Setiap kali tatapanku bertemu dengan Tanwira, sebisa mungkin aku menghindarinya. Akhirnya, dia sibuk dengan laptop miliknya dan aku sibuk berguling-guling pelan di kasurku sambil bertanya-tanya di dalam hati terkait kehidupan suami-istri yang sedang kami jalani.
Tentang Evandale Humeera yang merelakan semua miliknya untuk menjadi milikku. Tentang Tanwira Tarachandra yang terlihat tidak acuh di luar tetapi peduli di dalam, lalu tentang diriku yang sepertinya harus belajar banyak hal.
“Memangnya tidak ada yang bertanya kenapa ada dua kasur di sini?” bisikku dalam hati. “Mereka ini saling membenci atau mencintai?”
“Mereka?”
Lesatan pertanyaan penuh nada kecurigaan itu menembus telingaku, membuatku mendesah lelah karena ternyata sudah menyuarakan pikiranku tanpa sadar. Aku tidak pernah seceroboh ini sebelumnya tetapi beginilah …
“Kata mereka yang kau maksud itu ditujukan kepada ak
“Jangan berbicara dengannya,” tekan Tanwira lagi, untuk kesekian kali. “Aku tidak menyukainya dan kau yang dulu juga selalu menghindarinya.”Aku masih mendongak menatapnya, kebingungan. “Kenapa?” tanyaku penasaran, lalu menambahkan. “Kenapa kau tidak menyukainya?”Tetapi Tanwira tetaplah Tanwira. Dia tidak menjelaskan lebih dan kalau saja aku tidak menahan lengannya, dia pasti sudah melenggang pergi begitu saja.“Aku akan bertemu dengan dia beberapa hari lagi,” ucapku, mengingatkan Tanwira tentang kakaknya yang akan kembali. “Kau masih tidak ingin menjelaskan kepadaku apa maksud pernyataanmu tadi?”Dia menatapku tidak suka lalu berkata, “Kau cukup menghindar saja, apa kau tidak bisa melakukannya?”“Kenapa aku harus menghindarinya?” tanyaku frustasi. “Dengar, aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi diantara aku dan dia lalu kau menyuruhku untuk mengh
“Oh, pemandangan dari sini bagus sekali. Bukankah begitu, Eve?”Aneska Fayyana—satu-satunya sepupu yang Evandale Humeera punya—ikut datang bersama ayah dan ibu. Aku tidak tahu bagaimana dia tetapi aku langsung tidak menyukainya begitu dia mendahuluiku untuk duduk di sebalah mama mertuaku.Aku mengarahkan tongkatku pada kaki kursi yang didudukinya, memukul pelan sehingga menimbulkan bunyi yang menyita perhatian.“Jangan duduk di sebelah mama mertuaku,” kataku dingin. “Kau ingin membunuh indera penciuman Mamaku dengan wangi parfummu? Menyingkir!”Bagi sebagian orang sikapku mungkin tidak sopan, tetapi baru tadi siang mama memberitahuku bahwa ia terlalu sensitif terhadap wangi-wangian dan bahkan sudah tidak memakai parfum sejak menginjak usia dua puluh tahun.“Evandale!” tegur ibu. “Kenapa kau membuat suasana menjadi canggung?! Apa salahnya jika Kakakmu duduk di situ?”&ldq
Dia yang terlihat tidak peduli dan bahkan memerintahkanku untuk berjalan lebih cepat meskipun jelas aku kesusahan dengan isyarat matanya itu ternyata memiliki rasa perhatian yang cukup untuk istrinya.“Kau yang berjalan terlalu cepat!” keluhku pada Tanwira yang sudah masuk ke dalam lift terlebih dahulu. “Setidaknya tahan pintunya untukku!”“Kau saja yang lambat,” balasnya tidak mau kalah.Aku melirik tajam ke arahnya, mendengus. “Kau tidak lihat tongkatku?” sarkasku. “Apa orang yang menjadikan benda ini sebagai bantuan bisa berlari?”“Siapa yang menyuruhmu berlari?” sindirnya balik dengan nada datar. Dia diam sejenak sebelum kemudian aku mendengar helaan napas beratnya. “Lagipula ada apa denganmu sampai-sampai melupakan semuanya? Kau hampir mati 'lagi' hari ini.”“Mana aku tahu kalau tubuh ini—” Aku langsung memotong ucapanku sendiri, menahan kesal
