Rania menarik nafas dan membuangnya perlahan, Ia tak menolak perceraian ini, Ia hanya terus menghapus air mata yang seakan tidak mau berhenti mengalir di pipi mulusnya yang bersih alami. Pipi yang tidak pernah tersentuh skincare karena Ia teramat sayang menggunakan uang suaminya untuk kepentingan pribadinya. Rania hanya menabung pada rekening yang kartunya sendiri Ia berikan pada Aldi untuk menyimpannya. Betapa lugu dan tulusnya hati Rania dalam menyayangi dan mengabdi pada suaminya. Kini dirinya yang susah sendiri saat dibuang begitu saja oleh suaminya.
Rania selesai berkemas, sambil mendorong koper keluar, Ia bermonolog, Kemana aku harus pergi sekarang, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Tapi Ia tetap melangkah dengan tegar melewati Aldi yang duduk di ruang tamu.
Bi Inah memandang Rania dengan sayu, “saya pamit ya Bi, sampai berjumpa lagi di lain waktu, semoga kita masih ada waktu untuk bertemu”, pamit Rania sambil memeluk tubuh pembantunya.
Bi Inah mengangguk, “ hati-hati nyonya. Saya yakin Nyonya akan kembali dengan kemenangan. Allah bersama orang yang sabar”. Rania mengangguk mengaminkan.
“Assalamualaikum”, pamit Rania yang hanya dijawab oleh Bi Inah.
**
Rania berjalan menembus malam tanpa tahu tujuan. Ia akhirnya berhenti di depan masjid tak jauh dari komplek rumahnya. Rania hendak salat tahiyatul masjid dan salat hajat, Ia tak tahu harus kemana dan berbuat apa, oleh karenanya Rania memutuskan untuk salat supaya lebih tenang hatinya. Tak hentinya Ia menangis merutuki nasib hidupnya, ayah dan ibu pasti sedih melihatku seperti ini. Bagaimana kabar Ibu sekarang, Rania hampir tak pernah datang menjenguk sang Ibu yang sakit-sakitan semenjak menikah karena semua serba dibatasi oleh Aldi.
Saat melaksanakan salat, Rania tak henti-hentinya meneteskan air mata, Ia sungguh buntu tak tahu harus pergi kemana. Berkeliaran di jalanan juga bukan pilihan yang tepat karena jaman sekarang banyak kejahatan terjadi, apalagi ini sudah larut malam.
“Assalamualaikum Mbak Rania”, sapa seseorang dari shaft pria, rupanya dia adalah salah seorang security di komplek perumahan yang ditinggali Rania dan Aldi.
“Ah, waalaikumsalam Pak Yanto”, jawab Rania malu sambil menghapus air mata di pipi.
Pak Yanto melirik ke koper Rania, “maaf Mbak, kok mbak Rania sendirian saja di masjid dengan tas besar ini? kemana Pak Aldi?”, tanya satpam itu.
“Saya... “, Rania tak kuasa menahan tangis.
“Ada apa Mbak? Tidak usah sungkan, cerita saja”, ujar satpam berusia lima puluh tahun itu prihatin.
“Saya sudah diceraikan oleh Pak Aldi, Pak. Saya diminta meninggalkan rumah malam ini juga. Mohon jangan diceritakan ke warga lain ya, biar saja saya pergi degan tenang”, jawab Rania jujur.
“Astaghfirullah Mbak Rania!”, satpam itu terkejut bukan main.
Rania masih menunduk menyapu air mata yang terus saja menetes walau sudah berusaha ditahan.
“Walau sudah bercerai, Pak Aldi masih punya tanggung jawab untuk mengembalikan Mbak Rania dengan baik, tidak bisa lantas mengusir seenaknya. Orang hidup kan punya aturan. Mari ikut saya ke rumah pak RT Mbak, Ayo kita lapor”, ajak Pak Yanto.
Rania Menolak.
