Assalamu'alaikum
Dear Dave, how are you doing?Thank you for sending me letter. I'm glad to have you as my friend. My name is Hanna Kirana, you may call me Hanna. I'm 21 years old and I'm single. I'm a teacher at the kindergarten school. I love writing stories and reading some books.I'm the oldest child in my family. I have a young brother, his name is Rayyan. I live with Rayyan and our mother. My father passed away last year.Dave, would you mind to tell me your reason embraced Islam? It must be a wonderful story. And why did you choose Islam? Please, answer my questions.By the way, do you have an email? should we send letter each other? I think sending email is not a bad thing. But if you feel better by sending me letter, it's not a big deal.This is enough from me. Forgive me if my english is very bad. I'll be waiting for your reply.With loveHannaSenyum terukir di bibir tipis Dean ketika dia membaca surat yang ditulis Hanna. Dia mengambil selembar foto yang terselip di dalam amplop. Ras melayu yang dimiliki Hanna membuat Dean sangat menyukai wanita itu. Iris mata segelap malam, hidung mungil dan kulit putih yang bisa Dean lihat meski hanya dari wajah dan punggung tangannya, karena Hanna menutup tubuhnya dengan gamis dan jilbab panjang.Dean kembali melipat surat dan memasukannya ke dalam amplop setelah membacanya. Dia mengambil pigura berbahan akrilik lalu menyelipkan foto Hanna di dalamnya, lantas meletakkan pigura itu di atas meja kerja. Tangannya merogoh saku celana hendak mengambil ponsel untuk menghubungi asistennya."Hallo Kevin, aku akan datang terlambat hari ini," ucap Dean seraya memainkan amplop yang masih dipegangnya."Apakah hari ini jadwal salat Jum'at?" Kevin menebak, dia sangat hafal dengan rutinitas bosnya."Ya, aku akan salat di masjid yang agak jauh dari kantor. Sebuah masjid kecil."Kevin meraih ipad dan memeriksa kembali jadwal bosnya. Di sana tertulis jadwal salat Jum'at dan meeting dengan klien pukul dua siang."Ingin kuantar, Dean? Ada meeting siang ini di hotel." Kevin menawarkan diri, meski sebenarnya dia khawatir jika paparazi memergoki bosnya."Tidak, terimakasih. Aku akan pergi sendiri." Dean mengambil brangkas yang menyerupai buku tebal lalu meletakkan surat Hanna di dalamnya."Jangan lupa gunakan topi dan maskermu," Kevin mengingatkan Dean sebelum dia benar-benar menutup teleponnya."Oke, terimakasih Kevin."Dean menutup panggilan telepon lalu beranjak ke dapur. Dia membuat sarapan lezat untuk dirinya sendiri. Sirloin steak dan masshed pottato terhidang di atas meja. Sesekali Dean tersenyum jika teringat gadis asal Indonesia itu. Dia belum tahu bagaimana kelanjutan dari hubungan korespondensi itu, yang terpenting bagi Dean sekarang dia memiliki teman seiman untuk diskusi agama dan berbagi cerita.Setelah menghabiskan sarapan, Dean membersihkan diri lalu mengenakan kemeja dan celana panjangnya. Kali ini dia mengendarai mobil tanpa supir ataupun pengawal yang biasa bersamanya. Ya, Dean memang akan menunaikan salat Jum'at seperti biasanya.Mobil Dean berhenti tidak jauh dari sebuah bangunan bekas kafe yang berdinding bata ekspos. Ada plang dengan tulisan Masjid At Taqwa di depan bangunan itu. Meski bangunan itu tampak sudah tua tapi bagian dalam masjid sangat bersih dan tertata dengan baik. Dean segera masuk ke dalam bangunan dan menyempurnakan wudunya.Bukan tak ada yang mengenalnya, namun orang-orang yang ada di sana menganggap apapun statusnya bahwa setiap manusia adalah sama kedudukannya. Hanya ketakwaannya lah yang membedakannya. Jadi, bertemu