Kapan terakhir kali aku merasa gelisah tidak karuan? Aku lupa. Apakah itu saat aku menyadari kalau aku sudah mati? Atau saat aku pulang malam dan diikuti oleh orang mabuk? Atau saat aku harus menahan lapar karena tidak memiliki uang sama sekali?
Yang pasti, aku kembali merasakan kegelisahan itu saat ini.
“Kenapa tidak menjawab?” Suara Tanwira semakin membuatku gelisah. Apalagi dengan nada dingin dan menusuknya, dia membuatku kesusahan membuka suara.
“Y-ya,” jawabku tercekat. Aku berdehem untuk mengontrol suaraku dan kembali memperjelas, “Tentu saja aku Evandale Humeera. Apa yang kau pikirkan sampai-sampai mempertanyakan hal konyol seperti itu? Cih ....”
Di bawah tatapan mengintimidasinya, aku yang sudah seperti seekor kelinci yang berhadapan dengan singa hanya bisa menahan diri untuk tidak menangis saat itu juga. Aku adalah wanita kuat, aku tidak pernah menangis karena merasa terintimidasi sebelumnya ... ya, setidaknya begitulah aku dulunya.
“Jika itu hanyalah pertanyaan konyol, kenapa kau sampai gugup seperti itu?” balasnya lagi, jelas tidak mau kalah. “Bahkan nada suaramu sampai naik,” tambahnya.
Tanwira kemudian berdiri, menjauh dari ranjangku dan duduk di sofa dengan tenang. Melihat itu, sebuah pikiran langsung terlintas di benakku bahwasannya mungkin saja Tuhan menciptakan wajah setampan itu untuk menutupi betapa busuknya mulut pria itu.
“Keluargamu tidak akan menyukai perubahan sikapmu itu,” katanya tiba-tiba. Dia kembali menatapku. “Tetapi sebaliknya, keluargaku pasti menyukai sifat barumu itu jadi pertahankan saja.”
“Bagaimana denganmu?” Aku jelas tidak bisa menahan diriku untuk bertanya sampai aku sadar bahwa itu adalah pertanyaan sia-sia.
Dia menaikkan sebelah alisnya, sudut bibir sebelah kanannya terangkat sedikit sebelum menjawab, “Aku tidak peduli.” Begitu katanya dan dia langsung memalingkan wajah dan menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, menganggap lucu pertanyaan yang aku lontarkan.
Ingin rasanya aku tarik bibirnya itu lalu aku buang ke lautan dalam agar menjadi santapan ikan. Aku memang beruntung karena dia tidak mengejarku dengan pertanyaan yang dia lontarkan sebelumnya tetapi respon acuh tak acuhnya ini ... entah bagaimana mampu membuat hatiku mencelos.
Apa percakapan antara suami-istri memang seperti ini?
Apa mungkin Evandale Humeera memilih menyerah atas hidupnya karena laki-laki yang dia cintai bersikap tidak peduli kepadanya? Jika begitu--
Aku memukul pipiku dua kali. “Sshhhtt, diamlah, Eve! Berhenti menulis novel di kepalamu!” batinku. Hah, rasanya aku diberikan kesempatan kembali hanya untuk menjadi wanita bodoh.
Mencoba untuk menyadarkan diriku sendiri, aku memanggil suamiku. “Tanwira?” panggilku.
Dia menoleh.
“Bagaimana dengan wanita yang menolongku saat kecelakaan itu?” Aku menanyakan tentang diriku sendiri hanya karena penasaran dengan jawaban dari suami Evandale Humeera ini. “Apakah dia baik-baik saja? Aku ingin bertemu dan menyampaikan terima kasihku kepadanya.”
Ada jeda sebelum aku mendengar jawaban dinginnya. “Dia sudah mati.”
Benar, aku sudah mati. Batinku meringis mendengar kenyataan yang menamparku sekali lagi. Sepertinya aku sempat lupa bahwa meskipun jiwaku masih hidup di dunia ini, namaku, Evandale Faerie sudah tertulis pada batu nisan yang tertancap di atas kuburan yang masih basah.
“Ah, sepertinya aku lupa kalau raga itu sudah dipeluk bumi sekarang,” gumamku pelan, selirih mungkin supaya Tanwira tidak mendengar.
