Aku kembali ke resor saat langit sudah menggelap. Aku tidak khawatir untuk berjalan kaki pada malam hari di daerah ini karena pantai Putih tidak pernah sepi. Justru ketika malam hari, akan lebih banyak orang yang datang untuk menikmati angin malam dan aneka kuliner yang tersedia di tempat ini. Begitu aku sampai di resor, Lita langsung mengantarku ke villa. Villa yang kutempati tidak pernah disewakan pada pengunjung karena ini khusus untuk aku atau orang tuaku ketika kami berkunjung. Namun tentu saja orang tuaku hampir tidak pernah menginap di tempat ini karena kesibukan mereka. Hanya aku yang dulu sering datang dan menginap bersama teman-temanku. Resor milik papa ini terdiri dari beberapa villa mewah dengan berbagai ukuran dan harga. Untuk budget yang lebih ekonomis, papa juga membangun penginapan di sisi barat resor. Sedangkan villa yang kutempati letaknya agak jauh dibandingkan villa yang lain. Setelah mengantarku, Lita pergi dan kembali dengan membawakan aku makan malam. Dia
Aku tiba di pengadilan lima belas menit sebelum sidang dimulai. Aku melihat Shane berdiri di dekat mobilnya di parkiran begitu aku turun dari taksi. Aku menunduk sejenak untuk melihat penampilanku. Hari ini aku hanya mengenakan midi dress berwarna broken white yang kemarin dibeli Lita di butik langgananku. Biasanya aku suka menata rambutku, namun kali ini rambut hitam panjangku kubiarkan tergerai. Makeup yang kukenakan juga hanya sapuan sedikit lipgloss berwarna merah muda. Jika aku tak mengenakan makeup seperti ini berarti aku sedang percaya diri akan kulitku. Hasil treatmentku sudah mulai terlihat. Tepat ketika aku berjalan memasuki gerbang pengadilan, Shane menatapku. Ia terbentar sebentar sebelum akhirnya menghampiriku. Begitu kami berhadapan, kami sama-sama menghentikan langkah. Aku mengamati penampilan Shane. Ia mengenakan dress pants dan kemeja lalu dilapisi dengan blazer. Tidak biasanya ia berpakaian seperti ini di hari Senin. "Tumben gak pakai jas. Biasanya Senin banyak
Aku terbangun saat dingin AC yang sedari tadi menerpa kulitku kini berganti menjadi angin sejuk. Ketika aku membuka mata, rupanya mobil Shane sudah terparkir menghadap ke arah pantai Putih. Jendela mobil terbuka, memberi akses pada angin pantai masuk ke dalam mobil. AKu menoleh ke kursi kemudi. Shane tidak ada di sana. Ketika aku hendak keluar dari mobil untuk mencarinya, Shane tiba-tiba muncul dengan menenteng dua kantong plastik di tangannya.' "Kok berhenti di sini? Mas dari mana?" "Belum makan siang kan? Aku abis beli makanan," ucap Shane sembari mengeluarkan dua porsi nasi goreng dalam wadah styrofoam. Ia memberikan satu porsi padaku. Aku menerima nasi goreng itu. "Aku bisa makan di villa nanti." "Dimakan aja itu biar nanti pas sampai villa bisa langsung istirahat." Aku menggerutu sembari membuka penutup wadah nasi goreng. Wangi nasi gorengnya langsung merebak ke indra penciumanku. Aku segera mengambil sendok dan mulai menyendok nasi gorengku. "Hati-hati. Panas," ujar Sh
