Rasanya seperti mendapatkan jahitan lima belas di jalan lahir tanpa obat bius begitu menyadari siapa perempuan yang diajak Mas Tyas pulang. Tak salah lagi, dia itu Sari. Iya, Sari. Sahabat dekat aku selain Ajeng dan Dik Puri. Wah, Mas Tyas pasti sudah berstatus sebagai ODGJ, asli. Apa dia tidak tahu kalau Sari itu sahabat dekatku? Lihatlah, tanpa sedikit pun rasa malu mereka begandengan tangan, masuk ke ruang tamu. Oh, mungkin hati kiamat sudah semakin dekat. Mas Tyas bahkan tidak menyapa anak-anak sama sekali. Padahal Lova merangkak cepat untuk menyambutnya, lho. Tapi dia bergeming seolah-olah Lova bukan anak kami.
"Mas, tolong jaga Adek sebentar, ya?" kataku pada anak-anak, "Mama mau ketemu sama Ayah dulu. Ya?"
Langit menarik tanganku, memandang dengan sorot mata penuh kekhawatiran, "Mama yakin?"
Aku mengangguk, memejamkan mata. Membuka mata kembali dan memandangi anak-anak cintaku satu per satu. Yakin. Hatiku sudah yakin dan sekarang juga ha
Kali ini aku benar-benar hancur, berkeping-keping!Mungkin lebih hancur dari pada daratan yang dihujani rudal. Bagaimana tidak? Bukannya menyadari setiap kesalahan yang telah diperbuat, Mas Tyas justeru semakin gila. Bukti nyatanya, Sari. Tak pernah terpikir olehku kalau ternyata dia suka bermain perempuan. Tak sedikit pun terlintas dalam benak, setelah Ratna yang bagiku misterius, masih ada Sari. Aku semakin yakin, dalam tubuh Mas Tyas tak ada sesuatu yang bernama perasaan. Kalaupun ada, berarti perasaannya itu sudah tumpul. Jelas-jelas kami bersahabat dekat, masa Mas Tyas tak tahu? Buta mata hatinya, hanya karena nafsu.Ah, sudahlah!Takkan ada habisnya kalau membahas Mas Tyas dengan segala kegilaannya itu. Bahkan, sampai detik ini---tiga hari pasca kepulangannya bersama Sari---belum menghubungi aku sama sekali. Sungguh, sampai-sampai aku menyimpulkan kalau Mas Tyas sudah kumpul kebo bersama Sari. Apa lagi? Mustahil dia pulang ke rumah Ibu, karena tak ad
Apa, siapa yang jadi pengantin?Siapa yang menikah?Nyaris saja jantungku terlepas dari tempatnya dalam arti yang sesungguhnya, begitu mengalihkan pandangan ke depan. Di sana, di depan rumah Ibu berdiri tenda biru dengan janur melengkung sepaket lengkap dengan kelapa gading dan pisang di kanan kirinya. Ajaib, ini benar-benar ajaib. Sukses membuat otakku konslet dalam sekejap mata. Oh, rasanya aku ingin menjerit-jerit sambil mengacak-acak kerudung seperti orang gila."Udah bubar deh Ma, kayaknya?" seloroh Bumi membulat utuhkan kesadaranku, "Tapi siapa yang jadi manten ya, Ma? Aku ke sana duluan ya Mama, tanya sama Uti?'Sepenuh sadar, aku menahan Bumi. Menarik tangannya sebagai isyarat supaya dia tetap di sini bersamaku, "Mas Bumi, kita barengan saja. Sebentar, Mama parkir motor dulu di depan Masjid, ya? Yuk, temani Mama, yuk?"Sebagaimana yang biasa dia lakukan terhadapku, Bumi patuh. Menjajariku berjalan ke Masjid, tanpa berkata-kata. It
Apakah aku sudah gila?Mungkin. Lebih tepatnya aku tak tahu. Terlalu takut untuk menarik sebuah kesimpulan di sini. Tapi yang jelas, rasa-rasanya aku mengalami perubahan tiga ratus enam puluh derajat dari biasanya. Serius. Banyak berubah tapi tak kuasa untuk mencegahnya. Salah satunya, jadi lebih sensitif dan emosional.Bahkan, kadang-kadang ada kecenderungan untuk temperamental padahal hanya berhadapan dengan hal-hal kecil seperti Lova yang merengek minta jalan-jalan di sekitar rumah. Ya, jujur ya … Kalau sudah seperti itu, aku sampai menggendongnya dengan kasar sambil menggerutu dalam hati. Belum hal-hal yang lain, seperti Bumi yang tak sengaja menumpahkan es tehnya atau Laut yang terlalu banyak menggunakan sampo pada saat keramas. Sudah jelas aku mengomel panjang kali lebar oleh karenanya sampai-sampai Langit menegur dengan mimik wajah canggung. Percayalah, semua itu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Seluruh orang di dunia ini juga t
