Suasana di pemakaman pagi itu tampak suram. Sebagian besar tamu memandang penuh rasa iba pada dua anak yang sedang berdiri bersisian. Mereka baru saja ditinggal kedua orangtuanya di usia yang masih sangat belia.
Alexander Slavik, anak tertua Ivander Slavik dengan Alicia Sashenka secara otomatis menjadi kepala keluarga Slavik menggantikan posisi ayahnya. Meski usianya yang baru menginjak delapan belas tahun, Alex harus terjun langsung mengurus beberapa perusahaan peninggalan Ivander Slavik. Di bawah bimbingan Mikhailov Dmitry-asisten mendiang ayahnya, Alex akan memimpin perusahaan minyak terbesar di Rusia. Beruntung selama ini Alex banyak menghabiskan waktunya belajar bisnis bersama ayahnya di tengah kesibukannya mengikuti homeschooling. Alex bersama adik kandungnya-Ruslan Slavik yang usianya hanya terpaut dua tahun maju ke sisi pusara di mana ayah dan ibunya dimakamkan secara berdampingan. Dia kemudian meletakkan rangkaian bunga tulip di atas makam kedua orangtuanya. Begitu juga Ruslan yang melakukan hal serupa. Semua tamu yang datang digiring ke aula yang terletak di dalam mansion Slavik. Alex dibantu asistennya mengadakan jamuan makan siang tradisional setelah pemakaman. Para tamu menghampiri Alex dan menyampaikan duka mereka atas kepergian mendiang kedua orangtuanya. Para tamu juga menyampaikan kata-kata dukungan kepada Ruslan yang kedua matanya tampak sembab, dan juga membagikan kenangan indah tentang orang tua mereka. Selepas acara, mansion Slavik kembali sepi. Hanya tersisa Alex, Ruslan dan pelayan-pelayan mereka. Bahkan paman dan bibinya sudah kembali ke kediaman masing-masing. Ruslan terpekur menatap lukisan kedua orangtuanya yang terpasang di atas perapian di ruang keluarga. Alex mengambil sebotol vodka dan menuangkannya ke dalam gelas kristal. "Jangan berlarut-larut meratapi kedua orang tua kita." Terdengar suara denting mulut botol vodka yang menyentuh bibir gelas. "Kepergian mereka terlalu mendadak." Ruslan menarik napas berat. Dia menundukkan kepalanya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Bukan hanya kau, tapi aku pun belum siap ditinggalkan. Akan tetapi kita harus berpijak pada realita." Alex menyesap vodka yang baru saja dituangnya. Ruslan beranjak ke sofa dan duduk di sana. Dia menyandarkan punggungnya yang lelah dan menengadahkan kepalanya. Kedua matanya terpejam. Membayangkan kebersamaan mereka dengan kedua orangtuanya sebelum kecelakaan naas itu terjadi. Ruslan menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Dia ingat kalau kakaknya kini akan menjadi CEO di perusahaan tambang milik ayahnya. "Kapan kau akan mulai memimpin perusahaan?" tanya Ruslan tanpa merubah posisinya sedikit pun. "Besok. Dewan direksi akan mengadakan rapat," jawab Alex sambil menggoyangkan gelasnya perlahan. "Apa tidak terlalu cepat? Semestinya kita masih menikmati masa-masa remaja." Kini Ruslan sudah menegakkan duduknya dan fokus menatap kakaknya. "Lebih cepat lebih baik. Lupakan keinginanmu untuk bermain-main, kita tidak punya waktu untuk itu. Aku ingin tahu apa yang sedang terjadi pada perusahaan sampai menewaskan kedua orang tua kita." Alex memandang lukisan kedua orang tuanya. Mendengar penuturan Alex, lantas Ruslan menyipitkan kedua matanya. Melempar tanya pada kakak satu-satunya. "Apa maksudmu? Apa kau curiga seseorang telah membunuh kedua orang tua kita?" "Bodyguardku mendapati fakta kalau pesawat itu telah disabotase." "Maksudmu