Fahmi tengah menjawab beberapa email penting yang masuk untuk meminta persetujuannya perihal kontrak kerjasama juga tender dengan beberapa perusahaan besar termasuk perusahaan BUMN. Ia juga memeriksa laporan yang dikirim Rania, Ia merasa hampa. Semakin hari Ia semakin merasa beban pekerjaan terasa melelahkan, Ia sering merasa semua pencapaian karirnya tak berguna karena tak bisa juga Ia berikan kepada seseorang yang Ia cintai. Bertahun-tahun memendam kerinduan pada Rania tapi tak pernah berani mengungkapkannya membuat hidup pria ini seakan tak ada semangat. Ia merasa umur semakin bertambah tapi tak juga bisa memiliki keluarga dan anak-anak yang dapat menikmati hasil jerih payahnya. Beberapa kali Ia mencoba menunjukkan perhatian dan kasih sayang pada Rania, tapi sepertinya wanita itu tidak peka dan memilih menutup pintu hatinya rapat-rapat tanpa ada yang bisa membukanya kembali.“Rania, apa kamu berniat menikah kembali?”, tanya Fahmi kala itu saat mereka sedang makan siang bersama di l
“Ya, Rania masuk saja”, jawab Fahmi.Rania tersenyum lalu masuk beberapa langkah dan berhenti agak jauh di depan meja Fahmi, Ia memang tak berniat untuk mendekat atau duduk di depannya dan mengobrol berlama-lama karena hari sudah cukup malam dan Ia pun sudah lelah dengan situasi hari ini.“Bapak masih belum pulang?”, tanya Rania berbasa basi.“Sebentar lagi, Rania. Aku lagi mereview laporan dari area Bali dan Sumatra, sepertinya kalau melihat trend penjualan mereka yang kurang baik di kwartal dua, harus dipikirkan strategi lain untuk meningkatkan penjualan”, jawab Fahmi panjang lebar.Rania mengangguk-angguk tanda mengerti. Sudah malam begini masih saja bahas pekerjaan, mana bisa konsentrasi mikirin strategi jualan, apa dia nggak melihat posisi aku udah rapi pertanda udah siap pulang, udah bawa tas juga padahal, Rania membatin sebal. Otaknya sudah terasa penat sejak tadi, makanya dia memutuskan pulang, eh ini tiba-tiba bahas masalah yang tentunya membutuhkan kerja keras si otak untuk
Fahmi menggeleng lesu, "tidak mudah mengajaknya bertemu Ibu, Fahmi saja sulit mengungkapkan perasaan Fahmi. Dia sangat menutup hatinya, sulit mendapatkannya, Bu. Ia juga tak peka. Fahmi ngga tahu harus bagaimana”, jelas Fahmi. Suaranya terdengar pelan tak bersemangat.“Wanita kalau sudah begitu rapat menutup diri dan hatinya, itu pasti karena pernah sangat dikecewakan sebelumnya. Mungkin itu yang harus kamu pahami dulu sebelum bertindak jauh”, nasihat sang Ibu.Fahmi mengangguk mengiyakan, “Iya, dia pernah diusir dan diceraikan suaminya yang berselingkuh. Sepertinya dia mengalami trauma berat”, jawab Fahmi.Nyonya Lastri terkejut. “Astaghfirullah, malang benar nasibnya, pantas saja Ia menutup diri”.Fahmi diam saja menatap kosong ke depan. Nyonya Lastri menjadi iba, Ia yakin wanita yang diceritakan anaknya itu adalah wanita hebat dan baik. Tidak mungkin Fahmi jatuh cinta dan mantap hanya memilih wanita itu jika dia bukan wanita baik-baik. Selama ini dia tahu Fahmi cukup selektif dalam
