“Aku tidak mau,” tolakku terang-terangan sambil tersenyum manis
Jadi, setelah menghabiskan banyak waktuku di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkanku untuk pulang ke rumah hari ini dan karena itulah keluargaku-- yang sudah beberapa kali aku tolak kehadirannya-- juga datang untuk menjemputku. Lucunya, mereka mengajakku tinggal bersama mereka selama beberapa waktu ke depan untuk pemulihan ingatanku.
Hoho, tentu saja Evandale Faerie ini akan menolak sekuat tenaga. Mereka pikir aku akan menurut begitu saja setelah mendengar ancaman mereka? Cih, they wish.
“Eve, ada apa denganmu? Kau tidak pernah bersikap tidak sopan seperti ini sebelumnya,” tegur ibuku. Dengan topeng tebalnya itu dia berbicara lembut, berusaha menutupi kebusukannya di hadapan mertuaku yang juga datang menjemput. “Hanya satu minggu, kau keberatan karena mungkin akan merindukan suamimu?” godanya tetapi dengan nada tajam di akhir kalimatnya.
“Hm, sebenarnya ada yang ingin aku lakukan di rumah jadi aku tidak bisa tinggal bersama Ibu dan Ayah. Kalian tidak perlu khawatir, meskipun kemungkinan besar aku akan menyerah untuk berusaha mengingat masa lalu tetapi kita masih bisa membentuk kenangan lain kapan saja. Bukankah begitu?”
Aku sengaja memasang senyum lebar dengan mata yang memancarkan binar ceria supaya kedua orangtuaku ini berhenti memaksa.
“Jadi begini, Yah, Bu,” sela Tanwira-- dia yang tidak peduli tiba-tiba berbicara, membuatku terkejut. “Sebenarnya kami berdua sudah berjanji ingin melakukan sesuatu bersama sejak sebelum Eve mengalami kecelakaan. Karena itu mau tidak mau kami harus menundanya tetapi sekarang akhirnya Eve diperbolehkan untuk pulang jadi jika saya masih harus menunggu satu minggu lagi untuk bisa berduaan dengan istri saya ... rasanya berat sekali.”
Tanwira menatapku, dia tersenyum manis dan terlihat sangat tulus. Mungkin tidak ada yang akan mencurigainya kecuali aku yang sudah tahu apa yang sedang dia coba katakan dibalik tatapan matanya; kau berhutang kepadaku untuk ini.
Karena itu aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Aku menarik lengan Tanwira, memeluknya dan berkata dengan manja, “Kami sudah merindukan satu sama lain. Lagipula Ibu dan Ayah tidak menginginkan cucu?”
Ekspresi syok Tanwira nyaris membuatku tertawa. Kenapa? Bukankah dia yang memulai? Aku ini hanya menyesuaikan.
“Benar, kami bahkan memiliki rencana untuk mengikuti program kehamilan. Iya, ‘kan, sayang?”
Aku mengangguk dengan semangat, kami berdua kemudian saling bertatapan dengan ekspresi penuh cinta-- setidaknya begitu yang akan dilihat oleh orang lain. Padahal dalam hati aku ingin sekali mencakar wajahnya itu dengan sepenuh jiwa.
“Begitu, ya?” sahut ibuku, terdengar kecewa.
Tapi baguslah, dia sepertinya sudah menyerah.
“Kalau begitu Eve bisa mampir ke rumah kapan-kapan,” ujar ayahku kemudian.
“Kami akan menjaga Eve dengan sangat baik, besan,” celetuk mama dengan senyum hangat. “Eve akan baik-baik saja, kami janji.”
“Iya, tentu saja kami percaya kepada besan berdua,” balas ibu, mengeluarkan bisa ularnya. “Maaf kalau mungkin Eve menyusahkan akhir-akhir ini, kami juga berjanji akan mendidiknya dengan lebih baik.”