Dominic yang mengatakannya? Darimana dia tahu?" ***** Butuh waktu bertahun-tahun untuk Alex menyelidiki kekisruhan di perusahaan ayahnya. Bahkan Alex harus diam-diam mengamankan sejumlah aset keluarganya. Dalam ruangan rapat yang didominasi warna putih dan abu muda, sosok Alex tampak menjulang di kursi paling ujung meja rapat berbentuk persegi panjang. Semua yang hadir di dalam rapat itu tampak gugup, bahkan sebagian merasakan gemetar di sekujur tubuh. Bukan tanpa alasan, mereka tidak tahu eksekusi apa yang selanjutnya akan mereka terima dari pimpinan perusahaan yang baru menjabat beberapa tahun ini. Amarah Alex menimbulkan rasa takut di setiap relung hati para petinggi perusahaan. Bagaimana Alex tidak murka, dia banyak menemukan kekacauan di perusahaan milik ayahnya. Bahkan kematian ayahnya ternyata didalangi oleh asisten pribadinya sendiri. Alasannya semata-mata hanya karena Ivander Slavik menolak kerjasama dengan perusahaan yang disodorkan oleh Mikhailov Dmitry. Tapi Alex yakin kalau Dmitry tidak bekerja sendiri, pasti ada orang lain yang mendukungnya. Beberapa nama petinggi perusahan mulai disebutkan, bahkan Alex membeberkan dengan lugas bukti-bukti kejahatan mereka. Hal itu membuat mereka tak bisa berkelit. Setiap para pelaku kejahatan itu digiring keluar oleh para petugas keamanan untuk menanggung konsekuensi atas perbuatan mereka. Rapat ditutup setelah beberapa kursi tampak kosong dan Alex memberi peringatan pada pegawainya yang masih duduk di sana. Para pegawai hanya mengangguk, tak ada lagi yang berani bersuara. Aura yang dimiliki Alex lebih menakutkan daripada ayahnya, Ivander Slavik. Setelah Alex meninggalkan ruang rapat, satu per satu pegawainya pun pergi meninggalkan ruangan itu dan kembali ke tempat mereka masing-masing. Alex melangkahkan kakinya ke dalam lift khusus dan diikuti oleh Dominic. "Kau sudah menyiapkan mobilnya?" Alex menatap Dominic dari pantulan pintu lift, tampak pria itu sedikit menunduk. "Sudah Tuan." Benar saja yang dikatakan Dominic, sesampainya di lantai basement sebuah mobil sport menunggu Alex. "Aku akan pergi sendiri." Spontan Dominic mengangkat wajahnya, terkejut dengan perkataan bosnya. "Sendiri? Tapi ... Anda butuh pengawalan, Tuan." Alex membuka pintu mobil lalu duduk di belakang kemudi. Sedangkan Dominic masih tertegun menatap bosnya. "Di perkebunan aman, kau tidak perlu khawatir. Aku hanya butuh waktu sendiri." "Baiklah." Dominic mengangguk kemudian undur diri, menatap mobil Alex hingga menghilang dari pintu basement. Alex menjejakkan kakinya di tanah perkebunan keluarga Slavik. Ada beberapa bodyguard yang berjaga di depan rumah perkebunan. Salah seorang dari mereka menghampiri Alex dengan membawa perlengkapan berburu. Beberapa lama kemudian seseorang membawakan seekor kuda jantan berwarna hitam legam. "Halo Warrior." Alex mengusap kepala kuda yang senantiasa membersamainya dalam berburu. Kuda itupun meringkik saat Alex mengelus wajahnya. Warrior membawa Alex ke dalam hutan setelah Alex memberikan aba-aba. Tak sampai satu jam Alex sudah berhasil menembak beberapa burung. ***** "Sara Belova! Ayolah, selama tinggal di Rusia kau tak pernah ikut berkemah bersama kami. Kali ini kami akan menggunakan camper van, bukan tenda seperti tahun lalu." Katerina merajuk pada Sara yang masih ragu untuk ikut berkemah dengan teman-temannya. "Camper Van? Lalu siapa yang menyetir?" tanya Sara menantang. "Sepupuku