Rania melipat mukenanya. Hari ini cukup melelahkan untuknya. Setelah membersihkan diri, Ia langsung naik ke tempat tidurnya yang luas, memeriksa sekilas email dan whatsapp group kantor yang mungkin membutuhkan jawaban persetujuannya segera. Tidak ada yang mendesak, Rania meletakkan kembali ipad hitamnya di nakas yang terletak di sisi ranjangnya yang cukup besar.Pintu kamarnya diketuk.“Masuk”, jawabnya dari dalam.Bi Inah membuka pintu, dan dengan ragu Ia mengintip.“Iya ada apa, Bi? Masuk aja, Rania belum tidur”, ucap Rania mengeraskan sedikit volume suaranya, khawatir tidak terdengar karena Ia tahu pendengaran Bi Inah sudah mulai terganggu. Asisten rumah tangganya itu kerap kali tidak mendengar saat Rania meminta tolong atau menyampaikan sesuatu, yang alhasil semua permintaannya kembali dikerjakan sendiri oleh Rania karena perkataannya sering tak bisa ditangkap Bi Inah dengan sempurna. Usia Bi Inah yang tak lagi muda, 55 tahun, membuat kesehatan orang tua yang bekerja padanya sejak
Rania menuju pantry dengan perasaan sedikit kesal, maksud hati pulang dari kantor mau cepat istirahat, tapi malah direpotkan dengan kedatangan tamu tak diundang yang kelaparan dan tiba-tiba meminta makan, dan dia sendiri yang kini harus menyiapkannya karena kemungkinan Bi Inah sudah istirahat di kamarnya, dan Rania tak mau mengganggunya.Diam-diam dalam hatinya pun bertanya, sepenting apa hal yang ingin disampaikan oleh atasannya itu, mengingat hari sudah malam, kalau mau membahas masalah pekerjaan juga sudah lumayan larut, mana bisa konsentrasi, sulit juga dipaksa berpikir apalagi mata udah berat begini, masa iya harus diskusi proyek di rumah anak buah. Apakah sebegitu mendesaknya harus malam ini juga dibahasnya? Tapi kalau bukan masalah pekerjaan, ya apa juga yang mau dibahas, mengingat dirinya dan Fahmi bukan siapa-siapa, tak ada yang istimewa. Rania tanya jawab sendiri dengan dirinya.Rania menghangatkan sisa makanan yang tak habis dimakannya saat makan malam tadi. Masih ada tahu
“A-a-apa saya tidak salah dengar? Bapak atasan yang terhormat di kantor, sedangkan saya hanya wanita biasa yang pernah gagal berumah tangga. Umur saya juga sudah tidak muda lagi, masih banyak perempuan muda dan cantik yang pasti dengan mudah bisa bapak dapatkan. Saya mempunyai banyak sekali kekurangan sampai saya ditinggalkan oleh mantan suami saya dulu. Bapak kan sedikit banyak sudah tahu yang terjadi pada saya”, jawab Rania apa adanya, dia bicara lancar tanpa jeda.“Iya Rania, saya tahu semuanya. Saya juga salah satu saksi hidup yang melihat perjuangan kamu untuk bangkit dari keterpurukan kamu dulu saat bercerai dengan mantan suami kamu. Tapi bukan berarti kamu ngga berhak lagi untuk dicintai dan bahagia. Semua orang punya masa lalu, begitu juga saya. Nggak ada orang yang hidup dengan sempurna, Rania. Hidup itu ada kalanya di atas dan di bawah, dan bercerai bukan akhir dari segala-galanya”. Fahmi mencoba meyakinkan Rania, hatinya sungguh sedih dengan jawaban Rania yang memandang ren
Rania bangun pagi lebih awal, entah mengapa Ia tidak lagi bisa tidur sejak bangun tahajud pukul tiga pagi tadi, padahal Ia baru tidur pukul sebelas malam, kira-kira tiga puluh menit setelah Fahmi pamit pulang. Ia merasakan pikirannya lebih enteng saat ini, mungkin karena akhirnya Ia kembali merasa berharga sebagai seorang manusia dan juga merasa dicintai lagi, tapi satu yang pasti Rania terharu sekaligus bahagia mengetahui perasaan Fahmi yang disimpan selama lebih dari tiga belas tahun, ia baru tahu ternyata ada orang yang mencintai dirinya setulus itu dan mampu bersabar dengan perasaan yang tak diungkapkannya. Padahal bisa saja dia menyatakan cintanya sebelum Rania menikah, tapi itu tak dilakukan Fahmi karena Ia tak mau mengganggu hubungan yang dijalani Rania saat itu. Fahmi tidak akan sampai hati memaksakan perasaannya sedangkan dia tahu Rania sangat mencintai mantan suaminya dulu.“Pagi Mba Rania”, sapa Bi Inah dari ujung dapur. Wanita tua itu sedang mengeringkan beberapa perabotan