“Eve baik-baik saja, besan tidak perlu khawatir.”Ketika aku dan Tanwira berjalan beriringan mendekat ke arah ruang keluarga, kalimat mama mertuaku adalah yang pertama kali aku dengar. Dia selalu memujiku.“Oh!” Mama tersenyum lebar ketika melihatku datang. “Kalian berdua sudah selesai makan? Ayo duduk!”Ketika Tanwira hendak duduk di samping papa mertua, aku langsung menarik kemeja belakangnya pelan, memberinya isyarat untuk duduk di sampingku tanpa berbicara.“Tumben akur,” goda papa mertuaku dengan senyum lucu di wajahnya. “Sepertinya kita akan mendapatkan cucu dalam waktu dekat jika kedepannya mereka semakin ‘dekat’ seperti sekarang,” tambahnya kemudian yang berhasil membuat kedua orang tua Evandale Humeera tertawa. Sedikit canggung memang, tetapi sepertinya mereka juga bahagia.Hah, aku sebenarnya sudah tahu otak-otak seperti mereka yang menganggap anaknya sebagai mesin pe
Bisa menebak apa yang terjadi setelah keluargaku pergi? Ya, aku dan Tanwira disidang terlebih dahulu dan dilarang kembali ke kamar oleh mama dan papa.“Eve jangan tiru suami kamu, ya?!” tegur mama sambil menyentuh tanganku lembut. “Mama senang kamu bisa lebih terbuka sekarang, bahasa kamu memang lebih halus daripada suami kamu ini tetapi jangan dikeluarkan semua ya, Nak!”Aku mengangguk. “Iya, Ma. Maaf.”“Tidak perlu meminta maaf,” sahut papa. “Yang salah itu suami kamu, dia suka sekali memancing amarah orang lain dengan mulutnya itu.” Papa menggeleng-gelengkan kepalanya, sekarang dia menatap Tanwira. “Lupakan masalah tadi, hanya saja setelah Rindra kembali beberapa hari lagi, Papa tidak mau ada pertengkaran di rumah ini. Mengerti, Wira?!”Menyenggol Tanwira, aku menyuruhnya untuk menjawab papa tetapi dia hanya menatapku datar.“Wira? Kenapa menatap Evandale dan bukannya
Rasanya seakan jiwaku dibawa pergi.Aku masih tidak mendongak untuk menatap wajahnya tetapi laki-laki itu membawaku melintasi dimensi waktu. Siang dan malam silih berganti dalam hitungan dtik, dia menarik tanganku, terus mengajakku berlari.Beberapa detik setelahnya, dia berhenti. Aku mengedarkan pandangan, terpana ketika pemandangan gurun pasir menyapa.Aku ... di mana?“Jika Tanwira Tarachandra tidak juga menyentuh tubuhmu dalam lima menit, kau tidak akan pernah diizinkan untuk kembali,” katanya, jelas mengejekku. “Tetapi bagaimana ini? Sepertinya kau tidak akan pernah kembali.”Merapatkan gigi, aku menghela napas kasar. “Siapa kau?” tanyaku kemudian, untuk pertama kalinya membuka suara.“Yang bertanggungjawab atas keputusan gila kalian,” sahutnya santai. Dia melepaskan genggaman tangannya, berjalan beberapa langkah dan berhenti untuk menikmati pemandangan. “Hah, aku bahagia sekali kare
Sebuah tangan yang mengusap pelan lengan atasku membuatku bangun dari tidur nyenyakku. Dia sudah berdiri di sana ketika aku sedikit membuka mata; Tanwira Tarachandra.“Sudah jam berapa?” tanyaku serak. Aku berusaha duduk, ingin membuka mata lebar-lebar tetapi tidak bisa karena mataku bengkak akibat menangis terisak-isak. Thanks to, Tanwira, sindirannya tentang mataku terbukti sempurna.“Jam setengah enam,” jawabnya datar, kelembutannya tadi malam sudah menghilang.“Kenapa sudah membangunkanku sepagi ini? Sarapan di rumah ini masih satu jam lagi, Tanwira!” keluhku antara gemas dan kesal.“Kompres matamu dengan ini!” suruhnya. Dia mengulurkan handuk yang sudah direndam ke dalam air dingin padaku lalu menambahkan, “Jangan sampai Mama dan Papa melihat matamu bengkak parah seperti itu, mereka bisa berpikir kalau aku sudah menyakitimu.”Aku memanyunkan bibir, meniru cara dia berbicara, mengejek.