“Tidak usah Pak, nanti malah tambah runyam masalahnya, Pak Aldi bisa tambah marah dan saya malah lebih sulit posisinya karena saya tidak punya uang, pasti akan kalah saja dengan Pak Aldi”, jelas Rania. Ia tahu persis watak Aldi yang tidak pernah segan menggunakan uang dan kekuasaannya untuk menjatuhkan musuhnya, dan saat ini kebetulan musuhnya adalah dirinya, mantan istrinya sendiri. Rania tahu dirinya pasti akan kalah telak.
“Tapi Mbak Rania mau kemana sudah malam begini? Ini sudah hampir jam dua belas malam”, protes pak Yanto. Rania diam tak tahu harus menjawab apa, karea sejujurnya diapun bingung mau kemana.
“Begini saja Mbak, kita ke rumah Pak RT menceritakan keadaan yang sebenarnya, tapi tanpa perlu mengambil tindakan apapun pada pak Aldi. Setidaknya Mbak Rania sudah melapor, dan mungkin malam ini mbak Rania bisa bermalam dengan lebih aman di rumah Pak RT, jika diizinkan oleh Bu RT. Yang penting kita melapor dulu Mbak”, ajak Pak Yanto setengah memaksa.
Akhirnya Rania menurut karena tak punya pilihan.
Setelah mendengar penjelaskan Rania, kedua pasangan ketua RT itu meminta Rania untuk bermalam satu hari di rumahnya. Bu RT sampai ikut menangis mendengar Rania bicara walaupun Rania bisa menahan air matanya saat membuat laporan, Ia sudah tampak lebih tegar setelah salat dan menangis di masjid tadi. Ia tahu Ia tetap harus bangkit dan melanjutkan hidupnya, bahwa Ia tidak bisa hanya menangis terus menerus meratapi kisah hidupnya.
“Saya akan membuat perhitungan dengan Pak Aldi, sejujurnya banyak warga juga yang sudah melapor katanya sering melihat Pak Aldi membawa wanita ke rumah. Tapi kita diam saja karena tak ada laporan apa-apa dari istrinya. Akhirnya kita jadi berpikir wanita itu mungkin sanak saudara Pak Aldi & Ibu”, Pak RT menjeda kalimatnya sambil membuang nafas. Sebenarnya Ia sedikit kesal dengan Rania yang lemah dan menerima saja perlakuan Aldi yang suka membawa wanita lain ke rumahnya, namun untuk menyalahkan Rania saat ini, Ia pun tak tega. Ia melanjutkan bicara, “Tapi kalau sudah jelas seperti ini, bila saatnya tiba akan ada penggerebekan juga di rumahnya”, ujar pak RT lagi.
“Iya Pak segera digerebek saja daripada meresahkan warga”, timpal bu RT.
Pak Yanto juga mengangguk semangat menyetujui rencana pak RT.