“Suamiku bisa mendidikku, Ibu,” celetukku, ikut campur. “Jangan khawatir.”
Ibu jelas memberiku tatapan tajamnya tetapi aku tetap tersenyum lebar seakan-akan tidak melakukan kesalahan apapun. Bahkan ketika ibu memelukku dan berbisik mengancamku sebelum benar-benar keluar dari ruangan, aku masih tersenyum lebar.
“Kamu jadi lebih berani sekarang, ya, sampai berakting seperti itu dengan Wira,” ujar papa diselingi oleh senyum bangga. “Padahal dulu kamu tidak pernah mengatakan tidak pada orang lain, terutama pada Ayah dan Ibumu.”
“Iya, sepertinya kita tidak perlu khawatir lagi, Pa,” timpal mama. “Sepertinya mulai sekarang tidak akan ada lagi Evandale yang tiba-tiba pamit jam sebelas malam hanya karena keluarganya memintanya untuk datang. Dulu Mama pikir ada yang sakit parah atau meninggal, tahu-tahunya sepupu Eve butuh uang. Ada-ada saja.”
Huh? Apa Evandale Humeera sepenurut itu?
“Dia ini memang sangat bodoh, Pa, Ma,” ejek Tanwira. Dia menatapku tanpa ekspresi dan mendengus. “Mau-mau saja dibodohi oleh keluarga sendiri. Kau tahu kalau sebenarnya aku menyelamatkanmu dari keluarga itu, bukan? Berterima kasihlah kepadaku dan berhenti menuruti seluruh keinginan keluargamu.”
“Kau ingin bertengkar denganku, ya?” Aku melotot, mengambil tongkat yang diletakkan di sebelahku dan memukul betisnya dengan alat itu. Aku sangat yakin dia merasa kesakitan, sayangnya wajah Tanwira mengatakan sebaliknya. “Kau menahannya, ‘kan? Kau sebenarnya ingin mengaduh kesakitan dan menangis, bukan? Lakukan saja, jangan bersikap sok kuat dengan menahannya.”
“Apa?” Tanwira maju, wajahnya hanya berjarak kurang dari sepuluh cm di hadapanku. “Kau pikir aku akan mengalah begitu saja karena kau baru sembuh?”
“Aku sembuh?” Aku menunjuk diriku sendiri, suaraku meninggi. “Kau tidak bisa melihat kalau aku masih membutuhkan bantuan tongkat ini untuk berjalan? Kau tidak lihat bekas jahitan di kepala dan perutku?”
“Kau sudah lebih dari sekedar sembuh, mulutmu lebih sehat daripada mulut siapapun di rumah sakit ini!”
Aku terpana dengan kegigihannya, dia benar-benar tidak mengalah. “Kau ini benar-benar mengajakku bertengkar, ya? Bagaimana kau bisa-- hei! Hei! Aaaa perutku!”
Dia mengangkat tubuhku dengan sebelah tangannya, menyebabkan tertekannya perutku dan hal itu nyaris membuatku menangis. Tidak hanya itu, hal yang lebih gila lagi adalah kepalaku yang juga ikut-ikutan pusing. Beruntunglah ada papa dan mama yang langsung memukul putra mereka sendiri, meminta Tanwira menurunkanku dan memanggil dokter.
“Lukanya yang dijahit bahkan sudah membaik dan aku tidak--”
“Lalu kau bebas memperlakukan istrimu seperti itu hanya karena luka jahitannya sudah membaik?” potong mama tajam, bahkan melotot pada Tanwira. “Bagaimana jika terjadi sesuatu? Kau akan bertanggungjawab?”
“Dia baik-baik-- sudahlah.” Dia mengalah dan ikut berlutut untuk melihat bekas jahitan di perutku. Melihat kepalanya itu membuat keinginan untuk memukulnya timbul dan aku melakukannya tanpa ditahan-tahan. Aku memukul kepalanya sampai terdengar bunyi yang sangat indah di telingaku.
