Sudut Pandang Latu
Saat bulan purnama menyinari pulau Tannin terdengarlah tangisan anak yang baru saja lahir. Seluruh warga pulau merayakan anggota baru dengan sukacita. Mereka bernyanyi dengan girang serta menari tanpa lelah. Sudah menjadi tradisi di pulau Tannin jika kelahiran dan kematian harus dirayakan dengan meriah. Mereka bersyukur atas kedatangan dan berbahagia mengenang sejarah yang pergi. Setiap penduduk percaya jika kelahiran dan kematian adalah berkah dari semesta yang patut untuk dirayakan.Anak perempuan itu dibawa keluar rumah menuju tepi pantai. Semua orang menyaksikan ritual yang dilakukan oleh para tetua pulau dengan khusyuk. Penduduk pulau Tannin memiliki kepercayaan bahwa anak yang dilahirkan saat bulan purnama adalah istimewa. Tradisi ini berawal dari kepercayaan bahwa nenek moyang mereka menikah di bawah bulan pertama dan diberkahi oleh air mata suci naga biru ajaib. Beberapa buku yang diturunkan dari generasi ke generasi masih menyimpan kisah nenek moyang pulau Tannin.Anak perempuan itu dimandikan dengan air yang diambil dari hulu sungai Naga.“Jadikanlah air suci ini mengalir dalam nadi anakmu ini,” ucap tetua sambil membasuh bayi istimewa itu. Bayi itu kemudian didoakan oleh para tetua desa secara bergantian. Hingga akhirnya dia diangkat menengadah ke bulan purnama. Semua berharap cahaya bulan akan terserap di setiap kulit bayi itu. Setiap warga kembali bernyanyi, mereka menari mengelilingi anak perempuan itu setelah ritual ditunaikan. Mereka berharap kehadiran anak perempuan yang lahir di bawah sinar purnama itu akan membawa mereka makin dekat dengan naga biru. Naga yang telah memberikan nenek moyang mereka kehidupan. Naga yang telah menghilang dari pulau ribuan tahun lalu. Penduduk sangat bersemangat karena anak perempuan ini adalah anak pertama yang lahir di bawah bulan purnama seribu tahun terakhir.“Berikanlah sinarmu pada anak ini, jadikanlah darah hambamu ini menjadi jembatan antara kami dan naga biru. Pelindung pulau Tannin, pemelihara seluruh isinya!” ucap salah satu dari tetua pulau dengan khusyuk.“Dengan ijin sinarmu biarlah anak ini mengenakan Lalu sebagai namanya.”Perkenalkan namaku Latu. Aku adalah anak perempuan yang lahir di bawah sinar bulan purnama itu. Setiap malam ibuku akan bercerita bahwa aku adalah gadis spesial. Gadis yang lahir di bawah sinar bulan purnama.“Kau harus bersyukur, Nak. Kau adalah perempuan istimewa yang akan membawa kaum ini kembali bersama dengan naga biru,” Begitulah ucap ibu setiap hari seolah aku gampang sekali lupa akan hal itu sehingga harus selalu diingatkan.“Iya, Bu.” Tentu saja aku tak mengucapkan isi hatiku.Sudah seribu tahun tidak ada anak yang lahir di bawah sinar bulan purnama sampai akhirnya aku hadir. Sebenarnya aku tidak merasa begitu spesial. Hari-hariku biasanya saja. Aku membantu ibu memasak dan mengolah sawah serta merawat ternak milik keluarga. Oh iya, aku hanya tinggal dengan ibu. Ayah meninggal saat usiaku masih satu tahun. Satu-satunya perbedaanku dengan gadis lain adalah aku hanya diperbolehkan mandi menggunakan air di hulu sungai Naga. Menurut para tetua desa hanya air murni yang belum tercemar yang boleh kupakai untuk mandi. Hal itu untuk menjaga kesucian yang ada dalam diriku.Para tetua desa dan penduduk tak henti berharap bahwa aku dapat memanggil naga biru kembali ke pulau kami. Menurut tulisan nenek moyang, makin lama naga biru menghilang, maka sesuatu yang buruk akan menghampiri pulau Tannin. Aku selalu kebingungan saat orang-orang bertanya apakah aku sudah bertemu dengan naga biru. Padahal jika bisa jujur, aku sendiri tidak percaya dengan keberadaan naga ajaib itu. Saat kecil aku memang sering diceritakan tentang kisah nenek moyang desa Tannin. Namun, sekarang ah rasanya cerita itu hanya dongeng pengantar tidur. Tidak lebih dari itu. Aku tidak terlalu percaya dengan ramalan di buku yang disimpan oleh para tetua pulau“Bu, Latu mau ikut bermain bersama anak-anak di hutan bambu. Boleh kan Bu?”