Sergyv. Dia bisa menyetir dan punya surat izin," jawab Katerina semangat. "Lihat, Sara! Aku sudah membeli lotion anti nyamuk. Kau tidak perlu takut dengan banyaknya nyamuk saat musim panas," ujar Katia yang merupakan adik kandung Katerina. "Apa kau juga membeli lotion anti beruang?" tanya Sara seraya mengejek. Mendengar pertanyaan Sara, baik Katerina maupun Katia hanya saling pandang. "Hahaha ... jadi kau takut pada beruang, Sara?" Natalie yang kebetulan lewat mencibir Sara. "Diam kau mama beruang! Kau tidak diajak," balas Katia ketus. "Kenapa? Aku juga punya camper van. Kau tidak bisa melarangku." Katerina dan Katia memutar kedua bola mata mereka. Tentu mereka masih ingat camper van milik Natalie. Gadis Rusia itu bersikukuh ingin ikut bersama mereka. Sayangnya kehadiran Natalie selalu membawa masalah. Seperti saat berkemah tahun lalu, rem camper van Natalie yang dikemudikan kakak laki-lakinya tiba-tiba tidak berfungsi dan menabrak tenda temannya. Kali ini jika Natalie membuat ulah lagi mungkin Katia akan melemparnya pada beruang coklat hidup-hidup. "Baiklah ... baiklah ... aku ikut," ucap Aksara malas. ***** Kedua camper van itu melaju di jalan aspal yang akan membawa mereka ke hutan. Mobil berhenti di dekat bibir sungai. Setelah memakai lotion anti nyamuk Sara segera turun dari mobil dan menikmati pemandangan hutan di musim panas. Gemericik air sungai dan suara burung yang saling bersahutan menambah syahdu suasana alam terbuka itu. Katia dan Katerina menyiapkan alat pancing mereka. Sedangkan Natalie masih sibuk mengurus barang-barang bawaannya. "Mau kemana, Sara?" teriak Katia sambil meletakkan kursi lipatnya. Gadis itu merasa khawatir melihat Sara yang berjalan kian jauh hendak memasuki hutan. "Hanya melihat-lihat," balas Sara lalu melanjutkan jalannya. "Jangan terlalu jauh, kau tahu bukan kalau di hutan ini ada beruang liar," pesan Katia sebelum akhirnya Sara menghilang di balik pepohonan rindang. Terdengar suara retakan ranting setiap kali Sara melewati jalan setapak. Kicauan burung, gemericik air dan desir angin membuat Sara terlena dengan suasana hutan. Namun tiba-tiba saja Sara mendengar suara geraman. Dia terlalu takut untuk menoleh ketika dirinya teringat akan pesan Katia perihal beruang liar. Saat mendengar suara geraman untuk yang kedua kali barulah Sara menggerakkan tubuhnya untuk melihat apa yang ada di belakangnya. Tepat lima meter dari tempatnya berpijak, Sara bisa melihat seekor beruang coklat yang sedang berdiri. Sekujur tubuh Sara terasa dingin, bahkan jantungnya hampir melompat ke luar. Dalam kondisi panik seperti ini Sara tidak tahu apa yang harus dilakukan jika bertemu beruang. Satu-satunya yang dia inginkan adalah lari sejauh mungkin. Sara membalikkan tubuhnya kembali lalu mengambil langkah seribu. Napasnya terengah-engah sedangkan kedua tangannya terluka karena menerabas semak dan ranting pepohonan. Dia berlari ke sembarang arah. Namun tiba-tiba saja kakinya tersandung akar pohon besar. Suara bedebum terdengar di antara dedaunan kering. Sara meringis kesakitan. Sedangkan beruang itu mengejarnya semakin dekat. Sara putus asa, dia tak sanggup lagi berlari, bahkan bangkit berdiri saja dia tak mampu. Sara hanya bisa terisak sambil memejamkan matanya. Dalam pikirannya, mungkin ini adalah akhir hidupnya. Saat beruang itu hendak menerkamnya, Sara bisa mendengar ringkikan kuda di belakang punggungnya. "CHARLOTTE!" suara bariton