Devan terdiam di depan pintu kamar mandi, badannya masih basah, dengan handuk menggantung di pinggang. Dadanya naik turun, ingin mengamuk tapi tidak tahu sama siapa.
Matanya nyalang menatap sosok yang sedang berbaring di tempat tidurnya dengan tangan menutup wajah. Pura-pura bermain ponsel tapi masih mengintip di sela-sela jarinya yang sengaja direnggangkan.
Devan mengembuskan napasnya dengan kasar, berusaha mengurai emosinya. Bisa-bisa cepat tua dia kalau terus-terusan marah-marah. Ia mengambil bajunya di lemari dan membawanya ke dalam kamar mandi. Tidak bisa pakai di luar, nanti kesenangan Eleanora melihatnya lebih lama.
“Maunya pakai di sini saja, Sayang.”
Eleanora sudah duduk saat ia keluar kamar mandi. Cengirannya tak pernah lepas.
Devan ingin menjauh dari Eleanora, tapi sayangnya sekarang hari minggu, ia libur. Perkara ia mandi pagi karena semalam ia pulang kemalaman dan malas mandi sebab terlalu lelah.
Devan melewati Eleanora begitu saja, mengabaikan gadis itu. Ia keluar malam dan turun ke lantai satu. Membiarkan Eleanora sendirian di kamarnya.
Setelah tak ada tanda-tanda kalau bapak kos akan mengganti kunci kamarnya, Devan membuat peraturan atau kesepakatan dengan Eleanora. Eleanora hanya tidak boleh masuk kamarnya tengah malam saat ia tidur.
Sebenarnya awalnya tidak sebebas atau seenak itu. Devan hanya membolehkan Eleanora ada di kamarnya saat ia ada, di antara jam delapan sampai sembilan malam. Namun Eleanora ngotot tidak mau. Eleanora sangat jago tawar menawar, juga ancam mengancam.
"Buat apa aku duplikat kunci kamarmu kalau aku cuma bisa masuk sejam itu doang?” ucap Eleanora saat itu sambil rebahan santai di tempat tidur Devan.
Saat itu Devan mencoba bersikap sebaik mungkin kepada Eleanora. Membujuk Eleanora sebisa mungkin agar tidak berbuat di luar batas. Mungkin sekarang Eleanora memang sangat baik padanya, suka membelikan makan, merapikan kamarnya dan mencuci pakaiannya. Namun, mengingat Eleanora bisa dengan mudah menduplikat kunci kamarnya, Eleanora bisa jadi orang berbahaya untuknya.
"Terus maumu gimana?” Devan mendekat ke Eleanora, duduk di ujung tempat tidur.
"Kita nikah aja gimana?” Eleanora bangun langsung duduk, badannya condong ke arah Devan membuat lelaki itu terkejut dan langsung berdiri.
Devan mengerjap, menyembunyikan bibirnya di dalam mulut, kaget karena bibir mereka hampir bersentuhan. "Tabunganku belum cukup buat nikah." Devan salah tingkah, ia menyesal sudah ikut duduk di tempat tidur. Lupa kalau gadis itu cukup agresif.
"Jangan ke kamarku saat tengah malam, pas aku lagi tidur," lanjut Devan lalu keluar kamar, pergi ke kamar Rifqi di lantai bawah. Samar samar terdengar suara Eleanora yang tertawa mengiyakan.
Yang Devan tidak menyangka, ucapannya itu malah jadi boomerang untuknya.
Sejak hari itu setiap pagi Eleanora selalu masuk ke kamarnya. Katanya kangen, makanya masih pagi buta sudah datang.
Tapi yang parah pagi ini, masih jam lima subuh Eleanora sudah bertamu. Mengingat telinga Eleanora begitu peka, mungkin langsung bergegas saat mendengar suara air jatuh, gebyar-gebyur orang mandi pakai gayung.
Padahal biasanya Eleanora masuk sekitar jam enam dengan membawa makanan, tapi hari ini gadis itu datang lebih pagi masih dengan sedikit belek di matanya.
Devan menggeleng. Tak mau pagi-pagi kepalanya sudah dipenuhi Eleanora.
Devan mengetuk kamar Rifqi seperti penagih hutang. Tergesa dan tak ada lembut-lembutnya. Padahal ia tahu kalau sekarang temannya itu pasti masih tidur.
