Share

Cinta Yang Amnesia

last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-27 13:37:19

Sudah lima bulan berlalu dari sejak menikah dengan Sari, Mas Tyas tidak pernah pulang ke rumah. Pernah sekali, itu pun hanya sebentar. Mengambil pakaian, laptop, kamera dan tas kerjanya lalu pergi lagi. Sedihnya, dia pulang saat Lova masih tidur sedangkan mas-masnya sudah berangkat ke sekolah, termasuk langit. Setelah kubujuk mati-matian, akhirnya mau juga dia kembali ke pesantren. Dengan berat hati dan terpaksa, aku membolehkan Laut mengantarkannya dengan berboncengan sepeda motor. Bagaimana lagi? Lova rewel berat waktu itu, tak mau ditinggal sebentar saja. Tak mau lekang dariku walaupun hanya satu detik.

Mas Tyas tak banyak bicara denganku waktu itu. Nyaris tak berbicara sama sekali, malah. Tapi aku tak mungkin diam, mumpung dia pulang. Sesakit dan seremuk apa pun hati ini, berusaha untuk mengabaikannya. Demi anak-anak. Mereka jauh lebih penting dari pada setiap rasa pedih yang mendera. 

"Kamu nggak kangen anak-anak, Mas?" tanyaku sambil menjajarinya berdiri di

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Berpisah Untuk Bersatu   Kepulangan Yang Menyakitkan

    Berbeda dengan kepulangannya yang dulu, sekitar tiga minggu setelah menikah dengan Sari, kali ini Mas Tyas terlihat lebih baik. Artinya tidak memasang wajah masam, cemberut atau tak peduli lagi. Dia malah tersenyum tipis sambil menatapku sebentar---sekitar tujuh detik---saat aku membukakan pintu ruang tamu. Anehnya, semua sikapnya itu justru menciptakan sebentuk rasa muak yang begitu besar dalam benak. Ingin rasanya memukuli Mas Tyas sampai babak lemur. Tapi tentu saja itu tak pernah terjadi, karena Payung Teduh ini bukan perempuan yang kasar, pada dasarnya."Kamu, Mas?" entah mengapa, pertanyaan itu yang terlontar begitu saja dari mulutku, "Kenapa kamu pulang, Mas? Ada apa?"Mas Tyas menghentikan langkah, persis di depan pintu yang berhadapan dengan tangga ke lantai dua. Memutar tubuh dengan ringan dan melemparkan senyum tipis lagi padaku. Karena masih merasa aneh dengan sikapnya---rasa muak pun masih mengisi benak---aku duduk di kursi kayu ruang tamu. Menguliti

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-27
  • Berpisah Untuk Bersatu   Mantan Anak

    Tidak!Ini tak bisa dibiarkan lagi. Tanpa memberikan isyarat dalam bentuk apa pun sebelumnya, tiba-tiba Langit pulang dari pesantren. Bukan pulang karena liburan tetapi sudah tidak mau kembali belajar di sana lagi. Bukan hanya pakaian, bahkan semua perlengkapannya pun dibawa pulang. Termasuk sandal jepit yang khusus untuk di pesantren.Tolong jangan tanyakan bagaimana perasaanku saat ini! Tak tergambarkan baik dengan kata-kata maupun coretan."Lha, kamu kenapa e Mas Langit?" tanyaku masih dengan kesadaran yang belum penuh, "Ada masalah apa, Mas?"Anak sulungku yang selama ini kugadang-gadang menjadi Ustadz atau Da'i itu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Memejamkan mata rapat-rapat seolah menahan sesuatu yang sangat berat dan menyakitkan. Bibir terkatup rapat dan baru kusadari wajah profesor kecilku itu pucat, berkeringat. Aku yang mati-matian berusaha untuk mengendalikan diri sekarang, jangan sampai menambah beban pikirannya. Takkan ada asap jika t

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-27
  • Berpisah Untuk Bersatu   Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