***
Selama aku berada di rumah sakit ini, semua dokter dan suster memperlakukanku dengan baik. Mereka selalu memasang senyum ramah dan menyapaku di setiap kesempatan, hal itu membantu suasana hatiku menjadi lebih baik setelah kunjungan keluargaku yang selalu menyebalkan.
“Karena gipsnya juga sudah dilepas, mulai besok dokter bilang kamu bakal mulai berlatih berjalan dengan tongkat.” ujar mama Vivian-- ibu mertuaku-- dengan lembut. “Dokter juga bilang kalau kita tidak perlu khawatir karena tidak ada komplikasi yang terjadi. Asalkan berusaha dan rajin berlatih, kamu akan segera bisa berjalan dengan normal lagi.”
Sama sekali tidak tertarik dengan kondisi kaki kiriku yang mengalami patah tulang akibat kecelakaan, aku mengangguk saja dan mulai melontarkan pertanyaan yang keluar dari topik pembicaraan. “Ma, setelah menikah aku tinggal dengan siapa? Kami hanya tinggal berdua atau masih satu rumah dengan Papa dan Mama?”
“Masih satu rumah sama Mama dan Papa,” jawabnya. Mama Vivian menatapku lembut. “Wira sering pergi untuk perjalanan bisnis baik ke luar kota maupun ke luar negeri untuk menggantikan Papa yang sudah tidak kuat melakukan perjalanan jauh lagi. Mama takut kamu akan kesepian, jadi dulu Mama menentang keputusan Wira untuk pindah rumah setelah menikah.”
Tanpa sadar aku menghela napas lega.
Mama Vivian terkekeh geli. “Luar biasa, bagaimana bisa reaksi kamu tidak berubah sama sekali? Dulu waktu Mama menentang keputusan Wira untuk pindah rumah dan suami kamu itu akhirnya mengalah, kamu juga menghela napas lega seperti itu.”
Aku mengerjapkan mataku, terkejut karena ibu mertuaku itu tidak terlihat tersinggung sama sekali. Malah sebaliknya, mama dari suamiku itu terlihat sangat terhibur dengan tingkahku.
“Mama mengerti hubungan kalian tidak sebaik itu,” katanya maklum. “Wira sangat dingin, dia jarang tersenyum dan juga angkuh. Kalian saling ‘membenci’ satu sama lain tetapi komunikasi kalian tidak bisa dibilang jelek juga. Kamu tahu? Dulu Mama bertanya-tanya apa yang menyebabkan kalian berdua masih bertahan dalam hubungan yang mungkin saja ... hanya menyiksa ini, sampai kemudian Mama mengetahui alasannya dan Mama mulai mengerti.”
“Apa itu?” tanyaku, ikut penasaran dengan kisah Evandale Humeera dan suaminya, Tanwira Tarachandra.
Mengulurkan tangannya untuk mengusap pipiku, Mama menjawab pertanyaanku sambil tersenyum. “Mungkin kalian tidak akan mengakuinya tetapi kalian bersandar kepada satu sama lain. Kalian mungkin saling membenci sampai tidak memiliki alasan untuk saling melempar senyum tetapi setiap ada masalah, kalian menjadi pendengar yang baik bagi satu sama lain.”
Saat mama mengatakan hal itu, aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. Selain itu, aku juga tidak berani bertanya lebih jauh sampai akhirnya mama pamit pulang, digantikan oleh Tanwira yang baru saja datang.
“Menjadi pendengar yang baik bagi satu sama lain?” gumamku, mengulang pernyataan mama tadi.
“Apa?” tanya Tanwira. “Kau mengatakan apa tadi?”
“Bukan apa-apa,” sahutku. “Air itu ... apakah kau mengambilkannya untukku?” Aku menunjuk gelas berisikan air putih yang dia pegang di tangan kanannya. “Terima kasih--“
“Aku mengambil ini untuk diriku sendiri,” ketusnya. Dia duduk di kursi yang diletakkan di sebelah ranjangku, meminum air itu sampai tandas dan kembali berkata, “Kau haus? Ambil airmu sendiri.”
Ekspresi yang aku tampilkan sekarang mungkin perlu dipajang di museum. Aku benar-benar tidak percaya dia memperlakukan wanita secantik Evandale Humeera seperti ini.