seorang pria memenuhi gendang telinga Sara.Assalamu'alaikum. Hallo Readers, Terimakasih telah membaca novel "Berdamai dengan Takdir". Kisah di dalam novel ini semata-mata hanyalah fiksi belaka, mohon maaf jika ada kesamaan nama dan tempat. Namun, salah satu tokoh utama di dalam novel ini terinspirasi dari seorang sahabat pena author yang tinggal di Tampa, Florida. Meski dia seorang mualaf tapi pemahaman agamanya tidak diragukan, bahkan author yang muslim sejak lahir banyak belajar agama dari dia. Sejak tahun 2005 author lost contact dengan dia. Terakhir author melihat keberadaannya sekitar tahun 2018 di fanpage sebuah perusahaan di Tampa, tapi sayangnya author tidak berhasil mendapatkan kontaknya. Author sempat menyesal karena tidak banyak bertanya tentang perjalanan hidupnya. Padahal itu bisa author jadikan novel true story. Jadi, mohon maaf author hanya bisa menyajikan cerita fiksi hasil imajinasi author sendiri. Satu harapan author, semoga dia masih dalam keadaan sehat dan istiqomah dengan keislamannya. Salam Lit
Tampa, Florida....."I bear witness that there is no God except Allah, and I bear witness that Muhammad is the messenger of Allah," ucap Dean mengakhiri syahadatnya, kini Dean resmi menjadi seorang muslim."Alhamdulillah!""Allaahu Akbar!""Baarakallaahu fiik!""MaasyaAllaah!"Berbagai ucapan rasa syukur menggema di ruang sekretariat Masjid Jama'atul Mukminin. Kevin menatap punggung bosnya yang tenggelam dalam pelukan Syaikh Ibrahim, seorang ulama berdarah Syria yang terkenal di komunitas muslim di kota Tampa."Selamat, Dean!" Kevin merangkul sosok tiga tahun lebih muda di bawahnya. Meski kini mereka berbeda keyakinan, namun Kevin sangat menghormati pilihan bosnya. Agama adalah bagian dari hak asasi manusia, begitu menurut Kevin."Tolong rahasiakan ini, Kevin!" pinta Dean pada asisten yang telah setia mendampinginya selama lima tahun."Dengan senang hati, Bos." Sebagai tangan kanan CEO Joos Corporation, Kevin tahu apa yang harus dilakukan. Tidak mungkin bagi Dean untuk mengumumkan sta
Tok! tok! tok!Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan seorang wanita yang sedang berendam di dalam bathtub. Dia tidak mengerti kenapa layanan kamar datang sepagi ini, bukankah itu akan mengganggu tamu hotel yang belum bangun?Tok! Tok! Tok!Lagi-lagi dia bisa mendengar suara pintu diketuk, yang memang lokasi pintu masuk tidak jauh dari pintu kamar mandi. Wanita itu mencebik, menunggu pria yang semalam tidur bersamanya bangun untuk membukakan pintu.Tok! Tok! Tok!"Dasar tuli!" geram wanita itu sambil menyentakkan tangannya di permukaan air.Akhirnya kesabaran wanita itu sudah di ambang batas. Dia bangkit dari dalam bathtub dengan tubuh penuh busa sabun. Kemudian membuka sedikit pintu kamar mandi agar kepalanya bisa menyembul keluar."ZACK!? Apa kamu tidak mendengar suara ketukan itu?" teriak wanita dengan rambut keemasan yang basah kuyup sambil memegangi daun pintu."Ya, aku datang, Laura. Tenanglah!"Mendengar jawaban Zachary Newman lantas wanita yang memiliki nama lengkap Laura Adam