orang besar seperti Dean adalah hal biasa. Ini yang sangat disukai oleh Dean, menjadi orang biasa yang tidak diikuti paparazi kemanapun dia pergi.Dari dalam sebuah mobil sedan hitam, sepasang mata mengamati Dean dari kejauhan. Masker yang dikenakan Dean tak menghalanginya untuk mengenali pria berdarah campuran itu. Seperti mendapat angin segar, atau mungkin kesempatan langka yang belum tentu dilihatnya lagi."Laura, aku punya kejutan untukmu."Zack menyeringai dari balik kacamata hitamnya. Dia menghubungi Laura setelah mengambil sejumlah gambar dan video dengan ponselnya."Kejutan apa, Zack?" Laura sangat penasaran dengan yang dikatakan Zack."Lihat saja nanti," kata Zack acuh.Laura merutuki Zack yang semakin membuat dirinya penasaran. Dia lalu mematikan ponselnya dengan kesal. Sial, apa-apaan pria itu, berani-beraninya membuat Laura penasaran. Bukankah dia hanya sebatas kacung Laura?Zack memanggil seseorang yang berjalan melintas di samping mobilnya. Dia memiliki sejumlah rencana licik di dalam otaknya. Kali ini Zack yakin akan membuat Laura semakin kagum padanya, terlepas dia hanya sebagai pemuas nafsu Laura."Hey Dude, kamu mau ke masjid itu juga?" Zack memberi isyarat dengan matanya. Seorang pria muda berkulit hitam menghampiri pintu mobil Zack."Ya, kenapa?" tanya pria itu sambil merunduk dan menyandarkan lengannya di pintu mobil yang kaca jendelanya terbuka."Kamu butuh uang? Aku punya sedikit tugas untukmu," bisik Zack pada pria itu."Tugas apa? Jika bukan tugas sulit, aku akan mempertimbangkannya." Pria itu nampaknya tertarik dengan tawaran Zack. Dia mengamati lalu lalang orang-orang yang mulai ramai memasuki masjid. Samar-samar terdengar suara azan berkumandang di dalam bangunan itu. Di sana memang tak sebebas negara-negara muslim yang boleh mengumandangkan azan dengan pengeras suara.Zack masih menunggu di dalam mobil sampai pria dengan kepala plontos itu menyelesaikan salat Jum'at. Dia tersenyum puas setelah pria itu mengirimkan sejumlah gambar ke ponselnya. Zack mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan seratus dolar lalu memberikannya kepada pria yang tidak dia ketahui namanya.Keesokan paginya ponsel Dean tak henti bergetar hingga membangunkan tidur lelapnya. Dia secara naluriah mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas."Hallo," sapa Dean dengan suara parau. Dia menatap jam beker, bahkan alarm subuh yang sudah disetting pun belum berdering."Dean, aku mengirimkan tautan di pesanmu. Seseorang hendak membuka identitasmu," Kevin berkata dengan penuh kecemasan."Shit!" geram Dean sambil memijat pangkal hidungnya.Seketika ekspresi Dean menjadi gelap setelah membuka tautan itu. Dia mendapati beberapa foto dan video ketika dirinya sedang menunaikan salat Jum'at di Masjid At Taqwa kemarin siang. Dean menggulir beranda dan membaca sekilas judul berita di dalamnya.Pada headline berita tertulis dengan sangat jelas, "PEWARIS KERAJAAN BISNIS JOOS CORP MURTAD?!" Diberita lain tertulis, "TERBONGKARNYA IDENTITAS MUSLIM CEO JOOS CORP."Dengan geram Dean meremas ponselnya. Dia menghubungi anak buahnya untuk segera melenyapkan berita itu. Berita yang memuat kabar tentang identitas muslim Dean menjadi trending topik di Amerika. Bahkan berita itu sampai ke telinga ibunya-Anna Joos yang menetap di Washington DC.Puluhan kali ponsel milik Dean berdering. Tampak tulisan 'Lovely Mother' mengisi daftar panggilan tak terjawab. Dean duduk di tepi tempat tidur sambil memijat pelipisnya lalu membaca pesan ibunya.