Shane segera menyeka dagunya kemudian menyodorkan tangannya padaku. "Siniin ponselnya."
"Mami, Mas Shane mau ngomong lagi," ucapku seraya mengembalikan ponsel itu pada Shane. Rahang Shane menegang pertanda ia benar-benar sedang kesal. "Mami udah janji untuk gak memaksakan aku dan Melody untuk punya anak sampai kami siap. Itu syarat dari aku sebelum aku menyetujui perjodohan ini." "Iya, iya. Mami tahu. Tapi kan ini udah setahun, Shane. Lagian juga dengan punya anak, kamu pasti bakal lebih bahagia." Shane mengurut keningnya. "Cukup, Mi. Aku mau lanjutin sarapan. Aku sudah nurutin Mami dan Papi untuk menikah dengan pilihan kalian. Aku harap kalian juga tidak mengingkari kesepakatan kita di awal." Aku hanya terdiam sampai Shane memutuskan sambungan. Setiap kali Shane membicarakan pernikahan kami, rasanya menyakitkan. Padahal aku sendiripun dipaksa dalam perjodohan ini. Seharusnya aku bereaksi sama seperti Shane. Makin ke sini, aku merasa ada yang salah dengan diriku. Tidak. Aku tidak boleh membiarkan perasaan itu muncul. Begini saja sudah menyesakkan, apa lagi kalau aku harus merasakan cinta bertepuk sebelah tangan pada laki-laki yang jelas tidak menginginkanku. "Jadi... pertemuan kamu dan Erina itu hanya kebetulan?" Aku memberanikan diri untuk bertanya sembari memotong omeletteku. Shane mengangguk singkat. "Memangnya gak bisa kalian hanya bertukar sapa dan gak perlu makan bareng?" Shane menautkan alisnya, pertanda ia tidak suka dengan ideku. "Memangnya kenapa kalau aku makan bareng Erina?" "Mas--" Shane segera memotong ucapanku. "Apa lagi yang perlu aku korbankan demi kamu, Mel?" tanyanya dingin. "Aku sudah pernah cerita tentang berapa lama aku berkencan dengan Erina kan? Dua belas tahun bukan waktu yang singkat. Selama itu juga baik aku dan Erina mati-matian untuk mendapatkan restu orang tua kami," ungkap Shane penuh penekanan. "Coba kalau kamu yang berada di posisinya. Bertahun-tahun bertahan, tetapi hasilnya nihil. Gimana perasaanmu?" Aku menggigit bibir bawahku. Jika sudah seperti ini, rasanya aku kalah telak. "Erina perempuan mandiri. Gak pernah sekalipun aku terbebani selama kami bersama. Aku gak harus selalu was-was tiap kali kami berjauhan karena aku tahu dia selalu bisa diandalkan. Begitu aku menikah dengan kamu, duniaku berubah. Aku harus selalu memikirkan apa kamu sudah makan atau belum. Apa kamu baik-baik saja di rumah. Semua itu karena kamu hanya anak manja yang tumbuh besar di keluarga kaya raya. Itu yang orang tuaku tidak pernah pertimbangkan. Mereka hanya melihat Erina sebagai gadis miskin yatim piatu." Aku mengepalkan tanganku. Semua ini mulai terasa tidak adil bagiku. "Aku selalu ingin belajar masak, tapi kamu yang ngelarang. Aku selalu mau bantu bersih-bersihin penthouse ini, tapi kamu gak pernah membiarkan aku belajar. Lalu sekarang kamu mengungkit semuanya?" balasku tak terima. Shane mendengus. "Karena aku tahu semua itu percuma. Kamu gak dilahirkan untuk hal-hal semacam itu. Lagian aku gak mau kamu malah mengacaukan semuanya dan ujung-ujungnya aku juga yang repot." Aku tertawa hambar. "Kamu sengaja kan?" "Apa?" tanya Shane bingung. "Kamu sengaja membiarkan aku seperti ini. Kamu ingin membuat aku selalu bergantung ke kamu biar kamu selalu punya cara untuk membanding-bandingkan aku dengan Erina." "Terserah kamu mau berpikir seperti apa. Yang jelas, kenyataannya memang ada beberapa orang yang harus selalu dilayani. Toh sebenarnya aku gak keberatan melakukan semua itu asalkan kamu juga tahu diri untuk gak membebani aku dengan hal-hal semacam melarang aku untuk bertemu atau makan dengan siapa." Nafsu makanku hilang seketika. Aku