Rania hanya diam saja tak menanggapi, Ia lebih memikirkan bagaimana kelanjutan hidupnya setelah ini. Ia tahu bahwa Ia harus bekerja lagi tapi harus mulai darimana untuk bertahan hidup sampai mendapat pekerjaan.Bu RT melihat Rania yang terdiam menunduk, hatinya jatuh iba pada wanita muda seumuran anak gadisnya yang terlihat cantik alami, dia tahu wanita ini wanita yang baik dan taat agama. Entah mengapa Rania bisa berjodoh dengan lelaki berperangai buruk seperti Aldi.“Nak Rania sementara bisa tinggal di rumah Ibu sampai mendapat pekerjaan. Maaf, apa nak Rania mau diupah membantu cuci piring di rumah makan Ibu?”, tawar Bu RT.Rania mendongak semangat lalu mengangguk, “Mau Bu, saya sangat berterima kasih sudah diberi tempat menginap malam ini dan juga pekerjaan cuci piring”, jawab Rania.Bu RT tersenyum lega, tadinya dipikir Rania akan menolak sebab sewaktu menjadi nyonya Aldi, kehidupan mereka dari luar nampak mewah.Rania menjalani kehidupannya dengan hati lapang, Ia perlahan mulai b
Rania bergeming di depan meja kerjanya memandangi kertas di tangannya yang berisi biodata pelamar bernama Aldi Pratama. Peristiwa itu sungguh amat membekas di hatinya, peristiwa sepuluh tahun yang lalu saat Ia diceraikan dan diusir dari rumah pernikahan mereka. Peristiwa yang membuatnya trauma untuk menikah lagi di usianya yang sudah hampir empat puluh tahun saat ini. Hidup sendiri tanpa keluarga bukan hal yang mudah, apalagi Ia diusir tanpa diizinkan membawa apapun juga, Rania yang hidup sebatang kara di Jakarta saat itu benar-benar putus asa tak tahu bagaimana bisa melanjutkan hidup, uang tidak ada, keluarga tidak ada, ayah telah meninggal karena sakit satu bulan setelah Rania menikah, hanya ada Ibu tapi beliau sudah sakit-sakitan karena tidak ada biaya pengobatan yang bisa Rania berikan sejak menikah dengan Aldi. Rania sangat sedih jika mengingat hal itu, harus mengorbankan baktinya kepada orang tua hanya demi mencintai seorang laki-laki yang ternyata menjadi satu-satunya orang yan
“Ayo Rania, kita berangkat sekarang?”, ajak Fahmi.Rania menoleh dengan sedikit terkejut dengan ponsel masih menempel di telinga.“Oops maaf. Lanjutkan saja dulu”, Fahmi mempersilahkan. Ia membetulkan posisi jas biru tuanya yang padahal memang sudah benar. Hanya untuk mengusir ketegangan sesaat.“Sudah selesai. Mari pak”, ajak Rania tersenyum sambil berjalan ke pintu. Fahmi mengekor di belakang Rania.Tatapannya berhenti pada seorang laki-laki yang tengah duduk menunggu di lobby sambil memandangi ponsel. Tubuhnya kurus dan kelihatan lebih tua. Tak lama terdengar reseptionist memanggil, “Pak Aldi Pratama silahkan menuju ruang meeting untuk bertemu Pak Heri”. Aldi mengangguk lantas berdiri. Cepat juga kerjanya Heri, Rania membatin.Rania mengalihkan pandangan dan berjalan sejajar dengan Fahmi ke arah mobil.“Kita mau makan siang dimana?”, tanya Fahmi membuka orolan.“Dimana saja Pak”, jawab Rania singkat.Fahmi kemudian mempersilahkan Rania untuk naik ke mobil sedan mewahnya.**Sementa