    Di depanku, Limas tertunduk pilu. Bagaimana ya membahasakannya? Sejujur-jujurnya aku sangat terkejut, terpukul dengan berita yang dibawanya sore ini. PAYUNGMAS, perusahaan moover peninggalan Bapak jatuh bangkrut entah mengapa. Menurut versi Limas sih karena ada beberapa klien yang melakukan kecurangan. Mereka hanya membayar DP tapi tidak segera melakukan pelunasan ongkos kirim barang. Ya, aku memang tidak paham apa dan bagaimana sistem operasional di Payung Mas tapi kok, sepertinya aneh? Masa hanya karena perilaku negatif beberapa klien saja, perusahaan bisa sampai kolaps?Ah!Tapi itu tidak penting lagi sekarang. Ada hal yang jauh lebih besar dan penting di atas berita menyedihkan sekaligus memprihatinkan itu. Intinya, Limas menagih hutangku tempo hari. Bukan hanya melanggar kesepakatan, Limas juga mengharuskan aku untuk melunasinya. Sesegera mungkin. Padahal jelas-jelas dia sendiri yang memberikan solusi waktu itu. Untuk pembayaran hutang, dia akan

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-27
  • Berpisah Untuk Bersatu   Semua Karena Terpaksa

    "Mama mau kerja ke mana e, Ma?" pertanyaan Bumi yang sepolos kanvas mengejutkan sekaligus menapakkanku pada selasar kenyataan, tentu saja, "Jangan jauh-jauh Ma, kerjanya. Nanti kalau aku kangen sama Mama gimana? Terus, kalau Mama capek yang mijitin siapa? Kalau masuk angin juga, Mama nggak bisa kerokan sendiri kan, Ma? Jangan jauh-jauh Ma, kerjanya. Yang deket-deket saja biar aku bisa bantuin Mama."Aku memutar kembali anak kunci sepeda motor ke kiri, demi bisa memperhatikan Bumi dengan lebih sesama. Walaupun dada ini sudah seperti daratan yang kejatuhan bom atom, sih. Oh, mungkin sebentar lagi air mataku akan segera membanjir."Le, Mas Bumi … Mama harus kerja Le, demi masa depan kita." aku berusaha memberikan jawaban yang mudah dicerna oleh akal kanak-kanaknya, "Kalau Mama kerja di dekat-dekat sini, nanti gajinya nggak cukup buat bayar hutang. Belum lagi untuk kebutuhan hidup kita yang lainnya. Sekolah ka---""Aku nggak sekolah juga nggak apa-apa k

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-28
  • Berpisah Untuk Bersatu   Jerman, Cerita Baru Kehidupan

    Mau tidak mau, rela tidak rela aku harus melepaskan sepeda motor satu-satunya pada Hero Finance. Ulah jahat siapa lagi kalau bukan Mas Tyas? Dia menggadaikan BPKB sepeda motorku tanpa sepengetahuanku, tentu saja. Ah, bagiku bukan hal yang aneh lagi, bagaimana bisa Mas Tyas bisa mendapatkan tanda tangan seorang Payung Teduh. Iya, kan? Sedangkan memalsukan hati dan segala isinya saja bisa kok, apalagi hal yang berupa tanda tangan!"Mama, Mama!" Bumi duduk selonjor dengan lemasnya di hadapanku, disusul oleh Langit dan Laut yang terlihat emosional.Lova sudah tertidur lelap di pangkuanku. Inilah, untuk pertama kalinya dalam hidupku sebagai seorang ibu aku menumpahkan air mata di depan mereka. Oh, rasanya tak sanggup lagi menahan semua beban. Gemetar sekujur tubuh oleh karenanya."Mama … Gimana ini, Ma?" tanya Laut tersendat-sendat menahan air mata, "Mama nggak punya motor lagi sekarang."Langit yang biasanya diam menyimak keadaan &nbs

