak suka berbicara lewat telepon."Panggilan itu terputus begitu saja sebelum Dominic bisa membalas. Dominic menatap layar ponselnya yang menggelap. Ia merasa ada hal penting yang ingin Michael bicarakan dengannya, tapi a
"Bagaimana keadaan Ibu?" Amethyst meremas tangan Ibunya pelan. Ia merindukannya, lama tak bertemu membuatnya menyadari kalau sang Ibu kini makin berisi. "Kabar Ibu baik." Nyonya Callahan mengelus pipi Amethyst sayang. "Ibu lihat, wajahmu makin bersinar. Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" Melihat pipi Amethyst yang merona, membuktikan kalau tebakannya pasti benar. "Kami hanya teman, bu ... untuk saat ini," ungkapnya malu-malu. Nyonya Callahan mengangkat alis, lalu tersenyum penuh arti. “Untuk saat ini, ya?” gumamnya, menatap putrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Amethyst mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang perlahan merayapinya. “Aku ingin melihat usahanya ... dan memantapkan hatiku untuk itu. Ibu pasti sudah mendengarnya dari kak Michael ya?” Sang ibu mengangguk pelan mengiyakan. "Apa ibu keberatan jika aku kembali dekat dengannya?" tanyanya ragu. Alasan ia belum berani bercerita tentang Dominic pada ibunya adalah takut dengan tanggapa
Dominic kembali terus menjalani terapinya dengan rutin. Kehadiran Amethyst memang sangat berefek untuk hidupnya. Sudah beberapa minggu Amethyst terus memantau perkembangannya. Menemaninya olahraga, memasak hidangan lezat dan sehat, mengajaknya mengobrol, dan semakin berani menegurnya jika ia kembali keterlaluan. "KAu terlihat semakin membaik," kata Dr. Eleanor memecah keheningan. Dominic mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Ya, aku punya mentor yang hebat," sahutnya dengan senyum tipis, membayangkan wajah galak Amethyst. Dr. Eleanor tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Kurasa kau sudah bisa meregulasi emosimu. Aku harap kau akan selalu seperti ini." "Tapi ingat ... kau harus menanamkan pada pemikiranmu kalau kau berubah bukan semata untuk menyenangkan pasanganmu, tapi kau berubah karena kau ingin menjadi pribadi yang lebih baik," lanjutnya tenang, memandang Dominic penuh apresiasi. Dominic menghela napas pelan. “Aku mencoba menahan diriku. Aku tidak lagi memaksanya melaku
Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa
Sore itu, Dominic duduk di ruang tamu dengan sebuah majalah di tangannya. Harinya semakin ringan setelah Amethyst kembali datang ke hidupnya."Dia selalu mengusirku kalau aku mengikutinya memasak," keluhnya sedikit kesal.Matanya dengan resah melirik ke arah dapur. Berharap Amethyst segera selesai.Saat itulah, bel pintu berbunyi. Ini sedikit janggal. Karena semua orang yang ia percaya biasanya langsung masuk setelah ia beri akses kunci biometrik di pintunya."Siapa itu?" tanyanya dalam hati.Ia beranjak membuka pintu dan menemukan seorang pria yang berdiri tegang di pintu rumahnya.Dominic memandang datar tamu yang sangat mengejutkan untuknya. "Mau apa kau kemari, Hawthorn?"Aiden Hawthorn yang biasanya percaya diri, kini nampak gugup saat berhadapan dengan Dominic. Tapi, dia harus merasa harus meluruskan semuanya."KIta perlu bicara, Dominic," ucapnya tanpa basa-basi.Dominic menaikkan sebelah alisnya penasaran. "Masuk," katanya dingin.Mata Aiden berpendar ke seluruh penjuru ruanga
Dominic duduk diam di ruang tamu terapis datang. Sejak tadi tangannya terus menggenggam Amethyst. Rasa takut, gugup, dan cemas membuatnya gusar. Amethyst memberikan senyuman untuk menguatkannya. "Kau tidak sendiri, Dominic." Dominic hanya mengangguk kecil. Kalimat Amethyst tak berhasil meredakan kegugupannya. "Apa ini akan berhasil?" tanyanya skeptis. “Tidak ada yang tahu,” jawab Amethyst jujur. “Tapi kau harus mencobanya, Dominic. Ini bukan hanya tentangmu ... ini juga tentang kita. ” "Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" tanya Dominic memastikan. Dia tak bisa melalui proses ini jika tanpa Amethyst di sampingnya. Melihat ekspresi Dominic yang seperti anak kecil sedikit menimbulkan geli di hatinya. “Selalu," katanya dengan senyum lembut. --- "Selamat siang, Tuan Dominic." Dokter Eleanor tersenyum melihat keduanya tampak akur. "Lama tidak bertemu, Amethyst," sapanya ramah. "Siang, dok. Saya di sini menemani Dominic." Amethyst merasa sungkan. "Tidak apa, kulihat Tuan Do
Amethyst berdiri di depan Villa Dominic dengan napas tertahan. Ia berkali-kali meyakinkan dirinya untuk tetap datang ke sini dan mengesampingkan masa lalu. Ketika ia membuka pintu, Dominic telah berdiri menyambutnya dengan senyum diwajahnya. Pria itu masih terlihat rapuh, tapi sorot matanya terlihat bersinar kali ini. “Kau datang lagi,” gumam Dominic dengan senang. Amethyst tersenyum tipis menghampiri Dominic perlahan. “Aku sudah bilang padamu kalau aku akan membantumu. Tidak mungkin aku ingkar.” Dominic tersenyum saat lengannya digandeng. Mereka masuk ke ruang keluarga yang sepi, namu terasa hangat bagi Dominic karena kedatangan Amethyst. “Kau sudah makan?” tanya Amethyst sambil melirik secangkir kopi hitam yang sudah tandas setengahnya. Dominic menggeleng pelan. “Belum terlalu lapar.” Amethyst mendesah. “Dominic ... kau harus menjaga dirimu. jangan biasakan untuk minum kafein sebelum makan," omelnya. "Apa butuh aku untuk mengatur segala urusanmu?" tanya Amethyst sebal. Dom