“Kau itu suamiku atau bukan?” seruku kesal. “Istrimu sedang kehausan jadi ambilkan air untukku sekarang juga!”
“Sejak kapan kau menganggapku sebagai suamimu? Lagi, orang sakit mana yang memiliki tenaga untuk berteriak seperti itu?” Dia mendengus, hatinya sama sekali tidak tergerak untuk mengambil air minum untukku.
“Wuah, kau--“ Aku kehilangan kata-kata dibuatnya. “Dengar, aku tidak ingat alasan sebenarnya tetapi sepertinya kau termasuk dalam daftar alasan kenapa aku bertekad untuk mati dan meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.”
Air mukanya berubah. Sekarang dia kembali menatapku tajam-- tidak, jauh lebih tajam dari yang pernah aku lihat sebelumnya.
Apa aku menyinggungnya? Ya, tentu saja. Sudah sangat jelas kau menyinggungnya, Eve.
Jantungku berdegup kencang, menunggu reaksi seperti apa yang akan dia timbulkan. Benar-benar lama aku menunggu sampai kemudian yang aku dengar hanya desahan beratnya saja.
Dia tidak akan melemparkan gelas kosong di tangannya itu padaku, ‘kan?
“Terserah kau saja,” katanya pada akhirnya.
Aku mengerjapkan mata. Apa ini yang dimaksud dengan komunikasi tidak terlalu jelek versi mama?
***
“Aku tidak mau,” tolakku terang-terangan sambil tersenyum manis Jadi, setelah menghabiskan banyak waktuku di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkanku untuk pulang ke rumah hari ini dan karena itulah keluargaku-- yang sudah beberapa kali aku tolak kehadirannya-- juga datang untuk menjemputku. Lucunya, mereka mengajakku tinggal bersama mereka selama beberapa waktu ke depan untuk pemulihan ingatanku. Hoho, tentu saja Evandale Faerie ini akan menolak sekuat tenaga. Mereka pikir aku akan menurut begitu saja setelah mendengar ancaman mereka? Cih, they wish. “Eve, ada apa denganmu? Kau tidak pernah bersikap tidak sopan seperti ini sebelumnya,” tegur ibuku. Dengan topeng tebalnya itu dia berbicara lembut, berusaha menutupi kebusukannya di hadapan mertuaku yang juga datang menjemput. “Hanya satu minggu, kau keberatan karena mungkin akan merindukan suamimu?” godanya tetapi dengan nada tajam di akhir kalimatnya. “Hm, sebenarnya a
Keheningan panjang yang aku lalui selama di perjalanan masih berlanjut sampai ketika aku ditinggal berdua saja dengan Tanwira di dalam kamar. Aku mulai merasa panas dingin sementara suamiku itu terlihat enggan memulai percakapan terlebih dahulu.Jujur saja, aku pikir dia akan langsung memberondongiku dengan pertanyaan atau apapun itu. Nyatanya dia sepertinya gengsi bahkan hanya untuk menyapaku terlebih dahulu.“Kenapa ada dua kasur di sini?” tanyaku, memilih mengalah dengan memulai terlebih dahulu. Dia sekarang sedang berdiri sementara aku duduk di atas kasur. “Kita tidak tidur di ranjang yang sama? Apa ini benar tempat tidurku?” tanyaku lagi.Dia melihatku-- tidak, lebih tepatnya dia menatapku. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepalanya tetapi dia terlihat seperti sedang mencari sesuatu yang tidak aku ketahui apa itu.Dengan tangan yang memainkan tongkat, aku bertanya, “Kenapa
Aku pernah bermimpi menjadi wanita karir yang sukses, datang ke makam kedua orang itu dengan penampilan elegan dan berharap mereka akan menyesal karena sudah meninggalkanku sendirian.Saat itu aku benar-benar ingin membalas dendam sampai lupa bahwa mereka sudah tidak ada di dunia, bahwa aku tidak lagi bisa melihat mereka dan satu-satunya ingatan yang masih jelas di kepalaku hanyalah dua pasang kaki yang bergelantungan.Selama ini aku ditemani ingatan menyedihkan itu lalu suara yang entah berasal dari mana ini sukses membuat napasku tercekat ketika dia melempar ingatanku kepada kejadian hari itu, membuatku berteriak putus asa di dalam hati sampai pertolongan Tuhan datang menghampiri.Tanwira mengguncang pelan bahuku. “Evandale? Apa yang kau lakukan di lantai? Jatuh?” tanyanya tetapi aku tidak kunjung menjawabnya sampai dia harus mengulangi pertanyaannya sekali lagi dan menyadarkanku yang masih terpengaruh oleh kejadian tadi.