membanting alat makanku ke lantai lalu berdiri. "Melody!" tegur Shane. Aku tak peduli. Aku mendorong kasar piring dan gelasku hingga gelas terjatuh dan hampir menggelinding ke lantai kalau bukan Shane yang dengan sigap menangkap benda itu. "Berhenti bertindak seperti anak kecil, Melody!" Aku menatapnya penuh kekesalan. "You are the one who always call me 'kiddo', right?" (tr: kamu yang selalu memanggilku anak kecil bukan?) Setelah berucap demikian, aku berjalan meninggalkan ruang makan dengan menghentak-hentakkan kakiku. Aku mendorong apapun yang kutemui sepanjang perjalananku ke kamar. Hingga akhirnya aku tiba di kamar, aku masuk kemudian membantingkan pintu kuat-kuat. Benar yang diucapkan Shane. Tidak ada yang dapat diharapkan dari seorang anak manja sepertiku. Aku susah mengendalikan amarahku karena terbiasa hidup dalam tekanan selama tinggal bersama orang tuaku. Aku tahu pola asuh orang tuaku merupakan salah satu faktor yang membuatku seperti ini. Mereka begitu tegas padaku, tetapi juga begitu memanjakanku untuk urusan makanan, pakaian, dan sebagainya. Akhirnya begitu aku tinggal bersama Shane yang tidak begitu peduli padaku, aku menjadi bertingkah seenaknya.Sudah tiga hari semenjak perdebatan pagi itu, aku tidak menyentuh makanan yang dimasakkan Shane. Tiap kali aku lapar, aku akan pergi keluar dan makan di restoran terdekat. Kalau aku sedang tidak ingin keluar, aku akan berusaha memasak dengan bantuan tutorial di Youtube atau TikTok. Di hari pertama dan kedua, Shane tampak tidak peduli. Sampai akhirnya di hari ketiga, ia mulai jengah dengan sikapku. Tiap kali ia berangkat kerja, aku sengaja masih mengurung diri di kamar. Sarapan yang ia masakkan tidak kusentuh sama sekali. Makan siang dan makan malam yang ia pesankan di restoran mahal kemudian dikirim ke penthouse kami juga tidak pernah kumakan. Semua makanan itu hanya kuletakkan di meja makan. Aku sedang duduk di ruang tengah dengan kamera yang tersorot padaku ketika Shane pulang kerja. Hari ini beberapa barang yang kupesan baru saja tiba. Seperti biasa, aku akan merekam ketika aku membongkar paket-paket yang semua isinya adalah mainan-mainan viral. Biasanya Shane hanya akan mele
Aku melirik Shane yang juga sedang menatapku. Kami sama-sama fokus mendengarkan suara mama di sambungan. "Kalian sudah menikah satu tahun, tapi Melody belum juga hamil. Sebenarnya ada masalah apa? Kalian sudah pernah memeriksakan diri ke dokter, belum?" Aku memilin-milin ujung gaun selututku. Bingung hendak menjawab apa. Shane berdehem sebelum akhirnya buka suara. "Ma, Melody masih sangat muda. Mungkin memang belum waktunya." Mama berdecak. "Melody sudah dewasa, Shane. Justru karena dia masih muda, seharusnya dia masih sangat subur. Terus terang, mama dan papa serta orang tuamu mulai khawatir dengan pernikahan kalian terutama setelah artikel itu tersebar. Apa kalian benar-benar menjalankan rumah tangga selayaknya suami istri?" Nafasku mulai memburu. Sejak kecil, aku terkadang membohongi mama untuk menyelematkan diri ketika aku melakukan kesalahan. Tetapi kebohongan yang kulakukan hanyalah kebohongan-kebohongan kecil seperti berpura-pura sakit ketika lelah dengan semua les atau me
