Mengapa Samsul tidak menjelaskan pada istrinya, apa dan mengapa ia sampai berada di rumah itu? "Tu ... Tuan, mengapa Tuan diam saja. Saya mohon Tuan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi disini?" Samsul berbalik badan menatap sekilas Zahra lalu berjalan mendekatinya. "Kaki kamu masih sakit?" tanya Samsul sambil duduk di tepi ranjang di samping Zahra. Zahra tertunduk dan diam. "Dia itu istriku. Tiga tahun kami berumah tangga. Hingga badai itu datang menerjang kehidupan kami berdua," ucap Samsul dengan netra mata sendu. "Maksud Tuan?" "Zahra ... kamu masih sangat muda untuk mengetahui hal yang tidak akan kau mengerti. Berumah tangga itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak kekurangan yang harus kami jaga dan pahami. Dan kekurangan itu, membuat istriku pindah ke lain hati ..." ucap Samsul kemudian. "Tuan ... kita ini manusia biasa. Tempatnya sedih kecewa hancur dan menderita. Tuan jangan pendam sendirian masalah Tuan, mulai sekarang anggap saya adik Tuan. Tuan boleh ber
Deni diam seribu bahasa begitupun dengan Mila. Rasa kecewa tengah menyelimuti mereka berdua. Karena nafsu sesaat. Hidup mereka bagai berada dalam perahu yang tidak pernah sampai ke tepian. Terombang ambing di laut lepas di mainkan ombak. Pasrah dengan gelombangnya. Entah kemana perahu itu membawanya. Tak tentu arah dan tujuan. "Den ... apakah ini karma ... " Mila buka suara. Deni masih diam membisu sambil bergerak menjauh dari duduknya lalu ia membenamkan wajahnya di sela kedua lututnya. Mila menoleh teratur memandangi wajah Deni. "Kenapa Den? Kamu menyesal telah menikahi Ibu," ucap Mila dengan mata berkaca. Deni masih membisu menyimpan jauh kesedihannya di dalam sana. "Mengapa seorang wanita selalu saja di salahkan. Kami ini mahluk lemah dan tak berdaya. Sebagai istri kami butuh perhatian dan kasih sayang penuh dari suaminya. Dan itu tidak saya dapatkan dari suamiku. Kamu tahu itu. Dan kasih sayang itu tidak juga saya dapatkan dari suamiku," Mila berkeluh kesah dengan wajah mem
Satu dosa besar yang dilakukan Mila. Yaitu berzinah dengan seorang lelaki yang bukan mahramnya. Dan kesalahan itu tidak mungkin Samsul maafkan. Meski hatinya masih menyimpan rasa sayang terhadap Mila istrinya. Selesai makan. Samsul sendiri yang membereskan semua sampai mencuci piring dan mengelap meja makan sampai bersih. Zahra hanya duduk di sofa memperhatikan kegiatan Samsul. Pria itu sangat baik dan perhatian. Tapi mengapa istrinya begitu tega meninggalkannya demi pria lain. Sungguh malang nasibnya. "Oh ya, nanti malam akan ada tamu. Mau lihat rumah ini," ucap Samsul seraya duduk di sofa berhadapan dengan Zahra. "Jadi Tuan mau menjual rumah ini?" tanya Zahra."Benar, saya tidak mau istri saya datang lagi kemari. Saya tidak ingin mengenang dia lagi. Begitu banyak kenangan pahit di rumah ini. Dan saya ingin membuangnya," ucap Samsul dengan mata yang sudah berkaca. "Tuan. Kalau Tuan mau pindah rumah, saya akan pulang saja ke rumah orang tua saya Tuan ..." keluh Zahra dengan wajah
