Bip....
Arma mendorong pintu lalu mengambil kantung yang tergeletak. Dia membawanya masuk lalu menutup pintu dengan kaki. Setelah itu dia menuju ruang tengah dan meletakkan kantung berjumlah lima itu di sana."Baru kali ini gue belanja lima sepatu," gumam Arma. "Tapi, bukan buat gue." Dia menatap kantung yang berjajar itu lalu berjalan menuju dapur. Dia mengambil air mineral dan menegaknya haus.Arma lalu kembali ke ruang tengah dan menuju meja kerjanya. Dia meletakkan tas mengeluarkan struk dan tabletnya di meja. Setelah itu dia segera memasukkan jumlah pemasukan hari ini."Bentar. Dia ngapain nyuruh gue nunggu?" Arma seketika ingat dengan ucapan Vezy tadi. "Ck! Ada meeting lagi." Dia merogoh tas dan mengeluarkan ponsel. Dia tidak mendapati pesan dari Razi yang mengabarkan meeting.Arma mengernyit. "Masa Vezy sakit lagi?" gumamnya lalu meletakkan ponsel di meja. Lebih baik dia mengurus pekerjaan yang lain.Tiga puluh menit kemudSemalam."Kak Vezy mau makan bareng?"Vezy hendak pulang saat Falma melontarkan pertanyaan. Dia mendapati gadis itu yang menatap penuh harap. "Sama lainnya juga?""Gue balik," bisik Razi yang mendengar ajakan Falma lalu berjalan lebih dulu."Gimana?" Falma menatap Vezy penuh harap.Vezy menoleh ke belakang, melihat tim Falma yang masih berada di ruangan. "Sama mereka juga?""Iya. Mau kan, Kak?""Oke!" Vezy menyanggupi. "Di mana?""Deket sini aja," ujar Falma lalu kembali masuk. Dia mengambil tasnya lalu mengajak Vezy berjalan keluar.Ternyata, Falma ikut satu mobil dengan Vezy. Sementara di mobil itu tinggal Pak Eben. Razi sepertinya memilih naik ojek online."Nanti yang lain nyusul," kata Falma. "Nggak apa-apa numpang mobil Kakak?""Nggak apa-apalah." Vezy memakai jaketnya lalu duduk bersandar. "Falma mengangguk. "Pak, ke resto Hujan, ya!" pintanya ke sopir Vezy. Dia lalu du
Arma tidak menyangka akan seperti ini. Dia mengakui perasaan aneh yang muncul semenjak bekerja bersama Vezy. Berkali-kali dia mengelak, tapi hatinya kembali tertuju ke Vezy. Arma tidak tahu perasaan ini benar atau tidak. Sebenarnya dia tidak ingin kembali jatuh cinta dan tersakiti. Tetapi nyatanya, dia tidak bisa menahan itu."Kita pacaran, kan?" tanya Vezy usai mencium Arma.Arma mengerjab, melihat wajah tampan yang sekarang memerah dan terdapat bintik keringat. Bahu lelaki itu naik turun dan terdengar napasnya yang memburu. Sama sepertinya. "Hmm....""Jawab yang bener.""Hmm....""Arma!" Vezy bangkit lalu bertolak pinggang. Dia memperhatikan Arma yang berbaring di sofa dengan posisi kurang nyaman itu.Arma tersenyum melihat Vezy yang menuntut jawaban. Perlahan dia duduk lalu kepalanya tertunduk. "Menurutmu?""Pacaran," jawab Vezy. "Tapi, jawab dulu. Nanti dikira kegeeran.""Ya udah.""Ya udah apa?" Ve
Saat pulang tadi, Mama Arma sudah terbangun. Tentu menginterogasi anaknya yang baru pulang. Arma merasa bersalah karena berbohong ada pekerjaan keluar kota. Padahal, dia menikmati malam bersama Vezy.Setelah itu Arma memutuskan ke kamar dan menguncinya. Jaga-jaga jika Salma tiba-tiba muncul dan menginterogasi. Dia tidak bisa menahan rahasia di depan Salma. Pasti gadis itu selalu bisa membuatnya untuk bercerita.Sampai rumah, Arma kembali mandi. Yah, hari masih pagi tapi dia mandi dua kali. Tentu saja dia melakukan itu untuk menghilangkan aroma sabun Vezy dan aroma lelaki itu. Arma benar-benar tidak ingin ada yang curiga."Oh iya, gue belum ngabarin," gumam Arma ingat permintaan Vezy sebelum pulang. Dia menggapai ponsel lalu mengirimkan pesan.Arma: Gue udah sampai.Arma meletakkan ponsel lalu berbaring di ranjang. Dia menarik selimut lalu berbaring miring. Saat itulah dia ingat saat tidur dipeluk Vezy. Arma menunduk, terbayang ada tangan
Jika sudah di tempat Vezy, Arma tentu tidak bisa pulang begitu saja. Usai meniup lilin sebagai tanda hari pertama jadian, mereka memilih menyantap kue strawberry itu. Sambil membicarakan kegiatan masing-masing."Nanti mau nggak dinner?"Arma sedang memakan stawberry berukuran besar saat tawaran itu terdengar. Dia menatap lelaki itu yang terlihat serius. Arma lalu duduk tegak dan meletakkan sisa stawberry begitu saja. "Dinner?""Iya. Mau nggak?" tawar Vezy. "Aku punya resto bagus. Gimana?""Kalau nanti ketahuan?""Ck! Biarin!"Arma menggeleng tegas. "Beritamu sama Falma aja masih rame.""Oh, ya?" Vezy menatap Arma yang mendadak bete. "Emang, kamu ngikutin beritanya?""Nggak juga.""Ngaku aja, Sayang."Arma menatap Vezy yang sekarang bertopang dagu dan menatapnya menggoda. "Tadi, pas mau searching nemu artikelmu di bagian atas.""Oh...." Vezy menurunkan tangannya. "Aku kira terus nyari t