Beberapa hari belakangan, Shane terlihat sangat tertekan dan murung. Itu pasti karena tuntutan orang tua kami. Shane tidak pernah seperti ini jika hanya karena masalah pekerjaan. Shane yang aslinya selalu irit bicara di rumah, kini hampir tidak pernah mengeluarkan suara.Malam ini aku tidur lebih awal. Shane belum pulang saat aku sudah tertidur. Harus kuakui, tuntutan orang tua kami benar-benar membebaniku juga. Aku selalu mengalihkan pikiranku dengan belajar memasak dan bersih-bersih penthouse ini ketika Shane sedang tidak ada. Dapur menjadi bak kapal pecah setiap kali aku selesai melakukan eksperimen. Karena sibur membersihkan banyak hal, aku jadi kelelahan dan lebih mudah tidur.Di tengah malam, aku terbangun. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua lewat lima belas menit. Kerongkonganku terasa kering sehingga aku memutuskan untuk pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih.Saat aku hendak melintasi ruang tengah, kulihat Shane masih terjaga. Pria itu duduk di ruang
Begitu memasuki kamar Shane, ia mempersilahkan aku untuk duduk di ranjangnya. Aku duduk di tepi ranjang yang merupakan spring bed berukuran king size. Aku memijat-mijat jemariku yang terasa dingin saking gugupnya. "Aku ke kamar mandi dulu," ucap Shane yang kuangguki. Sembari menunggu Shane, aku menarik nafas dalam-dalam. Aku meyakinkan diriku bahwa seperti inilah seharusnya suami istri. Aku tidak tahu akan seperti apa ke depannya. Apakah yang akan kami lakukan ini akan membuka kesempatan untuk rumah tangga kami agar menjadi lebih baik, atau malah menyakiti salah satu dari kami pada akhirnya. Apapun itu, aku harus mencobanya. Semua kemungkinan sudah kupikirkan masak-masak, berikut rencana-rencana yang telah kususun. Beberapa menit kemudian, Shane melangkah keluar dari kamar mandi. Ia hanya mengenakan celana piyama sementara tubuh bagian atasnya terekspos. Aku selalu menyimpan kekaguman pada tubuh atletis Shane. Dada dan pundaknya lebar dan tegap. Di perutnya terdapat otot-otot
Malam ini, untuk pertama kalinya aku dan Shane melakukan aktivitas layaknya suami istri pada umumnya. Shane menyentuhku dengan hati-hati, gerakannya terasa canggung malah. Sementara aku, aku hanya mengikuti arahan Shane hingga akhirnya kami selesai pada pukul empat dini hari. Aku terlalu lelah untuk sekadar bergerak sehingga Shane berinisiatif membersihkan tubuhku menggunakan handuk dan air hangat. Setelah itu, ia juga membersihkan dirinya di kamar mandi kemudian kembali ke ranjang. Shane memastikan tubuhku tertutup selimut sebelum akhirnya berbaring di sampingku. Aku tidur menyamping membelakangi Shane. Suasana begitu canggung meski beberapa saat lalu kami begitu intim dan terus menyerukan nama satu sama lain selama penyatuan kami. Aku tahu kami tidak benar-benar bercinta, melainkan hanya melakukan kewajiban kami dalam pernikahan ini. Aku mencoba memejamkan mata. Rasanya begitu lelah, tapi aku tidak bisa tidur. Barangkali karena ini pertama kalinya aku tidur bersama Shane. "Uda
Aku menggedor keras pintu kamar Shane. Tak perlu waktu lama hingga Shane membuka pintu dengan raut heran. "Kamu apa-apaan sih?" "Kamu yang apa-apaan!" seruku marah. Shane membasahi bibir bawahnya dan menghindari tatapanku. "Ada apa lagi?" tanyanya dengan nada lelah. "Erina kembali ke sini dan kerja di perusahaan kamu?" Shane menyugar rambutnya. "Dia mendaftar melalui rekruitmen perusahaan. HRD perusahaan menganggap dia capable, ya jelas diterima." Aku mendorong dadanya. "Kamu udah gila ya, Shane? Dia itu mantan kamu! Kamu benar-benar gak menghargain aku ya?" "Aku harus profesional jika menyangkut perusahaan." "Profesional?" tanyaku tersenyum remeh. Aku bertolak pinggang. "Kamu pikir aku bego? Setelah kita setuju untuk mulai program anak, kamu tiba-tiba jadi sangat sibuk di perusahaan. Ternyata bukan sibuk. Cuma jadi lebih betah aja karena ada Erina rupanya di sana." Shane mendengus. "Kita sepakat untuk punya anak karena tuntutan orang tua kita. Bukan berarti kamu jad
