Aku baik
Aku tulus
Aku jujur
Aku humble
Aku sabar
Aku tegar
Aku ikhlas
Aku bahagia
Aku berpikir positif
Aku cerdas
Aku praktis
Aku realistis
Aku kaya
Aku suka berbagi
Aku suka memaafkan
Aku bukan pembenci
Aku bukan pendenda
Mas Wangi melambaikan tangan, berseru memanggil namaku. "Ayung, di sini!"Sesegera mungkin, aku berjalan ke sana sambil menggandeng Lova, mendorong stroller Baby Elora. Jujur ya jujur, aku mau bersusah payah menemui Mas Wangi di sini bukan karena memiliki perasaan yang sama dengannya, lho. Ya, apa salahnya sih, kalau kami tetap menjalin silaturahmi? Bukankah itu jauh lebih baik dari pada berpacaran?"Aduh, maaf banget ya, Mas Wangi?" kataku setelah berhadapan dengannya. "Ayung telat banget ya, Mas?"Mas Wangi tertawa kecil, gembira. "Oh, nggak apa-apa kok, Ayung. Kamu bisa datang saja aku sudah senang sekali.""Ya, begitulah Mas. Anak-anak rewel tadi terutama Baby Elora. Ngantuk banget kayaknya, jadi ngg
"Yung, ada apa sebenarnya?" Mas Wangi mengulangi pertanyaannya yang belum sempat kujawab tadi. Sekarang kami sudah di apartemennya, di Frankfurt. Terpaksa aku meminta bantuannya karena takut Barlie akan menguntit atau semacamnya dan jadi tahu di mana kami tinggal. "Ceritalah Yung, jangan dipendam sendiri. Siapa tahu aku bisa bantu? Kalaupun nggak, minimal kamu jadi nggak terlalu sumpek, Yung. Khawatir juga lama-lama aku sama kamu, Yung."Mengingat anak-anak masih tidur yang berarti akan lebih leluasa sharing dengan Mas Wangi aku tergerak untuk maju. "Jadi kan Mas Wangi, awalnya Ayung bekerja di rumah Mbak Kinan, jadi pengasuh anak. Entah bagaimana belum genap tiga bulan di sana, Mbak Kinan mengoper Ayung ke rumah Ema, mommy Baby Elora. Karena nggak mungkin pulang ke Indonesia dalam keadaan tanga
Tiga bulan sudah berlalu dari sejak pertemuanku dengan Mbak Kimi di apartemen Mas Wangi dan kontrak kerjaku bersama Ema sudah mendekati garis the end. Tiga minggu lagi, bayangkanlah! Padahal sampai detik ini belum juga menemukan solusi, kepada siapakah harus menitipkan Baby Elora?Ema belum sembuh, masih harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit jiwa. OK, fine. Kalaupun misalnya sudah membaik dan boleh pulang, siapakah yang akan merawat? Siapa juga yang akan menjadi mereka?Ya ampun!Baby Elora baru berusia tujuh bulan, lho. Apa mungkin Ema bisa melakukan semuanya sendiri? Mengurus diri sendiri, Baby Elora dan semua perkerjaan rumah. Maksudku apa langsung bisa, setelah pulang dari rumah sakit nanti? Bukan berarti aku mendoakan supaya skizofr
"Maaf, Tuan Barlie … Bukan berarti saya ingin menguasai Baby Elora atau bagaimana tetapi Ema sudah berpesan pada saya, supaya Tuan Barlie tidak menyentuh Baby Elo---""Dia anak saya, Nyonya Ayung! Apa dia lupa?" Barlie terlihat emosional di sini, mengundang ketakutanku muncul ke permukaan. "Hah, dasar orang gila!"Ha, apa?Berani-beraninya Barlie menghina Ema seperti ini? Ema tidak gila! Dia hanya sedang mengalami gangguan jiwa dan itu karena ulah siapa? Dia sendiri, bukan? Kalau begitu siapa yang gila?"Tolong jaga ucapan Anda, Tuan Barlie!""Oh tentu, Nyonya Ayung. Sikap apa yang pantas saya berikan untuk orang gila seperti E---"&nbs
"Hahahaha … Akhirnya kamu telepon aku juga, Yung?" suara Mas Tyas terdengar meremehkan. "Kangen ya, berat kan jadi janda? Dingin kan, nggak ada yang ngeloni malam-malam? Oh, hahahaha aku lupa kalau sebelum jadi janda pun sudah nggak nggak ada yang ngeloni. Hemh, habis kamu jual mahal banget sih Yung, angkuh! Nah sekarang, kesepian juga kan kamu …?"Setegas mungkin aku menanyakan. "Kenapa Mas masih saja menekan anak-anak? Memangnya mereka boneka yang bisa Mas main-mainkan sesuka hati Mas? Tidak Mas, Bukan!"Bukannya mereka atau bagaimana, Mas Tyas justru semakin menjadi. "Hei, sssttt … Kamu ini bicara apa sih, Yung? Ketemu sama mereka saja aku nggak pernah, gimana aku bisa nekan atau apapun itu yang kamu tuduhkan. Ah, sudahlah Yung. Nggak usah dramatis kayak gini, sih?"