"Qi, bangun solat subuh." Sekarang Devan menggedor pintu kamar Rifqi.
Namun, tetangga Rifqi yang keluar dengan raut kesal.
"Ngapain sih, Van? Masih subuh."
"Hehe maaf, Bang. Mau bertamu." Devan menampilkan senyum merasa tak enak.
Bang Idris mengusap wajahnya dengan kasar. Dengan oleng ia berjalan mendekat ke arah Devan. Devan mundur dua langkah, takut digebuk. Namun ternyata, Bang Idris membuka pintu kamar Rifqi yang ternyata tidak dikunci.
"Hehehe." Devan tertawa malu.
Bang Idris masuk diikuti Devan.
Rifqi masih nyenyak tidur dengan posisi kepala menjuntai ke bawah, badan dan kakinya di atas tempat tidur. Tidak lupa air liur yang meleleh di pipi, ada yang sudah mengering.
"Bangun, Goblok." Bang Idris melempar selangkangan Rifqi yang hanya ditutupi selembar celana dalam.
Devan menahan tawa. Kebiasaan Rifqi memang suka tidur hanya pakai celana dalam.
Rifqi terbangun dengan tatapan bingung. Mungkin heran karena dua manusia itu sudah ada di kamarnya.
"Kalo mau tidur itu kunci dulu pintunya." Bang Idris menyuruh Rifqi untuk bangkit, lalu ia yang tidur di atas tempat tidur dengan tengkurap, memperlihatkan punggung kekarnya yang berwarna coklat tanpa penutup.
Rifqi yang masih belum sepenuhnya sadar, terlihat bingung, lalu ikut merebahkan diri di samping Bang Idris. Alih-alih bisa tidur nyenyak, Rifqi malah jatuh karena sisa tempat tidur tidak cukup untuk tubuhnya.
Alhasil ia mengaduh sakit dan menunjuk-nunjuk Devan. Mungkin maksudnya dia begitu gara-gara Devan.
Devan tertawa pelan. Ia bergerak mengambil PlayStation dan memainkannya sampai puas.
Kamar Rifqi adalah tempat pelariannya dari dulu kalau Devan sudah suntuk dengan masalah yang dihadapi. Entah itu masalah uang, kerjaannya, atau saat masih kuliah dulu. Kalau sekarang, masalah kuliah hilang, keadaan Eleanora yang malah membuatnya pusing. Padahal Eleanora cuma tetangga kos yang belum lama ini ia kenal.
Devan main game sampai tengah hari, tak peduli yang punya belum bangun. Mereka sudah bersahabat hampir lima tahun. Mereka seumuran, seangkatan kuliah, beda jurusan, beda juga lulusnya. Devan sudah wisuda empat bulan lalu, sedang Rifqi masih santai menghindari pembimbing.
Rifqi belum lulus, tapi masih santai seperti tanpa beban. Sedang dirinya tak pernah hilang beban pikirannya. Sudah sarjana tapi kerjaannya masih jadi kurir. Bukan maksudnya untuk mengeluhkan pekerjaannya sekarang, hanya saja kasian orang tuanya di kampung. Tetangganya julid-julid ngatain soal dia ke orang tuanya.
Tok, tok, tok.
Semua mata, Devan, Rifqi dan Bang Idris yang sudah bangun ikut menoleh ke pintu. Eleanora muncul dengan penampilan berbeda di mata Devan. Eleanora mengurai rambutnya dan memakai dress berwarna baby blue.
Eleanora tersenyum ke mereka semua. "Nggak mau pulang?" tanyanya dengan mata tertuju pada Devan.
Devan merasa terusik kesenangannya diganggu, ia melihat jam di ponselnya. Setengah jam lagi pukul 12 siang. "Nggak," jawabnya ketus, tidak mau lagi melihat Eleanora yang masih berdiri di depan pintu.
"Okee."
Eleanora pergi, tapi sepuluh menit kemudian datang lagi. Membawa empat kotak makan nasi campur dan dua porsi sushi, juga empat gelas boba.
Eleanora masuk tanpa permisi. Bersikap ramah pada Rifqi dan Bang Idris yang menyambutnya senang.
Entah kenapa Devan merasa kesal. Menurutnya Eleanora bersikap genit dengan berpakaian feminin dan cantik. Apalagi Eleanora cuek padanya tapi ramah pada dua temannya.