Figur seorang kakak yang sangat tidak disukai adiknya sendiri untuk sekedar menyapaku sekarang berdiri di hadapanku. Ya, putra sulung keluarga ini tiba-tiba kembali tanpa sepengetahuan siapapun.“Rindra!” mama menyapa putranya itu, antara senang dan juga gugup. “Kenapa datang tanpa mengatakan apapun kepada Mama? Kamu ambil penerbangan kapan dari Sydney?” berondongnya dengan pertanyaan.Rindra tersenyum kepada mama, dia bahkan merentangkan kedua tangannya untuk memeluk mama mertuaku itu dengan erat.“Aku ambil penerbangan siang dari Sydney ke Singapura kemarin, Ma,” katanya, dia menjawab pertanyaan mama tetapi matanya menatapku yang berdiri tidak jauh dari posisi mereka, lurus dan tajam. “Aku menemui teman di sana untuk mengundangnya ke rumah sebelum mengambil penerbangan pagi dari sana ke Indonesia.”Aku yang hanya berdiri diam jelas membalas tatapannya tanpa ragu. Bagaimanapun juga aku tidak mengenal siapa
Sebenarnya suasana hatiku juga berubah menjadi tidak baik setelah mendengar nama Lyssan disebut. Aku yang kesal langsung mengirim pesan kepada Tanwira bahwa aku akan menendang bokongnya jika sampai dia mematikan telepon, tetapi kalian tahu apa yang dia lakukan setelah membaca pesan yang aku kirimkan? Ya, dia tetap mematikan sambungan telepon dan membuat aku uring-uringan di kamar.Demi Tuhan, ini sangat menjengkelkan.Sepuluh menit telah berlalu sejak Wira memutuskan sambungan telepon kami dan dia belum juga menghubungiku kembali hanya untuk sekadar mengabari apakah Lyssan sudah pergi atau belum, apakah dia benar-benar akan pulang atau tidak. Wira seperti menghilang, entah karena dia sibuk berbicara dengan mantan tunangannya itu atau bagaimana, aku enggan untuk menebak-nebak.Tetapi tebak, ya … aku tetap mencoba menebak-nebak.“Apa yang sebenarnya mereka berdua bicarakan? Lalu apa? Tentang diriku?” Aku meninju bantal berkali-kali, tiba-tiba merasa bersyukur karena dulu aku tidak memil
Aku berjalan di taman samping rumah bersama kakek, tertawa bersama setelah kakek mengatakan kalau selera humorku menjadi lebih bagus dan aku tidak lagi kaku seperti sebelum-sebelumnya. Kakek juga mengatakan kalau dia sangat merindukanku dan tidak bisa tidur dengan tenang ketika mendapat kabar tentang kecelakaanku.“Kakimu benar-benar sudah membaik, Eve?”Anggukanku membuat kakek kembali tersenyum.“Kau terlihat lebih ceria. Tanwira memperlakukanmu dengan sangat baik, ya?” Kakek menatapku, terkekeh pelan. “Aku benar-benar tidak menyetujui permintaaanmu di masa lalu ketika kau lebih memilih Wira daripada Rindra. Tetapi kemudian kau mengancamku, kau bilang kalau kau tidak ingin menjadi menantu keluarga ini jika bukan Tanwira yang menjadi suamimu. Malam itu ... semuanya menjadi kacau, suamimu dan juga Rindra ... mereka bertengkar, saling memukul satu sama lain.”Sebenarnya cerita ini sudah pernah aku dengar, tetapi aku ingin mendengar juga dari kakek. Selama ini semua orang tidak mencerit