Sudah lima bulan berlalu dari sejak menikah dengan Sari, Mas Tyas tidak pernah pulang ke rumah. Pernah sekali, itu pun hanya sebentar. Mengambil pakaian, laptop, kamera dan tas kerjanya lalu pergi lagi. Sedihnya, dia pulang saat Lova masih tidur sedangkan mas-masnya sudah berangkat ke sekolah, termasuk langit. Setelah kubujuk mati-matian, akhirnya mau juga dia kembali ke pesantren. Dengan berat hati dan terpaksa, aku membolehkan Laut mengantarkannya dengan berboncengan sepeda motor. Bagaimana lagi? Lova rewel berat waktu itu, tak mau ditinggal sebentar saja. Tak mau lekang dariku walaupun hanya satu detik.Mas Tyas tak banyak bicara denganku waktu itu. Nyaris tak berbicara sama sekali, malah. Tapi aku tak mungkin diam, mumpung dia pulang. Sesakit dan seremuk apa pun hati ini, berusaha untuk mengabaikannya. Demi anak-anak. Mereka jauh lebih penting dari pada setiap rasa pedih yang mendera."Kamu nggak kangen anak-anak, Mas?" tanyaku sambil menjajarinya berdiri di
Berbeda dengan kepulangannya yang dulu, sekitar tiga minggu setelah menikah dengan Sari, kali ini Mas Tyas terlihat lebih baik. Artinya tidak memasang wajah masam, cemberut atau tak peduli lagi. Dia malah tersenyum tipis sambil menatapku sebentar---sekitar tujuh detik---saat aku membukakan pintu ruang tamu. Anehnya, semua sikapnya itu justru menciptakan sebentuk rasa muak yang begitu besar dalam benak. Ingin rasanya memukuli Mas Tyas sampai babak lemur. Tapi tentu saja itu tak pernah terjadi, karena Payung Teduh ini bukan perempuan yang kasar, pada dasarnya."Kamu, Mas?" entah mengapa, pertanyaan itu yang terlontar begitu saja dari mulutku, "Kenapa kamu pulang, Mas? Ada apa?"Mas Tyas menghentikan langkah, persis di depan pintu yang berhadapan dengan tangga ke lantai dua. Memutar tubuh dengan ringan dan melemparkan senyum tipis lagi padaku. Karena masih merasa aneh dengan sikapnya---rasa muak pun masih mengisi benak---aku duduk di kursi kayu ruang tamu. Menguliti
Tidak!Ini tak bisa dibiarkan lagi. Tanpa memberikan isyarat dalam bentuk apa pun sebelumnya, tiba-tiba Langit pulang dari pesantren. Bukan pulang karena liburan tetapi sudah tidak mau kembali belajar di sana lagi. Bukan hanya pakaian, bahkan semua perlengkapannya pun dibawa pulang. Termasuk sandal jepit yang khusus untuk di pesantren.Tolong jangan tanyakan bagaimana perasaanku saat ini! Tak tergambarkan baik dengan kata-kata maupun coretan."Lha, kamu kenapa e Mas Langit?" tanyaku masih dengan kesadaran yang belum penuh, "Ada masalah apa, Mas?"Anak sulungku yang selama ini kugadang-gadang menjadi Ustadz atau Da'i itu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Memejamkan mata rapat-rapat seolah menahan sesuatu yang sangat berat dan menyakitkan. Bibir terkatup rapat dan baru kusadari wajah profesor kecilku itu pucat, berkeringat. Aku yang mati-matian berusaha untuk mengendalikan diri sekarang, jangan sampai menambah beban pikirannya. Takkan ada asap jika t