"Saya belum pernah makan sushi," ucap Bang Idris melihat Eleanora yang sudah dua kali mencomot sushi di tengah-tengah makan nasi.
"Mau? Enak kok." Eleanora menyodorkan satu potong sushi ke depan mulut Bang Idris menggunakan sumpit bekasnya.
Namun, mulut Devan cepat menyambar sumpit Eleanora saat Bang Idris masih terlihat ragu.
Rifqi dan Bang Idris senggol-senggolan melihat tingkah Devan.
Devan mengunyah dengan cepat, dari wajahnya tampak kesal entah karena apa, dia sendiri tidak mengerti. Ia senang Eleanora tidak mengganggunya tapi juga kesal Eleanora bercanda tawa dengan teman-temannya.
Eleanora senyum-senyum di belakang Devan yang mondar mandir sejak tadi. Beberapa jam berlalu, tapi kesal di wajah Devan tak juga hilang. Malah makin menjadi. Eleanora tidak yakin kalau Devan cemburu. Mungkin kesal karena ia datang mengacau kesenangannya. Eleanora mengedikkan bahu. Ia memegang pundak Devan dari belakang. "Capek, Sayang. Jangan mondar mandir terus," keluhnya. "Kamu kenapa sih?” Eleanora mendorong Devan agar duduk di tepi tempat tidur. Tak paham dengan Devan. Tidak biasanya lelaki incarannya seperti itu. "Kamu kenapa siiih?" Eleanora bertanya lagi, kini wajahnya dihadapkan begitu dekat dengan wajah Devan. Tapi Devan tetap tidak mau melihat dirinya. Gemas, Eleanora mencubit kedua pipi Devan. Yang akhirnya ditepis Devan. "Saya jengkel." Devan berdiri. Eleanora ikut berdiri. "Jengkel kenapa?” "Jengkel karena saya jengkel." "Hah?” Eleanora yang bingung jadi makin bingung mendengar jawaban Devan. "Ya udah main game lagi gih. Aku balik ke kamarku." Eleanora
"Sayaaaang." Eleanora muncul dengan melongokkan kepalanya dari balik pintu. Devan yang baru selesai solat menengok sekilas lagi lanjut zikir. Sejak makan malam yang dibiayai Devan waktu itu, Eleanora jadi lebih sering datang dan muncul di hadapannya. Pulang lebih malam, datang lebih cepat. Itu Eleanora sekarang kalau di kamar Devan. Devan mulai biasa saja, tidak lagi takut atau menghindari Eleanora. Devan lanjut dengan ibadahnya, Eleanora sibuk dengan ponselnya di tempat tidur Devan sambil rebahan. Katanya Eleanora sedang datang bulan, untuk sementara tidak bisa jadi makmum Devan. Dan Devan sendiri tidak ke masjid karena kesiangan.Devan melanjutkan dengan membaca Alquran, Eleanora mendengarkan, tak tahu Devan membaca surah apa. Eleanora bukan gadis alim yang paham agama. Bahkan solat pun karena ikut-ikut Devan. Hampir jam enam Devan baru berdiri. Ia sudah mandi jadi sengaja lama-lama. Canggung juga kalau masih subuh Eleanora sudah di kamarnya. "Keluar dulu, Saya mau ganti baju.