Batin Deni bergejolak. Ia pun berjanji akan mencari uang sebanyak mungkin agar mulut Mila tidak mengeluarkan kata- kata menyakitkan itu lagi. Menyimpan sakit hati karena ulah Mila. Deni mulai menyesali tindakannya. Menikahi wanita seperti Mila, hanya menambah sakit hati. Bayangan hidup bahagia dengan Mila. Tapi kenyataannya berbeda, Deni tidak menduga. Wanita itu mulai mempertanyakan kekurangannya. Deni sadar, selama ini ia hanya bisa memberi kebutuhan biologis saja. Dirinya tidak mampu memenuhi materi yang seperti Mila inginkan. "Heh!" Tiba-tiba seorang wanita berambut pirang berdiri di sampingnya. Deni menoleh kaget ke atas menatap wanita yang tengah berdiri dengan rambut terjuntai panjang. Tangan kirinya memegang botol minuman. Deni langsung berdiri. "Ya?" Wanita itu tersenyum menyungging. "Sedang apa kamu sendirian di malam hari?" tanyanya sambil meneguk minuman. Lalu wanita itu duduk sempoyongan di samping Deni sambil mengacak kasar rambutnya. Deni bergerak kecil dan me
Deni segera menghentikan kegiatannya dan bergerak menjauh melihat lahar yang keluar dari Wanita gatal itu. Wanita itu lantas beranjak lalu tersenyum mendekati Deni. Menyandarkan tubuhnya di dada Deni. "Kamu luar biasa ... Tante puas malam ini ...." desahnya berbicara di telinga Deni. Deni menoleh ke arahnya lalu berkata. "Tapi Tante, sedang apa Tante malam- malam disini. Dimana suami Tante?" tanya Deni kemudian. "Entahlah ... Suami Tante jarang ada di rumah. Tante kesepian ..." jawabnya. "Baiklah Tante. Kalau begitu Deni pulang dulu.""Tunggu," Anna beranjak lalu meminta Deni untuk mencatat nomer ponselnya. Keduanya saling bertukar nomer agar mereka berdua bisa saling ketemuan untuk selanjutnya. Anna sangat puas dengan permainan Deni. Berondong muda itu selain tampan juga pintar dalam memuaskan lawannya. ***Jam sudah bergerak pukul tujuh pagi. Zahra lantas bangun buru-buru. Dirinya ketiduran di atas sajadah.Setelah melipat mukena menyimpannya lalu Zahra keluar kamar menu
Tanpa banyak bicara. Samsul lalu masuk ke dalam mobil diikuti Zahra yang tampak gugup dan serba salah. Raut wajahnya mendadak muram saat melihat Mila begitu mesra bergandengan dengan Deni.Dia tak menduga bisa bertemu istrinya di sana.Mila tampak terpaku melihat Samsul berjalan tergesa masuk ke dalam mobil bersama dengan Zahra. Napas panas sontak menyerangnya. “Jadi, kamu sudah bersama gadis itu," gumam Mila membatin. “Bu,” Deni berkata seraya menarik kasar pergelangan tangan Mila. Air mata Mila mengalir. Mila tiba-tiba merasa cemburu, dan suaranya bergetar. "Den, apa suamiku sudah menikahi gadis itu?""Ya! Kenapa? Ibu menyesal?” Deni menyeringai tipis.“Aku tidak menyesalinya,” jawab Mila sedih.Memang tiada ruang untuk menyesalinya, karena kesalahannya dulu. Samsul tak lagi mau menegurnya untuk sekedar menyapa. Lelaki itu justru menunjukan sikap bencinya. Mila tidak bisa melihat wajahnya. Yang ia tahu, suaminya begitu terburu-buru saat melihatnya, seperti seseorang yang se
Zahra ketakutan. Dia mulai meneteskan air mata, dan dia berkata dengan suara lemah, “Aku tidak mau.”"Bisa diam gak!" Samsul memerintahkan Zahra agar tak banyak pertanyaan lagi."Tuan, apakah kita langsung pulang?" tanya Zahra gugup.Samsul tampak bingung. Sedang pikirannya masih terus mengingat Mila. Samsul kemudian memandang Zahra dan berkata dengan blak-blakan, "Zahra. Kamu mau jadi istriku!" Mata Zahra langsung membelalak. "Tuan ... apa maksud Tuan?" tanya Zahra dengan tatapan mata tajam menatap wajah Samsul yang masih pokus ke jalanan. Samsul tak bergeming. Sepertinya lelaki itu bicara omong kosong. Sakit melihat kemesraan istrinya dengan berondong simpanannya. Samsul bicara ngawur tanpa berpikir terlebih dahulu. Selang satu setengah jam kemudian, Samsul menghentikan mobilnya. Zahra langsung turun dari mobil dan melihat rumah besar di hadapannya, sebuah rumah besar yang terletak di tengah gunung.Sungguh berbanding terbalik dengan rumah Samsul yang disana. Yang ini tampa