Shane bukan selebritis maupun artis, tetapi ia sangat terkenal semenjak usianya masih remaja. Kala itu ia mulai aktif mengikuti ayahnya ke manapun ayahnya pergi dalam kegiatan-kegiatan entah itu yang bersangkutan dengan perusahaan maupun kegiatan amal. Papinya Shane adalah pemilik perusahaan yang bergerak di bidang food and beverage. Banyak produk perusahaan mereka yang terkenal di negara kami sehingga papinya sangat terkenal. Itulah sebabnya ketika papinya mulai memperkenalkan Shane pada publik, publik dibuat gempar oleh ketampanan Shane. Kala itu Shane masih berusia tujuh belas tahun. Samar-samar jika kuingat, aku sempat melihat wajah Shane beberapa kali terpampang di televisi. Usiaku waktu itu masih enam tahun, jadi aku tidak mengingat banyak. Meski dia tampan dan kaya raya, tapi aku tidak menggilai Shane terutama di awal perjodohan kami. Aku justru kesal karena dipaksa menikah di usia muda. Jika soal harta, orang tuaku juga memilikinya dalam jumlah besar. Dan soal ketampanan,
Begitu Shane pulang, aku langsung berdiri. Satu-satunya hal yang membuatku belum angkat kaki dari penthouse ini adalah karena Shane masih selalu pulang ke rumah. Dia tidak pernah menginap di luar yang menandakan dia tidak berhubungan sejauh itu dengan Erina. Entahlah. Dia sendiri juga tidak pernah menjelaskan apapun dan menenangkanku dengan baik. Shane berdecak ketika melihat wajah kesalku. "Apa lagi? Bukannya kita lagi dalam masa proses cerai? Kenapa masih harus nunjukin wajah begitu?" "Proses perceraian kita belum tuntas seratus persen, Shane. Bisa gak di akhir pernikahan ini, kamu kasih aku ketenangan sekali aja?" "Mau kamu apa sih? Kita sudah bercerai. Apa lagi masalahnya." "Status kamu masih suamiku, Mas! Dan dengan kamu selalu memamerkan Erina di sekitarmu." Shane menyugar rambutnya dengan wajah frustasi. "Again? Apa lagi kali ini? Karena foto saat main golf? Aku bawa beberapa manajer, Melody." Aku mengangguk. "Itu dia. Semua yang kamu bawa adalah orang-orang dengan
Begitu Shane melangkah masuk ke ruang pemeriksaan, ia mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Melody. Ia lalu menatap kedua polisi yang tadi menyambutnya."Mana istri saya?" tanyanya bingung.Kedua polisi itu saling pandang sejenak. "Lah tadi duduk di sini," ucap Rizal sembari menunjuk bangku kosong yang tadi diduduki oleh Melody.Adrian mendengus. "Sebentar, Pak Shane. Saya cek CCTV dulu."Shane mengangkat tangannya. "Tidak perlu," ucapnya seraya berjalan ke salah satu meja.Kedua polisi itu saling tatap heran ketika Shane berjongkok di salah satu meja. Kini mereka tahu alasannya. Rupanya Melody bersembunyi di sana.Shane menghela nafas ketika mendapati Melody meringkuk di bawah meja. Matanya sembap karena menangis. Wajahnya dipenuhi bintik-bintik merah yang Shane kenali sebagai bekas treatment."Aku... bakal perbaiki mobil kamu," cicit Melody.Shane menggeleng tak habis pikir kemudian menarik tangan Melody agar dia keluar dari kolong meja. Ia memeriksa seluruh tubuh Melody
Aku meringis ketika menatap pantulan wajahku di cermin. Bekas-bekas suntikan kini terlihat seperti bentolan-bentolan kecil kemerahan. "Beauty is pain... beauty is pain..." gumamku meyakinkan diri. Dita tersenyum padaku. "Gak lama kok itu bekasnya. Palingan juga gak sampai seminggu udah glowing lagi." Aku mengangguk. Benar-benar Shane dan Erina. Bisa-bisanya mereka membuatku harus menjalani treatment kulit seperti ini karena stress berlebihan. Setelah semuanya selesai, aku melakukan pembayaran. Sejenak, aku bingung ketika membuka dompetku. Seharusnya aku bisa saja menggunakan kartu kredit milikku sendiri, tapi tagihannya akan masuk ke papa. Tidak ingin menimbulkan kecurigaan, aku memutuskan untuk menggunakan kartu kredit pemberian Shane. Dia pasti masih di ruang rapat. Shane adalah tipe orang yang sangat disiplin mengenai pekerjaan. Kecil kemungkinan dia akan memeriksa email-nya. Akhirnya aku menyodorkan kartu pemberian Shane untuk membayar semua tagihan. Usai membayar, aku m