Huh, rasakan itu!
Tanwira menyentuh kepalanya, mendongak dan menggertakkan giginya. “Apa yang ka--“
“Ada apa?” tanya dr. Effendi yang baru saja datang dan tanpa sengaja memotong geraman Tanwira. “Saya sudah dalam perjalanan ke sini tetapi Tuan Rendra menelepon katanya Nona Evandale kesakitan. Apa ada masalah?”
Papa yang menjelaskan bagaimana Tanwira menggendongku, aku yang merengek kesakitan, mama yang langsung panik dan semuanya. Ya, semuanya, termasuk aku yang memukul kepala suamiku sendiri juga papa ceritakan sambil tertawa pelan.
“Mari saya lihat!” kata dr. Effendi ramah, dia tersenyum ketika menyadari aku tidak memberi perhatian sama sekali karena sibuk berperang melalui tatapan mata dengan Tanwira.
“Bagaimana, dok?” tanya mama khawatir.
“Tidak ada masalah,” jawab dr. Effendi. “Nona Evandale?”
“Ya?” sahutku, agak terkejut.
“Apakah masih terasa sakit?”
“Huh? Oh, tidak.” Aku tersenyum tipis. “Saya sudah baik-baik saja.”
Terdengar decakan seseorang dan aku langsung menoleh untuk menemukan pelakunya. Ekspresi dingin Tanwira langsung tertangkap mataku dan membuatku mengangkat alisku ketika dia mulai menyindir, “Kenapa menyerah menjadi aktris jika kemampuan aktingmu masih baik?”
“WOAH!” seruku tiba-tiba. Mataku membelalak dan kedua tanganku menutup mulutku, terlalu bersemangat sampai mengabaikan keterkejutan semua orang yang mendengar seruan nyaringku. “AKTRIS? Evandale Humeera pernah menjadi seorang aktris?”
Kalian masih ingat tebakanku saat aku pertama kali bertemu Evandale Humeera di pintu kafe? Aku menduga bahwa dia seorang artis karena wajah cantiknya yang tidak bisa dilupakan begitu saja dan ... dan dugaanku benar! Hahaha.
“Eve? Kamu baik-baik saja?” tanya mama, dia menyentuh bahuku untuk menenangkan. “Ada apa, Nak?”
Kekhawatiran mama itulah yang membuatku tersadar sehingga aku langsung meminta maaf. Aku berpura-pura tenang dengan mengatakan kalau aku terkejut dengan apa yang aku kerjakan di masa lalu dan semuanya percaya begitu saja, kecuali Tanwira.
Suami tubuh ini menatapku curiga dan aku sudah takut kalau dia kembali melontarkan pertanyaan tidak terduga. Tetapi ternyata Tanwira tidak mengatakan apapun bahkan sampai kami masuk ke dalam mobil di mana papa yang menyetir.
“Kamu benar baik-baik saja, Eve?” tanya papa begitu Tanwira selesai membantuku memasang sabuk pengaman. “Kenapa wajah kamu pucat seperti itu?”
“Tidak apa-apa, Pa.” Tanwira yang menjawab, dia melirikku tajam. “Bukankah begitu?”
Aku mengepalkan tanganku, menyadari betapa sulitnya menjadi seseorang yang tidak pernah aku kenal sebelumnya dan ini menjadi dua kali lipat lebih sulit dengan memiliki seorang suami yang terlalu cerdas dan mudah curiga.
“Y-ya, Pa. Aku baik-baik saja.”
Bohong, Pa, aku sedang tidak baik-baik saja.