Samsul hanya ingin bahagia.Malam sebelum dia memutuskan untuk meminta Zahra jadi istrinya. Ia sudah bicara panjang lebar dengan Pak Dadang. Dan atas saran Pak Dadang juga. Samsul sebisa mungkin harus bisa melupakan istrinya. Dan gapai bahagia baru dengan Wanita lain. Dan tentunya Samsul akan memilih Zahra. Gadis yang tak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslimah. "Ada yang salah, Tuan?" Ujaran pelayan itu membuyarkan pikirannya.Tatapan Samsul langsung berubah serius. "Apa katamu?""Gadis itu … Melarikan diri dengan melompat keluar jendela," lapor sang pelayan, ketakutan."Apa?" Sontak wajah Samsul mengerut, dan dia segera bergegas masuk.Tidak ada seorang pun di kamar mandi. Hanya garis yang ditulis dengan lipstik yang tampak di dinding. ‘Tuan, kita memiliki perbedaan yang sangat jauh satu sama lain. Aku tidak ingin menikah denganmu. Selamat tinggal!’Baris kata-kata yang ditulis dengan lipstik itu tampak rapi dan tajam, yang mengungkapkan temperamen penulis yang pa
"Bu kenapa, Abi?"Zahra berteriak cukup keras karena Samsul mendadak diam, menggantungkan kalimatnya begitu saja. Mau tidak mau, pikiran Zahra jadi menerawang ke mana-mana."Mila harus di bawa ke rumahsakit, perutnya dari semalam katanya sakit.""Kenapa bisa, Abi? Tadi pagi Bu Mila masih baik-baik aja, kan?" ucap Zahra dengan cepat. Sungguh, Zahra sangat kaget mendengar pengakuan suaminya."Iya. tadi dia ngeluh perutnya sakit, tapi nggak mau kubawa ke rumah sakit, katanya cuma efek batuk. Terus sekitar jam tujuh tadi tiba-tiba Mila meringis kesakitan." Tubuh Zahra makin gemetar saat mendengar penuturan Samsul. Sakit yang di derita Mila bukan hal sepele. Jika tidak mendapat penangangan yang tepat, nyawa taruhannya. Tidak! Jangan sampai terjadi sesuatu dengan Mila. Mantan suaminya itu tengah mengandung dan Zahra tidak ingin ada hal buruk menimpa bayi yang di kandung Mila."Sebaiknya bawa ke dokter, Ibu Mila bisa sembuh, kan?" tanya Zahra sambil mengusap air mata yang terus saja menete
Pintu terbuka. Dengan langkah tergesa Samsul berjalan masuk sembari menarik kopernya. Dia tampak kerepotan tetapi tidak meminta bantuan Zahra.Sesampainya di ruang tengah Samsul langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Zahra berdiri di dekatnya. Dia menatapnya cukup lama. Zahra tahu suaminya sedang mengamati bekas luka di sudut bibir Zahra, Sebab merasa tidak nyaman, Zahra langsung menutupinya dengan tangan kanannya. Tanpa sadar justru Zahra tampakkan buku jari yang masih menyisakan warna kebiruan."Zahra, Mila duduklah ... aku ingin bicara pada kalian berdua," titah Samsul pada Zahra dengan Mila yang masih berdiri kaku. Lalu Zahra duduk di samping Samsul sementara Mila duduk di hadapannya. "Zahra, mulai hari ini, Mila akan tinggal disini sampai bayi ini lahir," ucap Samsul.Zahra tertunduk. "Kamu jangan khawatir, Abi dan Mila tidak ada hubungan apa-apa, Abi hanya ingin menolongnya saja, Abi tidak rela jika Mila dibawa si Deni bajingan itu. Lebih baik dia tinggal disini, Abi harap kamu