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-28
  • Berpisah Untuk Bersatu   Perjuangan Tanpa Batas

    Hampir saja aku membatalkan semuanya. Tidak jadi bekerja di Jerman demi bisa terus hidup bersama anak-anak. Bukankah kebahagiaan terbesar seroang ibu adalah ketika bisa berdekatan dengan anak-anaknya? Tanpa sekat walaupun hanya setebal kain gorden. Tapi bagaimana dengan semua hutangku pada Mbak Kinan? Bagaimana juga dengan perjanjian kerja kami?Ah!Tak mungkin aku menciderai nama baik sendiri. Terlalu bahaya. Lagi pula, hidup bersama dengan hidup berlima itu dua konsep yang berbeda bukan? Kebersamaan kami tetap akan bulat dan utuh, karena kami akan sama-sama berjuang setelah ini. Aku, akan berjuang sekuat jiwa dan raga untuk mencari nafkah hidup. Sedangkan anak-anak akan berjuang sekuat jiwa dan raga untuk menuntut ilmu. Ya, meskipun mereka juga harus belajar untuk lebih mandiri lagi, berani menghadapi kenyataan dan bertanggung jawab. Lebih dewasa dalam berpikir, mengambil sikap dan keputusan. Oh, semoga keberangkatan bekerja di Jerman ini bisa menjadi awal yang

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-28
  • Berpisah Untuk Bersatu   Malam Pertama di Jerman

    Sumpah!Baru kali ini aku menangis hingga tak bersuara. Hanya linangan air mata yang menciptakan sebentuk banjir bandang di hati. Bagaimana tidak? Akhirnya karena keegoisan dan sikap jahat Mas Tyas, aku harus meninggalkan anak-anak sendirian di rumah. Mana, ibu mana yang dengan senang hati melakukannya? Siapa yang rela? Aku yakin tidak ada, kecuali ibu yang sudah kehilangan kewarasan. Kalau tidak percaya, tanyakanlah pada seorang mama bernama Payung Teduh sekarang juga. Dia pasti menjawab dengan kejujuran yang hakiki."Mas Langit, Mas Laut, Mas Bumi … Maafkan Mama, Le!" isakku dalam tangis yang tak kunjung surut, "Maafkan Mama karena terpaksa meninggalkan kalian seperti ini. Oh Le, semua ini Mama lakukan demi kalian, Le. Demi masa depan kita. Oh, ooohhh, Le … Peluk Mama, peluk?"Lova menggeliat sebentar lalu kembali tertidur di sebelahku. Hal kecil yang justru berhasil menyurutkan banjir bandang di hati. Menyusut air mata. Ah, mungkin itulah yang d

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-30
  • Berpisah Untuk Bersatu   Family in Fighting

    Bagaimana akhirnya aku tertidur tadi malam?Maksudku setelah sampai di Jerman dengan perbedaan waktu yang cukup jauh dari Indonesia, dengan jetlag cukup serius. Tidak terlalu bisa mengingat, sih. Tapi sepertinya Mbak Kinan sudah pulang berbelanja di Heidelberg Mall. Kastil juga sudah tidur. Lova terbangun, menangis minta susu lalu aku berlari ke kamar kami yang terletak di samping ruang keluarga. Nah iya, begitu sepertinya. Seperti biasa, aku lebih mudah tertidur saat menemani Lova minum susu dengan botol. Entahlah, sedari dulu memang begitu. Padahal tidak menyusui secara langsung, lho. Hanya ikut berbaring saja di sebelahnya.OK dan inilah perjalanan hidupku yang baru di Jerman. Sudah, aku sudah mengucapkan selamat datang pada diri sendiri dan juga Lova. Selamat berjuang bersama, tetap semangat dan pantang menyerah demi kebahagiaan dan masa depan. Yakin, cerita di Jerman ini hanya sementara. Secuil kecil. Kelak, kami akan kembali pulang. Bersatu lagi dan bersama

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-30

Bab terbaru

  • Berpisah Untuk Bersatu   Ya, Saya Tahu!