“Selamat siang pak Aldi”, sapa Heri saat masuk ke ruang meeting.Aldi langsung berdiri menyalami Heri, asisten sang mantan istri yang tidak Ia tahu.“Maaf menunggu lama, anda datang tepat dengan jam makan siang”, Heri mencoba mengklarifikasi karena tak enak sudha membiarkan tamunya menunggu hampir satu jam.“Tidak apa-apa Pak”, jawab Aldi.Heri mempersilahkan duduk, “Begini, direktur kami menanyakan kebenaran informasi yang tertulis di CV bapak, Apakah benar bapak berhenti bekerja atas kemauan sendiri bukan karena ada masalah?”, tanya Heri langsung pada intinya. Ia sudah mendapat informasi dari HRD bahwa memang reference checking Aldi tidak begitu baik pada perusahaan sebelumnya.Aldi terkejut dan mulai gugup.“Sa.. saya mau dimutasi ke luar kota makanya saya resign pak”, jawab Aldi.“Tapi kami cek mundur ke beberapa perusahaan tempat anda bekerja sebelumnya menginformasikan hal berbeda ya Pak”, jawab Heri lagi.Aldi mulai tak enak hati. Kebetulan banget direktur disini mau tahu bange
Gila, cantik banget Rania, batin Aldi. Dia tak menyangka setelah sepuluh tahun berlalu membawanya kembali bertemu mantan istri dalam kondisi yang berkebalikan dengan apa yang disangkakannya dahulu bahwa Rania akan jatuh tersungkur dengan kehidupan yang hancur lebur pasca bercerai dengannya. Tiba-tiba penyesalan menyeruak sampai ke akar hatinya mengingat bagaimana perlakuannya pada Rania dulu. Bukan hanya menceraikannya saja karena selingkuh, tapi juga mengusirnya di malam hari tanpa memperbolehkannya membawa harta apapun untuk bertahan hidup padahal Ia tahu persis Rania tidak punya penghasilan karena permintaannya juga dahulu agar Rania berhenti bekerja, ditambah lagi Ia juga telah membunuh psikis Rania dengan mengatai Rania mandul dan penyakitan karena saat itu Rania didiagnosa menderita kista berukuran 3 cm.Aldi menilik kehidupannya saat ini, Ia berasumsi Rania pasti hidup berkecukupan melihat penampilannya yang cantik dan menawan. Ataukah dia sudah menikah lagi? Dan suaminya mempe
Rania berusaha menyelesaikan pekerjaan dengan maksimal sebelum mengambil cuti panjang. Ia memang terbiasa bekerja dengan sangat keras sejak kembali bekerja pasca berpisah dengan Aldi dulu. Rania dan sang Ibu rencananya akan pulang kampung ke Yogyakarta lalu terbang ke Lombok untuk berlibur. Biasanya memang setiap tiga atau enam bulan sekali Rania akan meluangkan waktu untuk berlibur bersama Ibu kandungnya atau dengan Ibu RT yang pernah berbaik hati membantunya saat berada di titik terendah hidupnya pasca diusir oleh Aldi sepuluh tahun yang lalu. Ia tak pernah lupa berkunjung ke rumah itu walau sudah tak sesering dulu karena bertambahnya kesibukan Rania seiring dengan terus meningkatnya karir Rania di perusahaan komoditi alat berat yang berskala international ini. Tapi walau tak selalu bertemu Rania kerap menghubungi bu RT melalui telpon ataupun berkirim pesan. Seperti tahun kemarin saat Rania mendapat promosi kenaikan jabatan, hal pertama yang dilakukannya adalah menelpon Ibu kandungn
“Hah? Suami siapa maksud kamu, Her?”, tanya Rania .Heri terdiam.“Heri, bisa kamu cek langsung ke luar dan perjelas suami siapa yang dimaksud? Saya kuatir mereka salah orang. Apa ada yang bernama Rania lain disini?”, tanya Rania lagi.“Sepertinya hanya Ibu saja. Baik, saya akan keluar untuk memastikan. Permisi, Bu”, jawab Heri mengakhiri panggilan telpon.Heri dengan cepat mendatangi receptionis, dia tidak melihat ada sosok pria yang dirasa pantas disebut sebagai suami Rania, Ia menanyakan ke receptionist sambil menengok ke kanan dan ke kiri, tidak ada siapa-siapa. Hanya ada satu orang yang duduk memandangnya dengan tenang. Tapi Ia yakin hanya kebetulan saja orang itu berada disana. Heri mengaihkan pandangannya kembali ke Ita, si receptionist.“Mana suami Bu Rania?”“Itu”, jawab Ita sambil menunjuk ke arah laki-laki yang sedang duduk yang masih tetap memandangnya. Ponsel diletakannya di meja.Heri menoleh mengikuti arahan Ita, dia terkejut luar biasa. Itukan pelamar kemarin yang suda