Shane lebih banyak diam sepanjang memimpin rapat. Padahal biasanya dia sangat aktif mengkritisi tiap-tiap laporan yang disusun semua divisi. Pun ketika ketua divisi pengembangan sedang menyampaikan rencana kerja mereka, Shane hanya sedikit berkomentar. "Divisi inti nih. Fokus dikit kek," bisik Yogas--kakak sepupu Shane yang menjabat sebagai COO di perusahaan. "Mereka baru sampai tahap riset lokasi. Gak ada yang perlu dikritiki," respon Shane seadanya. Yogas berdecak. "Ada apa sih? Balitamu tantrum lagi?" Sejak Shane dijodohkan dengan Melody, Yogas tidak pernah berhenti menggoda Shane. Yogas bahkan blak-blakan kalau Shane lebih cocok menjadi ayahnya Melody dibandingkan suaminya. Bukan karena Shane terlihat tua, melainkan karena Shane jadi lebih sering memikirkan soal rumah. Seolah-olah ia sedang meninggalkan anak kecil di sana. Shane hanya melempar tatapan sebal pada Yogas kemudian ia kembali menatap laptopnya sembari memutar-mutar pensil. "Makanya. Punya anak gih cepat biar M
Keesokan pagi, aku bangun lebih awal dari biasanya. Aku menyingkap selimut lalu bangkit dari tempat tidur. Aku berjalan gontai ke kamar mandi lalu membasuh wajahku. Kutatap pantulan diriku pada cermin lebar di hadapanku. Wajahku masih sedikit pucat. Kulitku juga tidak secerah biasanya, melainkan terlihat kusam. Rambut hitam panjangku juga tidak berkilau lagi, efek selama pemulihan di rumah sakit, aku hampir tidak bisa merawat diriku dengan maksimal. Shane membantu, tetapi tidak maksimal karena aku tidak nyaman disentuh olehnya terlalu banyak. Membantuku keramas dan memakaikan conditioner saja sudah cukup. Karena sudah merasa jauh lebih baik, kuputuskan hari ini aku akan pergi melakukan beberapa perawatan tubuh dan rambut. Sepertinya area mataku membutuhkan perawatan eye firming. Aku bisa melihat mata panda yang mulai muncul di area bawah mataku dikarenakan sering menangis dan kurang tidur belakangan ini. Bagiku tidak adil jika aku harus mengorbankan kulit mudaku karena masalah ru
Shane menatapku tak percaya. "Are you out of your mind, Melody? Itu anak aku juga," ujarnya terluka. (tr: kamu sudah gila?) Aku tersenyum meremehkan. "Oh, ternyata peduli ya? Kupikir kamu pedulinya cuma tentang Erina." Shane berdiri dari duduknya. "Kita baru saja kehilangan anak, Mel. Gak seharusnya kamu malah membahas topik itu lagi." Setelah berucap demikian, Shane berbalik dan meninggalkan ruang rawat inapku. Aku menghembuskan nafas berat dan menatap langit-langit kamar rumah sakit. Tidak ada yang bisa diperbaiki di antara kami. Tidak ada kesempatan untuk pernikahan di ujung tanduk ini. Sekarang setiap kali melihat Shane, yang kuingat hanyalah semua kekecewaan terhadap pernikahan kami. Aku memejamkan mata, berusaha untuk tidur. Rasa sakit masih terasa di tubuhku, tapi aku tidak begitu memedulikan hal itu lagi. Rasa sesak di hatiku lah yang lebih mendominasi. Aku sadar bahwa kelalaianku menjadi salah satu penyebab aku kehilangan anakku. Aku menyalahkan Shane karena ingin m