Setiap kali tatapanku bertemu dengan Tanwira, sebisa mungkin aku menghindarinya. Akhirnya, dia sibuk dengan laptop miliknya dan aku sibuk berguling-guling pelan di kasurku sambil bertanya-tanya di dalam hati terkait kehidupan suami-istri yang sedang kami jalani.Tentang Evandale Humeera yang merelakan semua miliknya untuk menjadi milikku. Tentang Tanwira Tarachandra yang terlihat tidak acuh di luar tetapi peduli di dalam, lalu tentang diriku yang sepertinya harus belajar banyak hal.“Memangnya tidak ada yang bertanya kenapa ada dua kasur di sini?” bisikku dalam hati. “Mereka ini saling membenci atau mencintai?”“Mereka?”Lesatan pertanyaan penuh nada kecurigaan itu menembus telingaku, membuatku mendesah lelah karena ternyata sudah menyuarakan pikiranku tanpa sadar. Aku tidak pernah seceroboh ini sebelumnya tetapi beginilah …“Kata mereka yang kau maksud itu ditujukan kepada ak
“Jangan berbicara dengannya,” tekan Tanwira lagi, untuk kesekian kali. “Aku tidak menyukainya dan kau yang dulu juga selalu menghindarinya.”Aku masih mendongak menatapnya, kebingungan. “Kenapa?” tanyaku penasaran, lalu menambahkan. “Kenapa kau tidak menyukainya?”Tetapi Tanwira tetaplah Tanwira. Dia tidak menjelaskan lebih dan kalau saja aku tidak menahan lengannya, dia pasti sudah melenggang pergi begitu saja.“Aku akan bertemu dengan dia beberapa hari lagi,” ucapku, mengingatkan Tanwira tentang kakaknya yang akan kembali. “Kau masih tidak ingin menjelaskan kepadaku apa maksud pernyataanmu tadi?”Dia menatapku tidak suka lalu berkata, “Kau cukup menghindar saja, apa kau tidak bisa melakukannya?”“Kenapa aku harus menghindarinya?” tanyaku frustasi. “Dengar, aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi diantara aku dan dia lalu kau menyuruhku untuk mengh
“Oh, pemandangan dari sini bagus sekali. Bukankah begitu, Eve?”Aneska Fayyana—satu-satunya sepupu yang Evandale Humeera punya—ikut datang bersama ayah dan ibu. Aku tidak tahu bagaimana dia tetapi aku langsung tidak menyukainya begitu dia mendahuluiku untuk duduk di sebalah mama mertuaku.Aku mengarahkan tongkatku pada kaki kursi yang didudukinya, memukul pelan sehingga menimbulkan bunyi yang menyita perhatian.“Jangan duduk di sebelah mama mertuaku,” kataku dingin. “Kau ingin membunuh indera penciuman Mamaku dengan wangi parfummu? Menyingkir!”Bagi sebagian orang sikapku mungkin tidak sopan, tetapi baru tadi siang mama memberitahuku bahwa ia terlalu sensitif terhadap wangi-wangian dan bahkan sudah tidak memakai parfum sejak menginjak usia dua puluh tahun.“Evandale!” tegur ibu. “Kenapa kau membuat suasana menjadi canggung?! Apa salahnya jika Kakakmu duduk di situ?”&ldq
Dia yang terlihat tidak peduli dan bahkan memerintahkanku untuk berjalan lebih cepat meskipun jelas aku kesusahan dengan isyarat matanya itu ternyata memiliki rasa perhatian yang cukup untuk istrinya.“Kau yang berjalan terlalu cepat!” keluhku pada Tanwira yang sudah masuk ke dalam lift terlebih dahulu. “Setidaknya tahan pintunya untukku!”“Kau saja yang lambat,” balasnya tidak mau kalah.Aku melirik tajam ke arahnya, mendengus. “Kau tidak lihat tongkatku?” sarkasku. “Apa orang yang menjadikan benda ini sebagai bantuan bisa berlari?”“Siapa yang menyuruhmu berlari?” sindirnya balik dengan nada datar. Dia diam sejenak sebelum kemudian aku mendengar helaan napas beratnya. “Lagipula ada apa denganmu sampai-sampai melupakan semuanya? Kau hampir mati 'lagi' hari ini.”“Mana aku tahu kalau tubuh ini—” Aku langsung memotong ucapanku sendiri, menahan kesal