Ada perasaan kehilangan dan menyesal di hati Aldi tapi tak ada yang bisa dia lakukan untuk membawa Rania kembali karena Ia pun tak tahu persis dimana Rania tinggal. Sementara yang dia tahu ketika itu Angela telah hamil anaknya. Ia juga tahu pasti kalau Rania hanya sebatang kara di Jakarta, tapi tetap Ia paksa juga Rania untuk pergi malam itu juga tanpa tahu arah tujuan.Selama menikah dengan Aldi, Rania tidak pernah pergi keluar rumah kecuali bersama Aldi jadi dia belum terlalu mengenal wilayah Jakarta sepenuhnya. Karena itu dia memilih mengontrak di dekat situ, tak jauh dari bekas rumahnya dulu bersama Aldi tak lama setelah mendapat pekerjaan di kantor Fahmi. Kebebasan masa mudanya memang terenggut habis-habisan hanya karena satu alasan saja yaitu pengabdian kepada suami. Segala cita-cita dalam membangun karir telah dikuburnya dalam-dalam, dan dengan hati ikhlas hanya keridhaan suamilah yang akhirnya menjadi cita-cita Rania setelah menikah. Sayangnya, Ia mengabdi pada orang yang sal
"Aku benar-benar sayang sama kamu, jangan pernah kamu ragukan itu", ucap Fahmi lembut. Ia menatap wanita di hadapannya dengan rasa sayang yang teramat dalam.Ia tak punya alasan untuk mendebat Fahmi. Ia hanya merasa sangat melankolis saat dihadapkan pada dua orang lelaki yang kini ada di hidupnya, yang satu sangat ia benci, yang satu sangat ia sayang.“Maaf…”, hanya kata itu yang keluar dari mulut Rania.Fahmi tersenyum mengangguk lalu mengajak Rania kembali ke ruangan Angela.Di ujung jalan, Aldi melihat kejadian itu dengan sedih, ia mendengar semua perkataan Fahmi dan ia merasa cemburu. Ya, walau kecemburuannya sama sekali tidak berdasar, tapi penyesalan menyeruak ke dasar hatinya karena telah menyia-nyiakan wanita sebaik Rania. Aku benar-benar bersalah sama kamu, Rania, kamu terlalu baik buat aku makanya Allah memisahkan kita, ucap Aldi dalam hati. Ia pun berbalik arah untuk segera kembali ke ruangan dimana istrinya berada. Ia tak ingin Rania dan Fahmi mengetahui bahwa dirinya mend
Pintu ruangan diketuk pelan, Rania dan Fahmi masuk ke dalam dengan raut muka penyesalan, apalagi Rania yang tak bisa menyembunyikan kesedihannya menyaksikan kepergian Angela secepat itu setelah berbicara panjang lebar kemarin. Rania bersyukur telah memberitahu Angela bahwa ia telah memaafkan segala kesalahan yang pernah doperbuat Angela padanya. Fahmi menghampiri Aldi sementara Rania membuka kain penutup wajah Angela, dadanya mulai terasa sesak menyaksikan semua yang menimpa wanita perebut suaminya dulu, sungguh ia tak mengira begini akhir cerita hidup wanita yang dulu menghina dan mencemooh dirinya. Air mata membasahi pipi Rania, perlahan ia menghapusnya. Fahmi dan Aldi menghampiri Rania. Aldi menunduk melihat Rania, ia seperti tak sanggup menatap wajah teduh mantan istrinya. Betapa banyaknya dosa yang telah dia lakukan pada Rania, menghina dan mengusirnya tanpa menyadari bahwa Allah tak pernah tidur menyaksikan perbuatan hamba-hamba-Nya yang lewat batas dan lupa diri.“Rania...” ra