[Angkat teleponku atau aku akan mencoret namamu dari daftar keluarga!] ancam Anna pada putra semata wayangnya.Dean menarik napas untuk menenangkan diri. Apa lagi ini? Ah, mungkin ibunya akan segera murka."Hallo, Mom." Dean berkata dengan malas, dia memastikan kali ini akan mendapat ceramah panjang dari ibunya."Aku baru saja membaca berita pagi ini. Apakah itu benar?" Lama Dean tak menjawab ibunya, "Aku tunggu kamu di rumah siang ini," titah Anna pada Dean yang masih bergeming di kamar tidurnya.Dean mendengus kesal lalu bangkit untuk menunaikan salat Subuh. Tak disangka ternyata Anna tidak menguliahi anaknya seperti yang diduga Dean. Jika itu terjadi, tentu akan membuat mood Dean semakin berantakan.*****Anna Joos turun dari lantai dua mansion peninggalan suaminya, dia mendapati putranya sedang duduk di ruang tamu. Anna menatap Dean dengan tatapan lembut. Tak dapat dipungkiri jika wajah dan perawakan Dean sangat mirip dengan mendiang suaminya. Ayah dan anak itu memang seperti pinang dibelah dua."Aku harap berita itu hanya hoax," kata Anna sambil mendaratkan bokongnya di atas sofa. Dia masih berusaha menjaga emosinya agar tetap tenang menghadapi putranya."Bagaimana jika benar? Aku berhak memilih keyakinanku, Mom." Dean bersandar di sofa seraya menatap ibunya. Wajahnya tak mampu menyembunyikan rasa gusarnya."Aku tidak keberatan asal kau mau memenuhi permintaanku." Anna menyesap teh chamomile yang sudah disediakan oleh pelayannya. Setidaknya itu bisa meredakan rasa frustasi atas skandal putranya yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial."Apa itu?" Dean mencondongkan tubuhnya. Dia berharap syarat yang diajukan ibunya tidak akan menyulitkan dirinya di masa depan."Menikahlah dengan Laura," kata Anna dengan tenang. "Berita tentangmu berhasil membuat saham perusahaan kita anjlok dan kau harus memperbaikinya."Dean menggeleng lalu bangkit dari sofa. Sungguh itu permintaan yang mengada-ngada."Duduklah, Dean! Aku belum selesai," ucap Anna dengan nada yang sedikit meninggi. Anna meletakkan cangkirnya di atas meja kemudian melipat kedua tangannya di depan dada."Bagaimana jika aku menolak?" tanya Dean sambil mempelajari raut wajah ibunya."Kalau begitu jangan pernah panggil aku Mommy," kata Anna dengan senyuman yang diikuti tatapan tajam dan menusuk. Meski nada bicaranya setenang air di danau tapi jelas itu mengandung ancaman. Dean tahu ibunya tidak pernah main-main dengan ucapannya.Dean mengatupkan rahangnya dengan gigi gerahamnya yang saling beradu. Entah dia harus menjawab apa. Pastinya Dean tidak akan melepas begitu saja orang yang telah membuat kekacauan ini.Merasa tak ada balasan lagi dari mulut putranya, Anna menganggap bahwa Dean menyetujui rencananya."Kalian akan menikah di Washington. Aku yang akan menyiapkan semuanya."Dean menggeram lalu menangkup wajah dengan kedua tangannya, dia tidak menyangka hidupnya akan berakhir se-tragis ini, menikah dengan perempuan yang sangat dibencinya.*****Lagu Ave Maria menggema di dalam sebuah gereja Katedral. Seorang wanita dengan suara merdu menyanyikannya penuh syahdu. Alunan musik dan lagu mengiringi setiap langkah wanita yang berbalut ballgown bersama ayahnya.Di atas altar, Dean sudah berdiri bersama wanita yang belum lama dipergokinya sekamar dengan pria lain. Sorot matanya sangat tajam, sedang rahangnya mengeras. Seolah dia ingin menelan wanita itu hidup-hidup.Kedua mempelai saling mengucap ikrar, lalu pemuka agama yang hampir lanjut usia menyatakan mereka sebagai pasangan suami istri. Dia mempersilakan Dean untuk membuka veil