Jam empat pagi aku terbangun dan mendapati diriku berada dalam pelukan hangat Tanwira. Dia memelukku dengan erat namun lembut. Tangannya merengkuhku sementara kakinya mengunciku. Aku benar-benar merasakan jiwa kepemilikan dari Tanwira hanya dengan melihat bagaimana dia memperlakukanku, dia ini memang memiliki jiwa posesif dan aku menyukainya.Hanya saja, meskipun aku sudah buang air kecil segera setelah percintaan kami, aku merasa kandung kemihku kembali penuh sehingga aku harus pergi ke kamar mandi.“Wira ...” Aku memanggil namanya, pelan. “Wira, aku mau ke kamar mandi.”Tanwira menggeliat, tidak butuh waktu lama untuk dia membuka mata dan menatapku dengan manis. Suamiku ini hanya diam selama beberapa detik sebelum melepas pelukannya. “Mau buang air kecil?” tanyanya.“Iya,” sahutku yang perlahan beringsut. Sejenak aku berhenti bergerak, menyadari bahwa aku tidak memakai satu helai kainpun untuk menutupi tubuhku. “Ke mana kau melempar pakaianku?”“Hm? Kau membutuhkannya?” Wira bergera
Aku menunggu Tanwira yang sedang berbicara empat mata bersama kakek di dalam kamar. Bisa saja dia muncul dengan wajah datar, sedih atau bahkan dengan senyum bahagia, tetapi aku merasa kalau aku harus menunggunya. Sadar bahwa selama ini mungkin Tanwira hanya memiliki Evandale Humeera sebagai sandaran, tetapi mereka tidak bisa sedekat itu karena gengsi? Entahlah, yang pasti menurutku pasangan suami istri ini menyayangi satu sama lain dengan cara yang tidak biasa.“Hei!” sapaku begitu mendengar pintu terbuka dan Tanwira masuk. Sesuai dengan tebakanku, wajahnya menampilkan ekspresi datar andalannya. Ah, aku menganggap wajah datarnya sebagai ekspresi karena sangat jarang sekali aku melihatnya tersenyum. Biasanya dia hanya melakukan itu untuk sekadar akting atau ketika dia berhasil menjahiliku saja. “Semuanya berjalan dengan baik? Kakek tidak mengatakan hal yang membuatmu sakit hati, bukan?”Suamiku itu hanya menggelengkan kepala dan berjalan menghampiriku yang duduk di sofa. Dia duduk di s
Manusia adalah makhluk sederhana dengan pemikiran yang sangat rumit. Mereka memikirkan banyak hal, membiarkan suara berisik di dalam kepalanya mengendalikan mereka sampai di satu titik di mana otak mereka tidak bisa berpikir jernih. Insecurity, anxiety, ada banyak kata yang sulit dipahami keluar dengan sendirinya. Membuat mereka semakin terlihat lemah dan kalah.“Apa yang sedang kau tulis?” Tanwira mengambil tempat duduk di sebelahku. Dia baru saja selesai membersihkan diri dan berganti baju. “Ah, kau tidak bersiap-siap? Mama dan Papa bahkan sudah menjemput Kakek di bandara, kau tidak mau menyambutnya?”“Aku tentu harus menyambutnya.” Aku menutup laptop yang aku gunakan untuk menyalurkan perasaanku. “Pakaian apa yang harus aku gunakan untuk bertemu Kakek malam ini? Jika kau memiliki ide, aku akan menerimanya dengan sangat baik.”“Pakai saja apapun yang membuatmu nyaman, kau bahkan bisa keluar dengan pakaianmu yang sekarang.” Wira membaringkan tubuhnya di sofa, dia juga memeluk bantal
Sepanjang perjalanan, Wira tampak gelisah. Dia awalnya ingin menyetir sendiri tetapi aku mengatakan padanya kalau aku belum ingin mati kalau-kalau dia melamun di perjalanan. Jadilah, kami berdua meminta bantuan orang kepercayaan Wira untuk mengantar kami berdua pulang.“Kakekmu ... orang seperti apa?” tanyaku, memecah keheningan. Aku ingin tahu seperti apa orang yang akan aku hadapi untuk memberikan reaksi yang bagus. “Apa beliau yang menjodohkanmu dengan Lyssan? Apa beliau juga teman Tuan Jayana yang kita temui di pesta kakak ipar?”Wira mengangguk. “Hm. Perjodohan yang kakek atur berantakan karena aku membawamu sebagai calon istriku. Kakek tidak bisa mengatakan tidak karena beliau sangat menginginkanmu menjadi menantu keluarga besar—yah, meskipun awalnya beliau berniat menjodohkanmu dengan Rindra. Dulu ... kau mengatakan kepada kakek kalau kau tidak mau menjadi cucu menantu kakek jika orang yang menjadi suamimu bukan aku.”“Apa itu juga termasuk ke dalam kesepakatan yang kita berdua