Aldi menoleh ke arah Rania dan menatapnya sekian detik, entah mengapa setiap kata-kata yang keluar dari mulut Rania terasa sangat indah saat ini untuk Aldi. Meskipun kalimat itu adalah bentuk teguran nyata untuk dirinya, bahkan masih tersirat kebencian di sorot matanya, tapi Aldi cukup lega karena setidaknya Rania masih mau menatapnya saat berbicara tadi.Fahmi berdehem untuk memecah kesunyian yang tercipta beberapa detik diantara mereka bertiga."Hmm... kalau begitu kami pamit dulu. Semoga istri kamu lekas sadar dan pulih. Kalau ada kemajuan ataupun penurunan kondisi, bisa hubungi saya. Rania butuh istirahat, kasihan dari kemarin dia sibuk bolak balik ke rumah sakit, besuk ibu saya juga. Jadi jangan sungkan menghubungi saya. ", Fahmi menyerahkan kartu nama miliknya ke depan Aldi.Aldi menerimanya dengan tatapan tak enak."Baik pak Fahmi, terima kasih", jawab Aldi.Rania dan Fahmi sudah meninggalkan kamar rawat Angela, mereka pulang setelah menjenguk nyonya Lastri di ruang perawatan da
"Jangan membuat keributan disini, ingat ini rumah sakit!", seru Rania dengan penekanan.Fahmi memandang tajam ke arah Aldi."Jangan jadi laki-laki pengecut, saya paling ngga suka lelaki kasar yang beraninya hanya sama perempuan. Kamu jangan pernah membangunkan macan tidur, saya disini untuk membantu kamu dan Angela, dan jelas itu semua karena Rania. Jadi kalau kamu memang tidak mau istri dan bayi kamu selamat, lebih baik bilang dari sekarang, jangan buang waktu saya dan Rania! Saya akan menarik kembali uang jaminan saya!", Fahmi memperingatkan Aldi dengan serius, raut mukanya memancarkan kemarahan yang dalam. Aldi menunduk mendengarnya. Ia merasa tak enak mendengar penuturan Fahmi. Apalagi dia masih berharap Fahmi dapat membantunya mendapat pekerjaan di perusahaannya, kalau belum apa-apa Fahmi sudah kesal padanya, bagaimana dia bisa membantu aku nanti? Aldi bermonolog dalam hati. Ditengah keadaan Angela dan bayinya yang sakit, Aldi masih sanggup memikirkan dirinya sendiri.Rania menat
"Bagaimana bisa dia hamil sekarang? itu bukan anakku!", teriak Aldi histeris. Fahmi menarik paksa Aldi keluar dari kamar, dia bahkan sampai menyeret Aldi dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Untung saja Aldi tak banyak perlawanan.Bunyi pintu kamar yang didorong paksa dari dalam mengejutkan Rania yang sudah lebih dulu berdiri karena sebelumnya sudah merasa ada yang tak beres di dalam kamar. Rania mundur beberapa langkah saat melihat Aldi di dorong oleh Fahmi keluar, kerah baju di pegang kuat oleh Fahmi, sementara satu tangannya yang lain juga dikunci gerakannya oleh Fahmi. Setelah pintu tertutup dengan sempurna Fahmi melepaskan tubuh Aldi dengan kasar hingga Aldi nyaris terjatuh.Geram sekali dia melihat sikap Aldi yang pengecut. Apa yang sudah terjadi adalah buah dari apa yang pernah kita perbuat di masa lalu, harusnya Aldi introspeksi diri, bukan malah terus menyalahkan orang lain atas apa yang sudah terjadi. Walau bagaimana pun, Angela adalah istrinya, kehamilannya harus tetap dit
Dokter datang memeriksa keadaan Angela, ia cukup heran dengan kemajuan yang ditunjukkan perempuan itu. Padahal sebelumnya sudah segala cara dikerahkan supaya pasien ini sadar dari pingsannya tapi tak juga menunjukkan hasil apa-apa. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah tak adanya detak jantung dalam waktu yang relatif lama dimana grafik pada layar sempat stagnan berada di garis lurus, makanya ia mulai menyerah dan meminta Aldi untuk menghubungi orang-orang terdekatnya supaya Angela bisa pergi dengan tenang disaksikan keluarga agar tidak ada penyesalan.Dia juga merasa heran kenapa Aldi sebagai suami tidak mengatakan padanya kalau istrinya ini sedang hamil, sehingga dari awal dokter di rumah sakit pun tidak mereferensikan Angela ke dokter kandungan untuk memeriksa kondisi kehamilannya. Entah apa yang ada di pikiran sang dokter, image Aldi sebagai seorang suami memang sudah tampak jelek sejak bermasalah dari awal kedatangannya di rumah sakit ini. Tidak memiliki biaya tapi gayanya selan