Shane tidak berbicara sama sekali dalam perjalanan menuju resort. Hanya sesekali ia bergumam ketika ada pengendara motor ugal-ugalan yang melewati mobilnya. Suasana menjadi canggung semenjak kami membahas tentang Leo. Untungnya jarak dari pantai Putih ke resort tidak jauh. Hanya sepuluh menit dengan kecepatan normal, jadi aku tidak perlu berlama-lama menghadapi kecanggungan ini. Kalau saja kami adalah pasangan suami istri 'normal' yang segera bercerai, pasti aku ini sudah tergolong kurang ajar karena membicarakan soal kemungkinan aku dijodohkan dengan pria lain bahkan sebelum perceraian kami resmi selesai.Shane menarik rem tangannya begitu kami tiba di depan villa yang kutempati. Ia menoleh padaku."Kamu yakin mau tinggal di sini?"Aku mengangguk seraya melepaskan sabuk pengamanku. "Yakin.""Tapi di villa sebesar itu cuma ada kamu sendiri," ujarnya masih berusaha membujukku.Aku tertawa kecil. "Lalu bedanya dengan di penthouse Mas apa? Di sana juga aku tidur sendiri. Mas jarang ada d
Tanganku bergetar sembari menggenggam ponselku dengan erat. Mataku berair selagi terus menatap judul sebuah artikel yang sedang menjadi trending topic di berbagai platform media sosial. SHANE ANDROMEDA TERTANGKAP KAMERA SEDANG MENGHABISKAN LIBURAN BERSAMA MANTAN KEKASIHNYA DI SEOUL. Aku tahu Shane tidak pernah mencintaiku dan aku tidak menyalahkannya akan hal itu. Kami berdua dijodohkan oleh kedua orang tua kami. Shane sudah berusaha selama dua tahun untuk menghindari perjodohan itu, tetapi titah kedua orang tuanya adalah mutlak. Meski Shane telah sukses mendirikan perusahaan real estate-nya sendiri, tapi modal terbesarnya berasal dari grup milik ayahnya sehingga mau tak mau, ia akan terus hidup di bawah naungan orang tuanya. Aku sendiri masih berusia delapan belas tahun ketika kami akhirnya dinikahkan tahun lalu. Yah, aku baru saja lulus dari SMA. Bagi orang tuaku, usiaku sudah mencapai angka legal untuk menikah. Meski mereka adalah konglomerat dengan latar belakang modern, tap
Dua hari sejak berita itu viral dimana-mana, akhirnya Shane pulang. Aku sedang duduk menonton televisi di ruang depan ketika mendengar suara pintu terbuka. Shane muncul dengan menyeret koper hitamnya. Ia selalu terlihat tampan luar biasa meski saat ini ada gurat lelah di wajahnya. Tanpa memedulikan kehadiranku, Shane berderap ke kamarnya. Sebelum ia sempat menggapai kenop pintu kamarnya, aku berdiri dan memanggil namanya. "Mas Shane." Gerakan Shane terhenti. Aku mendengar helaan nafas lelah darinya sebelum ia akhirnya berbalik dan menatapku. Ia tak mengucapkan apapun. Hanya berdiri diam dan menatapku tanpa ekspresi. "Kamu gak punya penjelasan apapun untuk aku?" tanyaku seraya berjalan ke arahnya. Shane menurunkan pandangannya untuk melihatku. Sementara aku mendongak untuk mempertemukan mata kami. Tinggi Shane mencapai 188 sentimeter. Dengan postur setinggi itu, kepalaku hanya mencapai dadanya, hampir perutnya malah. "Penjelasan apa yang kamu inginkan?" Aku menatapnya taj
Keesokan pagi, aku bangun dengan pening luar biasa. Semalaman aku menangis karena kesal. Aku tidak tahu apa yang membuatku seperti ini. Selama ini aku tahu Shane selalu mencintai Erina, tapi pria itu seolah sudah menyerah akan cintanya pada Erina. Aku tidak peduli pada siapa hati Shane dilabuhkan, asalkan ia berada di sini bersamaku. Perlahan, aku bangun dari ranjang dan berjalan keluar kamar. Aku melirik ke arah ruang gym yang pintunya dibiarkan terbuka. Shane sedang berada di sana, berkutat dengan barbelnya. Shane adalah pecinta body building. Dia hampir tidak pernah melewatkan olahraga di pagi hari. Dia seorang morning person. Selalu bangun pagi kemudian jogging di sekitar wilayah apartemen kami. Jika dia tidak sempat jogging, maka dia akan menambah waktu di ruang gym pribadinya seperti yang sekarang sedang ia lakukan. Tadi malam adalah pertama kalinya kami bertengkar hebat. Biasanya kami tidak pernah saling peduli. Namun entah kenapa aku benar-benar tidak terima dengan kenya
