Beberapa hari belakangan, Shane terlihat sangat tertekan dan murung. Itu pasti karena tuntutan orang tua kami. Shane tidak pernah seperti ini jika hanya karena masalah pekerjaan. Shane yang aslinya selalu irit bicara di rumah, kini hampir tidak pernah mengeluarkan suara.
Malam ini aku tidur lebih awal. Shane belum pulang saat aku sudah tertidur. Harus kuakui, tuntutan orang tua kami benar-benar membebaniku juga. Aku selalu mengalihkan pikiranku dengan belajar memasak dan bersih-bersih penthouse ini ketika Shane sedang tidak ada. Dapur menjadi bak kapal pecah setiap kali aku selesai melakukan eksperimen. Karena sibur membersihkan banyak hal, aku jadi kelelahan dan lebih mudah tidur. Di tengah malam, aku terbangun. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua lewat lima belas menit. Kerongkonganku terasa kering sehingga aku memutuskan untuk pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Saat aku hendak melintasi ruang tengah, kulihat Shane masih terjaga. Pria itu duduk di ruang tengah dengan tatapan kosong. Aku ragu apakah aku harus mendekatinya atau tidak. Kalaupun aku menghampirinya, apa yang aku lakukan? Kami tidak sedekat itu untuk bercengkerama pada malam hari seperti ini. Aku memutuskan untuk melangkah ke dapur dan minum. Setelah itu, aku kembali ke ruang tengah dengan membawa jelly kemasan kecil di tanganku. Shane menatapku begitu aku berdiri di sampingnya. "Kenapa belum tidur?" tanyaku. "Belum ngantuk." Aku menyodorkan jelly itu padanya. "Nih. Sisa satu. Untuk kamu aja." Shane memandangi jelly pemberianku sesaat sebelum akhirnya mengambil jelly itu dari tanganku. Ia membuka kemasan jelly itu kemudian memasukkan isinya ke dalam mulut. "Mas..." panggilku pelan setelah ia menelan jelly pemberianku. "Hm?" Shane bergumam seraya memejamkan matanya. "Kamu mending tidur. Aku lagi gak ingin diganggu." "Kamu bisa jamin kalau kita punya anak, anak kita bakal bahagia?" Shane membuka matanya dan menatapku tak percaya. "Ap--apa maksud kamu?" tanyanya sedikit gelagapan. Aku memperhatikan gurat lelah pada wajah Shane. Kulit wajahnya yang biasanya selalu mulus terawat kini terdapat lingkaran gelap samar di bawah matanya. Meski pernikahan ini tidak dilandasi cinta, banyak perlakuan Shane yang tergolong baik padaku. Meski aku kerap kali tersakiti, tapi Shane pun demikian. Sejak awal kami dijodohkan, Shane sudah sangat tersakiti dengan harus melepaskan wanita yang ia cintai. Aku tahu keputusanku ini beresiko, tapi aku sudah punya rencana. Pewaris adalah hal yang paling didambakan oleh orang tua kami. Begitu kami memiliki anak, tidak akan ada lagi tuntutan besar dari orang tua kami. Aku tidak mau terus-terusan hidup dalam tekanan, dan aku tidak mau membiarkan Shane selalu terbebani setelah semua yang telah ia lalui. "Aku mau punya anak," ucapku tanpa ragu. Shane memandangiku cukup lama hingga ia akhirnya menggeleng. "Aku sudah bilang aku gak mau memaksakan kamu untuk melakukan hal yang tidak ingin kamu lakukan. Yang akan hamil itu kamu. Kamu yang berhak atas tubuh kamu. Bukan aku, orang tuamu, atau orang tuaku." "Terus sampai kapan kita akan menghindar? Lingkaran hitam di bawah matamu itu bukti kalau semua ini membebani kamu, bahkan juga aku. Aku yakin ini adalah tuntutan terakhir orang tua kita. Jadi, ayo kita selesaikan." "Kamu yakin?" tanya Shane. Aku mengangguk. "Yakin." Shane juga mengangguk. "Ya sudah. Kita coba kalau kamu sudah siap." "Aku siap malam ini," sahutku cepat. Mata Shane melebar. Aku bisa melihat semburat merah di pipinya. "Gak malam ini