***
Keheningan panjang yang aku lalui selama di perjalanan masih berlanjut sampai ketika aku ditinggal berdua saja dengan Tanwira di dalam kamar. Aku mulai merasa panas dingin sementara suamiku itu terlihat enggan memulai percakapan terlebih dahulu.Jujur saja, aku pikir dia akan langsung memberondongiku dengan pertanyaan atau apapun itu. Nyatanya dia sepertinya gengsi bahkan hanya untuk menyapaku terlebih dahulu.“Kenapa ada dua kasur di sini?” tanyaku, memilih mengalah dengan memulai terlebih dahulu. Dia sekarang sedang berdiri sementara aku duduk di atas kasur. “Kita tidak tidur di ranjang yang sama? Apa ini benar tempat tidurku?” tanyaku lagi.Dia melihatku-- tidak, lebih tepatnya dia menatapku. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepalanya tetapi dia terlihat seperti sedang mencari sesuatu yang tidak aku ketahui apa itu.Dengan tangan yang memainkan tongkat, aku bertanya, “Kenapa
Aku pernah bermimpi menjadi wanita karir yang sukses, datang ke makam kedua orang itu dengan penampilan elegan dan berharap mereka akan menyesal karena sudah meninggalkanku sendirian.Saat itu aku benar-benar ingin membalas dendam sampai lupa bahwa mereka sudah tidak ada di dunia, bahwa aku tidak lagi bisa melihat mereka dan satu-satunya ingatan yang masih jelas di kepalaku hanyalah dua pasang kaki yang bergelantungan.Selama ini aku ditemani ingatan menyedihkan itu lalu suara yang entah berasal dari mana ini sukses membuat napasku tercekat ketika dia melempar ingatanku kepada kejadian hari itu, membuatku berteriak putus asa di dalam hati sampai pertolongan Tuhan datang menghampiri.Tanwira mengguncang pelan bahuku. “Evandale? Apa yang kau lakukan di lantai? Jatuh?” tanyanya tetapi aku tidak kunjung menjawabnya sampai dia harus mengulangi pertanyaannya sekali lagi dan menyadarkanku yang masih terpengaruh oleh kejadian tadi.
Setiap kali tatapanku bertemu dengan Tanwira, sebisa mungkin aku menghindarinya. Akhirnya, dia sibuk dengan laptop miliknya dan aku sibuk berguling-guling pelan di kasurku sambil bertanya-tanya di dalam hati terkait kehidupan suami-istri yang sedang kami jalani.Tentang Evandale Humeera yang merelakan semua miliknya untuk menjadi milikku. Tentang Tanwira Tarachandra yang terlihat tidak acuh di luar tetapi peduli di dalam, lalu tentang diriku yang sepertinya harus belajar banyak hal.“Memangnya tidak ada yang bertanya kenapa ada dua kasur di sini?” bisikku dalam hati. “Mereka ini saling membenci atau mencintai?”“Mereka?”Lesatan pertanyaan penuh nada kecurigaan itu menembus telingaku, membuatku mendesah lelah karena ternyata sudah menyuarakan pikiranku tanpa sadar. Aku tidak pernah seceroboh ini sebelumnya tetapi beginilah …“Kata mereka yang kau maksud itu ditujukan kepada ak
“Jangan berbicara dengannya,” tekan Tanwira lagi, untuk kesekian kali. “Aku tidak menyukainya dan kau yang dulu juga selalu menghindarinya.”Aku masih mendongak menatapnya, kebingungan. “Kenapa?” tanyaku penasaran, lalu menambahkan. “Kenapa kau tidak menyukainya?”Tetapi Tanwira tetaplah Tanwira. Dia tidak menjelaskan lebih dan kalau saja aku tidak menahan lengannya, dia pasti sudah melenggang pergi begitu saja.“Aku akan bertemu dengan dia beberapa hari lagi,” ucapku, mengingatkan Tanwira tentang kakaknya yang akan kembali. “Kau masih tidak ingin menjelaskan kepadaku apa maksud pernyataanmu tadi?”Dia menatapku tidak suka lalu berkata, “Kau cukup menghindar saja, apa kau tidak bisa melakukannya?”“Kenapa aku harus menghindarinya?” tanyaku frustasi. “Dengar, aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi diantara aku dan dia lalu kau menyuruhku untuk mengh