Di depanku, Limas tertunduk pilu. Bagaimana ya membahasakannya? Sejujur-jujurnya aku sangat terkejut, terpukul dengan berita yang dibawanya sore ini. PAYUNGMAS, perusahaan moover peninggalan Bapak jatuh bangkrut entah mengapa. Menurut versi Limas sih karena ada beberapa klien yang melakukan kecurangan. Mereka hanya membayar DP tapi tidak segera melakukan pelunasan ongkos kirim barang. Ya, aku memang tidak paham apa dan bagaimana sistem operasional di Payung Mas tapi kok, sepertinya aneh? Masa hanya karena perilaku negatif beberapa klien saja, perusahaan bisa sampai kolaps?Ah!Tapi itu tidak penting lagi sekarang. Ada hal yang jauh lebih besar dan penting di atas berita menyedihkan sekaligus memprihatinkan itu. Intinya, Limas menagih hutangku tempo hari. Bukan hanya melanggar kesepakatan, Limas juga mengharuskan aku untuk melunasinya. Sesegera mungkin. Padahal jelas-jelas dia sendiri yang memberikan solusi waktu itu. Untuk pembayaran hutang, dia akan
"Mama mau kerja ke mana e, Ma?" pertanyaan Bumi yang sepolos kanvas mengejutkan sekaligus menapakkanku pada selasar kenyataan, tentu saja, "Jangan jauh-jauh Ma, kerjanya. Nanti kalau aku kangen sama Mama gimana? Terus, kalau Mama capek yang mijitin siapa? Kalau masuk angin juga, Mama nggak bisa kerokan sendiri kan, Ma? Jangan jauh-jauh Ma, kerjanya. Yang deket-deket saja biar aku bisa bantuin Mama."Aku memutar kembali anak kunci sepeda motor ke kiri, demi bisa memperhatikan Bumi dengan lebih sesama. Walaupun dada ini sudah seperti daratan yang kejatuhan bom atom, sih. Oh, mungkin sebentar lagi air mataku akan segera membanjir."Le, Mas Bumi … Mama harus kerja Le, demi masa depan kita." aku berusaha memberikan jawaban yang mudah dicerna oleh akal kanak-kanaknya, "Kalau Mama kerja di dekat-dekat sini, nanti gajinya nggak cukup buat bayar hutang. Belum lagi untuk kebutuhan hidup kita yang lainnya. Sekolah ka---""Aku nggak sekolah juga nggak apa-apa k
"Pakai nama Mama saja, Ma?" Langit mengusulkan setelah Laut dan Bumi sibuk mencari nama untuk usaha tanaman hias yang akan kami rintis. "Payung Teduh Flowers. Cantik kan, Mama?" Sejenak, Laut dan Bumi saling memandang lalu tos dengan penuh semangat perjuangan. "Setuju berat, Mas Langit. Cantik banget namanya, Payung Teduh Flowers!" Laut memandangku dengan senyum tipis tetapi manis yang khas. Tak mau kalah, Bumi juga mengapresiasi nama yang diusulkan Langit tadi. "Cantik dan viral pasti. Karena kan unik banget namanya."Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Memang cantik, ya? Unik. Semoga juga bisa menjadi magnet berkahnya rezeki. "Oke, Mama juga setuju." lembut tapi tegas aku memungkas acara diskusi kami. "Kalau gitu, Mas Langit sama Mas Laut harus segera cetak banner, ya? Nanti kita buat dulu konsepnya. Mas Bumi bantu Mama memilih bunga apa saja yang akan menjadi icon PTF. Nah, habis itu kita cari grosir tanaman hias. Harus banyak survei nih Le, seka
Tiga hari berlalu sejak family time yang so sweet, aku sakit. Demam, batuk, pilek parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kata Dokter, aku terlalu lelah dan letih. Butuh beberapa hari untuk istirahat total. Dokter sempat menawarkan rawat inap di rumah sakit tetapi aku menolak, tentu saja. Bukankah istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan? Ya, begitulah dan akhirnya Anak-anaklah yang dengan kompaknya merawat. Lova terlihat senang hati setiap mengambilkan minum atau menemani minum obat. Langit dan Laut, mendapat tugas membersihkan rumah plus mencuci pakaian. Sedangkan Bumi, mencuci piring dan menyiram tanaman setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah. Siapa yang memasak?Koki di rumah makan, hehehehe. Sorry, just kidding! Sebagai koordinator rumah tangga sementara, Langit memutuskan untuk membeli lauk dan sayur saja selama aku sakit. Kalau memasak sendiri, menurutnya terlalu ribet. Untuk nasi, dia yang memasak. Maka, nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"G