Assalamu'alaikumDear Dave, how are you doing?Thank you for sending me letter. I'm glad to have you as my friend. My name is Hanna Kirana, you may call me Hanna. I'm 21 years old and I'm single. I'm a teacher at the kindergarten school. I love writing stories and reading some books.I'm the oldest child in my family. I have a young brother, his name is Rayyan. I live with Rayyan and our mother. My father passed away last year.Dave, would you mind to tell me your reason embraced Islam? It must be a wonderful story. And why did you choose Islam? Please, answer my questions.By the way, do you have an email? should we send letter each other? I think sending email is not a bad thing. But if you feel better by sending me letter, it's not a big deal.This is enough from me. Forgive me if my english is very bad. I'll be waiting for your reply.With loveHannaSenyum terukir di bibir tipis Dean ketika dia membaca surat yang ditulis Hanna. Dia mengambil selembar foto yang terselip di dalam am
'Ting'Suara denting botol wine beradu dengan gelas kristal yang digenggam Laura. Cairan berwarna merah pekat mengalir memenuhi setengah gelas kosong berkaki. Mungkin terlalu pagi bagi Laura yang hampir menghabiskan satu botol minuman beralkohol itu. Dia terpaksa membuat dirinya sedikit mabuk untuk mengumpulkan keberaniannya menggoda suami sedingin es yang sudah setahun dinikahinya.Selama menjalani pernikahan Dean tak pernah menyentuh raganya. Tak mendapatkan kehangatan di atas tempat tidur, sehingga Laura memilih mencari pelampiasan dengan pria lain. Dean tentu tahu kebiasaan buruk istrinya itu yang kerap kali melakukan one night stand atau check in bersama selingkuhannya.Setelah meneguk gelas terakhir, Laura yang berjalan sempoyongan menghampiri ruang kerja di dalam penthouse milik suaminya.Dia menerobos pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Hal itu membuat Dean menatapnya dengan tajam."Tak bisakah tanganmu mengetuk pintu?" tanya Dean sinis sambil menyipitkan kedua matanya."A
Langit mulai gelap ketika Al baru kembali dari perjalanannya ke Kalimantan. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci Al Qur'an dari mulut seorang pria yang usianya menginjak tujuh puluh tahun. Meski di usianya yang sudah lanjut, tapi Sultan Syah Alam masih aktif mengawasi perusahaannya yang saat ini dipegang oleh putra sulungnya.Mendengar seseorang mengucap salam, Sultan lalu menghentikan bacaan Al Qur'an nya. Al menghampiri ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu, dia mencium tangan ayahnya dengan penuh takzim.Sultan kemudian bertanya pada putra sulungnya, "Sudah salat Isya, Al?""Sudah tadi di bandara. Al pamit ke kamar dulu ya, Pa?"Sultan mengangguk lalu menjawab, "Kalau sudah rapi nanti kesini lagi, Papa mau bicara.""Iya, Pa," jawab Al kemudian meninggalkan ayahnya seorang diri.Al merasa segar setelah mandi dan mengenakan piyamanya. Dia tidak merasa lapar karena sudah makan malam di bandara. Kemudian dia menemui ayahnya kembali di ruang tamu."Usiamu sekarang berapa, Al?" tany
Mendapati dirinya sedang dilamar, Hanna merasa salah tingkah, dia malu tapi hatinya sangat bahagia. Jangan tanya bagaimana kondisi jantungnya saat itu, berisik tak karuan seperti marching band di acara karnaval. Tanpa dia sadari dari kejauhan sebuah drone melayang mendekati mereka untuk merekam momen itu."Hanna, dengarkan aku baik-baik. Di belakangmu ada meja dan ada kotak berwarna marun di atasnya," kata Al yang sedang memberikan instruksi untuk Hanna. Dia berharap semoga Hanna mengerti apa yang dikatakannya agar rencana berjalan dengan lancar. Tak dapat dipungkiri jika jantung Al pun sedang berdebar tak karuan.Hanna menoleh ke arah meja dan mendapati kotak itu teronggok di atasnya."Buka kotak itu, Hanna!"Dengan sangat hati-hati Hanna membuka kotak itu seolah-olah ada bom waktu di dalamnya. Namun ternyata di luar dugaan, dia justru menemukan dua tombol berwarna merah dan biru yang sudah tersetting di dalam kotak. Hanna memberitahu Al apa yang baru saja dilihatnya, kemudian Al memb