Wira terus melirikku sejak kami duduk untuk makan bersama di ruangannya. Dia mungkin merasa heran karena aku tidak banyak bicara seperti biasanya. Selain itu, aku hanya makan sedikit meskipun sebenarnya makanan kantin di perusahaan suamiku ini cukup enak.“Aku baik-baik saja, jadi berhenti menatapku seperti itu,” ucapku dengan nada kesal.Tiba-tiba aku terbawa suasana gara-gara makhluk yang tidak aku ketahui berasal dari mana itu. Aku jadi sangat kesal karena dia terus-menerus mengungkit tentang takdirku ketika aku sendiri tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Maksudku ... Humeera yang menawarkan diri untuk bertukar nasib denganku, lalu kenapa aku juga disalahkan?“Seharusnya aku yang kesal. Aku hanya meminta roti tawar dan kopi, tetapi kenapa ada banyak makanan di sini?” Wira berdecak. “Selain itu, kau bahkan hanya makan tiga sendok sejak tadi. Kau yang membeli semua ini, jadi habiskan dan jangan menghambur-hamburkan uang.”Menatap tajam ke arah Wira, suasana hatiku semakin b
“Ini!” Wira meletakkan dua buah buku yang membahas tentang pengembangan bisnis di hadapanku. “Kau bilang kau ingin membacanya.”Aku mengambil dua buku itu, membaca judulnya dan tersenyum kecil. Sebenarnya aku sudah membaca dua buku ini—tentu saja aku hanya meminjam milik pelangganku yang kebetulan mengambil jurusan ekonomi bisnis. Aku tidak memiliki uang untuk membeli buku salinan aslinya, jadi kebanyakan buku yang aku baca adalah buku hasil pinjaman atau buku yang aku beli dengan harga murah.“Kelihatannya kau sudah membaca buku ini berulang kali,” ujarku sembari menatap Wira yang kembali duduk di meja kerjanya. “Bahkan di dalam kamar kita juga ada banyak sekali buku, padahal di rumah sudah ada perpustakaan pribadi. Kau juga gemar membaca, ya?”Wira mendengus. “Begitulah,” jawabnya acuh tak acuh.Jadi ya, aku sudah sampai di kantor suamiku. Seperti katanya, begitu aku menginjakkan kaki di perusahaan ini, sudah ada perempuan yang memperkenalkan diri sebagai sekretaris Tanwira. Selain
Sebenarnya ada yang mengganggu pikiranku.Seperti yang aku katakan, aku memiliki sebuah kalung yang entah bagaimana bisa berada di tangan mantan bos di tempatku bekerja dulu. Anehnya, aku bahkan tidak mengetahui nama ataupun bertemu pemilik kafe tempatku bekerja itu. Awalnya aku hanya tahu kalau pemiliknya adalah perempuan, tetapi sepertinya yang mengambil kalungku adalah laki-laki.Saat aku tenggelam dalam pikiranku, sebuah mug berisikan susu hangat diletakkan di hadapanku. Kepalaku otomatis mendongak dan aku menemukan Rindra sedang menatapku.“Apa yang kau pikirkan sampai ekspresimu terlihat sangat serius seperti itu?” tanyanya.Apa aku perlu menjawab pertanyaannya? Jika aku berbicara panjang lebar dengan Rindra, Wira pasti akan menatapku kesal—tidak, dia pasti akan marah dan mulai menasihatiku untuk menjauh dari Rindra.“Beberapa hal,” sahutku demi kesopanan.“Oh, aku pikir kau dan Wira sedang ada masalah.”Alis kananku terangkat. Bagaimana bisa kepalanya diisi prasangka buruk terh