juga. Ini sudah setengah tiga. Kamu butuh menyiapkan mental." "Lebih cepat lebih baik, Mas. Aku gak mau Mama tiba-tiba datang dan bawa kita ke dokter. Kalau sampai Mama tahu gimana kondisi pernikahan kita..." aku menggigit bibir bawahku. "Bisa-bisa mereka nyuruh kita cerai. Aku gak mau pulang ke rumah orang tuaku dalam keadaan seperti ini." Shane tampak menimbang-nimbang sebelum akhirnya mengangguk. "Di mana? Kamar aku atau kamar kamu?" Kali ini giliran aku yang merasakan pipiku memanas. Aku hendak menjawab kamarku, tapi mengingat betapa banyaknya pernak pernik dan mainan yang kutaruh di kamarku, kurasa itu bukan ide bagus. Meski aku tidak pernah tidur di kamar Shane, tapi aku tahu untuk melakukan hal seperti itu, kamar Shane adalah pilihan yang lebih baik. "Kamar Mas aja."Begitu memasuki kamar Shane, ia mempersilahkan aku untuk duduk di ranjangnya. Aku duduk di tepi ranjang yang merupakan spring bed berukuran king size. Aku memijat-mijat jemariku yang terasa dingin saking gugupnya. "Aku ke kamar mandi dulu," ucap Shane yang kuangguki. Sembari menunggu Shane, aku menarik nafas dalam-dalam. Aku meyakinkan diriku bahwa seperti inilah seharusnya suami istri. Aku tidak tahu akan seperti apa ke depannya. Apakah yang akan kami lakukan ini akan membuka kesempatan untuk rumah tangga kami agar menjadi lebih baik, atau malah menyakiti salah satu dari kami pada akhirnya. Apapun itu, aku harus mencobanya. Semua kemungkinan sudah kupikirkan masak-masak, berikut rencana-rencana yang telah kususun. Beberapa menit kemudian, Shane melangkah keluar dari kamar mandi. Ia hanya mengenakan celana piyama sementara tubuh bagian atasnya terekspos. Aku selalu menyimpan kekaguman pada tubuh atletis Shane. Dada dan pundaknya lebar dan tegap. Di perutnya terdapat otot-otot
Malam ini, untuk pertama kalinya aku dan Shane melakukan aktivitas layaknya suami istri pada umumnya. Shane menyentuhku dengan hati-hati, gerakannya terasa canggung malah. Sementara aku, aku hanya mengikuti arahan Shane hingga akhirnya kami selesai pada pukul empat dini hari. Aku terlalu lelah untuk sekadar bergerak sehingga Shane berinisiatif membersihkan tubuhku menggunakan handuk dan air hangat. Setelah itu, ia juga membersihkan dirinya di kamar mandi kemudian kembali ke ranjang. Shane memastikan tubuhku tertutup selimut sebelum akhirnya berbaring di sampingku. Aku tidur menyamping membelakangi Shane. Suasana begitu canggung meski beberapa saat lalu kami begitu intim dan terus menyerukan nama satu sama lain selama penyatuan kami. Aku tahu kami tidak benar-benar bercinta, melainkan hanya melakukan kewajiban kami dalam pernikahan ini. Aku mencoba memejamkan mata. Rasanya begitu lelah, tapi aku tidak bisa tidur. Barangkali karena ini pertama kalinya aku tidur bersama Shane. "Uda
Aku menggedor keras pintu kamar Shane. Tak perlu waktu lama hingga Shane membuka pintu dengan raut heran. "Kamu apa-apaan sih?" "Kamu yang apa-apaan!" seruku marah. Shane membasahi bibir bawahnya dan menghindari tatapanku. "Ada apa lagi?" tanyanya dengan nada lelah. "Erina kembali ke sini dan kerja di perusahaan kamu?" Shane menyugar rambutnya. "Dia mendaftar melalui rekruitmen perusahaan. HRD perusahaan menganggap dia capable, ya jelas diterima." Aku mendorong dadanya. "Kamu udah gila ya, Shane? Dia itu mantan kamu! Kamu benar-benar gak menghargain aku ya?" "Aku harus profesional jika menyangkut perusahaan." "Profesional?" tanyaku tersenyum remeh. Aku bertolak pinggang. "Kamu pikir aku bego? Setelah kita setuju untuk mulai program anak, kamu tiba-tiba jadi sangat sibuk di perusahaan. Ternyata bukan sibuk. Cuma jadi lebih betah aja karena ada Erina rupanya di sana." Shane mendengus. "Kita sepakat untuk punya anak karena tuntutan orang tua kita. Bukan berarti kamu jad
