Beranda / Romansa / Berpisah Untuk Bersatu / Membangun Istana Surga

Share

Membangun Istana Surga

last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-29 16:57:34

Tak selamanya mendung, tak selamanya juga cerah. Seperti itulah kesimpulan sederhana yang dapat aku untai sekarang. Tak ada beban yang lebih berat dari pada pundak, tak ada duka yang abadi. Tak ada luka yang tak mengering, mengelupas dan sembuh. Tak ada rasa sakit yang menetap. Ini dunia, segalanyalah fatamorgana.

"Yuk turun yuk, sudah sampai …!" aku memberi tahu anak-anak yang duduk tenang di belakang. "Ini lho Mas Bumi, tanahnya. Asyik nggak lokasinya?"

Bumi tak sedikit pun menyembunyikan ekspresi bahagianya. "Wah, asyik banget Mama …!"

"Biar aku saja yang gendong Baby Elora, Mama." Laut langsung menurunkan the little sister dari baby car seat, "Yuk Baby Elora, kita lihat-lihat pemandangan yuk? Doakan ya semoga bisa jadi istana yang diberkahi Allah untuk kita. Nah, itu dia …!"

"Mama, Mama tunggu Lova!" anak gadisku hampir menangis, mungkin takut ditinggal. "Please, wait for Lova, Mama!"

Gemas, Langit menggendong dan menerbangkannya di udara. Menangkapnya lagi dan tawa bahagia pun t
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Berpisah Untuk Bersatu   Becik Ketitik Ala Ketara

    [Dasar, perempuan murahan!][Sombong banget kamu ha, baru bisa beli mobil saja sudah sok!][Kami kan mau minjem, Ibu Ayung!][Bukan mau ngemis!]Mas Tyas langsung mengamuk di chat room tetapi aku tak mau ambil pusing, tentu saja. Untuk apa? Lebih baik melanjutkan perjalanan hidup bersama anak-anak cinta. Membantu Langit membangun usaha Taman Bacaan, membantu Laut memasak---dia jualan ayam katsu, jualan online---membantu Bumi membuat es lilin, nugget pisang dan salad buah. Supaya Kiddo Jajanan tetap eksis, katanya.[Wah, wah, wah!][Kebangetan bener nih, orang!]Dari pada mengundang dosa, aku memutuskan untuk memblokir kontak Mas Tyas. Kontak Sari juga. Cukup sampai di sini dan good bye! Masih ada banyak untaian mimpi dan asa yang wajib aku perjuangkan. Untuk apa meladeni mereka yang tak memiliki perasaan? "Oke, yuk anak-anak kita main ke rumah Bulek Uji, yuk?" ajakku sambil membenarkan letak kerudung Lova. "Mama sudah janjian tadi, kita langsung ke rumahnya saja."Seperti anak ayam y

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-29
  • Berpisah Untuk Bersatu   Orangtua, Keluarga dan Sahabat

    Dik Uji mengantarkan kami sampai di depan pintu pagar. Sekali lagi aku memeluknya, seerat mungkin. Rasanya masih ingin terus berbincang, bercanda, tertawa bersama untuk melepaskan rindu yang semakin tebal. Oh, rasanya tak ingin berpisah sama sekali, sungguh."Mbak Ayung yang ikhlas ya, Mbak?" pesan Dik Uji sambil perlahan-lahan melepaskan pelukanku. "Diperluas lagi kesabarannya biar hati Mbak semakin lapang. Nggak usah diingat lagi yang sudah-sudah, dijadikan pelajaran saja ya, Mbak?"Mengangguk. Hanya itu yang mampu kulakukan. Begitu banyak air mata menyumbat kerongkongan. Terlalu berat untuk mengucapkan satu patah kata pun, terlalu sulit. "Uji doakan semoga Mbak dan anak-anak selalu dalam penjagaan dan perlindungan Allah." lanjut Dik Uji dengan ketulusan hati terpancar pada sorot mata. "Semoga selalu disayangi, diberkahi.""Aamiin. Makasih banyak ya, Dek?" terisak-isak aku berusaha untuk memberikan respon.""Sama-sama, Mbak." Dik Uji menepuk-nepuk pundakku, memberikan semangat. "Ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-30
  • Berpisah Untuk Bersatu   Membangun Surga Bersama