“Oh, pemandangan dari sini bagus sekali. Bukankah begitu, Eve?”Aneska Fayyana—satu-satunya sepupu yang Evandale Humeera punya—ikut datang bersama ayah dan ibu. Aku tidak tahu bagaimana dia tetapi aku langsung tidak menyukainya begitu dia mendahuluiku untuk duduk di sebalah mama mertuaku.Aku mengarahkan tongkatku pada kaki kursi yang didudukinya, memukul pelan sehingga menimbulkan bunyi yang menyita perhatian.“Jangan duduk di sebelah mama mertuaku,” kataku dingin. “Kau ingin membunuh indera penciuman Mamaku dengan wangi parfummu? Menyingkir!”Bagi sebagian orang sikapku mungkin tidak sopan, tetapi baru tadi siang mama memberitahuku bahwa ia terlalu sensitif terhadap wangi-wangian dan bahkan sudah tidak memakai parfum sejak menginjak usia dua puluh tahun.“Evandale!” tegur ibu. “Kenapa kau membuat suasana menjadi canggung?! Apa salahnya jika Kakakmu duduk di situ?”&ldq
Dia yang terlihat tidak peduli dan bahkan memerintahkanku untuk berjalan lebih cepat meskipun jelas aku kesusahan dengan isyarat matanya itu ternyata memiliki rasa perhatian yang cukup untuk istrinya.“Kau yang berjalan terlalu cepat!” keluhku pada Tanwira yang sudah masuk ke dalam lift terlebih dahulu. “Setidaknya tahan pintunya untukku!”“Kau saja yang lambat,” balasnya tidak mau kalah.Aku melirik tajam ke arahnya, mendengus. “Kau tidak lihat tongkatku?” sarkasku. “Apa orang yang menjadikan benda ini sebagai bantuan bisa berlari?”“Siapa yang menyuruhmu berlari?” sindirnya balik dengan nada datar. Dia diam sejenak sebelum kemudian aku mendengar helaan napas beratnya. “Lagipula ada apa denganmu sampai-sampai melupakan semuanya? Kau hampir mati 'lagi' hari ini.”“Mana aku tahu kalau tubuh ini—” Aku langsung memotong ucapanku sendiri, menahan kesal
“Eve baik-baik saja, besan tidak perlu khawatir.”Ketika aku dan Tanwira berjalan beriringan mendekat ke arah ruang keluarga, kalimat mama mertuaku adalah yang pertama kali aku dengar. Dia selalu memujiku.“Oh!” Mama tersenyum lebar ketika melihatku datang. “Kalian berdua sudah selesai makan? Ayo duduk!”Ketika Tanwira hendak duduk di samping papa mertua, aku langsung menarik kemeja belakangnya pelan, memberinya isyarat untuk duduk di sampingku tanpa berbicara.“Tumben akur,” goda papa mertuaku dengan senyum lucu di wajahnya. “Sepertinya kita akan mendapatkan cucu dalam waktu dekat jika kedepannya mereka semakin ‘dekat’ seperti sekarang,” tambahnya kemudian yang berhasil membuat kedua orang tua Evandale Humeera tertawa. Sedikit canggung memang, tetapi sepertinya mereka juga bahagia.Hah, aku sebenarnya sudah tahu otak-otak seperti mereka yang menganggap anaknya sebagai mesin pe