    "Pakai nama Mama saja, Ma?" Langit mengusulkan setelah Laut dan Bumi sibuk mencari nama untuk usaha tanaman hias yang akan kami rintis. "Payung Teduh Flowers. Cantik kan, Mama?" Sejenak, Laut dan Bumi saling memandang lalu tos dengan penuh semangat perjuangan. "Setuju berat, Mas Langit. Cantik banget namanya, Payung Teduh Flowers!" Laut memandangku dengan senyum tipis tetapi manis yang khas. Tak mau kalah, Bumi juga mengapresiasi nama yang diusulkan Langit tadi. "Cantik dan viral pasti. Karena kan unik banget namanya."Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Memang cantik, ya? Unik. Semoga juga bisa menjadi magnet berkahnya rezeki. "Oke, Mama juga setuju." lembut tapi tegas aku memungkas acara diskusi kami. "Kalau gitu, Mas Langit sama Mas Laut harus segera cetak banner, ya? Nanti kita buat dulu konsepnya. Mas Bumi bantu Mama memilih bunga apa saja yang akan menjadi icon PTF. Nah, habis itu kita cari grosir tanaman hias. Harus banyak survei nih Le, seka

  • Berpisah Untuk Bersatu   Emanuella Keluarga Selamanya

    Tiga hari berlalu sejak family time yang so sweet, aku sakit. Demam, batuk, pilek parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kata Dokter, aku terlalu lelah dan letih. Butuh beberapa hari untuk istirahat total. Dokter sempat menawarkan rawat inap di rumah sakit tetapi aku menolak, tentu saja. Bukankah istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan? Ya, begitulah dan akhirnya Anak-anaklah yang dengan kompaknya merawat. Lova terlihat senang hati setiap mengambilkan minum atau menemani minum obat. Langit dan Laut, mendapat tugas membersihkan rumah plus mencuci pakaian. Sedangkan Bumi, mencuci piring dan menyiram tanaman setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah. Siapa yang memasak?Koki di rumah makan, hehehehe. Sorry, just kidding! Sebagai koordinator rumah tangga sementara, Langit memutuskan untuk membeli lauk dan sayur saja selama aku sakit. Kalau memasak sendiri, menurutnya terlalu ribet. Untuk nasi, dia yang memasak. Maka, nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"G

  • Berpisah Untuk Bersatu   Roda Terus Berputar

    Aku berusaha mengikuti arahan Bu Bidan tetapi belum berhasil. Sabar, Bapak terus menyemangati dan mendoakan keselamatan kami."Nah, ayo ngeden lagi Mbak, ini kepalanya sudah kelihatan. Yuk, ngeden yang kuat. Terus, terus…!"Aku tidak terlalu ingat, bagaimana akhirnya. Hanya ketika kepala Laut sudah keluar, aku menjerit memanggil Mas Tyas. Mengejan lagi, mengikuti daya kontraksi lalu lahirlah dia, Laut Surgawi. Tidak dapat mendengar lagi kah hati Mas Tyas? Hanya Allah Yang Tahu."Sop iga, bakso rusuk, pecel lele, ikan bakar … Kita mau makan apa, Ma?" Hampir saja aku menyerempet sepeda motor karena terkejut demi mendengar pertanyaan Laut. Wah, semua ini gara-gara Mas Tyas yang tak berperasaan, jahat! "Kalian, mau makan apa?" lega tetapi sedikit geragapan aku membalikkan pertanyaan. "Mama ngikut saja, Le. Eh, tapi kayaknya enak ya, kalau makan sop iga? Sudah lama juga kan, Mama nggak masak …?"Laut mengiyakan lalu memberi tahu kalau rumah makan sop iga sapinya tinggal satu setengah kil