    "Mama, ayo kita pulang, Mama?" Langit menarik pergelangan tanganku. "Kita pulang Mama … Usah risau, ada Mas Langit yang menemani Mama. Mas Langit akan selalu ada untuk Mama. Mana yang sakit Mama, mana yang sakit? Sini, biar Mas Langit obati?" Dengan air mata meleleh di wajah yang mulai berubah menjadi merah darah, Langit memperhatikan bekas tamparan Mamak di kedua pipiku. "Memar Mama, berdarah." Diam. Hanya itu yang mampu aku lakukan sekarang. Ah, bukan hanya sekarang sebenarnya. Seperti inilah aku di hadapan Mamak, Bapak dan Limas sedari dulu. Sejak masih kanak-kanak dulu. Diam, diam dan diam. Menahan segala sesak, pedih, sakit, kecewa dan amarah di rongga dada. Tanpa air mata karena ia hanya aku izinkan menetes ketika sendiri, di kamar yang gelap. "Sini Mama, Mas Langit tiup …?" lembut, hati-hati Langit memegang wajahku, meniup semua bekas tamparan Mama. Air matanya kian deras mengalir. "Kita pulang ya Mama, kita sembuhkan luka Mama di ru---""Orang baru datang kok, sudah mau pul

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-30
  • Berpisah Untuk Bersatu   Kisah Cinta dan Luka-luka

    Tok, tok, tok! "Mas Langit?" sedikit ragu tetapi tak mampu mencegah diri untuk tak memanggilnya. Lampu kamar masih terang, itu artinya belum tidur. "Mas Langit?" panggilku lagi dengan perasaan yang semakin tak menentu. Kepada siapa lagi aku berbagi rasa? Laut dan adik-adiknya sudah tidur. Itulah mengapa memberanikan diri untuk menemui Langit di sini. Bukan, bukan berarti takut atau bagaimana. Aku merasa belum saatnya mereka tahu masalah ini, masih terlalu hijau. "Ya, Mama?" syukurlah, tak lama setelah itu, Langit membukakan pintu untukku. "Masuk yuk, Mama?" Aku mengikuti Langit, duduk di tepi tempat tidur. "Maaf lama, Mas Langit baru menyelesaikan sedikit PR tadi, Mama. Tinggal seperempat nomor pagi." Aku mengangguk, mengerti. "Nggak apa, Le." "Ada apa Ma, ada masalah apa?" Langit memperhatikan wajahku. "Apa yang Mama pikirkan?" "Ayah." jujur, to the point aku menjawab. Entah mengapa Langit malah tertawa kecil. Memandangku dengan kulit wajah bersemu merah. "Mama, Mama … Suda

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-30
  • Berpisah Untuk Bersatu   Tak Ingin Terjatuh Lagi

    Trauma ini begitu nyata, kurasa. Meskipun Mas Tyas bersimpuh memohon di kakiku sebanyak seribu kali atau lebih dari itu, mustahil menerimanya. Jiwa raga dan seluruh cinta sudah kucurahkan kepadanya namun apa yang dia berikan kepadaku? Dusta. Bodoh sekali bukan kalau sampai menjatuhkan diri kembali di jurang curam hatinya? Tidak, tidak! Bahkan ketika Mas Tyas mengatasnamakan Ibu pun aku takkan mudah mempercayainya. Lebih tepatnya tetap akan teguh pendirian. Toh, hubunganku dengan Ibu baik-baik saja. Apa masalahnya? Sampai kapan pun Ibu tetap akan menjadi ibuku, takkan ada yang berubah. "Maaf, Mas Tyas …!" lega sekali rasanya karena bisa mengucapkan kalimat penolakan itu dengan tegas. "Saya tidak bisa. Permisi, anak-anak menunggu saya di rumah." Siapa sangka kalau akan sedramatis ini kejadiannya? Bukannya menjauhkan diri dariku atau bagaimana, Mas Tyas justru memeluk kakiku, menciumnya berkali-kali. Memohon supaya aku kembali. Katanya, "Ampuni aku, Yung. Aku sadar, aku yang salah. A