Bisa menebak apa yang terjadi setelah keluargaku pergi? Ya, aku dan Tanwira disidang terlebih dahulu dan dilarang kembali ke kamar oleh mama dan papa.“Eve jangan tiru suami kamu, ya?!” tegur mama sambil menyentuh tanganku lembut. “Mama senang kamu bisa lebih terbuka sekarang, bahasa kamu memang lebih halus daripada suami kamu ini tetapi jangan dikeluarkan semua ya, Nak!”Aku mengangguk. “Iya, Ma. Maaf.”“Tidak perlu meminta maaf,” sahut papa. “Yang salah itu suami kamu, dia suka sekali memancing amarah orang lain dengan mulutnya itu.” Papa menggeleng-gelengkan kepalanya, sekarang dia menatap Tanwira. “Lupakan masalah tadi, hanya saja setelah Rindra kembali beberapa hari lagi, Papa tidak mau ada pertengkaran di rumah ini. Mengerti, Wira?!”Menyenggol Tanwira, aku menyuruhnya untuk menjawab papa tetapi dia hanya menatapku datar.“Wira? Kenapa menatap Evandale dan bukannya
Sebenarnya suasana hatiku juga berubah menjadi tidak baik setelah mendengar nama Lyssan disebut. Aku yang kesal langsung mengirim pesan kepada Tanwira bahwa aku akan menendang bokongnya jika sampai dia mematikan telepon, tetapi kalian tahu apa yang dia lakukan setelah membaca pesan yang aku kirimkan? Ya, dia tetap mematikan sambungan telepon dan membuat aku uring-uringan di kamar.Demi Tuhan, ini sangat menjengkelkan.Sepuluh menit telah berlalu sejak Wira memutuskan sambungan telepon kami dan dia belum juga menghubungiku kembali hanya untuk sekadar mengabari apakah Lyssan sudah pergi atau belum, apakah dia benar-benar akan pulang atau tidak. Wira seperti menghilang, entah karena dia sibuk berbicara dengan mantan tunangannya itu atau bagaimana, aku enggan untuk menebak-nebak.Tetapi tebak, ya … aku tetap mencoba menebak-nebak.“Apa yang sebenarnya mereka berdua bicarakan? Lalu apa? Tentang diriku?” Aku meninju bantal berkali-kali, tiba-tiba merasa bersyukur karena dulu aku tidak memil
Aku berjalan di taman samping rumah bersama kakek, tertawa bersama setelah kakek mengatakan kalau selera humorku menjadi lebih bagus dan aku tidak lagi kaku seperti sebelum-sebelumnya. Kakek juga mengatakan kalau dia sangat merindukanku dan tidak bisa tidur dengan tenang ketika mendapat kabar tentang kecelakaanku.“Kakimu benar-benar sudah membaik, Eve?”Anggukanku membuat kakek kembali tersenyum.“Kau terlihat lebih ceria. Tanwira memperlakukanmu dengan sangat baik, ya?” Kakek menatapku, terkekeh pelan. “Aku benar-benar tidak menyetujui permintaaanmu di masa lalu ketika kau lebih memilih Wira daripada Rindra. Tetapi kemudian kau mengancamku, kau bilang kalau kau tidak ingin menjadi menantu keluarga ini jika bukan Tanwira yang menjadi suamimu. Malam itu ... semuanya menjadi kacau, suamimu dan juga Rindra ... mereka bertengkar, saling memukul satu sama lain.”Sebenarnya cerita ini sudah pernah aku dengar, tetapi aku ingin mendengar juga dari kakek. Selama ini semua orang tidak mencerit
Jam empat pagi aku terbangun dan mendapati diriku berada dalam pelukan hangat Tanwira. Dia memelukku dengan erat namun lembut. Tangannya merengkuhku sementara kakinya mengunciku. Aku benar-benar merasakan jiwa kepemilikan dari Tanwira hanya dengan melihat bagaimana dia memperlakukanku, dia ini memang memiliki jiwa posesif dan aku menyukainya.Hanya saja, meskipun aku sudah buang air kecil segera setelah percintaan kami, aku merasa kandung kemihku kembali penuh sehingga aku harus pergi ke kamar mandi.“Wira ...” Aku memanggil namanya, pelan. “Wira, aku mau ke kamar mandi.”Tanwira menggeliat, tidak butuh waktu lama untuk dia membuka mata dan menatapku dengan manis. Suamiku ini hanya diam selama beberapa detik sebelum melepas pelukannya. “Mau buang air kecil?” tanyanya.“Iya,” sahutku yang perlahan beringsut. Sejenak aku berhenti bergerak, menyadari bahwa aku tidak memakai satu helai kainpun untuk menutupi tubuhku. “Ke mana kau melempar pakaianku?”“Hm? Kau membutuhkannya?” Wira bergera