Fahmi tengah menjawab beberapa email penting yang masuk untuk meminta persetujuannya perihal kontrak kerjasama juga tender dengan beberapa perusahaan besar termasuk perusahaan BUMN. Ia juga memeriksa laporan yang dikirim Rania, Ia merasa hampa. Semakin hari Ia semakin merasa beban pekerjaan terasa melelahkan, Ia sering merasa semua pencapaian karirnya tak berguna karena tak bisa juga Ia berikan kepada seseorang yang Ia cintai. Bertahun-tahun memendam kerinduan pada Rania tapi tak pernah berani mengungkapkannya membuat hidup pria ini seakan tak ada semangat. Ia merasa umur semakin bertambah tapi tak juga bisa memiliki keluarga dan anak-anak yang dapat menikmati hasil jerih payahnya. Beberapa kali Ia mencoba menunjukkan perhatian dan kasih sayang pada Rania, tapi sepertinya wanita itu tidak peka dan memilih menutup pintu hatinya rapat-rapat tanpa ada yang bisa membukanya kembali.“Rania, apa kamu berniat menikah kembali?”, tanya Fahmi kala itu saat mereka sedang makan siang bersama di l
Rania benar-benar merasa tak nyaman satu kantor dengan Aldi. Untungnya memang setelah menikah dengan Fahmi nanti dia berencana untuk resign dan mencari pekerjaan lain demi menjaga profesionalitas keduanya. Karena Rania dan Fahmi sama-sama memegang jabatan tinggi di perusahaan itu.Saat tak sengaja akan berpapasan, Rania selalu berputar arah demi menghindari pertemuan dengan mantan suaminya itu. Sungguh ia tak ingin melihat Aldi lagi, walau seluruh perasaan cinta dan benci mungkin sudah hilang, tapi rasa trauma akan kesakitan yang pernah Aldi tumpahkan padanya sangat membekas di hati wanita itu. Meskipun ia telah memaafkan Aldi dan Angela tapi ia tak ingin benar-benar memiliki urusan dengannya lagi.Rapat bulanan yang rutin diadakan di divisi penjualan yang dipimpin Rania membuatnya tak bisa sepenuhnya menarik diri dari Aldi. Karena dirinya merupakan orang nomor satu di divisi itu yang mengharuskannya memimpin rapat dan memastikan strategi tim penjualan berjalan sesuai target perusahaa
Beberapa hari kemudian di kantor.Pagi itu Rania tengah berjalan ke arah pantry untuk membuat teh manis hangat favoritnya saat langkahnya tiba-tiba terhenti karena tanpa sengaja ia melihat Aldi lewat di depannya. Rania hampir saja oleng jika tidak dengan cepat menguasai keadaan. Aldi tengah diajak berkenalan dengan departemen-departemen lain di kantor oleh staf HRD.Dengan cepat Rania berbalik badan demi menghindari pertemuan itu, dia ingin mendengar langsung dari Fahmi sendiri apa yang sebenarnya terjadi.Rania membatalkan keinginannya meminum teh di pagi hari ini, dia memilih melanjutkan langkahnya lurus ke depan ke arah ruangan Fahmi. "Pagi Rona", sapa Rania sambil tersenyum."Pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?", jawab sekretaris Fahmi sopan sambil berdiri membetulkan rok pendeknya. Rania hanya tersenyum melihatnya."Apa jadwal bapak kosong sekarang? atau beliau ada meeting pagi ini?", tanya Rania datar."Saat ini kosong, Bu. Tapi setengah jam lagi ada meeting dengan komisaris PT