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-26
  • Berpisah Untuk Bersatu   Berpisah Tanpa Dendam

    "Maaf, Bu …!" hanya itu yang bisa kuucapkan. Rasanya kerongkongan ini tersumpal oleh sesuatu yang begitu berat dan pekat. Lebih menyakitkan dari pada influenza.Pengecut sekali Mas Tyas, melibatkan Ibu dalam masalah ini. Apa, apa itu namanya kalau bukan pengecut? Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Tidak berani menghadapi semua masalah ini sendiri. "Ayung … Maafkan Ibu!" "Ya, Bu. Lagi pula, Ibu nggak ada salah sama Ayung. Ayunglah yang seharusnya minta maaf sama Ibu. Maaf, karena nggak bisa memenuhi permintaan Ibu." Aku mendengar Ibu menghela napas panjang. "Ya, Ibu ngerti, Yung. Bukan perkara mudah untuk kamu bisa kembali bersama Tyas. Masih sakit banget pasti."Di sini aku diam. Mencoba mencerna kata-kata Ibu, satu per satu. Memang tak mudah dan masih sangat sakit. Walaupun sebenarnya rasa cinta itu masih ada tetapi tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Bagiku, menikah dan hidup bersama Mas Tyas adalah kesalahan yang paling fatal. Mengorbankan segala-galanya dalam di

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Berpisah Untuk Bersatu   Jangan Menuruti Emosi Sesaat

    "Karena bagaimanapun, Ayah pernah menjadi orang yang paling penting dalam hidup Mama." aku memilih untuk menjawab dengan jujur dan apa adanya. "Lagi pula, seperti apa pun Ayah adalah ayah kalian. Sampai akhir zaman pun nanti Ayah tetap ayah kalian, kan?" Laut menunduk dalam-dalam, pandangannya lurus terhujam ke lantai ruang keluarga yang wangi bunga lavender. "Satu lagi Mas Laut, kita nggak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, kan? Apa bedanya kita dengan Ayah kalau seperti itu?"Jujur ya jujur, aku merasa munafik saat ini. Bagaimana bisa berkata semanis itu sedangkan dalam hati terasa lebih dari pahit? Oh, benar-benar kemunafikan yang menyiksa!Ugh!Kenapa sih, Mas Tyas harus sejahat itu? "Tapi ini bukan berarti Mama mau balikan lagi sama Ayah kan, Ma?"Pertanyaan Laut sungguh keras menghantam ulu hati. Menyakitkan, menyesakkan. Bukan, bukan karena aku ingin kembali kepada Mas Tyas, tentu saja. Berarti Lautlah yang paling terluka di sini, dengan kandasnya rumah tangga kami.

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-02
  • Berpisah Untuk Bersatu   Ambil Keputusan Terbaik

    Kalau tidak meleset dari target, tiga bulan lagi, rumah baru kami sudah bisa ditempati. Itu artinya aku harus segera menemui pemilik rumah kontrakan. Selain silaturahmi juga memberitahu perihal pemberhentian kontrak. Mungkin ini hal kecil tetapi sangat penting bagiku. Lagi pula, tidak ada salahnya kan, bersikap baik dan menghormati? Toh, semua itu akan kembali kepadaku juga. Ibarat menanam benih bayam, aku juga yang kelak akan memanen."Mas Langit, Mas Laut!" panggilku setengah berseru dari teras. "Tolong ke sini sebentar, Le." Tak sampai satu menit, dua anak shalih penyejuk pandangan itu muncul di hadapanku dengan masing-masing ponsel di tangan. Bukan, mereka bukannya sibuk memandang layar ponsel atau bagaimana. Aku bersyukur walaupun ada beberapa game unduhan di ponsel tetapi mereka masih bisa membagi waktu dengan keluarga dan hal-hal penting lainnya. Sekolah, mengaji, berkeluarga dan bersosial tetapi lucu saja rasanya melihat mereka yang selalu siaga untukku. Lucu sekaligus bangga

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-02

Bab terbaru

  • Berpisah Untuk Bersatu   Ya, Saya Tahu!