Ponsel Mila biarkan tergeletak di atas meja berdering saat Mila sedang istirahat sambil menyantap makanan yang di sediakan pihak rumah sakit. Sekilas Mila melirik layar ponsel menyala yang hanya menampilkan nomor tak dikenal. Lalu digeser layar untuk menolak panggilan itu.Beberapa saat Mila abaikan, nomor tak dikenal itu terus saja missed call. Membuat ponselnya terus berdering sampai harus disenyapkan dan meletakannya dengan posisi terbalik sebab mengganggu.Sudah hampir sepekan Deni tidak menghubunginya. Mendadak Mila jadi teringat dengannya dan langsung membuka ponselnya. Barangkali nomor tidak dikenal yang sedari tadi meneleponnya adalah Deni.Benar saja dugaannya. Saat panggilan terhubung, langsung terdengar suara Deni."Ini aku Deni."Mila terdiam beberapa saat tidak langsung menjawab. Kesal rasanya berhari-hari menunggu kabar dari Deni. Namun, baru sekarang dia menghubunginya."Den ....Deni," panggil Mila lembut. "Ya, Bu." "Asyik ya, liburannya sampai tidak sempat menghubu
"Hai.. hentikan! Lepaskan dia!" "Diam disana dan tunggu! Jangan mengganggu!" Titah Samsul pada supir pribadi istrinya. Seperti pecut yang mencambuk hatinya yang sudah terluka. Retinanya sudah membentuk aliran anak sungai yang mengalir deras. Isak tangisnya sudah tidak terbendung lagi.Rasanya akal sehatnya tak mampu menerima semua yang terlihat oleh retinanya. Bagaimana mungkin Zahra pergi begitu saja tanpa kabar berita. Menurut supir. Istrinya terakhir minta di turunkan di swalayan. Setelah itu, Zahra menghilang bak di telan bumi. Ponselnya pun susah dihubungi."Kenapa Bapak ijinkan Istriku pergi ke swalayan sendirian! Kalau terjadi pada istriku, saya akan pecat bapak!" ancam Samsul saat mendengar pengakuan Pak Asep, supir pribadi istrinya.Ancaman itu sukses membuat tubuh Pak Asep membeku. Hatinya memang tak mengerti sama sekali. Zahra yang meminta untuk menunggunya di tempat parkiran. tetapi otaknya masih cukup mampu mencerna dengan baik, kejadian yang di alami Zahra.“Apa kamu l
Sambil menunggu hujan Reda. Zahra bermaksud mampir ke swalayan di dekat dengan rumah sakit. "Pak, tunggu disini, ya? Aku mau belanja dulu," ucap Zahra pada si supir Zahra pun berjalan menuju swalayan itu. Sementara supir pribadinya menunggu di tempat parkiran. Zahra menyusut air hujan yang menetes di wajahnya. Pagi itu, hujan tidak begitu deras. Zahra bahkan tidak bisa menyeka tetesan air hujan yang terus membasahi pipinya saking banyaknya. Satu jam yang lalu, dia baru saja memeriksakan kandungannya yang berjalan empat bulan. Menurut Dokter, kandungan Zahra baik- baik saja. “Nyonya, kandungan nyonya bagus, detak jantung bayi nyonya juga normal. Tapi usahakan nyonya harus makan buah-buahan secara teratur, ya?" Saat teringat kembali perkataan Dokter, hati Zahra terasa lega. Sungguh ia begitu bahagia. Sebentar lagi, ia akan menjadi seorang ibu.Suara guntur menggelegar, hujan pun turun semakin deras.Zahra cepat berlari kecil menyebrang ke jalanan dimana di depannya ada swalayan
“Zahra? Tenang. Abi akan selalu ada disini,” batin Samsul.Hal yang paling tidak ingin Anna lakukan dalam hidupnya adalah kembali ke tempat yang menorehkan banyak luka untuknya. Namun, takdir sekali lagi membuat lelucon untuknya. Ia harus kembali ke tempat yang sangat tidak ingin ia datangi.Selalu ada pilihan sulit dalam hidupnya, tapi demi orang yang sangat penting untuknya ia tidak akan ragu untuk memilih.Dan di sini lah ia berada saat ini, di sebuah Desa yang tujuh belas tahun lalu ia tinggalkan. Mendapat penolakan dari Zahra. Sungguh hati Anna merasa terpukul. Untuk itulah Anna pergi ke desa dimana dulu dirinya meninggalkan Zahra bersama mantan suaminya. Deni ikut mengantarkan. Tapi di tengah perjalanan, ia mengurungkan niatnya. "Den .... ayo kita kembali saja," ucapnya dengan tatapan mata kosong lurus ke depan, air mata nyapun tidak berhenti berderai karena luka lama seakan kembali terbayang. Darso mantan suaminya tidak mungkin menerima dirinya dan itu akan memambah kekecewaa