Shane segera menyeka dagunya kemudian menyodorkan tangannya padaku. "Siniin ponselnya." "Mami, Mas Shane mau ngomong lagi," ucapku seraya mengembalikan ponsel itu pada Shane. Rahang Shane menegang pertanda ia benar-benar sedang kesal. "Mami udah janji untuk gak memaksakan aku dan Melody untuk punya anak sampai kami siap. Itu syarat dari aku sebelum aku menyetujui perjodohan ini." "Iya, iya. Mami tahu. Tapi kan ini udah setahun, Shane. Lagian juga dengan punya anak, kamu pasti bakal lebih bahagia." Shane mengurut keningnya. "Cukup, Mi. Aku mau lanjutin sarapan. Aku sudah nurutin Mami dan Papi untuk menikah dengan pilihan kalian. Aku harap kalian juga tidak mengingkari kesepakatan kita di awal." Aku hanya terdiam sampai Shane memutuskan sambungan. Setiap kali Shane membicarakan pernikahan kami, rasanya menyakitkan. Padahal aku sendiripun dipaksa dalam perjodohan ini. Seharusnya aku bereaksi sama seperti Shane. Makin ke sini, aku merasa ada yang salah dengan diriku. Tidak. Ak
Shane tidak berbicara sama sekali dalam perjalanan menuju resort. Hanya sesekali ia bergumam ketika ada pengendara motor ugal-ugalan yang melewati mobilnya. Suasana menjadi canggung semenjak kami membahas tentang Leo. Untungnya jarak dari pantai Putih ke resort tidak jauh. Hanya sepuluh menit dengan kecepatan normal, jadi aku tidak perlu berlama-lama menghadapi kecanggungan ini. Kalau saja kami adalah pasangan suami istri 'normal' yang segera bercerai, pasti aku ini sudah tergolong kurang ajar karena membicarakan soal kemungkinan aku dijodohkan dengan pria lain bahkan sebelum perceraian kami resmi selesai.Shane menarik rem tangannya begitu kami tiba di depan villa yang kutempati. Ia menoleh padaku."Kamu yakin mau tinggal di sini?"Aku mengangguk seraya melepaskan sabuk pengamanku. "Yakin.""Tapi di villa sebesar itu cuma ada kamu sendiri," ujarnya masih berusaha membujukku.Aku tertawa kecil. "Lalu bedanya dengan di penthouse Mas apa? Di sana juga aku tidur sendiri. Mas jarang ada d
Aku terbangun saat dingin AC yang sedari tadi menerpa kulitku kini berganti menjadi angin sejuk. Ketika aku membuka mata, rupanya mobil Shane sudah terparkir menghadap ke arah pantai Putih. Jendela mobil terbuka, memberi akses pada angin pantai masuk ke dalam mobil. AKu menoleh ke kursi kemudi. Shane tidak ada di sana. Ketika aku hendak keluar dari mobil untuk mencarinya, Shane tiba-tiba muncul dengan menenteng dua kantong plastik di tangannya.' "Kok berhenti di sini? Mas dari mana?" "Belum makan siang kan? Aku abis beli makanan," ucap Shane sembari mengeluarkan dua porsi nasi goreng dalam wadah styrofoam. Ia memberikan satu porsi padaku. Aku menerima nasi goreng itu. "Aku bisa makan di villa nanti." "Dimakan aja itu biar nanti pas sampai villa bisa langsung istirahat." Aku menggerutu sembari membuka penutup wadah nasi goreng. Wangi nasi gorengnya langsung merebak ke indra penciumanku. Aku segera mengambil sendok dan mulai menyendok nasi gorengku. "Hati-hati. Panas," ujar Sh