"Kamu berhak bahagia, Arma."Napas Arma tercekat. Dia memandang Vezy yang terlihat marah setelah mendengar ceritanya. Dia memaksakan senyuman lalu melanjutkan makan. "Iya. Aku nggak akan peduliin omongan orang lain."Vezy mengangguk setuju. "Cuma aku dan kamu.""Iyalah. Emang mau sama siapa lagi?" canda Arma sambil mengedarkan pandang. "Sama hantu, kan?""Arma!" Vezy melotot.Arma mengernyit. "Kamu takut?" tanyanya membuat Vezy menunduk. "Seriusan kamu penakut?"Vezy mengangkat bahu. "Emang kamu berani ketemu hantu?""Hahaha. Nggak nyangka!" Arma menutup mulut dan melihat Vezy yang terlihat malu. "Yang lain tahu?""Enggak!" Vezy memakan saladnya hingga mulutnya penuh. "Udah makan aja."Arma berusaha menahan tawa. "Wajar kok, manusia takut hantu." Dia lalu memakan dan melanjutkan ke menu utama.Makan malam itu cukup sederhana bagi, Vezy. Tetapi, mereka bisa saling curhat. Pembicaraan yang membua
Rencana Vezy untuk mengajak liburan ternyata bukan bualan semata. Lelaki itu segera memesan tiket ke Bali dan mengambil penerbangan terakhir. Arma? Tentu saja mengomel.Arma sempat pulang untuk mengambil pakaian. Saat akan kembali ke tempat Vezy, ternyata lelaki itu menjemputnya. Beruntung tidak ketahuan Salma.Satu lagi, Arma kali ini merangkap tugas. Sebagai bagian keuangan, asisten sekaligus pacar Vezy. Dia tentu membawa barang yang harus dipromosikan.Sampai Bali saat tengah malam, tidak ada tujuan lain selain tempat penginapan. Vezy memesan vila agar lebih leluasa dan tidak banyak orang yang tahu. Tentu saja agar hubungannya dengan Arma tidak diketahui. "Besok, kita main," ajak Vezy. "Naik motor mau?"Arma mengangguk. "Sampai besok.""Ada yang kelupaan!"Arma hendak membuka gagang pintu kala Vezy mengatakan itu. Dia menoleh, melihat lelaki itu yang mendengus. Lantas dia berjinjit dan mengecup bibirnya. "Good night,
Lelaki yang duduk di balkon sambil memangku gitar itu terlihat sibuk. Jemarinya terus bergerak dari kunci gitar satu ke yang lain, mencari melodi yang indah. Setelah dirasa bagus, dia segera menulis di buku catatan.Suara angin dan ombak yang beriringan, membuat Vezy seolah fresh. Di kepalanya penuh dengan ide-ide untuk membuat lagu. Karena itu, tidak peduli tengah liburan dia memilih sibuk dengan gitarnya.Tidak jauh dari gazebo, ada seorang wanita yang sedang memanggang gurita. Dia menyempatkan ke pasar, membeli gurita yang masih fresh lalu mengolahnya. Kegiatannya, ditemani dengan alunan gitar dari arah gazebo.Arma menoleh, melihat Vezy yang memunggunginya dan seolah belum bisa lepas dengan gitarnya. Dia tersenyum samar lalu membalikkan daging gurita itu dan menekannya. Aroma gurih daging gurita membuat perutnya mulai keroncongan. Tetapi, sepertinya aroma itu tidak sampai ke Vezy. Buktinya sejak tadi lelaki itu tidak menoleh sama sekali."Kamu
Setelah lima hari liburan, Vezy dan Arma kembali. Mereka merasa jauh lebih hidup setelah melepas penat di Pulau Dewata. Vezy segera menggarap album barunya. Bahkan, dia lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerjanya untuk mengaransemen lagu.Usai liburan, Arma sempat libur sehari. Memang anak introvert, usai menghabiskan liburan pasti butuh waktu untuk istirahat. Arma mulai merasa tubuhnya pegal. Hingga di hari libur itu dia seharian tidur. Anggota keluarganya tidak kaget setiap ada acara di luar Arma pasti seperti itu.Hari ini, sayangnya Arma harus kembali bekerja. Kaki dan pundaknya masih terasa pegal, tapi tidak menghentikan niatnya untuk tetap profesional. Kali ini dia menyempatkan ke kantor agensi mengambil barang endorse untuk Vezy. Yah, dia memang sengaja memberi alamat kantor agensi agar lebih aman."Gimana kabar Vezy?"Arma baru beberapa langkah keluar dari lift saat pertanyaan itu terlontar. Dia menoleh ke kiri, melihat Tedo yang sed