inggu lalu bikin mereka rugi banyak. Gajinya juga tidak dipotong, malah ia diberikan pesangon lumayan. Devan bingung, tapi senang juga. Devan pulang malam kali ini, menyelesaikan tugas untuk terakhir kalinya pakai motor Rifqi. Ia tidak berani memakai motornya sendiri yang tiba-tiba muncul secara misterius. Ia takut ada apa-apa dengan motor itu.Saat menaiki anak tangga, ponselnya berbunyi. Salah satu teman kampusnya menelepon, gadis yang pernah ia taksir dulu. Agak lama Devan membiarkan panggilan itu, ia perlu mengatur detak jantungnya lebih dulu. Ia grogi meski merasa sudah tak punya rasa apa-apa.Devan menarik napas sebelum menyapa. “Assalamu’alaikum, Ra. Ada apa?”“Wa’alaikumsalam, Van sibuk kah?”Devan tidak langsung menjawab, bingung harus bilang sibuk atau tidak. Harusnya sih tidak, karena ia pengangguran sekarang, tapi kalau ditanya capek atau tidak ya pasti capek. “Tidak, cuma ini baru pulang kerja. Kenapa?”Ia penasaran, kenapa wanita secantik Nara yang dulu jarang mengajakn
Devan terbangun ketika samar samar mendengar suara azan asar yang berasal dari ponselnya. Ia bergegas bangun meski beberapa kali menguap dan menutup mata.Devan berdiri dan bergegas masuk ke kamar mandi lalu mencuci wajahnya dengan brutal. Jika tidak begitu, ia takut akan tertidur lagi. Ia sangat mengantuk saat ini, dan tidur siang adalah rutinitas yang sangat jarang ia dapatkan.Usai mandi dan solat asar, Devan mengaktifkan ponselnya yang sengaja dinonaktifkan sebelum tidur tadi. Selang dua-tiga menit, notifikasi beruntun masuk. Ada beberapa mantan customer yang menanyakan paket pesanan mereka, entah itu pertanyaan kapan sampai, kenapa lama, kapan di antar, ataupun pemberitahuan jangan dulu diantar atau harus di mana di taruh paket itu.Ia membalas satu persatu, mengatakan bahwa ia sudah resmi berhenti jadi tukang paket. Balasnya satu persatu, tapi isi balasannya sama semua hasil copy paste.Tak lama, terdengar suara Rifqi yang memanggil. Devan pura-pura budek karena rencana ia berni
Kata orang putus cinta itu lebih menyakitkan daripada sakit gigi. Namun, banyak yang tidak tahu kalau ditolaknya lamaran kerja oleh HRD lebih menyakitkan daripada dua hal itu.Sakit gigi dan putus cinta rasanya tidak ada apa-apanya dengan melihat email lamaran kerja yang tidak kunjung mendapat balasan atau membaca email penolakan berkali-kali. Rasanya sakit sekali sampai isi dompet meronta-ronta.Saking kesalnya, Devan sampai berguling ke sana kemari di atas tempat tidur, yang berujung jatuh ke lantai. Jatuh dari ketinggian lima puluh centimeter rasanya seperti jatuh dari gedung lantai lima. Sakitnya remuk redam.Devan menggeram, ia butuh udara segar. Dan pilihannya jatuh pada dipan di bawah pohon mangga. Sedikit bodoh memang memilih berada di bawah pohon pada tengah malam. Bukan hanya suasana yang horor, tapi juga akan berdampak pada tubuhnya akibat menghirup banyak gas karbondioksida. Namun sekarang Devan hanya butuh udara dingin malam hari. Berharap bisa menghangatkan hatinya yang
Eleanora Dei GratiaDia mencintai seseorang apa adanya.Dengan bodoh, dengan tergesa. Melakukan apapun agar seseorang yang dia cintai itu menjadi miliknya. Bahkan ... Ia sampai melakukan sedikit hal-hal licik. Seperti mematikan mcb listrik agar lelakinya tak bisa memasak mi instan dan berakhir menerima makanannya. Selicik itu Eleanora. Dan kalau mau lebih licik lagi, Eleanora bisa, selagi itu bisa membuat Devan, yang dia cintai, menjadi miliknya.Seperti memberikan uang yang banyak kepada Devan. Harapannya laki-laki itu akan semakin terpesona padanya. Mau menerimanya lebih dalam dan menjadikannya seseorang yang spesial.Namun, harapan tinggal harapan. Devan menerima uangnya tapi tidak dengan dirinya. Atau mungkin uangnya juga tidak diterima, hanya belum dikembalikan saja. Perjuangannya tidak berharga di mata Devan."Uang yang kamu kasih itu uang haram, kan?"Pagi-pagi sekali, biasanya Eleanora yang menghampiri Devan, tetapi hari ini Devan yang mendatanginya. Namun bukan dengan raut ba