    "Pakai nama Mama saja, Ma?" Langit mengusulkan setelah Laut dan Bumi sibuk mencari nama untuk usaha tanaman hias yang akan kami rintis. "Payung Teduh Flowers. Cantik kan, Mama?" Sejenak, Laut dan Bumi saling memandang lalu tos dengan penuh semangat perjuangan. "Setuju berat, Mas Langit. Cantik banget namanya, Payung Teduh Flowers!" Laut memandangku dengan senyum tipis tetapi manis yang khas. Tak mau kalah, Bumi juga mengapresiasi nama yang diusulkan Langit tadi. "Cantik dan viral pasti. Karena kan unik banget namanya."Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Memang cantik, ya? Unik. Semoga juga bisa menjadi magnet berkahnya rezeki. "Oke, Mama juga setuju." lembut tapi tegas aku memungkas acara diskusi kami. "Kalau gitu, Mas Langit sama Mas Laut harus segera cetak banner, ya? Nanti kita buat dulu konsepnya. Mas Bumi bantu Mama memilih bunga apa saja yang akan menjadi icon PTF. Nah, habis itu kita cari grosir tanaman hias. Harus banyak survei nih Le, seka

  • Berpisah Untuk Bersatu   Emanuella Keluarga Selamanya

    Tiga hari berlalu sejak family time yang so sweet, aku sakit. Demam, batuk, pilek parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kata Dokter, aku terlalu lelah dan letih. Butuh beberapa hari untuk istirahat total. Dokter sempat menawarkan rawat inap di rumah sakit tetapi aku menolak, tentu saja. Bukankah istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan? Ya, begitulah dan akhirnya Anak-anaklah yang dengan kompaknya merawat. Lova terlihat senang hati setiap mengambilkan minum atau menemani minum obat. Langit dan Laut, mendapat tugas membersihkan rumah plus mencuci pakaian. Sedangkan Bumi, mencuci piring dan menyiram tanaman setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah. Siapa yang memasak?Koki di rumah makan, hehehehe. Sorry, just kidding! Sebagai koordinator rumah tangga sementara, Langit memutuskan untuk membeli lauk dan sayur saja selama aku sakit. Kalau memasak sendiri, menurutnya terlalu ribet. Untuk nasi, dia yang memasak. Maka, nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"G

  • Berpisah Untuk Bersatu   Roda Terus Berputar

    Aku berusaha mengikuti arahan Bu Bidan tetapi belum berhasil. Sabar, Bapak terus menyemangati dan mendoakan keselamatan kami."Nah, ayo ngeden lagi Mbak, ini kepalanya sudah kelihatan. Yuk, ngeden yang kuat. Terus, terus…!"Aku tidak terlalu ingat, bagaimana akhirnya. Hanya ketika kepala Laut sudah keluar, aku menjerit memanggil Mas Tyas. Mengejan lagi, mengikuti daya kontraksi lalu lahirlah dia, Laut Surgawi. Tidak dapat mendengar lagi kah hati Mas Tyas? Hanya Allah Yang Tahu."Sop iga, bakso rusuk, pecel lele, ikan bakar … Kita mau makan apa, Ma?" Hampir saja aku menyerempet sepeda motor karena terkejut demi mendengar pertanyaan Laut. Wah, semua ini gara-gara Mas Tyas yang tak berperasaan, jahat! "Kalian, mau makan apa?" lega tetapi sedikit geragapan aku membalikkan pertanyaan. "Mama ngikut saja, Le. Eh, tapi kayaknya enak ya, kalau makan sop iga? Sudah lama juga kan, Mama nggak masak …?"Laut mengiyakan lalu memberi tahu kalau rumah makan sop iga sapinya tinggal satu setengah kil