Aku berusaha mengikuti arahan Bu Bidan tetapi belum berhasil. Sabar, Bapak terus menyemangati dan mendoakan keselamatan kami."Nah, ayo ngeden lagi Mbak, ini kepalanya sudah kelihatan. Yuk, ngeden yang kuat. Terus, terus…!"Aku tidak terlalu ingat, bagaimana akhirnya. Hanya ketika kepala Laut sudah keluar, aku menjerit memanggil Mas Tyas. Mengejan lagi, mengikuti daya kontraksi lalu lahirlah dia, Laut Surgawi. Tidak dapat mendengar lagi kah hati Mas Tyas? Hanya Allah Yang Tahu."Sop iga, bakso rusuk, pecel lele, ikan bakar … Kita mau makan apa, Ma?" Hampir saja aku menyerempet sepeda motor karena terkejut demi mendengar pertanyaan Laut. Wah, semua ini gara-gara Mas Tyas yang tak berperasaan, jahat! "Kalian, mau makan apa?" lega tetapi sedikit geragapan aku membalikkan pertanyaan. "Mama ngikut saja, Le. Eh, tapi kayaknya enak ya, kalau makan sop iga? Sudah lama juga kan, Mama nggak masak …?"Laut mengiyakan lalu memberi tahu kalau rumah makan sop iga sapinya tinggal satu setengah kil
"Yuk, turun, anak-anak!" kataku sambil menepikan mobil di perempatan jalan kecil menuju makam Bapak. "Kita parkir di sini saja ya, takutnya Mama nggak bisa atret nanti?"Tanpa berkata-kata, anak-anak mengikuti ajakanku. Langit yang duduk si sebelahku, segera turun sambil menggendong Lova. "Bunganya sudah aku bawa turun, Ma!" lapor Bumi setengah berteriak. "Eh, Mas Laut, tolong bawa air mineralnya!'Kudengar, dengan penuh semangat Laut menyahut, "Siap, Bos!"Entah bagaimana, aku tertawa lirih. Menertawai diri sendiri, Mungkin? Why? Karena belum sempat membahagiakan Bapak semasa hidup. Bahkan, ketika Bapak meninggal dunia pun aku masih dalam keadaan susah. Bukan susah secara ekonomi, tetapi kritisnya hubungan dengan Mas Tyas. Kami sudah benar-benar tenggang, waktu itu, sudah pisah ranjang. Seperti itulah, keadaannya sampai-sampai Mamak dan Limas menghakimi. Bapak terkena serangan jantung karena stressed memikirkan aku. Padahal aku sama sekali tidak memberi tahu Bapak perihal rumah tan
Apakah ini yang disebut dengan penghalang kebahagiaan? Aku tidak tahu! Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku memilih untuk menyebutnya dengan challenge. Tantangan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kami sudah sampai di samping pintu mobil ketika tiba-tiba air ketuban Ajeng pecah. Byok …! Seperti itulah bunyinya, menciptakan panik. Anehnya, aku hanya bisa tertegun hingga beberapa detik lamanya saat cairan seperti putih telur itu membasahi punggung kaki Ajeng."Yung, aku nggak tahan lagi, Yung!" rintih Ajeng sambil merapatkan rahang. "Bayinya sudah mau lahir, Yung!""Ha, apa?" reflek, aku merespon dan tidak menyesal sedikit pun walau mungkin terkesan bodoh. "Jangan bercanda deh Jeng, sudah mau lahir gimana?"Terengah-engah, Ajeng berusaha memberikan penjelasan. "Serius, Yung. Hah, hah, haaahhh …!" Ajeng mencengkeram pintu mobil, mendobrak kesadaranku."Oke, oke!" kataku berusaha meredam panik. "Oke, tahan sebentar. Tahan sebentar ya, Jeng?" Gemetar, aku merogoh ke dalam saku gami