"Eleanora yang kasih. Curigaku hasil dari sini.""Anjir, buat apa Eleanora kasih kau sebanyak itu? Bagiii ...."Reflek Devan memukul Rifqi. Bukan itu poin yang ingin dia kasih tahu. "Lihat pi ini berita!" Devan memberikan ponselnya, membiarkan Rifqi membaca berita itu dengan seksama. "Ingat Eleanora habis pergi semingguan kemarin?"Rifqi mengembalikan ponsel Devan. "Jangan suuzan, Van. Mana ada pembunuh cantik?""Ada. Aya Cahaya di novel Kamuflase juga pembunuh bayaran."Balik Rifqi memukul Devan. "Itu novel."Devan berdecak. "Di kehidupan nyata juga banyak pembunuh yang cantik-cantik. Salah satunya ya Eleanora itu." Kemudian Devan menceritakan apa yang ia dan Eleanora obrolkan pada malam itu. Tentang janji Eleanora yang akan menjual organ tubuh orang lain untuk mendapatkan uang yang banyak."Anjir lah." Rifqi menggigit kukunya. "Berarti da kasih uang kau sebanyak itu buat cuci tangan, cuci uang."Devan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung mana istilah yang benar cuci tang
Devan membungkus Eleanora dengan selimut. Sebenarnya Eleanora bisa melawan, tapi ia diam saja, keenakan dipegang-pegang Devan.Tepat setelah Devan selesai menutup rapat tubuh Eleanora dengan selimut yang hanya menyisakan kepala dan kaki, pintu diketuk.Tukang nasi pecel yang mengantar itu adalah Keenan. Melihat Devan yang membukakan pintu, ia berlagak kehilangan keseimbangan sehingga bisa membuka pintu lebih lebar. Terlihat Eleanora duduk di atas ranjang, mengangguk dan memberikan senyum tipis. Kode kalau Eleanora baik-baik saja. Keenan pun segera pergi setelah menerima uang dari Devan.Sementara itu Devan langsung kembali menutup pintu."Pintunya nggak mau dibuka aja? Kayaknya kamu seneng banget sekarang berduaan sama aku di ruangan tertutup." Eleanora mengulum senyum sambil memainkan matanya, berkedip-kedip menggoda Devan.Devan terdiam, ia baru ingat akan hal itu. Biasanya kalau ada Eleanora di kamarnya, pintu kamar akan selalu ia buka, soalnya takut ada fitnah. Meski baru beberapa
"Assalamu'alaikum, Papa Mama," sapanya pura-pura mengantuk seakan baru bangun tidur, layar ponselnya ia dekatkan ke wajah agar pemandangan di belakangnya tidak terlihat. "Tidak usah pura-pura, Mama tahu kamu masih di jalan! Kenapa baru pulang jam segini?" Vanela menjauhkan ponselnya seiring suara Eleanora yang semakin nyaring. "Papa, Mama marah-marah." Bukannya menjawab, Vanela malah mengaduh pada Devan. Namun kali ini Devan tidak akan membelanya. "Kamu memang harus dimarahi. Kenapa baru pulang?" Suara dan tatapan Devan tampak tegas, tanda Vanela harus segera menjawab dengan benar, tidak bisa bermanja lagi. Vanela menunjukan lembar soal yang sejak tadi dipangkuannya. "Keasyikan ngerjain ini, lupa kalau nggak lagi di rumah." "Apa itu?" "Soal matematika untuk lomba tingkat SMA." "Papa tidak tahu kalau kamu ikut-ikut yang seperti itu." Memang selama ini Vanela selalu pulang tepat waktu dan bahkan saat jadwal kuliahnya tinggal dua jam lagi, Vanela menyempatkan pulang untuk sekadar b
Beberapa tahun lagi mamanya akan kepala empat menyusul ayahnya, pasti akan sulit untuk hamil diusia seperti itu. Dan Vanela menyesal sudah mengatakan permintaannya itu, harusnya ia lebih memikirkan orang tuanya ketimbang diri sendiri.Hari ini Vanela memulai perkuliahannya lagi. Selama masa kuliah, Vanela tidak lagi pergi bersama Baruna. Bukan karena jadwal kuliah yang berbeda, melainkan karena Baruna tidak berkuliah di universitas yang sama dengan Vanela. Vanela tetap tinggal di Kota Kendari agar selalu dengan orang tuanya dan berkuliah di universitas Halu Oleo dengan mengambil jurusan yang sekiranya santai.Vanela tidak peduli dengan jurusan kuliah yang dia ambil. Yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya ia menyelesaikan kuliahnya tanpa terlalu banyak membuat waktu di kampus. Sehingga Vanela benar-benar menjadi anak kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang. Kendati demikian, Vanela masih memiliki teman walau tidak akrab.Pukul sebelas siang ketika Vanela baru pulang dari kampus, har