Aku menunggu Tanwira yang sedang berbicara empat mata bersama kakek di dalam kamar. Bisa saja dia muncul dengan wajah datar, sedih atau bahkan dengan senyum bahagia, tetapi aku merasa kalau aku harus menunggunya. Sadar bahwa selama ini mungkin Tanwira hanya memiliki Evandale Humeera sebagai sandaran, tetapi mereka tidak bisa sedekat itu karena gengsi? Entahlah, yang pasti menurutku pasangan suami istri ini menyayangi satu sama lain dengan cara yang tidak biasa.“Hei!” sapaku begitu mendengar pintu terbuka dan Tanwira masuk. Sesuai dengan tebakanku, wajahnya menampilkan ekspresi datar andalannya. Ah, aku menganggap wajah datarnya sebagai ekspresi karena sangat jarang sekali aku melihatnya tersenyum. Biasanya dia hanya melakukan itu untuk sekadar akting atau ketika dia berhasil menjahiliku saja. “Semuanya berjalan dengan baik? Kakek tidak mengatakan hal yang membuatmu sakit hati, bukan?”Suamiku itu hanya menggelengkan kepala dan berjalan menghampiriku yang duduk di sofa. Dia duduk di s
Manusia adalah makhluk sederhana dengan pemikiran yang sangat rumit. Mereka memikirkan banyak hal, membiarkan suara berisik di dalam kepalanya mengendalikan mereka sampai di satu titik di mana otak mereka tidak bisa berpikir jernih. Insecurity, anxiety, ada banyak kata yang sulit dipahami keluar dengan sendirinya. Membuat mereka semakin terlihat lemah dan kalah.“Apa yang sedang kau tulis?” Tanwira mengambil tempat duduk di sebelahku. Dia baru saja selesai membersihkan diri dan berganti baju. “Ah, kau tidak bersiap-siap? Mama dan Papa bahkan sudah menjemput Kakek di bandara, kau tidak mau menyambutnya?”“Aku tentu harus menyambutnya.” Aku menutup laptop yang aku gunakan untuk menyalurkan perasaanku. “Pakaian apa yang harus aku gunakan untuk bertemu Kakek malam ini? Jika kau memiliki ide, aku akan menerimanya dengan sangat baik.”“Pakai saja apapun yang membuatmu nyaman, kau bahkan bisa keluar dengan pakaianmu yang sekarang.” Wira membaringkan tubuhnya di sofa, dia juga memeluk bantal
Sepanjang perjalanan, Wira tampak gelisah. Dia awalnya ingin menyetir sendiri tetapi aku mengatakan padanya kalau aku belum ingin mati kalau-kalau dia melamun di perjalanan. Jadilah, kami berdua meminta bantuan orang kepercayaan Wira untuk mengantar kami berdua pulang.“Kakekmu ... orang seperti apa?” tanyaku, memecah keheningan. Aku ingin tahu seperti apa orang yang akan aku hadapi untuk memberikan reaksi yang bagus. “Apa beliau yang menjodohkanmu dengan Lyssan? Apa beliau juga teman Tuan Jayana yang kita temui di pesta kakak ipar?”Wira mengangguk. “Hm. Perjodohan yang kakek atur berantakan karena aku membawamu sebagai calon istriku. Kakek tidak bisa mengatakan tidak karena beliau sangat menginginkanmu menjadi menantu keluarga besar—yah, meskipun awalnya beliau berniat menjodohkanmu dengan Rindra. Dulu ... kau mengatakan kepada kakek kalau kau tidak mau menjadi cucu menantu kakek jika orang yang menjadi suamimu bukan aku.”“Apa itu juga termasuk ke dalam kesepakatan yang kita berdua