“Eve baik-baik saja, besan tidak perlu khawatir.”Ketika aku dan Tanwira berjalan beriringan mendekat ke arah ruang keluarga, kalimat mama mertuaku adalah yang pertama kali aku dengar. Dia selalu memujiku.“Oh!” Mama tersenyum lebar ketika melihatku datang. “Kalian berdua sudah selesai makan? Ayo duduk!”Ketika Tanwira hendak duduk di samping papa mertua, aku langsung menarik kemeja belakangnya pelan, memberinya isyarat untuk duduk di sampingku tanpa berbicara.“Tumben akur,” goda papa mertuaku dengan senyum lucu di wajahnya. “Sepertinya kita akan mendapatkan cucu dalam waktu dekat jika kedepannya mereka semakin ‘dekat’ seperti sekarang,” tambahnya kemudian yang berhasil membuat kedua orang tua Evandale Humeera tertawa. Sedikit canggung memang, tetapi sepertinya mereka juga bahagia.Hah, aku sebenarnya sudah tahu otak-otak seperti mereka yang menganggap anaknya sebagai mesin pe
Sebenarnya suasana hatiku juga berubah menjadi tidak baik setelah mendengar nama Lyssan disebut. Aku yang kesal langsung mengirim pesan kepada Tanwira bahwa aku akan menendang bokongnya jika sampai dia mematikan telepon, tetapi kalian tahu apa yang dia lakukan setelah membaca pesan yang aku kirimkan? Ya, dia tetap mematikan sambungan telepon dan membuat aku uring-uringan di kamar.Demi Tuhan, ini sangat menjengkelkan.Sepuluh menit telah berlalu sejak Wira memutuskan sambungan telepon kami dan dia belum juga menghubungiku kembali hanya untuk sekadar mengabari apakah Lyssan sudah pergi atau belum, apakah dia benar-benar akan pulang atau tidak. Wira seperti menghilang, entah karena dia sibuk berbicara dengan mantan tunangannya itu atau bagaimana, aku enggan untuk menebak-nebak.Tetapi tebak, ya … aku tetap mencoba menebak-nebak.“Apa yang sebenarnya mereka berdua bicarakan? Lalu apa? Tentang diriku?” Aku meninju bantal berkali-kali, tiba-tiba merasa bersyukur karena dulu aku tidak memil
Aku berjalan di taman samping rumah bersama kakek, tertawa bersama setelah kakek mengatakan kalau selera humorku menjadi lebih bagus dan aku tidak lagi kaku seperti sebelum-sebelumnya. Kakek juga mengatakan kalau dia sangat merindukanku dan tidak bisa tidur dengan tenang ketika mendapat kabar tentang kecelakaanku.“Kakimu benar-benar sudah membaik, Eve?”Anggukanku membuat kakek kembali tersenyum.“Kau terlihat lebih ceria. Tanwira memperlakukanmu dengan sangat baik, ya?” Kakek menatapku, terkekeh pelan. “Aku benar-benar tidak menyetujui permintaaanmu di masa lalu ketika kau lebih memilih Wira daripada Rindra. Tetapi kemudian kau mengancamku, kau bilang kalau kau tidak ingin menjadi menantu keluarga ini jika bukan Tanwira yang menjadi suamimu. Malam itu ... semuanya menjadi kacau, suamimu dan juga Rindra ... mereka bertengkar, saling memukul satu sama lain.”Sebenarnya cerita ini sudah pernah aku dengar, tetapi aku ingin mendengar juga dari kakek. Selama ini semua orang tidak mencerit