Sudah sejak pertengahan SMP Devan tinggal jauh dari orang tua, tapi setidaknya ia tinggal bersama kakaknya yang jauh sudah dewasa. Kepindahannya kala itu karena ingin bersekolah di kota yang katanya pendidikan lebih bagus. Karena mendukung anaknya, orang tua Devan menyetujui. Kehidupan sekolah Devan lancar-lancar saja, ia tidak pernah di bully atau merasakan stres yang luar biasa menggangguk.Kemudian sewaktu awal masuk kuliah, Devan memutuskan hal yang besar, yaitu tinggal sendiri, mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dengan tinggal di tempat kos-kosan. Hari-hari tenangnya mulai hilang, kegiatan kampus juga uang bulanan mulai memeras is kepalanya. Beberapa bulan pertama kehidupan Devan di kos-kosan terasa sangat berat baginya.Devan yang tadinya tidak perlu memikirkan uang saku habis, tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya, kini harus memikirkan semuanya. Karena sudah tidak ada lagi kakaknya yang baik hati yang tidak pernah memperhitungkan uangnya dipakai Devan.Uang yang Laki
Tidak disangka ujian kelulusan sebentar lagi, kurang dari dua minggu lagi, tapi Vanela tidak pernah belajar. Ia lebih sering latihan bersama Yudi dan pengawal yang lain ketimbang membuka buku pelajaranBanyak yang mengira kalau setelah Vanela berhijab gadis itu akan berubah jadi lembut seperti yang terlihat jelas diwajahnya. Namun sayang hal itu hanya harapan semata. Nyatanya Vanela masih suka sadis, apalagi saat sedang kesal. Gadis itu belum bisa yang satu itu.Beberapa kali saat emosi, Vanela menggunakan salah satu pengawal untuk menjadi tempatnya menaruh objek sasaran saat olahraga lempar pisau atau panahan. Seperti saat ini. Tadi Vanela secara random memanggil salah satu pengawal yang sedang duduk asyik sembari merokok. Pengawal itu tadinya tenang-tenang saja sampai di ajak ke tempat latihan, ia langsung panas dingin.Ketika Eleanora sudah bersiap menarik busurnya, tiba-tiba Keenan datang."Diego Lim datang," bisik Keenan yang langsung dibalas lirikan oleh Vanela."Cukup kasih tah
"Papa, Nela kangen," lirih Vanela sembari mengelap tubuh ayahnya. Padahal ia tahu sudah ada yang bertugas menjaga dan merawat orang tuanya, tapi ia tetap ingin berbakti meski sedikit."Nela."Vanela menoleh. Zia datang dengan membawakan makanan untuknya. Vanela menyudahi menyeka tubuh Devan, ia menghampiri Zia yang menata makanannya di meja."Padahal Tante nggak usah repot-repot antar ke sini. Aku kan bisa ambil makan sendiri." Vanela duduk di samping Zia. Ia mengambil air putih yang Zia siapkan, menghabiskannya hingga nyaris tandas."Kapan? Nanti malam?"Vanela tertawa kecil. Zia sudah mengenal Vanela dari kecil. Zia sudah hapal dengan kelakuan Vanela yang kalau sudah masuk ke ruang perawatan orang tuanya ini susah keluar lagi. Kecuali ada buku pelajarannya yang harus dia ambil."Kamu sudah kelas tiga, apa tidak lebih nyaman belajar di kamar?""Iya ini belajar di kamar kan?" Vanela tersenyum menbuat Zia merasa gemas.Padahal maksud Zia, Zia ingin Vanela punya kehidupan lain selain di