Wira terus melirikku sejak kami duduk untuk makan bersama di ruangannya. Dia mungkin merasa heran karena aku tidak banyak bicara seperti biasanya. Selain itu, aku hanya makan sedikit meskipun sebenarnya makanan kantin di perusahaan suamiku ini cukup enak.“Aku baik-baik saja, jadi berhenti menatapku seperti itu,” ucapku dengan nada kesal.Tiba-tiba aku terbawa suasana gara-gara makhluk yang tidak aku ketahui berasal dari mana itu. Aku jadi sangat kesal karena dia terus-menerus mengungkit tentang takdirku ketika aku sendiri tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Maksudku ... Humeera yang menawarkan diri untuk bertukar nasib denganku, lalu kenapa aku juga disalahkan?“Seharusnya aku yang kesal. Aku hanya meminta roti tawar dan kopi, tetapi kenapa ada banyak makanan di sini?” Wira berdecak. “Selain itu, kau bahkan hanya makan tiga sendok sejak tadi. Kau yang membeli semua ini, jadi habiskan dan jangan menghambur-hamburkan uang.”Menatap tajam ke arah Wira, suasana hatiku semakin b
“Ini!” Wira meletakkan dua buah buku yang membahas tentang pengembangan bisnis di hadapanku. “Kau bilang kau ingin membacanya.”Aku mengambil dua buku itu, membaca judulnya dan tersenyum kecil. Sebenarnya aku sudah membaca dua buku ini—tentu saja aku hanya meminjam milik pelangganku yang kebetulan mengambil jurusan ekonomi bisnis. Aku tidak memiliki uang untuk membeli buku salinan aslinya, jadi kebanyakan buku yang aku baca adalah buku hasil pinjaman atau buku yang aku beli dengan harga murah.“Kelihatannya kau sudah membaca buku ini berulang kali,” ujarku sembari menatap Wira yang kembali duduk di meja kerjanya. “Bahkan di dalam kamar kita juga ada banyak sekali buku, padahal di rumah sudah ada perpustakaan pribadi. Kau juga gemar membaca, ya?”Wira mendengus. “Begitulah,” jawabnya acuh tak acuh.Jadi ya, aku sudah sampai di kantor suamiku. Seperti katanya, begitu aku menginjakkan kaki di perusahaan ini, sudah ada perempuan yang memperkenalkan diri sebagai sekretaris Tanwira. Selain
Sebenarnya ada yang mengganggu pikiranku.Seperti yang aku katakan, aku memiliki sebuah kalung yang entah bagaimana bisa berada di tangan mantan bos di tempatku bekerja dulu. Anehnya, aku bahkan tidak mengetahui nama ataupun bertemu pemilik kafe tempatku bekerja itu. Awalnya aku hanya tahu kalau pemiliknya adalah perempuan, tetapi sepertinya yang mengambil kalungku adalah laki-laki.Saat aku tenggelam dalam pikiranku, sebuah mug berisikan susu hangat diletakkan di hadapanku. Kepalaku otomatis mendongak dan aku menemukan Rindra sedang menatapku.“Apa yang kau pikirkan sampai ekspresimu terlihat sangat serius seperti itu?” tanyanya.Apa aku perlu menjawab pertanyaannya? Jika aku berbicara panjang lebar dengan Rindra, Wira pasti akan menatapku kesal—tidak, dia pasti akan marah dan mulai menasihatiku untuk menjauh dari Rindra.“Beberapa hal,” sahutku demi kesopanan.“Oh, aku pikir kau dan Wira sedang ada masalah.”Alis kananku terangkat. Bagaimana bisa kepalanya diisi prasangka buruk terh