Aku tiba di pengadilan lima belas menit sebelum sidang dimulai. Aku melihat Shane berdiri di dekat mobilnya di parkiran begitu aku turun dari taksi. Aku menunduk sejenak untuk melihat penampilanku. Hari ini aku hanya mengenakan midi dress berwarna broken white yang kemarin dibeli Lita di butik langgananku. Biasanya aku suka menata rambutku, namun kali ini rambut hitam panjangku kubiarkan tergerai. Makeup yang kukenakan juga hanya sapuan sedikit lipgloss berwarna merah muda. Jika aku tak mengenakan makeup seperti ini berarti aku sedang percaya diri akan kulitku. Hasil treatmentku sudah mulai terlihat. Tepat ketika aku berjalan memasuki gerbang pengadilan, Shane menatapku. Ia terbentar sebentar sebelum akhirnya menghampiriku. Begitu kami berhadapan, kami sama-sama menghentikan langkah. Aku mengamati penampilan Shane. Ia mengenakan dress pants dan kemeja lalu dilapisi dengan blazer. Tidak biasanya ia berpakaian seperti ini di hari Senin. "Tumben gak pakai jas. Biasanya Senin banyak
Aku kembali ke resor saat langit sudah menggelap. Aku tidak khawatir untuk berjalan kaki pada malam hari di daerah ini karena pantai Putih tidak pernah sepi. Justru ketika malam hari, akan lebih banyak orang yang datang untuk menikmati angin malam dan aneka kuliner yang tersedia di tempat ini. Begitu aku sampai di resor, Lita langsung mengantarku ke villa. Villa yang kutempati tidak pernah disewakan pada pengunjung karena ini khusus untuk aku atau orang tuaku ketika kami berkunjung. Namun tentu saja orang tuaku hampir tidak pernah menginap di tempat ini karena kesibukan mereka. Hanya aku yang dulu sering datang dan menginap bersama teman-temanku. Resor milik papa ini terdiri dari beberapa villa mewah dengan berbagai ukuran dan harga. Untuk budget yang lebih ekonomis, papa juga membangun penginapan di sisi barat resor. Sedangkan villa yang kutempati letaknya agak jauh dibandingkan villa yang lain. Setelah mengantarku, Lita pergi dan kembali dengan membawakan aku makan malam. Dia
Aku tiba di pantai Putih di waktu makan siang. Aku mematikan ponselku sebelum taksi yang kutumpangi berhenti tepat di depan resor milik papa. Aku memberi beberapa lembar uang seratus ribu pada si supir dan tak lupa berterima kasih sebelum turun dari taksi. Begitu aku turun dari taksi, kebetulan ada mobil milik resor yang hendak memasuki pekarangan. Mobil itu berhenti. Dua pegawai turun dari sana dan buru-buru menghampiriku dan membungkuk sopan. "Mbak Melody. Kenapa tidak memberitahu kami kalau mau datang? Kan bisa kami jemput," ucap karyawan yang bernama Rudi. Aku tersenyum pada mereka. "Saya sebenarnya gak ada rencana untuk kesini. TIba-tiba aja pengen." "Mbak Melody datang sendiri?" tanya si pegawai perempuan yang kukenali sebagai Lita. "Iya. Tadi naik taksi." "Kok gak sama Pak Shane?" tanya Lita bingung. "Mas Shane lagi sibuk. Oh iya. Sebenarnya aku datang karena pengen refreshing dan me-time, jadi jangan sampai papa atau siapapun tahu ya?" Rudi dan Lita saling tatap sejena
Hari terus berlalu. Tanpa terasa, besok adalah sidang pertama kami. Beberapa malam belakangan, aku tidak bisa tertidur nyenyak. Mimpi buruk tentang hari di mana pernikahan kami berakhir terus datang mengganggu tidurku. Rasanya begitu nyata sehingga aku bisa merasakan sesaknya ketika aku terbangun. Hari ini pun sama. Aku terbangun pukul tiga dini hari. Setelah itu, aku tidak bisa tertidur lagi. Jadi aku membuka tirai kamarku lalu duduk menghadap dinding kaca yang menampilkan pemandangan di bawah sana. Lampu-lampu gedung menyala terang di bawah langit malam. Rasanya sedikit menenangkan. Ketika langit mulai kebiruan, aku tersadar dari lamunanku. Badanku terasa sedikit kaku karena sudah terduduk begitu lama. Akhirnya aku berdiri dan pergi ke dapur. Tiba-tiba saja aku ingin memasak. Akhir-akhir ini rutinitasku adalah menonton video-video referensi memasak. Rupanya memasak tidak sesulit yang aku bayangkan. Aku membuka kulkas dan mengeluarkan fillet dada ayam, buncis, wortel, dan kenta