istrinya agar bisa menciumnya, tapi Dean urung melakukannya. Dean bahkan meninggalkan Laura sendirian di atas altar.Laura menatap punggung Dean yang semakin menjauh. Dia tersenyum puas karena mendapat kemenangannya atas Dean. Bahkan dia bertekad akan membuat pria itu bertekuk lutut di hadapannya.Pernikahan Dean dan Laura menjadi berita utama, dan berhasil membuat saham Joos Corp menempati puncaknya. Orang-orang yang membaca berita itu merasa puas dengan keputusan Dean. Tak bisa dipungkiri jika pesona Dean sebagai pebisnis muda menjadi atensi sebagian warga Amerika.'Ting'Suara denting botol wine beradu dengan gelas kristal yang digenggam Laura. Cairan berwarna merah pekat mengalir memenuhi setengah gelas kosong berkaki. Mungkin terlalu pagi bagi Laura yang hampir menghabiskan satu botol minuman beralkohol itu. Dia terpaksa membuat dirinya sedikit mabuk untuk mengumpulkan keberaniannya menggoda suami sedingin es yang sudah setahun dinikahinya.Selama menjalani pernikahan Dean tak pernah menyentuh raganya. Tak mendapatkan kehangatan di atas tempat tidur, sehingga Laura memilih mencari pelampiasan dengan pria lain. Dean tentu tahu kebiasaan buruk istrinya itu yang kerap kali melakukan one night stand atau check in bersama selingkuhannya.Setelah meneguk gelas terakhir, Laura yang berjalan sempoyongan menghampiri ruang kerja di dalam penthouse milik suaminya.Dia menerobos pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Hal itu membuat Dean menatapnya dengan tajam."Tak bisakah tanganmu mengetuk pintu?" tanya Dean sinis sambil menyipitkan kedua matanya."A
Langit mulai gelap ketika Al baru kembali dari perjalanannya ke Kalimantan. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci Al Qur'an dari mulut seorang pria yang usianya menginjak tujuh puluh tahun. Meski di usianya yang sudah lanjut, tapi Sultan Syah Alam masih aktif mengawasi perusahaannya yang saat ini dipegang oleh putra sulungnya.Mendengar seseorang mengucap salam, Sultan lalu menghentikan bacaan Al Qur'an nya. Al menghampiri ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu, dia mencium tangan ayahnya dengan penuh takzim.Sultan kemudian bertanya pada putra sulungnya, "Sudah salat Isya, Al?""Sudah tadi di bandara. Al pamit ke kamar dulu ya, Pa?"Sultan mengangguk lalu menjawab, "Kalau sudah rapi nanti kesini lagi, Papa mau bicara.""Iya, Pa," jawab Al kemudian meninggalkan ayahnya seorang diri.Al merasa segar setelah mandi dan mengenakan piyamanya. Dia tidak merasa lapar karena sudah makan malam di bandara. Kemudian dia menemui ayahnya kembali di ruang tamu."Usiamu sekarang berapa, Al?" tany
Mendapati dirinya sedang dilamar, Hanna merasa salah tingkah, dia malu tapi hatinya sangat bahagia. Jangan tanya bagaimana kondisi jantungnya saat itu, berisik tak karuan seperti marching band di acara karnaval. Tanpa dia sadari dari kejauhan sebuah drone melayang mendekati mereka untuk merekam momen itu."Hanna, dengarkan aku baik-baik. Di belakangmu ada meja dan ada kotak berwarna marun di atasnya," kata Al yang sedang memberikan instruksi untuk Hanna. Dia berharap semoga Hanna mengerti apa yang dikatakannya agar rencana berjalan dengan lancar. Tak dapat dipungkiri jika jantung Al pun sedang berdebar tak karuan.Hanna menoleh ke arah meja dan mendapati kotak itu teronggok di atasnya."Buka kotak itu, Hanna!"Dengan sangat hati-hati Hanna membuka kotak itu seolah-olah ada bom waktu di dalamnya. Namun ternyata di luar dugaan, dia justru menemukan dua tombol berwarna merah dan biru yang sudah tersetting di dalam kotak. Hanna memberitahu Al apa yang baru saja dilihatnya, kemudian Al memb