Shane bukan selebritis maupun artis, tetapi ia sangat terkenal semenjak usianya masih remaja. Kala itu ia mulai aktif mengikuti ayahnya ke manapun ayahnya pergi dalam kegiatan-kegiatan entah itu yang bersangkutan dengan perusahaan maupun kegiatan amal. Papinya Shane adalah pemilik perusahaan yang bergerak di bidang food and beverage. Banyak produk perusahaan mereka yang terkenal di negara kami sehingga papinya sangat terkenal. Itulah sebabnya ketika papinya mulai memperkenalkan Shane pada publik, publik dibuat gempar oleh ketampanan Shane. Kala itu Shane masih berusia tujuh belas tahun. Samar-samar jika kuingat, aku sempat melihat wajah Shane beberapa kali terpampang di televisi. Usiaku waktu itu masih enam tahun, jadi aku tidak mengingat banyak. Meski dia tampan dan kaya raya, tapi aku tidak menggilai Shane terutama di awal perjodohan kami. Aku justru kesal karena dipaksa menikah di usia muda. Jika soal harta, orang tuaku juga memilikinya dalam jumlah besar. Dan soal ketampanan,
Begitu Shane pulang, aku langsung berdiri. Satu-satunya hal yang membuatku belum angkat kaki dari penthouse ini adalah karena Shane masih selalu pulang ke rumah. Dia tidak pernah menginap di luar yang menandakan dia tidak berhubungan sejauh itu dengan Erina. Entahlah. Dia sendiri juga tidak pernah menjelaskan apapun dan menenangkanku dengan baik. Shane berdecak ketika melihat wajah kesalku. "Apa lagi? Bukannya kita lagi dalam masa proses cerai? Kenapa masih harus nunjukin wajah begitu?" "Proses perceraian kita belum tuntas seratus persen, Shane. Bisa gak di akhir pernikahan ini, kamu kasih aku ketenangan sekali aja?" "Mau kamu apa sih? Kita sudah bercerai. Apa lagi masalahnya." "Status kamu masih suamiku, Mas! Dan dengan kamu selalu memamerkan Erina di sekitarmu." Shane menyugar rambutnya dengan wajah frustasi. "Again? Apa lagi kali ini? Karena foto saat main golf? Aku bawa beberapa manajer, Melody." Aku mengangguk. "Itu dia. Semua yang kamu bawa adalah orang-orang dengan
Shane menatapku tak percaya. "Are you out of your mind, Melody? Itu anak aku juga," ujarnya terluka. (tr: kamu sudah gila?) Aku tersenyum meremehkan. "Oh, ternyata peduli ya? Kupikir kamu pedulinya cuma tentang Erina." Shane berdiri dari duduknya. "Kita baru saja kehilangan anak, Mel. Gak seharusnya kamu malah membahas topik itu lagi." Setelah berucap demikian, Shane berbalik dan meninggalkan ruang rawat inapku. Aku menghembuskan nafas berat dan menatap langit-langit kamar rumah sakit. Tidak ada yang bisa diperbaiki di antara kami. Tidak ada kesempatan untuk pernikahan di ujung tanduk ini. Sekarang setiap kali melihat Shane, yang kuingat hanyalah semua kekecewaan terhadap pernikahan kami. Aku memejamkan mata, berusaha untuk tidur. Rasa sakit masih terasa di tubuhku, tapi aku tidak begitu memedulikan hal itu lagi. Rasa sesak di hatiku lah yang lebih mendominasi. Aku sadar bahwa kelalaianku menjadi salah satu penyebab aku kehilangan anakku. Aku menyalahkan Shane karena ingin m