"Ayung, benarkah ini kamu?" Ema bangkit dari tempat tidur, menyambutku. Dari raut wajah dan sorot matanya aku bisa tahu kalau dia lebih tenang, gembira dari pada beberapa hari yang lalu. "Oh Ayung, apa kabar kalian?""Kami baik, Ema dan kamu?"Ema mendekat, memelukku dengan erat dan hangat. "Saya juga baik, Ayung. By the way, bisakah kamu membantu saya, Ayung?"Perlahan-lahan, aku melepaskan pelukannya. "Apa itu Ema, semampu saya."Ema melekatkan pandangan, seakan-akan ingin menyelam hingga ke dasar. "Aku rindu rumah Ayung, terutama Elora. Bisakah kamu melebihi Suster supaya aku diperbolehkan pulang lebih cepat? Oh, aku juga rindu Mama. Ke mana kah dia Ayung, sampai-sampai tak pernah menjengu
Ratna tak berkutik di tangan Mas Wangi. Dalam lemah dan diam, mengajak pacarnya mengambil barang-barang di gudang lalu pergi, pulang. Hanya Mbak Kinan yang dipamiti, itu pun dari depan pintu ruang tamu. Tidak kembali masuk ke ruang keluarga.Kami, aku terutama tidak masalah, sih. Bukan berarti takut untuk bertemu dengannya lagi. Apa yang musti ditakutkan? Selama ini aku selalu mengalah, tak pernah membuat masalah apa pun dengannya."Emh, maafkan sikap Ratna ya Mbak Ayung?" pinta Mbak Kinan begitu kembali bergabung bersama kami di ruang keluarga. "Ratna sudah banyak menyakiti Mbak Ayung. Untung Mbak Ayung orangnya baik, sabar.""Sayang banget ya Mbak Kinan, Ratna malah memanfaatkan kebaikan dan kesabaran Ayung?"
Tak terasa air mataku meleleh, mencair. Laiknya bongkahan es yang tersiram sinar mentari. Oh, sebentar lagi aku akan memeluk anak-anakku. Memeluk dengan sepenuh cinta, kasih sayang dan doa-doa. Oh, ohhhh, semoga seluruh harapan yang selama ini tersimpan dapat terwujud nyata."Maju sedikit ya, Pak?" kataku pada driver mobil online. "Nanti ada pertigaan, nah rumahnya persis di pengkolan arah ke kanan. Nanti anak saya nunggu di depan rumah.""Baik, Bu." sahut si Driver singkat, sementara aku mulai membangunkan Lova supaya tidak terlalu bingung nanti tetapi sayang, tidak berhasil. Nyenyak sekali dia tidur, begitu juga dengan Baby Elora. Jelas, mereka kelelahan dalam perjalanan panjang Weinsberg - Sleman. Rasa hati ingin menciumi mereka, mengungkapkan rasa terima kasih."Yang ada
"Pakai nama Mama saja, Ma?" Langit mengusulkan setelah Laut dan Bumi sibuk mencari nama untuk usaha tanaman hias yang akan kami rintis. "Payung Teduh Flowers. Cantik kan, Mama?" Sejenak, Laut dan Bumi saling memandang lalu tos dengan penuh semangat perjuangan. "Setuju berat, Mas Langit. Cantik banget namanya, Payung Teduh Flowers!" Laut memandangku dengan senyum tipis tetapi manis yang khas. Tak mau kalah, Bumi juga mengapresiasi nama yang diusulkan Langit tadi. "Cantik dan viral pasti. Karena kan unik banget namanya."Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Memang cantik, ya? Unik. Semoga juga bisa menjadi magnet berkahnya rezeki. "Oke, Mama juga setuju." lembut tapi tegas aku memungkas acara diskusi kami. "Kalau gitu, Mas Langit sama Mas Laut harus segera cetak banner, ya? Nanti kita buat dulu konsepnya. Mas Bumi bantu Mama memilih bunga apa saja yang akan menjadi icon PTF. Nah, habis itu kita cari grosir tanaman hias. Harus banyak survei nih Le, seka
Tiga hari berlalu sejak family time yang so sweet, aku sakit. Demam, batuk, pilek parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kata Dokter, aku terlalu lelah dan letih. Butuh beberapa hari untuk istirahat total. Dokter sempat menawarkan rawat inap di rumah sakit tetapi aku menolak, tentu saja. Bukankah istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan? Ya, begitulah dan akhirnya Anak-anaklah yang dengan kompaknya merawat. Lova terlihat senang hati setiap mengambilkan minum atau menemani minum obat. Langit dan Laut, mendapat tugas membersihkan rumah plus mencuci pakaian. Sedangkan Bumi, mencuci piring dan menyiram tanaman setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah. Siapa yang memasak?Koki di rumah makan, hehehehe. Sorry, just kidding! Sebagai koordinator rumah tangga sementara, Langit memutuskan untuk membeli lauk dan sayur saja selama aku sakit. Kalau memasak sendiri, menurutnya terlalu ribet. Untuk nasi, dia yang memasak. Maka, nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"G