Laura memasuki gedung megah Joos Tower milik suaminya. Dia menemui resepsionis hendak menanyakan keberadaan Dean. Ternyata pria itu ada di ruangannya bersama Kevin.Tepat ketika Laura ingin melangkahkan kakinya menuju lift, seorang kurir mendatangi meja resepsionis. Dia melihat kurir membawa paket undangan untuk Dean dari Indonesia. Sebuah kebetulan yang tak disangka."Biar aku yang bawa ke atas," kata Laura pada resepsionis. Dia lalu menandatangani tanda terima paket itu dan mengembalikannya pada kurir.Laura membuka paket yang berisi undangan pernikahan, matanya terpaku pada kedua nama mempelai yang terukir dengan tinta emas. Tentu hal itu menarik perhatiannya.Bukannya menaiki lift, dia justru menuju sofa yang berada di pojok ruang tunggu. Membuka setiap lembar undangan kemudian mengambil gambar undangan itu dengan ponselnya. Dia mencari tahu nama familiar yang tertera di undangan itu dengan akun media sosialnya.Laura kemudian melipat kembali undangan dan merapikannya. Dia melangka
Assalamu'alaikum. Hallo Readers, Terimakasih telah membaca novel "Berdamai dengan Takdir". Kisah di dalam novel ini semata-mata hanyalah fiksi belaka, mohon maaf jika ada kesamaan nama dan tempat. Namun, salah satu tokoh utama di dalam novel ini terinspirasi dari seorang sahabat pena author yang tinggal di Tampa, Florida. Meski dia seorang mualaf tapi pemahaman agamanya tidak diragukan, bahkan author yang muslim sejak lahir banyak belajar agama dari dia. Sejak tahun 2005 author lost contact dengan dia. Terakhir author melihat keberadaannya sekitar tahun 2018 di fanpage sebuah perusahaan di Tampa, tapi sayangnya author tidak berhasil mendapatkan kontaknya. Author sempat menyesal karena tidak banyak bertanya tentang perjalanan hidupnya. Padahal itu bisa author jadikan novel true story. Jadi, mohon maaf author hanya bisa menyajikan cerita fiksi hasil imajinasi author sendiri. Satu harapan author, semoga dia masih dalam keadaan sehat dan istiqomah dengan keislamannya. Salam Lit
Suasana di pemakaman pagi itu tampak suram. Sebagian besar tamu memandang penuh rasa iba pada dua anak yang sedang berdiri bersisian. Mereka baru saja ditinggal kedua orangtuanya di usia yang masih sangat belia. Alexander Slavik, anak tertua Ivander Slavik dengan Alicia Sashenka secara otomatis menjadi kepala keluarga Slavik menggantikan posisi ayahnya. Meski usianya yang baru menginjak delapan belas tahun, Alex harus terjun langsung mengurus beberapa perusahaan peninggalan Ivander Slavik. Di bawah bimbingan Mikhailov Dmitry-asisten mendiang ayahnya, Alex akan memimpin perusahaan minyak terbesar di Rusia. Beruntung selama ini Alex banyak menghabiskan waktunya belajar bisnis bersama ayahnya di tengah kesibukannya mengikuti homeschooling. Alex bersama adik kandungnya-Ruslan Slavik yang usianya hanya terpaut dua tahun maju ke sisi pusara di mana ayah dan ibunya dimakamkan secara berdampingan. Dia kemudian meletakkan rangkaian bunga tulip di atas makam kedua orangtuanya. Begitu juga Rusl