Keesokan pagi, aku bangun lebih awal dari biasanya. Aku menyingkap selimut lalu bangkit dari tempat tidur. Aku berjalan gontai ke kamar mandi lalu membasuh wajahku. Kutatap pantulan diriku pada cermin lebar di hadapanku. Wajahku masih sedikit pucat. Kulitku juga tidak secerah biasanya, melainkan terlihat kusam. Rambut hitam panjangku juga tidak berkilau lagi, efek selama pemulihan di rumah sakit, aku hampir tidak bisa merawat diriku dengan maksimal. Shane membantu, tetapi tidak maksimal karena aku tidak nyaman disentuh olehnya terlalu banyak. Membantuku keramas dan memakaikan conditioner saja sudah cukup. Karena sudah merasa jauh lebih baik, kuputuskan hari ini aku akan pergi melakukan beberapa perawatan tubuh dan rambut. Sepertinya area mataku membutuhkan perawatan eye firming. Aku bisa melihat mata panda yang mulai muncul di area bawah mataku dikarenakan sering menangis dan kurang tidur belakangan ini. Bagiku tidak adil jika aku harus mengorbankan kulit mudaku karena masalah ru
Shane lebih banyak diam sepanjang memimpin rapat. Padahal biasanya dia sangat aktif mengkritisi tiap-tiap laporan yang disusun semua divisi. Pun ketika ketua divisi pengembangan sedang menyampaikan rencana kerja mereka, Shane hanya sedikit berkomentar. "Divisi inti nih. Fokus dikit kek," bisik Yogas--kakak sepupu Shane yang menjabat sebagai COO di perusahaan. "Mereka baru sampai tahap riset lokasi. Gak ada yang perlu dikritiki," respon Shane seadanya. Yogas berdecak. "Ada apa sih? Balitamu tantrum lagi?" Sejak Shane dijodohkan dengan Melody, Yogas tidak pernah berhenti menggoda Shane. Yogas bahkan blak-blakan kalau Shane lebih cocok menjadi ayahnya Melody dibandingkan suaminya. Bukan karena Shane terlihat tua, melainkan karena Shane jadi lebih sering memikirkan soal rumah. Seolah-olah ia sedang meninggalkan anak kecil di sana. Shane hanya melempar tatapan sebal pada Yogas kemudian ia kembali menatap laptopnya sembari memutar-mutar pensil. "Makanya. Punya anak gih cepat biar M
Begitu Shane melangkah masuk ke ruang pemeriksaan, ia mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Melody. Ia lalu menatap kedua polisi yang tadi menyambutnya."Mana istri saya?" tanyanya bingung.Kedua polisi itu saling pandang sejenak. "Lah tadi duduk di sini," ucap Rizal sembari menunjuk bangku kosong yang tadi diduduki oleh Melody.Adrian mendengus. "Sebentar, Pak Shane. Saya cek CCTV dulu."Shane mengangkat tangannya. "Tidak perlu," ucapnya seraya berjalan ke salah satu meja.Kedua polisi itu saling tatap heran ketika Shane berjongkok di salah satu meja. Kini mereka tahu alasannya. Rupanya Melody bersembunyi di sana.Shane menghela nafas ketika mendapati Melody meringkuk di bawah meja. Matanya sembap karena menangis. Wajahnya dipenuhi bintik-bintik merah yang Shane kenali sebagai bekas treatment."Aku... bakal perbaiki mobil kamu," cicit Melody.Shane menggeleng tak habis pikir kemudian menarik tangan Melody agar dia keluar dari kolong meja. Ia memeriksa seluruh tubuh Melody
Aku meringis ketika menatap pantulan wajahku di cermin. Bekas-bekas suntikan kini terlihat seperti bentolan-bentolan kecil kemerahan. "Beauty is pain... beauty is pain..." gumamku meyakinkan diri. Dita tersenyum padaku. "Gak lama kok itu bekasnya. Palingan juga gak sampai seminggu udah glowing lagi." Aku mengangguk. Benar-benar Shane dan Erina. Bisa-bisanya mereka membuatku harus menjalani treatment kulit seperti ini karena stress berlebihan. Setelah semuanya selesai, aku melakukan pembayaran. Sejenak, aku bingung ketika membuka dompetku. Seharusnya aku bisa saja menggunakan kartu kredit milikku sendiri, tapi tagihannya akan masuk ke papa. Tidak ingin menimbulkan kecurigaan, aku memutuskan untuk menggunakan kartu kredit pemberian Shane. Dia pasti masih di ruang rapat. Shane adalah tipe orang yang sangat disiplin mengenai pekerjaan. Kecil kemungkinan dia akan memeriksa email-nya. Akhirnya aku menyodorkan kartu pemberian Shane untuk membayar semua tagihan. Usai membayar, aku m