"Sayang! Kamu bikin apa?" Devan melongok dari semak-semak, melihat Eleanora memetik bunga. "Kenapa kamu petik?" Devan menyayangkan tindakan Eleanora."Bunga-bunganya sudah jelek. Kalau mau tumbuh bunga bunga baru yang segar, bunga yang lama harus disingkirkan. Begitu juga kehidupan Vanela."Vanela terkejut namanya dipanggil ia kira ia sedang bermimpi sekarang, tapi mimpinya cukup indah karena orangnya sadar akan kehadiarannya."Kamu harus membuang kenangan, agar hidupmu terus berjalan."Tiba-tiba pemandangan orang tuanya yang sedang ditaman bunga kini berganti menjadi pemandangan yang setipa hari ini lihat, orang tuanya terbaring tak berdaya dengan tak sadarkan diri.Lalu tiba-tiba lagi pemadangan itu hilang tergantikan ruang putih yang kosong. Vanela berlari ke tempat orang tuanya tadi berada, tapi sepanjang berlari ia hanya menemukan ruang putih yang terasa hampa."Maamaaaa! Papaaaaaaa!" Vanela berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokannya habis. Sampai ia terbangun seketika dari ti
"Jadi bagaimana, Mas? Apa perlu kita mengirim orang untuk mengecek ke sana?""Jangan, jangan." Keenan menggeleng, tidak menyutujui saran Yudi. "Lebih baik jangan, terlalu berbahaya. Kita tidak tahu situasi di sana seperti apa. Jangan sampai masih ada yang berusaha untuk masuk, atau mungkin lebih parah, kita tidak tahu. Saya tidak mau kalian kenapa-kenapa."Keenan menarik napas sejenak, ia menatap teman-temannya satu persatu. Tidak semua berada di dalam ruangan itu karena beberapa harus tetap berjaga di luar, tapi masing masing dari mereka bisa mendengar percakapan ini dan juga bisa mengutarakan pendapat."Dengar, kalian semua yang ada di sini adalah orang orang yang dipilih langsung oleh Tuan, itu tandanya beliau sangat percaya kalian bisa menjaga anak, menantu dan cucunya. Paham?"Semua serentak mengatakan paham."Jadi saya tidak mau kalian kenapa-kenapa. Apalagi sekarang dua tuan kalian dalam keadaan yang tidak baik, kalau terjadi sesuatu sama kalian, siapa yang akan menjaga dan me
Mendengar penuturan Ibu, Zia hanya bisa menghela napas. Sementara itu Devan bersama Yudi mendatangi penjara bawah tanah yang berada di bawah rumah salah satu pengawal. Di sana Damar dikurung. "Siapa namanya?" "Damar, Mas." Keenan menaikkan alisnya. Nama itu terdengar tidak asing, tapi ia tidak ingat siapa orang itu. Ia juga tidak bisa menduga hal gila apa yang sudah ia dan Eleanora lakukan sampai laki-laki itu membalas dendam dengan menculik Vanela. Ketika sampai di penjara itu, barulah Keenan ingat dan mengerti. Damar adalah laki-laki hidung belang yang pernah ia buang atas suruhan Eleanora karena mengganggu ketenangan kos-kosannya dulu dengan Devan. Keenan mendengkus keras, harusnya dulu ia tidak memberi ampun pada laki-laki itu sekalipun memohon sampai menangis darah. "Halo," sapa Damar dengan ekspresi yang menjengkelkan. "Tidak dapat anaknya, dapat suaminya, hmm lumayan," ucap Damar di akhiri tawa yang terdengar sangat memuakkan. Keenan hanya bisa mengepalkan tangan dengan
Keenan sampai di ruang rawat inap Zia dengan napas terengah. Ia di sambut Desi di depan pintu. Zia sudah keluar dari Icu, sudah sempat sadar tapi tapi langsung tidur lagi efek pengaruh obat. Keenan bernapas lega, masuk dengan mata sayu. Ia melihat ke arah sofa bed. Keenan bersyukur Desi cukup peka dengan tidak ragu-ragu memilih kamar inap, sehingga Baruna bisa beristirahat dengan nyenyak meski sedang berada di rumah sakit. Keenan menghampiri Baruna lebih dulu, mengecup kening anaknya cukup lama lalu menghampiri Zia. Lama Keenan memperhatikan wajah Zia yang tampak damai. Meski demikian wajah itu sedang tidak baik-baik saja, ada beberapa memar kecil dan luka gores menghiasi wajah cantik Zia. Mata Keenan memanas. Ia tidak tahu kalau rindunya pada Zia sebesar ini. Ia tahan tangisnya agar tidak terdengar. Dengan ragu-ragu ia mengecup satu persatu luka yang ada di wajah Zia. Berharap luka-luka itu cepat sembuh dan tidak meninggalkan bekas. Bukan karena ia tidak terima jika Zia punya bekas