Jet pribadi milik Dean mendarat di Moskow menjelang siang. Istri dan kedua anaknya sudah memakai mantel mereka mengingat saat ini Rusia sudah memasuki musim dingin.Beberapa bodyguard dengan mantel hitam yang diutus Alex tampak berbaris di samping tiga mobil SUV hitam. Mereka menunggu Dean beserta keluarganya turun dari pesawat dan mengantarnya ke mansion Slavik."Kita akan menginap di mana?" bisik Hanna pada suaminya. Mereka berjalan melewati para bodyguard yang membungkukkan badan penuh hormat."Mansion Slavik," jawab Dean sambil mengangguk pada para bodyguard milik Alex. Hanna cukup terkejut dengan jawaban suaminya, tapi dia hanya bisa menurut meski ada rasa takut yang merasuki jiwanya. Dia membayangkan Alexander Slavik adalah sosok yang dingin dan kejam.Iring-iringan mobil itu meninggalkan bandara dan melaju di jalanan kota Moskow yang ditutupi salju putih. Mobil sempat berhenti di depan gerbang besar berwarna hitam sebelum dua orang penjaga membukakan pintu untuk mereka. Setelah
"Berikan tanganmu!" pinta Hanna pada suaminya. Dean mengulurkan tangannya, dan Hanna memasukkan tangan kanan suaminya ke dalam lengan baju. Kemudian memasukkan lengan kiri dan merapikan bagian depannya. Dia lalu menyematkan butir-butir kancing bagian depan dan pergelangan tangannya. Hanna mengambil sebuah dasi berwarna biru metalik dari dalam salah satu laci, kemudian memasangkannya di leher Dean dengan apik. "Sampai jam berapa rapatnya?" tanya Hanna sambil membuat simpul dasi di leher suaminya. Dean tampak menawan dalam balutan jas dan kemeja berwarna biru tua senada dengan dasinya. Rambut halus di dagunya menambah kemaskulinan dalam dirinya. "Aku usahakan tidak sampai malam." Dean membingkai wajah Hanna lalu memberikan kecupan yang dalam di keningnya. Dia tahu istrinya sedang mengkhawatirkan dirinya, maka dia melakukan hal itu untuk menenangkannya. "Pastikan dua bodyguard mu selalu bersamamu. Aku tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi." Dean terkekeh mendengar nada cemas istr
Samar-samar Dean bisa mendengar suara dengung di depan bangunan tempat dia dan Noura disekap. Setelah hening beberapa saat, telinga Dean kembali menangkap suara gemerincing rantai yang membelenggu pintu.Sinar matahari yang menyilaukan masuk ke dalam ruangan hingga membuat Dean menyipitkan mata. Kedua tangannya secara refleks mengangkat untuk menghalangi cahaya yang menyorot matanya.Dean bisa melihat dua sosok anak kecil memasuki satu-satunya pintu."Menjauhlah dari perempuan itu, Dad! Kami tidak suka melihatmu dekat-dekat dengan dia," kata Ethan dengan suara tegasnya. Sedangkan Elena memberengut sambil mengepalkan kedua tangannya.Melihat betapa marahnya kedua anak itu lantas Dean mengangkat kepala Noura dan meletakkannya di lantai. Dia lalu menggeser tubuhnya agar menjauh dari wanita itu.Setelah ayahnya membuat jarak dengan Noura lantas Elena membuka tasnya, mengambil sebotol air mineral dan meminumkannya pada Dean. Ethan memeriksa kondisi ayahnya dan segera mencari alat untuk mem
"Saya sudah menemukannya." Mark berhasil memindai lokasi terakhir mobil Dean. Dia lalu menyimpannya di ponsel dan bergegas meninggalkan apartemen."Aku akan menemanimu, Mark." Nick hendak bangkit mengikuti langkah Mark."Kau terluka, Nick. Tetaplah di sini," pinta Hanna yang merasa tidak tega melihat kondisi Nick."Tidak apa-apa, Nyonya. Berbahaya jika Mark pergi sendiri. Jika terjadi sesuatu, salah satu dari kami bisa pergi mencari bantuan." Nick berusaha meyakinkan Hanna dengan argumennya."Baik. Tetaplah berhati-hati, segera berkabar jika sudah menemukan suamiku."Hanna kemudian melepas kepergian dua pengawalnya. Apartemen mulai terasa hening kembali setelah kepergian Nick dan Mark. Sedangkan Grace membenahi segala peralatan yang baru saja dipakai untuk mengobati luka Nick."Ingin kubuatkan teh, Nyonya? Atau Anda ingin istirahat dulu?" tanya Grace sebelum meninggalkan Hanna di ruang tengah sendirian."Tolong buatkan aku teh hijau, Grace. Aku masih ingin di sini menunggu dua pengawal