Aku mengurung diri di kamarku sampai malam. Kupikir Shane akan mengikutiku pulang, tapi sampai langit sudah menggelap, dia belum juga muncul. Sepertinya ia memilih untuk kembali ke kantornya dibandingkan harus menghadapi tantrumku. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Aku berdiri dan memutuskan untuk menggosok gigi dan membersihkan muka. Selepas menyelesaikan semuanya, aku menaiki ranjang. Di saat yang sama, pintu kamarku diketuk. Pasti Shane. Lebih baik aku tidak usah membukakan pintu untuknya. Dia akan mengira aku sudah tidur. "Aku tau kamu belum tidur," ujarnya dari luar. Sial!Dengan hati dongkol, aku berjalan ke pintu dan membukanya dengan kasar. "Apa?!" semprotku.Sejurus kemudian, mataku turun ke arah paper bag yang dijinjing Shane di tangan kanannya. Ia mengangkat paper bag tersebut di hadapanku. Itu merupakan paper bag dari merk mochi kesukaanku."Apa nih maksudnya?" tanyaku pura-pura tak tertarik."Makan dulu. Aku ngantri setengah jam untuk beli ini.""Ngapain? Aku kan
Begitu Shane melangkah masuk ke ruang pemeriksaan, ia mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Melody. Ia lalu menatap kedua polisi yang tadi menyambutnya."Mana istri saya?" tanyanya bingung.Kedua polisi itu saling pandang sejenak. "Lah tadi duduk di sini," ucap Rizal sembari menunjuk bangku kosong yang tadi diduduki oleh Melody.Adrian mendengus. "Sebentar, Pak Shane. Saya cek CCTV dulu."Shane mengangkat tangannya. "Tidak perlu," ucapnya seraya berjalan ke salah satu meja.Kedua polisi itu saling tatap heran ketika Shane berjongkok di salah satu meja. Kini mereka tahu alasannya. Rupanya Melody bersembunyi di sana.Shane menghela nafas ketika mendapati Melody meringkuk di bawah meja. Matanya sembap karena menangis. Wajahnya dipenuhi bintik-bintik merah yang Shane kenali sebagai bekas treatment."Aku... bakal perbaiki mobil kamu," cicit Melody.Shane menggeleng tak habis pikir kemudian menarik tangan Melody agar dia keluar dari kolong meja. Ia memeriksa seluruh tubuh Melody
Aku meringis ketika menatap pantulan wajahku di cermin. Bekas-bekas suntikan kini terlihat seperti bentolan-bentolan kecil kemerahan. "Beauty is pain... beauty is pain..." gumamku meyakinkan diri. Dita tersenyum padaku. "Gak lama kok itu bekasnya. Palingan juga gak sampai seminggu udah glowing lagi." Aku mengangguk. Benar-benar Shane dan Erina. Bisa-bisanya mereka membuatku harus menjalani treatment kulit seperti ini karena stress berlebihan. Setelah semuanya selesai, aku melakukan pembayaran. Sejenak, aku bingung ketika membuka dompetku. Seharusnya aku bisa saja menggunakan kartu kredit milikku sendiri, tapi tagihannya akan masuk ke papa. Tidak ingin menimbulkan kecurigaan, aku memutuskan untuk menggunakan kartu kredit pemberian Shane. Dia pasti masih di ruang rapat. Shane adalah tipe orang yang sangat disiplin mengenai pekerjaan. Kecil kemungkinan dia akan memeriksa email-nya. Akhirnya aku menyodorkan kartu pemberian Shane untuk membayar semua tagihan. Usai membayar, aku m