Keesokan harinya.Samsul sudah pergi bekerja, sedangkan Zahra masih memikirkan sikap Mila tadi malam. Wanita itu dari dulu memang kurang begitu suka padanya. Zahra menilai, bahwa malam tadi. Mila terbakar api cemburu karena melihat mantan suaminya sudah beristri. Dan Zahra maklumi itu.Entahlah .... itu saja yang ada dipikiran Zahra. Tapi sudahlah, Zahra tidak mau memusingkan masalah itu. Terlebih ia sedang berbadan dua. Saat ia melamun memikirkan nasib, sebuah mobil masuk ke halaman rumahnya. Ia tak tau mobil siapa itu karena tak pernah melihat sebelumnya.Saat pintu mobil terbuka, barulah ia tau siapa yang datang. Ternyata seorang wanita yang kala itu ada di rumah sakit bersama Deni. Tapi untuk apa dia datang ke rumah? Dan ada urusan apa? Sedang Zahra tidak mengenalnya sama sekali. Wanita itu tampak memakai kaca mata hitam dan juga pakaian yang mewah serta tas mahal, wanita itu pun berjalan ke arahnya."Selamat pagi, Mbak" Wanita itu menyapa ramah pada Zahra. "Eh, itu, selamat p
"Iya Bu. Saya belum memikirkan untuk menikah," balas Hadi gugup. Tidak mau terlihat aneh oleh Mila. Hadi pun segera meninggalkan ruangan itu. Tapi sebelum itu, Hadi meminta Mila untuk bersiap melakukan USG. ________Dengan jantung yang berpacu cepat, Zahra menyambut sang suami sembari tersenyum manis. Ia mencium tangan suaminya lalu mengambil alih tas kerja Samsul."Kau senang kan Abi datang cepat?" tanya Samsul berjalan menuju kamar diikuti Zahra di sampingnya yang tengah mengimbangi langkah besar Samsul."I-iya, Abi. Aku sangat senang.""Abi ingin mandi!" Zahra langsung meletakkan tas kerja suaminya di sofa lalu beranjak ke kamar mandi untuk menyiapkan air.Sesekali ia berbalik, takut suaminya sudah ada di belakangnya dan melakukan hal yang mesum. Ini kan mau Maghrib, rasanya sangat tak beradab berhubungan saat Maghrib.Setelah semuanya siap, Zahra keluar dari kamar mandi. Dilihatnya Samsul masih duduk di sofa tanpa membuka baju ataupun sepatu."Abi, katanya mau mandi sekarang," t
Rasa bimbang memenuhi dada Samsul, hatinya begitu sakit ketika dia diminta melakukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya. Namun, demi keharmonisan rumah tangganya bersama Zahra. Terpaksa ia menyanggupi saran Deni.____Zahra menarik malas kakinya menuju kamar. Namun matanya langsung menukik tajam pada sosok yang tengah duduk termangu di tepi ranjang. Sontak Zahra kaget, dilihatnya jam dinding. Waktu baru menunjuk angka lima. "Abi ...." Zahra berguman dalam hati. Tidak percaya apa yang tengah di lihatnya. Tidak biasanya Samsul pulang petang hari itu. Dan itu membuat Zahra bingung sekaligus senang. Perlahan Zahra melangkah masuk dan melihat Samsul mondar-mandir tidak jelas sambil sesekali memperjelas raut wajah bingung, hingga Zahra menutup pintu yang tentunya mencuri perhatian Samsul."Maaf Abi, Abi jam segini kok sudah di rumah?" tanya Zahra sopan mengingat ia seorang istri yang harus menjaga situasi suaminya yang seperti sedang memikirkan sesuatu. "Cepat kesini, ada yang