"Alexander Slavik," desis Noura dengan mimik wajah ketakutan.Noura tentu mengenal baik pemilik wajah itu. Pria berdarah Rusia dengan iris mata berwarna hijau masih memiliki hubungan darah dengan mantan suaminya, Ruslan Sashenka alias Ruslan Slavik."Noura Al Khudr. Putri tunggal sekaligus ahli waris Rasyid Al Khudr, pendiri perusahaan Mideast Oil Company." Pria dengan setelan jas hitam itu menatap Noura dengan tatapan benci dan merendahkan."Apa lagi yang kau inginkan, Alex? Hubunganku dengan adikmu sudah berakhir. Kau juga tidak perlu melibatkan Dean. Semua ini tidak ada hubungan dengannya." Kedua netra Noura mulai berkaca-kaca sedangkan napasnya mulai menderu, hampir saja dia tidak bisa mengendalikan rasa takutnya.Alexander Slavik? Kakak kandung Ruslan Sashenka? Batin Dean menggaung, mengulang-ulang dua nama itu yang terdengar familiar."Noura Al Khudr ... aku berusaha menerima kenyataan ketika adikku memutuskan untuk memeluk Islam demi bisa menikah denganmu. Aku pun bisa menerima
"Apakah akan pulang malam lagi? tanya Hanna sambil memasangkan dasi di leher suaminya."Semoga tidak, tapi sampai sekarang belum ada keputusan siapa yang akan memimpin perusahaan." Dean menatap lekat wajah istrinya yang tampak fokus dengan dasi di tangannya. Wajah serius Hanna memang sangat menggemaskan hingga Dean tak bisa menahan diri untuk tidak mengecup hidung istrinya."Sabarlah ... sedikit lagi." Hanna berusaha mengelak dari tingkah usil suaminya. Dean hanya terkekeh sambil memandang istrinya."Jangan menunggu jika aku pulang malam. Kau pasti sangat lelah mengurus anak-anak. Kamu harus cukup istirahat." Dean mengalihkan pandanganya ke cermin, menatap dasi yah sudah dipakaikan Hanna."Bagaimana dengan makan malam? Sekarang ini kita lebih sering melewatkan makan malam bersama. Anak-anak sering menanyakan keberadaanmu," keluh Hanna pada suaminya.Dean mengangkat tangan kanannya lalu membelai pipi istrinya. Dia pun merasa bersalah karena terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga melewatk
Setelah mengantar Ethan dan Elena pulang ke apartemen mereka, Steve kembali ke hotel tempat pesta itu diselenggarakan. Dia bersikap seolah-olah tidak pernah bertemu dua anak kembar milik Dean dan Hanna.Hal yang pertama kali dilihatnya saat memasuki ballroom adalah sosok cantik Hanna masih duduk sendirian di mejanya, sedangkan Dean masih sibuk berbincang bersama Rasyid dan putrinya. Nampaknya dua orang pengusaha yang tadi membersamai mereka sudah beranjak ke perkumpulan yang lain.Alunan musik Timur Tengah masih menghentak di dalam ruangan. Steve melirik Dean yang masih serius berbincang dengan Rasyid. Nampaknya aman jika Steve menghampiri Hanna barang sejenak. Dia lalu melangkahkan kakinya ke meja tempat Hanna berada.Steve mengambil segelas minuman dari seorang pelayan yang lewat di depannya."Selamat malam, boleh saya duduk di sini?"Mendengar seseorang menyapanya lantas Hanna menoleh. Dia melihat Steve yang berdiri di sisi meja sambil menggenggam segelas minuman."Silakan. Tapi mu