Shane lebih banyak diam sepanjang memimpin rapat. Padahal biasanya dia sangat aktif mengkritisi tiap-tiap laporan yang disusun semua divisi. Pun ketika ketua divisi pengembangan sedang menyampaikan rencana kerja mereka, Shane hanya sedikit berkomentar. "Divisi inti nih. Fokus dikit kek," bisik Yogas--kakak sepupu Shane yang menjabat sebagai COO di perusahaan. "Mereka baru sampai tahap riset lokasi. Gak ada yang perlu dikritiki," respon Shane seadanya. Yogas berdecak. "Ada apa sih? Balitamu tantrum lagi?" Sejak Shane dijodohkan dengan Melody, Yogas tidak pernah berhenti menggoda Shane. Yogas bahkan blak-blakan kalau Shane lebih cocok menjadi ayahnya Melody dibandingkan suaminya. Bukan karena Shane terlihat tua, melainkan karena Shane jadi lebih sering memikirkan soal rumah. Seolah-olah ia sedang meninggalkan anak kecil di sana. Shane hanya melempar tatapan sebal pada Yogas kemudian ia kembali menatap laptopnya sembari memutar-mutar pensil. "Makanya. Punya anak gih cepat biar M
Keesokan pagi, aku bangun lebih awal dari biasanya. Aku menyingkap selimut lalu bangkit dari tempat tidur. Aku berjalan gontai ke kamar mandi lalu membasuh wajahku. Kutatap pantulan diriku pada cermin lebar di hadapanku. Wajahku masih sedikit pucat. Kulitku juga tidak secerah biasanya, melainkan terlihat kusam. Rambut hitam panjangku juga tidak berkilau lagi, efek selama pemulihan di rumah sakit, aku hampir tidak bisa merawat diriku dengan maksimal. Shane membantu, tetapi tidak maksimal karena aku tidak nyaman disentuh olehnya terlalu banyak. Membantuku keramas dan memakaikan conditioner saja sudah cukup. Karena sudah merasa jauh lebih baik, kuputuskan hari ini aku akan pergi melakukan beberapa perawatan tubuh dan rambut. Sepertinya area mataku membutuhkan perawatan eye firming. Aku bisa melihat mata panda yang mulai muncul di area bawah mataku dikarenakan sering menangis dan kurang tidur belakangan ini. Bagiku tidak adil jika aku harus mengorbankan kulit mudaku karena masalah ru
Shane menatapku tak percaya. "Are you out of your mind, Melody? Itu anak aku juga," ujarnya terluka. (tr: kamu sudah gila?) Aku tersenyum meremehkan. "Oh, ternyata peduli ya? Kupikir kamu pedulinya cuma tentang Erina." Shane berdiri dari duduknya. "Kita baru saja kehilangan anak, Mel. Gak seharusnya kamu malah membahas topik itu lagi." Setelah berucap demikian, Shane berbalik dan meninggalkan ruang rawat inapku. Aku menghembuskan nafas berat dan menatap langit-langit kamar rumah sakit. Tidak ada yang bisa diperbaiki di antara kami. Tidak ada kesempatan untuk pernikahan di ujung tanduk ini. Sekarang setiap kali melihat Shane, yang kuingat hanyalah semua kekecewaan terhadap pernikahan kami. Aku memejamkan mata, berusaha untuk tidur. Rasa sakit masih terasa di tubuhku, tapi aku tidak begitu memedulikan hal itu lagi. Rasa sesak di hatiku lah yang lebih mendominasi. Aku sadar bahwa kelalaianku menjadi salah satu penyebab aku kehilangan anakku. Aku menyalahkan Shane karena ingin m