Laura memasuki gedung megah Joos Tower milik suaminya. Dia menemui resepsionis hendak menanyakan keberadaan Dean. Ternyata pria itu ada di ruangannya bersama Kevin.Tepat ketika Laura ingin melangkahkan kakinya menuju lift, seorang kurir mendatangi meja resepsionis. Dia melihat kurir membawa paket undangan untuk Dean dari Indonesia. Sebuah kebetulan yang tak disangka."Biar aku yang bawa ke atas," kata Laura pada resepsionis. Dia lalu menandatangani tanda terima paket itu dan mengembalikannya pada kurir.Laura membuka paket yang berisi undangan pernikahan, matanya terpaku pada kedua nama mempelai yang terukir dengan tinta emas. Tentu hal itu menarik perhatiannya.Bukannya menaiki lift, dia justru menuju sofa yang berada di pojok ruang tunggu. Membuka setiap lembar undangan kemudian mengambil gambar undangan itu dengan ponselnya. Dia mencari tahu nama familiar yang tertera di undangan itu dengan akun media sosialnya.Laura kemudian melipat kembali undangan dan merapikannya. Dia melangka
Hanna sejak sebelum subuh sudah bersiap bersama beberapa penata rias. Sebagian dari mereka menyiapkan kebaya akad dan aksesoris yang akan dikenakan Hanna. Semua kru wedding organizer sibuk dengan tugas mereka masing-masing.Tepat pukul tujuh pagi semua tamu undangan dari beberapa negara beserta keluarga inti bersiap di dalam ballroom untuk menyaksikan akad nikah. Hanya tamu khusus yang berada di sana untuk menyaksikan acara sakral itu.Acara diawali dengan pembacaan ayat suci Al Qur'an serta untaian nasihat dari seorang ustaz. Tampak Al sedang duduk berhadapan dengan penghulu dan Rayyan yang akan menjadi wali nikah Hanna. Dua orang saksi duduk di sebelah kanan dan kiri meja, sebuah meja yang dirias dengan rangkaian bunga memisahkan mereka. Sedangkan Hanna menunggu di ruangan lain yang masih satu area dengan ballroom.Kevin melakukan panggilan video pada Dean sesaat sebelum akad dimulai, dia mengarahkan kamera ponselnya pada sosok Al yang sedang melaksanakan ijab kabul. Tak ada kata yan
Tania mengedarkan pandangannya di sekitar bandara, mencari keberadaan Vera yang akan menjemputnya. Namun sudah lewat satu jam Vera tak jua menampakkan batang hidungnya. Dia menyeret kopernya hingga ke ruang tunggu, ketika dia merogoh kantongnya untuk mengambil ponsel tiba-tiba sosok yang ditunggu akhirnya muncul juga."Lama banget sih, Kak. Udah cape, masih harus nunggu lama. Sebel!" ucap Tania dengan wajah yang ditekuk sambil bersungut-sungut. Dia mengembuskan napas berat, kekesalannya pada pernikahan Al membuat dirinya lebih sensitif. Terkadang marah pada karena masalah sepele yang dibesar-besarkan."Maaf ya, tadi ada tamu dari luar kota, kasihan kalau ditinggal." Masih dengan napas yang terengah-engah karena berlari di pintu masuk bandara Vera mengajak Tania menuju mobilnya.Di atas sofa dengan ukiran kayu Tania memandangi ruang tamu mewah milik kakaknya. Rumah tampak sepi karena kakak iparnya sedang keluar kota. Vera yang belum dikaruniai anak hanya tinggal bersama beberapa pelayan