Senin pagi di kantor, pintu ruangan Fahmi diketuk."Masuk", kata Fahmi tanpa mengalihkan pandangannya dari layar notebook.Aldi masuk bersama sekretaris Fahmi."Ini Pak Aldi, Pak, ada yang bisa saya bantu lagi?", tanya Rona, sang sekretaris dengan sopan."Tidak perlu, terima kasih, Ron", jawab Fahmi. Janda satu anak itu mengangguk lalu meninggalkan ruangan.Fahmi dan Aldi saling bersalaman lalu mempersilahkan Aldi duduk di sofa untuk menunggu."Tunggu sebentar ya Aldi, ada yang harus saya selesaikan dahulu", terang Fahmi.Aldi menurut. Ia mengitari pandangannya ke sekitar ruangan, betapa besar dan mewahnya ruangan ini, Aldi membatin. Dirinya saja bahkan belum sempat sampai di posisi ini dulu, tapi sudah sombong sekali dengan mantan istrinya waktu itu. Sekarang, dunia berputar. Orang yang akan ia mintai pekerjaan adalan calon suami dari mantan istri yang dibuangnya. Aldi memejamkan matanya berusaha mengusir galau yang melanda. Duh, aku harus fokus, jangan memikirkan Rania terus, Aldi b
Rania terkejut."Aldi! itu mas Aldi", tunjuk Rania spontan ke arah pintu pagar rumahnya. Fahmi ikut menoleh ke arah yang ditunjuk Rania. Ia bergegas menghampiri pagar dengan langkah tergesa. Rania mengikutinya di belakang."Untuk apa dia datang kesini, mas? Apa mas mengundangnya datang?", tanya Rania sedikit panik, ia memandang Fahmi dengan bingung, begitu pun Fahmi menatap Rania dengan kebingungan."Apa yang sedang kamu pikirkan, Rania? Disini tak ada siapa-siapa, tidak ada Aldi", terang Fahmi."Nggak mungkin, mas, tadi aku melihat dengan jelas dia ada disini", balas Rania dengan nada sedikit meninggi."Aku tidak mengundangnya, Rania. Lagian buat apa juga aku mengundang dia?", Fahmi balik bertanya. Rania tak menjawab. Ia pun bingung.Pak RT yang mengikuti Rania dan Fahmi sejak tadi juga berada di depan pagar rumah Rania memperhatikan sekeliling, dia tak menemukan siapa-siapa disini, apalagi Aldi yang dimaksud Rania. Rasanya tak masuk akal jika Aldi masih mempunyai muka bertemu Rania.
“Hah? Jadi Aldi kena penyakit kelamin juga?”, tanya Rania kaget.Fahmi mengangguk.“Astagfirullah!", ucap Rania sambil menutup mulut dengan tangannya. Fahmi hanya diam memperhatikan Rania yang tak dapat menyembunyikan kesedihan dan rasa kagetnya."Aku sama sekali tak menyangka Aldi dan Angela bisa terkena penyakit mematikan itu, mas. Aku sendiri bahkan tak pernah terpikir untuk mendoakan kejelekkan bagi mereka. Aku sungguh ikut prihatin dengan keadaan yang menimpa mereka”, ucap Rania sunguh-sungguh . Ternyata memang hanya belum usai saja pembalasan Tuhan kepada mantan suaminya itu, Rania membatin dengan sedih. Sejujurnya ia juga tak tega membayangkan kehidupan Aldi nanti jika terus menerus digerogoti penyakit seperti itu, tapi Allah yang Maha Lebih Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Fahmi mengangguk mengerti. Ia pun tahu persis seperti apa sifat Rania, wanita itu tak akan mampu mengucap doa jelek sekalipun kepada orang yang mungkin pernah menghancurkan dan menyakitinya.“Semoga A
"Aku benar-benar sayang sama kamu, jangan pernah kamu ragukan itu", ucap Fahmi lembut. Ia menatap wanita di hadapannya dengan rasa sayang yang teramat dalam.Ia tak punya alasan untuk mendebat Fahmi. Ia hanya merasa sangat melankolis saat dihadapkan pada dua orang lelaki yang kini ada di hidupnya, yang satu sangat ia benci, yang satu sangat ia sayang.“Maaf…”, hanya kata itu yang keluar dari mulut Rania.Fahmi tersenyum mengangguk lalu mengajak Rania kembali ke ruangan Angela.Di ujung jalan, Aldi melihat kejadian itu dengan sedih, ia mendengar semua perkataan Fahmi dan ia merasa cemburu. Ya, walau kecemburuannya sama sekali tidak berdasar, tapi penyesalan menyeruak ke dasar hatinya karena telah menyia-nyiakan wanita sebaik Rania. Aku benar-benar bersalah sama kamu, Rania, kamu terlalu baik buat aku makanya Allah memisahkan kita, ucap Aldi dalam hati. Ia pun berbalik arah untuk segera kembali ke ruangan dimana istrinya berada. Ia tak ingin Rania dan Fahmi mengetahui bahwa dirinya mend