Sebenarnya apa salahku? Pada Mamak, Bapak dan Limas, maksudku sehingga mereka begitu membenciku. Karena menikah darurat dengan Mas Tyas? Karena gagal menjadi Sarjana? Karena akhirnya berpisah dengan Mas Tyas yang berarti kegagalan paling besar bagi mereka? Seharusnya mereka tahu tanpa disalahkan, dibenci dan dihakimi pun aku sudah remuk bubuk. Lumat oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang begitu besar, tak tergambarkan. Jelas mereka tidak melihat itu, kan? Jelas, jelas! "Kalau aku jadi kamu ya Mbak, sesakit apa pun nggak akan pernah pisah. Ya ampun, itu kan nyakitin banget buat anak-anak, Mbak. Kasihan juga kan, status mereka jadi anak-anak broken home? Lagian, kenapa dulu kalian pacaran sampai ngawur gitu, coba? Sudah buat malu orangtua eh ujung-ujungnya pisah! Heran deh Mbak, sama kamu!" itu yang dikatakan Limas melalui saluran telepon yang super buruk saat tahu aku sudah berpisah dengan Mas Tyas. Seakan-akan dia yang bertanggung jawab atas hidupku selama ini saja! "Ya,
"Waduh, waduh yang punya rumah baru sampai cuek bebek sama keluarganya!" seloroh Mamak sambil mengulurkan tangan, menyalamiku. "Tapi kayaknya kami nggak bisa nginep, Yung. Adikmu lagi sibuk banget, banyak kerjaan. Besok malah Mamak nggak ada yang nganterin pulang."Aku merasa, otakku sudah berhenti berputar saat ini, sehingga hanya bisa diam tercenung. Oh, pasti aku terlihat sangat bodoh, sekarang. Bodoh dan lemah, tak punya harga diri. "Lah, kan, Mama bisa nganterin Mbah Mamak pulang?" pertanyaan sekaligus pernyataan Laut memulihkan separuh kekuatanku yang tadi hilang entah ke mana. Separuh lagi, berasal dari Bumi, Langit dan Lova yang tiba-tiba mengerubungi kami. Senyum tulus, sorot mata teduh mereka menyemai rasa tenteram dalam hati. "Sekalian jalan-jalan. Iya kan, Mama?"Reflek, aku mengangguk. Menyuguhkan senyum tulus. Biarlah Mamak atau siapa pun bersikap semau mereka tetapi aku tak boleh goyah. Maksudku, meskipun harus mengorbankan diri sendiri, jangan sampai balas menyakiti.
Mas Tyas juga datang? Wah, ini baru bencana! Sejujur-jujurnya kukatakan, tak ingin ada dia malam ini dan selanjutnya. Jangan ada Mas Tyas lagi, karena dia hanyalah selembar masa lalu. Masa lalu yang sangat menyakitkan! "Iya, Mas Bumi?"Bumi mengangguk. "Iya, Mama. Kayaknya, kalau aku nggak salah lihat, Ayah bawa buket bunga mawar putih, Ma." Ha, apa? Ck, Mas Tyas pasti sudah terjangkit skizofrenia. Tak bisa lagi membedakan antara khayalan dan kenyataan. Jelas-jelas kami sudah bukan siapa-siapa lagi, kan? "Mama mau temui Ayah?" pertanyaan polos sekaligus tulus dari Bumi mendobrak kesadaranku. "Mau apa nggak, Ma?"Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aku tak sempat lagi menghindar karena Mas Tyas sudah masuk ke ruang keluarga ini, bersama Ibu. Itu terlalu lancang bagiku tetapi sayang, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa berdiri hampa."Selamat ya, Yung?" suara Mas Tyas terdengar gemetar. Entah karena efek dingin dari air conditioner atau karena efek lain salam dirinya. "Maaf,
"Ibu …!"Walau sudah berpisah dengan Mas Tyas, aku tak pernah berubah. Sama seperti dulu waktu masih menjadi anak menantu, menyambut dengan sopan lalu bersalaman. Tidak hanya mengecup punggung tangan, aku juga mencium kedua pipinya. "Alhamdulillah, Ayunng senang Ibu bisa datang." ungkapku jujur dan apa adanya ketika Ibu merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. "Ibu sehat kan, Bu?""Sehat Yung, Alhamdulillah." lembut, Ibu melepaskanku dari pelukannya. "Ibu juga senang bisa datang ke sini. Selamat ya Yung, sudah punya rumah baru? Ibu doakan semoga diberkahi Allah semuanya.""Aamiin. Makasih banyak, Bu." Ibu menyimpulkan senyum tulus. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang sejak sore tadi sudah berubah menjadi taman bunga. Hehe. Anak-anak yang memilih tema dekornya. Beberapa ikat balon warni menghiasi sudut-sudut ruangan. Ada juga yang tergantung di langit-langit berplafon putih melati. Konsepnya memang sederhana tetapi terlihat manis dan hangat. Indah."Sama-sama, Ayung."