Jam empat pagi aku terbangun dan mendapati diriku berada dalam pelukan hangat Tanwira. Dia memelukku dengan erat namun lembut. Tangannya merengkuhku sementara kakinya mengunciku. Aku benar-benar merasakan jiwa kepemilikan dari Tanwira hanya dengan melihat bagaimana dia memperlakukanku, dia ini memang memiliki jiwa posesif dan aku menyukainya.Hanya saja, meskipun aku sudah buang air kecil segera setelah percintaan kami, aku merasa kandung kemihku kembali penuh sehingga aku harus pergi ke kamar mandi.“Wira ...” Aku memanggil namanya, pelan. “Wira, aku mau ke kamar mandi.”Tanwira menggeliat, tidak butuh waktu lama untuk dia membuka mata dan menatapku dengan manis. Suamiku ini hanya diam selama beberapa detik sebelum melepas pelukannya. “Mau buang air kecil?” tanyanya.“Iya,” sahutku yang perlahan beringsut. Sejenak aku berhenti bergerak, menyadari bahwa aku tidak memakai satu helai kainpun untuk menutupi tubuhku. “Ke mana kau melempar pakaianku?”“Hm? Kau membutuhkannya?” Wira bergera
Aku menunggu Tanwira yang sedang berbicara empat mata bersama kakek di dalam kamar. Bisa saja dia muncul dengan wajah datar, sedih atau bahkan dengan senyum bahagia, tetapi aku merasa kalau aku harus menunggunya. Sadar bahwa selama ini mungkin Tanwira hanya memiliki Evandale Humeera sebagai sandaran, tetapi mereka tidak bisa sedekat itu karena gengsi? Entahlah, yang pasti menurutku pasangan suami istri ini menyayangi satu sama lain dengan cara yang tidak biasa.“Hei!” sapaku begitu mendengar pintu terbuka dan Tanwira masuk. Sesuai dengan tebakanku, wajahnya menampilkan ekspresi datar andalannya. Ah, aku menganggap wajah datarnya sebagai ekspresi karena sangat jarang sekali aku melihatnya tersenyum. Biasanya dia hanya melakukan itu untuk sekadar akting atau ketika dia berhasil menjahiliku saja. “Semuanya berjalan dengan baik? Kakek tidak mengatakan hal yang membuatmu sakit hati, bukan?”Suamiku itu hanya menggelengkan kepala dan berjalan menghampiriku yang duduk di sofa. Dia duduk di s
Manusia adalah makhluk sederhana dengan pemikiran yang sangat rumit. Mereka memikirkan banyak hal, membiarkan suara berisik di dalam kepalanya mengendalikan mereka sampai di satu titik di mana otak mereka tidak bisa berpikir jernih. Insecurity, anxiety, ada banyak kata yang sulit dipahami keluar dengan sendirinya. Membuat mereka semakin terlihat lemah dan kalah.“Apa yang sedang kau tulis?” Tanwira mengambil tempat duduk di sebelahku. Dia baru saja selesai membersihkan diri dan berganti baju. “Ah, kau tidak bersiap-siap? Mama dan Papa bahkan sudah menjemput Kakek di bandara, kau tidak mau menyambutnya?”“Aku tentu harus menyambutnya.” Aku menutup laptop yang aku gunakan untuk menyalurkan perasaanku. “Pakaian apa yang harus aku gunakan untuk bertemu Kakek malam ini? Jika kau memiliki ide, aku akan menerimanya dengan sangat baik.”“Pakai saja apapun yang membuatmu nyaman, kau bahkan bisa keluar dengan pakaianmu yang sekarang.” Wira membaringkan tubuhnya di sofa, dia juga memeluk bantal
Sepanjang perjalanan, Wira tampak gelisah. Dia awalnya ingin menyetir sendiri tetapi aku mengatakan padanya kalau aku belum ingin mati kalau-kalau dia melamun di perjalanan. Jadilah, kami berdua meminta bantuan orang kepercayaan Wira untuk mengantar kami berdua pulang.“Kakekmu ... orang seperti apa?” tanyaku, memecah keheningan. Aku ingin tahu seperti apa orang yang akan aku hadapi untuk memberikan reaksi yang bagus. “Apa beliau yang menjodohkanmu dengan Lyssan? Apa beliau juga teman Tuan Jayana yang kita temui di pesta kakak ipar?”Wira mengangguk. “Hm. Perjodohan yang kakek atur berantakan karena aku membawamu sebagai calon istriku. Kakek tidak bisa mengatakan tidak karena beliau sangat menginginkanmu menjadi menantu keluarga besar—yah, meskipun awalnya beliau berniat menjodohkanmu dengan Rindra. Dulu ... kau mengatakan kepada kakek kalau kau tidak mau menjadi cucu menantu kakek jika orang yang menjadi suamimu bukan aku.”“Apa itu juga termasuk ke dalam kesepakatan yang kita berdua