Byurr!!"La-laura ... to-tolong ...." Dengan sekuat tenaga Hanna memukul-mukul tangannya di permukaan air, namun hal itu justru membuatnya semakin tenggelam. Laura bersedekap memandangi wajah panik Hanna yang mulai kewalahan karena dirinya tidak bisa berenang."LAURA!?" teriak Dean ketika mendengar kegaduhan di area kolam renang. Pria itu segera berlari ke arah kolam renang. Laura sangat terkejut dengan kedatangan Dean. Susah payah dia berusaha menahan lengan Dean agar tidak mendekat ke tepi kolam.Melihat gaun Hanna melayang di dalam air, Dean tahu siapa sosok yang baru saja tercebur ke dalam kolam. Sudah tidak ada pergerakan di dalam kolam, mungkin Hanna sudah hilang kesadarannya. Tanpa pikir panjang Dean menceburkan dirinya lalu menggapai tubuh Hanna yang nyaris tenggelam di dasar kolam.Setelah berhasil mendapatkan tubuh Hanna, dengan susah payah Dean menariknya hingga ke permukaan. Kemudian dengan segenap tenaga yang dimilikinya dia mengangkat tubuh Hanna keluar dari kolam.Dean k
Al mengerjapkan matanya ketika mendapati ponselnya bergetar di atas nakas, seingatnya dia tidak pernah mengganti dering ponsel dengan mode getar. Dia lalu berusaha bangkit untuk meraih ponselnya, namun sebuah tangan yang melingkar di pinggangnya menyulitkan dia bergerak.Merasa ada yang ganjil lantas Al membalikkan badannya, dia mendapati Tania tidur tanpa sehelai benang di tubuhnya. Jantung Al semakin berpacu ketika mendapati dirinya yang juga tanpa busana.Al segera bangkit dari tempat tidur lalu meraih pakaiannya yang berserakan di lantai. Ponselnya kembali bergetar dan dia segera mengangkatnya."Hanna, maaf aku ketiduran di kantor," kata Al yang dengan terpaksa berbohong pada istrinya.Tania membuka matanya ketika mendengar suara Al yang sedang menelepon seseorang. Dia bangkit lalu duduk sambil menutupi tubuhnya dengan selimut sampai batas dada.Setelah menutup ponselnya kemudian Al berbalik menatap Tania. Dia mendapati Tania masih membeku di atas tempat tidur dengan sprei yang ber
Assalamu'alaikum. Hallo Readers, Terimakasih telah membaca novel "Berdamai dengan Takdir". Kisah di dalam novel ini semata-mata hanyalah fiksi belaka, mohon maaf jika ada kesamaan nama dan tempat. Namun, salah satu tokoh utama di dalam novel ini terinspirasi dari seorang sahabat pena author yang tinggal di Tampa, Florida. Meski dia seorang mualaf tapi pemahaman agamanya tidak diragukan, bahkan author yang muslim sejak lahir banyak belajar agama dari dia. Sejak tahun 2005 author lost contact dengan dia. Terakhir author melihat keberadaannya sekitar tahun 2018 di fanpage sebuah perusahaan di Tampa, tapi sayangnya author tidak berhasil mendapatkan kontaknya. Author sempat menyesal karena tidak banyak bertanya tentang perjalanan hidupnya. Padahal itu bisa author jadikan novel true story. Jadi, mohon maaf author hanya bisa menyajikan cerita fiksi hasil imajinasi author sendiri. Satu harapan author, semoga dia masih dalam keadaan sehat dan istiqomah dengan keislamannya. Salam Lit
Suasana di pemakaman pagi itu tampak suram. Sebagian besar tamu memandang penuh rasa iba pada dua anak yang sedang berdiri bersisian. Mereka baru saja ditinggal kedua orangtuanya di usia yang masih sangat belia. Alexander Slavik, anak tertua Ivander Slavik dengan Alicia Sashenka secara otomatis menjadi kepala keluarga Slavik menggantikan posisi ayahnya. Meski usianya yang baru menginjak delapan belas tahun, Alex harus terjun langsung mengurus beberapa perusahaan peninggalan Ivander Slavik. Di bawah bimbingan Mikhailov Dmitry-asisten mendiang ayahnya, Alex akan memimpin perusahaan minyak terbesar di Rusia. Beruntung selama ini Alex banyak menghabiskan waktunya belajar bisnis bersama ayahnya di tengah kesibukannya mengikuti homeschooling. Alex bersama adik kandungnya-Ruslan Slavik yang usianya hanya terpaut dua tahun maju ke sisi pusara di mana ayah dan ibunya dimakamkan secara berdampingan. Dia kemudian meletakkan rangkaian bunga tulip di atas makam kedua orangtuanya. Begitu juga Rusl