  • Berpisah Untuk Bersatu   Ziarah Cinta Pertama

    "Yuk, turun, anak-anak!" kataku sambil menepikan mobil di perempatan jalan kecil menuju makam Bapak. "Kita parkir di sini saja ya, takutnya Mama nggak bisa atret nanti?"Tanpa berkata-kata, anak-anak mengikuti ajakanku. Langit yang duduk si sebelahku, segera turun sambil menggendong Lova. "Bunganya sudah aku bawa turun, Ma!" lapor Bumi setengah berteriak. "Eh, Mas Laut, tolong bawa air mineralnya!'Kudengar, dengan penuh semangat Laut menyahut, "Siap, Bos!"Entah bagaimana, aku tertawa lirih. Menertawai diri sendiri, Mungkin? Why? Karena belum sempat membahagiakan Bapak semasa hidup. Bahkan, ketika Bapak meninggal dunia pun aku masih dalam keadaan susah. Bukan susah secara ekonomi, tetapi kritisnya hubungan dengan Mas Tyas. Kami sudah benar-benar tenggang, waktu itu, sudah pisah ranjang. Seperti itulah, keadaannya sampai-sampai Mamak dan Limas menghakimi. Bapak terkena serangan jantung karena stressed memikirkan aku. Padahal aku sama sekali tidak memberi tahu Bapak perihal rumah tan

  • Berpisah Untuk Bersatu   Atas Nama Empati

    Apakah ini yang disebut dengan penghalang kebahagiaan? Aku tidak tahu! Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku memilih untuk menyebutnya dengan challenge. Tantangan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kami sudah sampai di samping pintu mobil ketika tiba-tiba air ketuban Ajeng pecah. Byok …! Seperti itulah bunyinya, menciptakan panik. Anehnya, aku hanya bisa tertegun hingga beberapa detik lamanya saat cairan seperti putih telur itu membasahi punggung kaki Ajeng."Yung, aku nggak tahan lagi, Yung!" rintih Ajeng sambil merapatkan rahang. "Bayinya sudah mau lahir, Yung!""Ha, apa?" reflek, aku merespon dan tidak menyesal sedikit pun walau mungkin terkesan bodoh. "Jangan bercanda deh Jeng, sudah mau lahir gimana?"Terengah-engah, Ajeng berusaha memberikan penjelasan. "Serius, Yung. Hah, hah, haaahhh …!" Ajeng mencengkeram pintu mobil, mendobrak kesadaranku."Oke, oke!" kataku berusaha meredam panik. "Oke, tahan sebentar. Tahan sebentar ya, Jeng?" Gemetar, aku merogoh ke dalam saku gami

  • Berpisah Untuk Bersatu   Memilih Sembuh

    Sebenarnya apa salahku? Pada Mamak, Bapak dan Limas, maksudku sehingga mereka begitu membenciku. Karena menikah darurat dengan Mas Tyas? Karena gagal menjadi Sarjana? Karena akhirnya berpisah dengan Mas Tyas yang berarti kegagalan paling besar bagi mereka? Seharusnya mereka tahu tanpa disalahkan, dibenci dan dihakimi pun aku sudah remuk bubuk. Lumat oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang begitu besar, tak tergambarkan. Jelas mereka tidak melihat itu, kan? Jelas, jelas! "Kalau aku jadi kamu ya Mbak, sesakit apa pun nggak akan pernah pisah. Ya ampun, itu kan nyakitin banget buat anak-anak, Mbak. Kasihan juga kan, status mereka jadi anak-anak broken home? Lagian, kenapa dulu kalian pacaran sampai ngawur gitu, coba? Sudah buat malu orangtua eh ujung-ujungnya pisah! Heran deh Mbak, sama kamu!" itu yang dikatakan Limas melalui saluran telepon yang super buruk saat tahu aku sudah berpisah dengan Mas Tyas. Seakan-akan dia yang bertanggung jawab atas hidupku selama ini saja! "Ya,