Rania dan Fahmi tiba di depan kamar rawat Angela. Aldi mempersilahkan masuk.Kondisi Angela semakin memprihatinkan.Rania mulai mendekati Angela, ia memanggil Angela dengan berbisik di telinga kanannya, satu tangannya menggenggam tangan kanan Angela, ia berharap Angela bisa merasakan kehadirannya."Angela... Angela", panggil Rania. Tak ada jawaban, Angela masih tak sadarkan diri. Fahmi berdiri di samping Rania memberi kekuatan bagi wanita di sebelahnya. Aldi memperhatikan istrinya yang tertidur pulas, bibirnya terlihat pucat pasi, entah apa Angela masih punya kesempatan untuk hidup dan berbicara lagi dengan Rania, ia benar-benar tak tahu. Sesekali ia melirik ke arah Rania dan Fahmi, melihat lelaki itu begitu lembut saat berbicara dengan mantan istrinya, ada sejengkal rasa cemburu merajai hatinya. Penyesalah dirasakan menyeruak dari dasar hatinya mengingat masa dulu dirinya pernah mengkhianati ketulusan wanita itu, wanita penurut yang begitu ingin berbakti padanya, yang sayangnya semua
Dokter menggeleng lemah melihat kondisi Angela, dia tahu tidak ada harapan lagi untuk menyembuhkannya. Berbagai cara sudah dilakukan tapi nafas Angela tetap tak terdengar, detak jantungnya sudah tak ada sejak tiga puluh menit yang lalu walau sudah diupayakan menggunakan alat defribillator untuk memberikan kejutan listrik ke jantungnya. Dokter dan suster saling menatap putus asa karena tak bisa melakukan apa-apa lagi."Pak Aldi, tolong hubungi orang yang dirasa penting untuk bu Angela. Apakah orang tuanya masih ada?", tanya sang dokter.Aldi menggeleng lesu. "Bu Angela butuh seseorang yang bisa membangkitkan semangatnya untuk hidup, entah siapa tapi saya yakin ada yang benar-benar ditunggu oleh bu Angela", ucap dokter lagi.Aldi menarik nafas dan membuangnya perlahan."Mungkin saya tahu ada orang yang sangat ingin ditemuinya, dok", jawab Aldi."Tidak ada salahnya mencoba, Pak Aldi. Silahkan dihubungi", pinta sang dokter. Aldi mengangguk sambil membuka daftar kontak di ponselnya."Kala
“Siapa yang sudah mencintai saya selama tiga belas tahun?”, tanya Rania tanpa mengalihkan pandangannya dari Fahmi. Ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tak terasa mobil hampir memasuki komplek perumahan Rania.Fahmi mengurangi laju mobilnya perlahan kemudian menghentikannya di pinggir jalan.“Aku”, jawab Fahmi yakin sambil menatap lekat wanita di depannya. “Hah?”, Rania reflek menutup mulut dengan tangannya. Wajah herannya nampak begitu menggemaskan di mata Fahmi.Fahmi menarik nafas dan membuangnya perlahan. Ia mencoba mengumpulkan keberanian yang selama ini selalu menguap entah kemana saat berhadapan dengan Rania. Padahal dia adalah pemimpin yang kemampuan berbicaranya tak perlu diragukan lagi, tapi di depan Rania, untuk mengungkapkan perasaan saja musti dibantu ibunya segala untuk melamar, ah mengingat itu Fahmi jadi malu sendiri.“Aku sudah jatuh cinta sama kamu kira-kira beberapa bulan setelah kamu mulai bekerja di kantor dulu. Waktu itu kamu belum menikah dan jika kuhitu