Aku berusaha mengikuti arahan Bu Bidan tetapi belum berhasil. Sabar, Bapak terus menyemangati dan mendoakan keselamatan kami."Nah, ayo ngeden lagi Mbak, ini kepalanya sudah kelihatan. Yuk, ngeden yang kuat. Terus, terus…!"Aku tidak terlalu ingat, bagaimana akhirnya. Hanya ketika kepala Laut sudah keluar, aku menjerit memanggil Mas Tyas. Mengejan lagi, mengikuti daya kontraksi lalu lahirlah dia, Laut Surgawi. Tidak dapat mendengar lagi kah hati Mas Tyas? Hanya Allah Yang Tahu."Sop iga, bakso rusuk, pecel lele, ikan bakar … Kita mau makan apa, Ma?" Hampir saja aku menyerempet sepeda motor karena terkejut demi mendengar pertanyaan Laut. Wah, semua ini gara-gara Mas Tyas yang tak berperasaan, jahat! "Kalian, mau makan apa?" lega tetapi sedikit geragapan aku membalikkan pertanyaan. "Mama ngikut saja, Le. Eh, tapi kayaknya enak ya, kalau makan sop iga? Sudah lama juga kan, Mama nggak masak …?"Laut mengiyakan lalu memberi tahu kalau rumah makan sop iga sapinya tinggal satu setengah kil
"Yuk, turun, anak-anak!" kataku sambil menepikan mobil di perempatan jalan kecil menuju makam Bapak. "Kita parkir di sini saja ya, takutnya Mama nggak bisa atret nanti?"Tanpa berkata-kata, anak-anak mengikuti ajakanku. Langit yang duduk si sebelahku, segera turun sambil menggendong Lova. "Bunganya sudah aku bawa turun, Ma!" lapor Bumi setengah berteriak. "Eh, Mas Laut, tolong bawa air mineralnya!'Kudengar, dengan penuh semangat Laut menyahut, "Siap, Bos!"Entah bagaimana, aku tertawa lirih. Menertawai diri sendiri, Mungkin? Why? Karena belum sempat membahagiakan Bapak semasa hidup. Bahkan, ketika Bapak meninggal dunia pun aku masih dalam keadaan susah. Bukan susah secara ekonomi, tetapi kritisnya hubungan dengan Mas Tyas. Kami sudah benar-benar tenggang, waktu itu, sudah pisah ranjang. Seperti itulah, keadaannya sampai-sampai Mamak dan Limas menghakimi. Bapak terkena serangan jantung karena stressed memikirkan aku. Padahal aku sama sekali tidak memberi tahu Bapak perihal rumah tan
Apakah ini yang disebut dengan penghalang kebahagiaan? Aku tidak tahu! Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku memilih untuk menyebutnya dengan challenge. Tantangan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kami sudah sampai di samping pintu mobil ketika tiba-tiba air ketuban Ajeng pecah. Byok …! Seperti itulah bunyinya, menciptakan panik. Anehnya, aku hanya bisa tertegun hingga beberapa detik lamanya saat cairan seperti putih telur itu membasahi punggung kaki Ajeng."Yung, aku nggak tahan lagi, Yung!" rintih Ajeng sambil merapatkan rahang. "Bayinya sudah mau lahir, Yung!""Ha, apa?" reflek, aku merespon dan tidak menyesal sedikit pun walau mungkin terkesan bodoh. "Jangan bercanda deh Jeng, sudah mau lahir gimana?"Terengah-engah, Ajeng berusaha memberikan penjelasan. "Serius, Yung. Hah, hah, haaahhh …!" Ajeng mencengkeram pintu mobil, mendobrak kesadaranku."Oke, oke!" kataku berusaha meredam panik. "Oke, tahan sebentar. Tahan sebentar ya, Jeng?" Gemetar, aku merogoh ke dalam saku gami