  • Berpisah Untuk Bersatu   Berdarah Lagi

    "Waduh, waduh yang punya rumah baru sampai cuek bebek sama keluarganya!" seloroh Mamak sambil mengulurkan tangan, menyalamiku. "Tapi kayaknya kami nggak bisa nginep, Yung. Adikmu lagi sibuk banget, banyak kerjaan. Besok malah Mamak nggak ada yang nganterin pulang."Aku merasa, otakku sudah berhenti berputar saat ini, sehingga hanya bisa diam tercenung. Oh, pasti aku terlihat sangat bodoh, sekarang. Bodoh dan lemah, tak punya harga diri. "Lah, kan, Mama bisa nganterin Mbah Mamak pulang?" pertanyaan sekaligus pernyataan Laut memulihkan separuh kekuatanku yang tadi hilang entah ke mana. Separuh lagi, berasal dari Bumi, Langit dan Lova yang tiba-tiba mengerubungi kami. Senyum tulus, sorot mata teduh mereka menyemai rasa tenteram dalam hati. "Sekalian jalan-jalan. Iya kan, Mama?"Reflek, aku mengangguk. Menyuguhkan senyum tulus. Biarlah Mamak atau siapa pun bersikap semau mereka tetapi aku tak boleh goyah. Maksudku, meskipun harus mengorbankan diri sendiri, jangan sampai balas menyakiti.

  • Berpisah Untuk Bersatu   Drama Tangisan Mas Tyas

    Mas Tyas juga datang? Wah, ini baru bencana! Sejujur-jujurnya kukatakan, tak ingin ada dia malam ini dan selanjutnya. Jangan ada Mas Tyas lagi, karena dia hanyalah selembar masa lalu. Masa lalu yang sangat menyakitkan! "Iya, Mas Bumi?"Bumi mengangguk. "Iya, Mama. Kayaknya, kalau aku nggak salah lihat, Ayah bawa buket bunga mawar putih, Ma." Ha, apa? Ck, Mas Tyas pasti sudah terjangkit skizofrenia. Tak bisa lagi membedakan antara khayalan dan kenyataan. Jelas-jelas kami sudah bukan siapa-siapa lagi, kan? "Mama mau temui Ayah?" pertanyaan polos sekaligus tulus dari Bumi mendobrak kesadaranku. "Mau apa nggak, Ma?"Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aku tak sempat lagi menghindar karena Mas Tyas sudah masuk ke ruang keluarga ini, bersama Ibu. Itu terlalu lancang bagiku tetapi sayang, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa berdiri hampa."Selamat ya, Yung?" suara Mas Tyas terdengar gemetar. Entah karena efek dingin dari air conditioner atau karena efek lain salam dirinya. "Maaf,

  • Berpisah Untuk Bersatu   Hambar

    "Ibu …!"Walau sudah berpisah dengan Mas Tyas, aku tak pernah berubah. Sama seperti dulu waktu masih menjadi anak menantu, menyambut dengan sopan lalu bersalaman. Tidak hanya mengecup punggung tangan, aku juga mencium kedua pipinya. "Alhamdulillah, Ayunng senang Ibu bisa datang." ungkapku jujur dan apa adanya ketika Ibu merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. "Ibu sehat kan, Bu?""Sehat Yung, Alhamdulillah." lembut, Ibu melepaskanku dari pelukannya. "Ibu juga senang bisa datang ke sini. Selamat ya Yung, sudah punya rumah baru? Ibu doakan semoga diberkahi Allah semuanya.""Aamiin. Makasih banyak, Bu." Ibu menyimpulkan senyum tulus. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang sejak sore tadi sudah berubah menjadi taman bunga. Hehe. Anak-anak yang memilih tema dekornya. Beberapa ikat balon warni menghiasi sudut-sudut ruangan. Ada juga yang tergantung di langit-langit berplafon putih melati. Konsepnya memang sederhana tetapi terlihat manis dan hangat. Indah."Sama-sama, Ayung."

DMCA.com Protection Status