Begitu Shane pulang, aku langsung berdiri. Satu-satunya hal yang membuatku belum angkat kaki dari penthouse ini adalah karena Shane masih selalu pulang ke rumah. Dia tidak pernah menginap di luar yang menandakan dia tidak berhubungan sejauh itu dengan Erina. Entahlah. Dia sendiri juga tidak pernah menjelaskan apapun dan menenangkanku dengan baik. Shane berdecak ketika melihat wajah kesalku. "Apa lagi? Bukannya kita lagi dalam masa proses cerai? Kenapa masih harus nunjukin wajah begitu?" "Proses perceraian kita belum tuntas seratus persen, Shane. Bisa gak di akhir pernikahan ini, kamu kasih aku ketenangan sekali aja?" "Mau kamu apa sih? Kita sudah bercerai. Apa lagi masalahnya." "Status kamu masih suamiku, Mas! Dan dengan kamu selalu memamerkan Erina di sekitarmu." Shane menyugar rambutnya dengan wajah frustasi. "Again? Apa lagi kali ini? Karena foto saat main golf? Aku bawa beberapa manajer, Melody." Aku mengangguk. "Itu dia. Semua yang kamu bawa adalah orang-orang dengan
Shane bukan selebritis maupun artis, tetapi ia sangat terkenal semenjak usianya masih remaja. Kala itu ia mulai aktif mengikuti ayahnya ke manapun ayahnya pergi dalam kegiatan-kegiatan entah itu yang bersangkutan dengan perusahaan maupun kegiatan amal. Papinya Shane adalah pemilik perusahaan yang bergerak di bidang food and beverage. Banyak produk perusahaan mereka yang terkenal di negara kami sehingga papinya sangat terkenal. Itulah sebabnya ketika papinya mulai memperkenalkan Shane pada publik, publik dibuat gempar oleh ketampanan Shane. Kala itu Shane masih berusia tujuh belas tahun. Samar-samar jika kuingat, aku sempat melihat wajah Shane beberapa kali terpampang di televisi. Usiaku waktu itu masih enam tahun, jadi aku tidak mengingat banyak. Meski dia tampan dan kaya raya, tapi aku tidak menggilai Shane terutama di awal perjodohan kami. Aku justru kesal karena dipaksa menikah di usia muda. Jika soal harta, orang tuaku juga memilikinya dalam jumlah besar. Dan soal ketampanan,
Aku menggedor keras pintu kamar Shane. Tak perlu waktu lama hingga Shane membuka pintu dengan raut heran. "Kamu apa-apaan sih?" "Kamu yang apa-apaan!" seruku marah. Shane membasahi bibir bawahnya dan menghindari tatapanku. "Ada apa lagi?" tanyanya dengan nada lelah. "Erina kembali ke sini dan kerja di perusahaan kamu?" Shane menyugar rambutnya. "Dia mendaftar melalui rekruitmen perusahaan. HRD perusahaan menganggap dia capable, ya jelas diterima." Aku mendorong dadanya. "Kamu udah gila ya, Shane? Dia itu mantan kamu! Kamu benar-benar gak menghargain aku ya?" "Aku harus profesional jika menyangkut perusahaan." "Profesional?" tanyaku tersenyum remeh. Aku bertolak pinggang. "Kamu pikir aku bego? Setelah kita setuju untuk mulai program anak, kamu tiba-tiba jadi sangat sibuk di perusahaan. Ternyata bukan sibuk. Cuma jadi lebih betah aja karena ada Erina rupanya di sana." Shane mendengus. "Kita sepakat untuk punya anak karena tuntutan orang tua kita. Bukan berarti kamu jad
Malam ini, untuk pertama kalinya aku dan Shane melakukan aktivitas layaknya suami istri pada umumnya. Shane menyentuhku dengan hati-hati, gerakannya terasa canggung malah. Sementara aku, aku hanya mengikuti arahan Shane hingga akhirnya kami selesai pada pukul empat dini hari. Aku terlalu lelah untuk sekadar bergerak sehingga Shane berinisiatif membersihkan tubuhku menggunakan handuk dan air hangat. Setelah itu, ia juga membersihkan dirinya di kamar mandi kemudian kembali ke ranjang. Shane memastikan tubuhku tertutup selimut sebelum akhirnya berbaring di sampingku. Aku tidur menyamping membelakangi Shane. Suasana begitu canggung meski beberapa saat lalu kami begitu intim dan terus menyerukan nama satu sama lain selama penyatuan kami. Aku tahu kami tidak benar-benar bercinta, melainkan hanya melakukan kewajiban kami dalam pernikahan ini. Aku mencoba memejamkan mata. Rasanya begitu lelah, tapi aku tidak bisa tidur. Barangkali karena ini pertama kalinya aku tidur bersama Shane. "Uda