Sebenarnya apa salahku? Pada Mamak, Bapak dan Limas, maksudku sehingga mereka begitu membenciku. Karena menikah darurat dengan Mas Tyas? Karena gagal menjadi Sarjana? Karena akhirnya berpisah dengan Mas Tyas yang berarti kegagalan paling besar bagi mereka? Seharusnya mereka tahu tanpa disalahkan, dibenci dan dihakimi pun aku sudah remuk bubuk. Lumat oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang begitu besar, tak tergambarkan. Jelas mereka tidak melihat itu, kan? Jelas, jelas! "Kalau aku jadi kamu ya Mbak, sesakit apa pun nggak akan pernah pisah. Ya ampun, itu kan nyakitin banget buat anak-anak, Mbak. Kasihan juga kan, status mereka jadi anak-anak broken home? Lagian, kenapa dulu kalian pacaran sampai ngawur gitu, coba? Sudah buat malu orangtua eh ujung-ujungnya pisah! Heran deh Mbak, sama kamu!" itu yang dikatakan Limas melalui saluran telepon yang super buruk saat tahu aku sudah berpisah dengan Mas Tyas. Seakan-akan dia yang bertanggung jawab atas hidupku selama ini saja! "Ya,
"Waduh, waduh yang punya rumah baru sampai cuek bebek sama keluarganya!" seloroh Mamak sambil mengulurkan tangan, menyalamiku. "Tapi kayaknya kami nggak bisa nginep, Yung. Adikmu lagi sibuk banget, banyak kerjaan. Besok malah Mamak nggak ada yang nganterin pulang."Aku merasa, otakku sudah berhenti berputar saat ini, sehingga hanya bisa diam tercenung. Oh, pasti aku terlihat sangat bodoh, sekarang. Bodoh dan lemah, tak punya harga diri. "Lah, kan, Mama bisa nganterin Mbah Mamak pulang?" pertanyaan sekaligus pernyataan Laut memulihkan separuh kekuatanku yang tadi hilang entah ke mana. Separuh lagi, berasal dari Bumi, Langit dan Lova yang tiba-tiba mengerubungi kami. Senyum tulus, sorot mata teduh mereka menyemai rasa tenteram dalam hati. "Sekalian jalan-jalan. Iya kan, Mama?"Reflek, aku mengangguk. Menyuguhkan senyum tulus. Biarlah Mamak atau siapa pun bersikap semau mereka tetapi aku tak boleh goyah. Maksudku, meskipun harus mengorbankan diri sendiri, jangan sampai balas menyakiti.
Mas Tyas juga datang? Wah, ini baru bencana! Sejujur-jujurnya kukatakan, tak ingin ada dia malam ini dan selanjutnya. Jangan ada Mas Tyas lagi, karena dia hanyalah selembar masa lalu. Masa lalu yang sangat menyakitkan! "Iya, Mas Bumi?"Bumi mengangguk. "Iya, Mama. Kayaknya, kalau aku nggak salah lihat, Ayah bawa buket bunga mawar putih, Ma." Ha, apa? Ck, Mas Tyas pasti sudah terjangkit skizofrenia. Tak bisa lagi membedakan antara khayalan dan kenyataan. Jelas-jelas kami sudah bukan siapa-siapa lagi, kan? "Mama mau temui Ayah?" pertanyaan polos sekaligus tulus dari Bumi mendobrak kesadaranku. "Mau apa nggak, Ma?"Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aku tak sempat lagi menghindar karena Mas Tyas sudah masuk ke ruang keluarga ini, bersama Ibu. Itu terlalu lancang bagiku tetapi sayang, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa berdiri hampa."Selamat ya, Yung?" suara Mas Tyas terdengar gemetar. Entah karena efek dingin dari air conditioner atau karena efek lain salam dirinya. "Maaf,
"Ibu …!"Walau sudah berpisah dengan Mas Tyas, aku tak pernah berubah. Sama seperti dulu waktu masih menjadi anak menantu, menyambut dengan sopan lalu bersalaman. Tidak hanya mengecup punggung tangan, aku juga mencium kedua pipinya. "Alhamdulillah, Ayunng senang Ibu bisa datang." ungkapku jujur dan apa adanya ketika Ibu merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. "Ibu sehat kan, Bu?""Sehat Yung, Alhamdulillah." lembut, Ibu melepaskanku dari pelukannya. "Ibu juga senang bisa datang ke sini. Selamat ya Yung, sudah punya rumah baru? Ibu doakan semoga diberkahi Allah semuanya.""Aamiin. Makasih banyak, Bu." Ibu menyimpulkan senyum tulus. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang sejak sore tadi sudah berubah menjadi taman bunga. Hehe. Anak-anak yang memilih tema dekornya. Beberapa ikat balon warni menghiasi sudut-sudut ruangan. Ada juga yang tergantung di langit-langit berplafon putih melati. Konsepnya memang sederhana tetapi terlihat manis dan hangat. Indah."Sama-sama, Ayung."