  • Berpisah Untuk Bersatu   Ziarah Cinta Pertama

    "Yuk, turun, anak-anak!" kataku sambil menepikan mobil di perempatan jalan kecil menuju makam Bapak. "Kita parkir di sini saja ya, takutnya Mama nggak bisa atret nanti?"Tanpa berkata-kata, anak-anak mengikuti ajakanku. Langit yang duduk si sebelahku, segera turun sambil menggendong Lova. "Bunganya sudah aku bawa turun, Ma!" lapor Bumi setengah berteriak. "Eh, Mas Laut, tolong bawa air mineralnya!'Kudengar, dengan penuh semangat Laut menyahut, "Siap, Bos!"Entah bagaimana, aku tertawa lirih. Menertawai diri sendiri, Mungkin? Why? Karena belum sempat membahagiakan Bapak semasa hidup. Bahkan, ketika Bapak meninggal dunia pun aku masih dalam keadaan susah. Bukan susah secara ekonomi, tetapi kritisnya hubungan dengan Mas Tyas. Kami sudah benar-benar tenggang, waktu itu, sudah pisah ranjang. Seperti itulah, keadaannya sampai-sampai Mamak dan Limas menghakimi. Bapak terkena serangan jantung karena stressed memikirkan aku. Padahal aku sama sekali tidak memberi tahu Bapak perihal rumah tan

  • Berpisah Untuk Bersatu   Atas Nama Empati

    Apakah ini yang disebut dengan penghalang kebahagiaan? Aku tidak tahu! Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku memilih untuk menyebutnya dengan challenge. Tantangan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kami sudah sampai di samping pintu mobil ketika tiba-tiba air ketuban Ajeng pecah. Byok …! Seperti itulah bunyinya, menciptakan panik. Anehnya, aku hanya bisa tertegun hingga beberapa detik lamanya saat cairan seperti putih telur itu membasahi punggung kaki Ajeng."Yung, aku nggak tahan lagi, Yung!" rintih Ajeng sambil merapatkan rahang. "Bayinya sudah mau lahir, Yung!""Ha, apa?" reflek, aku merespon dan tidak menyesal sedikit pun walau mungkin terkesan bodoh. "Jangan bercanda deh Jeng, sudah mau lahir gimana?"Terengah-engah, Ajeng berusaha memberikan penjelasan. "Serius, Yung. Hah, hah, haaahhh …!" Ajeng mencengkeram pintu mobil, mendobrak kesadaranku."Oke, oke!" kataku berusaha meredam panik. "Oke, tahan sebentar. Tahan sebentar ya, Jeng?" Gemetar, aku merogoh ke dalam saku gami

  • Berpisah Untuk Bersatu   Memilih Sembuh

    Sebenarnya apa salahku? Pada Mamak, Bapak dan Limas, maksudku sehingga mereka begitu membenciku. Karena menikah darurat dengan Mas Tyas? Karena gagal menjadi Sarjana? Karena akhirnya berpisah dengan Mas Tyas yang berarti kegagalan paling besar bagi mereka? Seharusnya mereka tahu tanpa disalahkan, dibenci dan dihakimi pun aku sudah remuk bubuk. Lumat oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang begitu besar, tak tergambarkan. Jelas mereka tidak melihat itu, kan? Jelas, jelas! "Kalau aku jadi kamu ya Mbak, sesakit apa pun nggak akan pernah pisah. Ya ampun, itu kan nyakitin banget buat anak-anak, Mbak. Kasihan juga kan, status mereka jadi anak-anak broken home? Lagian, kenapa dulu kalian pacaran sampai ngawur gitu, coba? Sudah buat malu orangtua eh ujung-ujungnya pisah! Heran deh Mbak, sama kamu!" itu yang dikatakan Limas melalui saluran telepon yang super buruk saat tahu aku sudah berpisah dengan Mas Tyas. Seakan-akan dia yang bertanggung jawab atas hidupku selama ini saja! "Ya,