Pintu ruangan diketuk pelan, Rania dan Fahmi masuk ke dalam dengan raut muka penyesalan, apalagi Rania yang tak bisa menyembunyikan kesedihannya menyaksikan kepergian Angela secepat itu setelah berbicara panjang lebar kemarin. Rania bersyukur telah memberitahu Angela bahwa ia telah memaafkan segala kesalahan yang pernah doperbuat Angela padanya. Fahmi menghampiri Aldi sementara Rania membuka kain penutup wajah Angela, dadanya mulai terasa sesak menyaksikan semua yang menimpa wanita perebut suaminya dulu, sungguh ia tak mengira begini akhir cerita hidup wanita yang dulu menghina dan mencemooh dirinya. Air mata membasahi pipi Rania, perlahan ia menghapusnya. Fahmi dan Aldi menghampiri Rania. Aldi menunduk melihat Rania, ia seperti tak sanggup menatap wajah teduh mantan istrinya. Betapa banyaknya dosa yang telah dia lakukan pada Rania, menghina dan mengusirnya tanpa menyadari bahwa Allah tak pernah tidur menyaksikan perbuatan hamba-hamba-Nya yang lewat batas dan lupa diri.“Rania...” ra
Aldi menoleh ke arah Rania dan menatapnya sekian detik, entah mengapa setiap kata-kata yang keluar dari mulut Rania terasa sangat indah saat ini untuk Aldi. Meskipun kalimat itu adalah bentuk teguran nyata untuk dirinya, bahkan masih tersirat kebencian di sorot matanya, tapi Aldi cukup lega karena setidaknya Rania masih mau menatapnya saat berbicara tadi.Fahmi berdehem untuk memecah kesunyian yang tercipta beberapa detik diantara mereka bertiga."Hmm... kalau begitu kami pamit dulu. Semoga istri kamu lekas sadar dan pulih. Kalau ada kemajuan ataupun penurunan kondisi, bisa hubungi saya. Rania butuh istirahat, kasihan dari kemarin dia sibuk bolak balik ke rumah sakit, besuk ibu saya juga. Jadi jangan sungkan menghubungi saya. ", Fahmi menyerahkan kartu nama miliknya ke depan Aldi.Aldi menerimanya dengan tatapan tak enak."Baik pak Fahmi, terima kasih", jawab Aldi.Rania dan Fahmi sudah meninggalkan kamar rawat Angela, mereka pulang setelah menjenguk nyonya Lastri di ruang perawatan da
"Jangan membuat keributan disini, ingat ini rumah sakit!", seru Rania dengan penekanan.Fahmi memandang tajam ke arah Aldi."Jangan jadi laki-laki pengecut, saya paling ngga suka lelaki kasar yang beraninya hanya sama perempuan. Kamu jangan pernah membangunkan macan tidur, saya disini untuk membantu kamu dan Angela, dan jelas itu semua karena Rania. Jadi kalau kamu memang tidak mau istri dan bayi kamu selamat, lebih baik bilang dari sekarang, jangan buang waktu saya dan Rania! Saya akan menarik kembali uang jaminan saya!", Fahmi memperingatkan Aldi dengan serius, raut mukanya memancarkan kemarahan yang dalam. Aldi menunduk mendengarnya. Ia merasa tak enak mendengar penuturan Fahmi. Apalagi dia masih berharap Fahmi dapat membantunya mendapat pekerjaan di perusahaannya, kalau belum apa-apa Fahmi sudah kesal padanya, bagaimana dia bisa membantu aku nanti? Aldi bermonolog dalam hati. Ditengah keadaan Angela dan bayinya yang sakit, Aldi masih sanggup memikirkan dirinya sendiri.Rania menat