Wira terus melirikku sejak kami duduk untuk makan bersama di ruangannya. Dia mungkin merasa heran karena aku tidak banyak bicara seperti biasanya. Selain itu, aku hanya makan sedikit meskipun sebenarnya makanan kantin di perusahaan suamiku ini cukup enak.“Aku baik-baik saja, jadi berhenti menatapku seperti itu,” ucapku dengan nada kesal.Tiba-tiba aku terbawa suasana gara-gara makhluk yang tidak aku ketahui berasal dari mana itu. Aku jadi sangat kesal karena dia terus-menerus mengungkit tentang takdirku ketika aku sendiri tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Maksudku ... Humeera yang menawarkan diri untuk bertukar nasib denganku, lalu kenapa aku juga disalahkan?“Seharusnya aku yang kesal. Aku hanya meminta roti tawar dan kopi, tetapi kenapa ada banyak makanan di sini?” Wira berdecak. “Selain itu, kau bahkan hanya makan tiga sendok sejak tadi. Kau yang membeli semua ini, jadi habiskan dan jangan menghambur-hamburkan uang.”Menatap tajam ke arah Wira, suasana hatiku semakin b
“Ini!” Wira meletakkan dua buah buku yang membahas tentang pengembangan bisnis di hadapanku. “Kau bilang kau ingin membacanya.”Aku mengambil dua buku itu, membaca judulnya dan tersenyum kecil. Sebenarnya aku sudah membaca dua buku ini—tentu saja aku hanya meminjam milik pelangganku yang kebetulan mengambil jurusan ekonomi bisnis. Aku tidak memiliki uang untuk membeli buku salinan aslinya, jadi kebanyakan buku yang aku baca adalah buku hasil pinjaman atau buku yang aku beli dengan harga murah.“Kelihatannya kau sudah membaca buku ini berulang kali,” ujarku sembari menatap Wira yang kembali duduk di meja kerjanya. “Bahkan di dalam kamar kita juga ada banyak sekali buku, padahal di rumah sudah ada perpustakaan pribadi. Kau juga gemar membaca, ya?”Wira mendengus. “Begitulah,” jawabnya acuh tak acuh.Jadi ya, aku sudah sampai di kantor suamiku. Seperti katanya, begitu aku menginjakkan kaki di perusahaan ini, sudah ada perempuan yang memperkenalkan diri sebagai sekretaris Tanwira. Selain
Sebenarnya ada yang mengganggu pikiranku.Seperti yang aku katakan, aku memiliki sebuah kalung yang entah bagaimana bisa berada di tangan mantan bos di tempatku bekerja dulu. Anehnya, aku bahkan tidak mengetahui nama ataupun bertemu pemilik kafe tempatku bekerja itu. Awalnya aku hanya tahu kalau pemiliknya adalah perempuan, tetapi sepertinya yang mengambil kalungku adalah laki-laki.Saat aku tenggelam dalam pikiranku, sebuah mug berisikan susu hangat diletakkan di hadapanku. Kepalaku otomatis mendongak dan aku menemukan Rindra sedang menatapku.“Apa yang kau pikirkan sampai ekspresimu terlihat sangat serius seperti itu?” tanyanya.Apa aku perlu menjawab pertanyaannya? Jika aku berbicara panjang lebar dengan Rindra, Wira pasti akan menatapku kesal—tidak, dia pasti akan marah dan mulai menasihatiku untuk menjauh dari Rindra.“Beberapa hal,” sahutku demi kesopanan.“Oh, aku pikir kau dan Wira sedang ada masalah.”Alis kananku terangkat. Bagaimana bisa kepalanya diisi prasangka buruk terh