Jet pribadi milik Dean mendarat di Moskow menjelang siang. Istri dan kedua anaknya sudah memakai mantel mereka mengingat saat ini Rusia sudah memasuki musim dingin.Beberapa bodyguard dengan mantel hitam yang diutus Alex tampak berbaris di samping tiga mobil SUV hitam. Mereka menunggu Dean beserta keluarganya turun dari pesawat dan mengantarnya ke mansion Slavik."Kita akan menginap di mana?" bisik Hanna pada suaminya. Mereka berjalan melewati para bodyguard yang membungkukkan badan penuh hormat."Mansion Slavik," jawab Dean sambil mengangguk pada para bodyguard milik Alex. Hanna cukup terkejut dengan jawaban suaminya, tapi dia hanya bisa menurut meski ada rasa takut yang merasuki jiwanya. Dia membayangkan Alexander Slavik adalah sosok yang dingin dan kejam.Iring-iringan mobil itu meninggalkan bandara dan melaju di jalanan kota Moskow yang ditutupi salju putih. Mobil sempat berhenti di depan gerbang besar berwarna hitam sebelum dua orang penjaga membukakan pintu untuk mereka. Setelah
"Berikan tanganmu!" pinta Hanna pada suaminya. Dean mengulurkan tangannya, dan Hanna memasukkan tangan kanan suaminya ke dalam lengan baju. Kemudian memasukkan lengan kiri dan merapikan bagian depannya. Dia lalu menyematkan butir-butir kancing bagian depan dan pergelangan tangannya. Hanna mengambil sebuah dasi berwarna biru metalik dari dalam salah satu laci, kemudian memasangkannya di leher Dean dengan apik. "Sampai jam berapa rapatnya?" tanya Hanna sambil membuat simpul dasi di leher suaminya. Dean tampak menawan dalam balutan jas dan kemeja berwarna biru tua senada dengan dasinya. Rambut halus di dagunya menambah kemaskulinan dalam dirinya. "Aku usahakan tidak sampai malam." Dean membingkai wajah Hanna lalu memberikan kecupan yang dalam di keningnya. Dia tahu istrinya sedang mengkhawatirkan dirinya, maka dia melakukan hal itu untuk menenangkannya. "Pastikan dua bodyguard mu selalu bersamamu. Aku tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi." Dean terkekeh mendengar nada cemas istr
Samar-samar Dean bisa mendengar suara dengung di depan bangunan tempat dia dan Noura disekap. Setelah hening beberapa saat, telinga Dean kembali menangkap suara gemerincing rantai yang membelenggu pintu.Sinar matahari yang menyilaukan masuk ke dalam ruangan hingga membuat Dean menyipitkan mata. Kedua tangannya secara refleks mengangkat untuk menghalangi cahaya yang menyorot matanya.Dean bisa melihat dua sosok anak kecil memasuki satu-satunya pintu."Menjauhlah dari perempuan itu, Dad! Kami tidak suka melihatmu dekat-dekat dengan dia," kata Ethan dengan suara tegasnya. Sedangkan Elena memberengut sambil mengepalkan kedua tangannya.Melihat betapa marahnya kedua anak itu lantas Dean mengangkat kepala Noura dan meletakkannya di lantai. Dia lalu menggeser tubuhnya agar menjauh dari wanita itu.Setelah ayahnya membuat jarak dengan Noura lantas Elena membuka tasnya, mengambil sebotol air mineral dan meminumkannya pada Dean. Ethan memeriksa kondisi ayahnya dan segera mencari alat untuk mem