Begitu Shane pulang, aku langsung berdiri. Satu-satunya hal yang membuatku belum angkat kaki dari penthouse ini adalah karena Shane masih selalu pulang ke rumah. Dia tidak pernah menginap di luar yang menandakan dia tidak berhubungan sejauh itu dengan Erina. Entahlah. Dia sendiri juga tidak pernah menjelaskan apapun dan menenangkanku dengan baik. Shane berdecak ketika melihat wajah kesalku. "Apa lagi? Bukannya kita lagi dalam masa proses cerai? Kenapa masih harus nunjukin wajah begitu?" "Proses perceraian kita belum tuntas seratus persen, Shane. Bisa gak di akhir pernikahan ini, kamu kasih aku ketenangan sekali aja?" "Mau kamu apa sih? Kita sudah bercerai. Apa lagi masalahnya." "Status kamu masih suamiku, Mas! Dan dengan kamu selalu memamerkan Erina di sekitarmu." Shane menyugar rambutnya dengan wajah frustasi. "Again? Apa lagi kali ini? Karena foto saat main golf? Aku bawa beberapa manajer, Melody." Aku mengangguk. "Itu dia. Semua yang kamu bawa adalah orang-orang dengan
Shane bukan selebritis maupun artis, tetapi ia sangat terkenal semenjak usianya masih remaja. Kala itu ia mulai aktif mengikuti ayahnya ke manapun ayahnya pergi dalam kegiatan-kegiatan entah itu yang bersangkutan dengan perusahaan maupun kegiatan amal. Papinya Shane adalah pemilik perusahaan yang bergerak di bidang food and beverage. Banyak produk perusahaan mereka yang terkenal di negara kami sehingga papinya sangat terkenal. Itulah sebabnya ketika papinya mulai memperkenalkan Shane pada publik, publik dibuat gempar oleh ketampanan Shane. Kala itu Shane masih berusia tujuh belas tahun. Samar-samar jika kuingat, aku sempat melihat wajah Shane beberapa kali terpampang di televisi. Usiaku waktu itu masih enam tahun, jadi aku tidak mengingat banyak. Meski dia tampan dan kaya raya, tapi aku tidak menggilai Shane terutama di awal perjodohan kami. Aku justru kesal karena dipaksa menikah di usia muda. Jika soal harta, orang tuaku juga memilikinya dalam jumlah besar. Dan soal ketampanan,
Aku menggedor keras pintu kamar Shane. Tak perlu waktu lama hingga Shane membuka pintu dengan raut heran. "Kamu apa-apaan sih?" "Kamu yang apa-apaan!" seruku marah. Shane membasahi bibir bawahnya dan menghindari tatapanku. "Ada apa lagi?" tanyanya dengan nada lelah. "Erina kembali ke sini dan kerja di perusahaan kamu?" Shane menyugar rambutnya. "Dia mendaftar melalui rekruitmen perusahaan. HRD perusahaan menganggap dia capable, ya jelas diterima." Aku mendorong dadanya. "Kamu udah gila ya, Shane? Dia itu mantan kamu! Kamu benar-benar gak menghargain aku ya?" "Aku harus profesional jika menyangkut perusahaan." "Profesional?" tanyaku tersenyum remeh. Aku bertolak pinggang. "Kamu pikir aku bego? Setelah kita setuju untuk mulai program anak, kamu tiba-tiba jadi sangat sibuk di perusahaan. Ternyata bukan sibuk. Cuma jadi lebih betah aja karena ada Erina rupanya di sana." Shane mendengus. "Kita sepakat untuk punya anak karena tuntutan orang tua kita. Bukan berarti kamu jad
Malam ini, untuk pertama kalinya aku dan Shane melakukan aktivitas layaknya suami istri pada umumnya. Shane menyentuhku dengan hati-hati, gerakannya terasa canggung malah. Sementara aku, aku hanya mengikuti arahan Shane hingga akhirnya kami selesai pada pukul empat dini hari. Aku terlalu lelah untuk sekadar bergerak sehingga Shane berinisiatif membersihkan tubuhku menggunakan handuk dan air hangat. Setelah itu, ia juga membersihkan dirinya di kamar mandi kemudian kembali ke ranjang. Shane memastikan tubuhku tertutup selimut sebelum akhirnya berbaring di sampingku. Aku tidur menyamping membelakangi Shane. Suasana begitu canggung meski beberapa saat lalu kami begitu intim dan terus menyerukan nama satu sama lain selama penyatuan kami. Aku tahu kami tidak benar-benar bercinta, melainkan hanya melakukan kewajiban kami dalam pernikahan ini. Aku mencoba memejamkan mata. Rasanya begitu lelah, tapi aku tidak bisa tidur. Barangkali karena ini pertama kalinya aku tidur bersama Shane. "Uda