  • Berpisah Untuk Bersatu   Berdarah Lagi

    "Waduh, waduh yang punya rumah baru sampai cuek bebek sama keluarganya!" seloroh Mamak sambil mengulurkan tangan, menyalamiku. "Tapi kayaknya kami nggak bisa nginep, Yung. Adikmu lagi sibuk banget, banyak kerjaan. Besok malah Mamak nggak ada yang nganterin pulang."Aku merasa, otakku sudah berhenti berputar saat ini, sehingga hanya bisa diam tercenung. Oh, pasti aku terlihat sangat bodoh, sekarang. Bodoh dan lemah, tak punya harga diri. "Lah, kan, Mama bisa nganterin Mbah Mamak pulang?" pertanyaan sekaligus pernyataan Laut memulihkan separuh kekuatanku yang tadi hilang entah ke mana. Separuh lagi, berasal dari Bumi, Langit dan Lova yang tiba-tiba mengerubungi kami. Senyum tulus, sorot mata teduh mereka menyemai rasa tenteram dalam hati. "Sekalian jalan-jalan. Iya kan, Mama?"Reflek, aku mengangguk. Menyuguhkan senyum tulus. Biarlah Mamak atau siapa pun bersikap semau mereka tetapi aku tak boleh goyah. Maksudku, meskipun harus mengorbankan diri sendiri, jangan sampai balas menyakiti.

  • Berpisah Untuk Bersatu   Drama Tangisan Mas Tyas

    Mas Tyas juga datang? Wah, ini baru bencana! Sejujur-jujurnya kukatakan, tak ingin ada dia malam ini dan selanjutnya. Jangan ada Mas Tyas lagi, karena dia hanyalah selembar masa lalu. Masa lalu yang sangat menyakitkan! "Iya, Mas Bumi?"Bumi mengangguk. "Iya, Mama. Kayaknya, kalau aku nggak salah lihat, Ayah bawa buket bunga mawar putih, Ma." Ha, apa? Ck, Mas Tyas pasti sudah terjangkit skizofrenia. Tak bisa lagi membedakan antara khayalan dan kenyataan. Jelas-jelas kami sudah bukan siapa-siapa lagi, kan? "Mama mau temui Ayah?" pertanyaan polos sekaligus tulus dari Bumi mendobrak kesadaranku. "Mau apa nggak, Ma?"Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aku tak sempat lagi menghindar karena Mas Tyas sudah masuk ke ruang keluarga ini, bersama Ibu. Itu terlalu lancang bagiku tetapi sayang, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa berdiri hampa."Selamat ya, Yung?" suara Mas Tyas terdengar gemetar. Entah karena efek dingin dari air conditioner atau karena efek lain salam dirinya. "Maaf,

  • Berpisah Untuk Bersatu   Hambar

    "Ibu …!"Walau sudah berpisah dengan Mas Tyas, aku tak pernah berubah. Sama seperti dulu waktu masih menjadi anak menantu, menyambut dengan sopan lalu bersalaman. Tidak hanya mengecup punggung tangan, aku juga mencium kedua pipinya. "Alhamdulillah, Ayunng senang Ibu bisa datang." ungkapku jujur dan apa adanya ketika Ibu merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. "Ibu sehat kan, Bu?""Sehat Yung, Alhamdulillah." lembut, Ibu melepaskanku dari pelukannya. "Ibu juga senang bisa datang ke sini. Selamat ya Yung, sudah punya rumah baru? Ibu doakan semoga diberkahi Allah semuanya.""Aamiin. Makasih banyak, Bu." Ibu menyimpulkan senyum tulus. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang sejak sore tadi sudah berubah menjadi taman bunga. Hehe. Anak-anak yang memilih tema dekornya. Beberapa ikat balon warni menghiasi sudut-sudut ruangan. Ada juga yang tergantung di langit-langit berplafon putih melati. Konsepnya memang sederhana tetapi terlihat manis dan hangat. Indah."Sama-sama, Ayung."

DMCA.com Protection Status