"Saya sudah menemukannya." Mark berhasil memindai lokasi terakhir mobil Dean. Dia lalu menyimpannya di ponsel dan bergegas meninggalkan apartemen."Aku akan menemanimu, Mark." Nick hendak bangkit mengikuti langkah Mark."Kau terluka, Nick. Tetaplah di sini," pinta Hanna yang merasa tidak tega melihat kondisi Nick."Tidak apa-apa, Nyonya. Berbahaya jika Mark pergi sendiri. Jika terjadi sesuatu, salah satu dari kami bisa pergi mencari bantuan." Nick berusaha meyakinkan Hanna dengan argumennya."Baik. Tetaplah berhati-hati, segera berkabar jika sudah menemukan suamiku."Hanna kemudian melepas kepergian dua pengawalnya. Apartemen mulai terasa hening kembali setelah kepergian Nick dan Mark. Sedangkan Grace membenahi segala peralatan yang baru saja dipakai untuk mengobati luka Nick."Ingin kubuatkan teh, Nyonya? Atau Anda ingin istirahat dulu?" tanya Grace sebelum meninggalkan Hanna di ruang tengah sendirian."Tolong buatkan aku teh hijau, Grace. Aku masih ingin di sini menunggu dua pengawal
"Alexander Slavik," desis Noura dengan mimik wajah ketakutan.Noura tentu mengenal baik pemilik wajah itu. Pria berdarah Rusia dengan iris mata berwarna hijau masih memiliki hubungan darah dengan mantan suaminya, Ruslan Sashenka alias Ruslan Slavik."Noura Al Khudr. Putri tunggal sekaligus ahli waris Rasyid Al Khudr, pendiri perusahaan Mideast Oil Company." Pria dengan setelan jas hitam itu menatap Noura dengan tatapan benci dan merendahkan."Apa lagi yang kau inginkan, Alex? Hubunganku dengan adikmu sudah berakhir. Kau juga tidak perlu melibatkan Dean. Semua ini tidak ada hubungan dengannya." Kedua netra Noura mulai berkaca-kaca sedangkan napasnya mulai menderu, hampir saja dia tidak bisa mengendalikan rasa takutnya.Alexander Slavik? Kakak kandung Ruslan Sashenka? Batin Dean menggaung, mengulang-ulang dua nama itu yang terdengar familiar."Noura Al Khudr ... aku berusaha menerima kenyataan ketika adikku memutuskan untuk memeluk Islam demi bisa menikah denganmu. Aku pun bisa menerima
"Apakah akan pulang malam lagi? tanya Hanna sambil memasangkan dasi di leher suaminya."Semoga tidak, tapi sampai sekarang belum ada keputusan siapa yang akan memimpin perusahaan." Dean menatap lekat wajah istrinya yang tampak fokus dengan dasi di tangannya. Wajah serius Hanna memang sangat menggemaskan hingga Dean tak bisa menahan diri untuk tidak mengecup hidung istrinya."Sabarlah ... sedikit lagi." Hanna berusaha mengelak dari tingkah usil suaminya. Dean hanya terkekeh sambil memandang istrinya."Jangan menunggu jika aku pulang malam. Kau pasti sangat lelah mengurus anak-anak. Kamu harus cukup istirahat." Dean mengalihkan pandanganya ke cermin, menatap dasi yah sudah dipakaikan Hanna."Bagaimana dengan makan malam? Sekarang ini kita lebih sering melewatkan makan malam bersama. Anak-anak sering menanyakan keberadaanmu," keluh Hanna pada suaminya.Dean mengangkat tangan kanannya lalu membelai pipi istrinya. Dia pun merasa bersalah karena terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga melewatk
Setelah mengantar Ethan dan Elena pulang ke apartemen mereka, Steve kembali ke hotel tempat pesta itu diselenggarakan. Dia bersikap seolah-olah tidak pernah bertemu dua anak kembar milik Dean dan Hanna.Hal yang pertama kali dilihatnya saat memasuki ballroom adalah sosok cantik Hanna masih duduk sendirian di mejanya, sedangkan Dean masih sibuk berbincang bersama Rasyid dan putrinya. Nampaknya dua orang pengusaha yang tadi membersamai mereka sudah beranjak ke perkumpulan yang lain.Alunan musik Timur Tengah masih menghentak di dalam ruangan. Steve melirik Dean yang masih serius berbincang dengan Rasyid. Nampaknya aman jika Steve menghampiri Hanna barang sejenak. Dia lalu melangkahkan kakinya ke meja tempat Hanna berada.Steve mengambil segelas minuman dari seorang pelayan yang lewat di depannya."Selamat malam, boleh saya duduk di sini?"Mendengar seseorang menyapanya lantas Hanna menoleh. Dia melihat Steve yang berdiri di sisi meja sambil menggenggam segelas minuman."Silakan. Tapi mu