“Siapa saja yang ke sana?” tanya ibu. Aku tahu ibu tidak terlalu suka jika aku bermain jauh dari rumah.“Banyak Bu. Tenang saja, lagian Latu hanya ingin ikut bermain sebentar. Latu akan pulang sebelum matahari tenggelam. Aku janji nanti langsung pulang,” ucapku mencoba menenangkan ibu.Statusku sebagai perempuan istimewa tidak banyak membawa kemudahan, bahkan status itu hanya membawa kesulitan. Dengan berat hati akhirnya ibu mengangguk.“Latu. Kamu dibolehin keluar enggak!” bisik temanku dari jendela kamarku.“Boleh, boleh. Sebentar ya!” jawabku dari dalam.Aku kenal betul dengan suara itu. Aku melihat Tari sudah berdiri di luar rumah, ia mengenakan kain tenun berwarna hitam dan bergaris merah yang dililitkan di badannya. Benar sekali, setiap orang desa mengenakan kain tenun sebagai pakaian sehari-hari. Sedangkan laki-laki memakai kain tenun menutupi tubuh bagian bawah. Aku tersenyum sebagai kode bahwa hari ini aku diperbolehkan bermain bersama anak-anak yang lain.“Katanya di samping sungai banyak pohon yang berbuah, mungkin nanti sehabis bermain di hutan bambu kita bisa ke sana. Aku sudah membawa tempatnya!”“Aku belum pernah ke sana.”“Ha? Kau belum pernah ke sana?”“Ya. Baru saja aku bilang!” jawabku emosi. Seolah dia tidak percaya dengan penjelasanku.Buah dari samping sungai terkenal dengan rasanya yang begitu manis. Namun, aku belum pernah pergi ke sana karena satu-satunya tujuanku ke sungai sejak kecil adalah mandi, itu pun hanya di hulu sungai.Ternyata beberapa anak perempuan telah berkumpul di hutan bambu itu. Mereka menyambut kami yang baru saja datang. “Bagaimana kalau kita bermain petak umpet!” saran Tari kepada anak lainnya.“Setuju!”“Kau bisa ikut juga kalau mau,” kata Tari padaku“Tenang, aku tak akan dimarahi hanya karena main petak umpet!” bisikku pada Tari. Tari memang tahu betul jika ibu melarang banyak hal. Namun, bermain petak umpet tentu saja bukan salah satu dari larangan itu.Tania mendapat giliran untuk berjaga. Tania adalah salah satu cucu dari tetua desa walaupun dia anak tetua desa sifatnya hampir sama denganku. Dia tidak terlalu percaya dengan keberadaan naga. Atau jika boleh jujur, sebenarnya sudah banyak anak-anak yang meragukan naga biru yang selalu dinantikan oleh para penduduk desa. Kami hanya mengikuti setiap ritual demi menyenangkan generasi yang lebih tua.Aku berlari menjauhi Tania, aku berusaha mencari tempat persembunyian yang bagus. Tidak jauh dari tempatku, aku melihat satu batu besar dekat sungai. Aku berjalan ke arah batu itu dan bersembunyi di belakangnya seraya berharap Tania tidak akan menemukanku.Satu persatu anak ditemukan oleh Tania dengan mudah, namun sepertinya ia tidak menyadari keberadaanku di belakang batu besar ini. Saat menunggu Tania, aku tiba-tiba saja melihat satu benda berkilauan yang ada di pinggir sungai. Karena penasaran aku mendekati benda itu. Aku mengulurkan tanganku untuk menggapai benda itu. Benda itu tidak terlalu besar, mungkin selebar daun sirsak. Bentuknya seperti sisik ikan, namun jauh lebih besar dan lebih tebal, dan tentu saja jauh lebih indah. Warna biru benda itu begitu indah, aku tidak pernah menemukan warna biru seindah itu selama hidupku. Warna biru itu, bahkan jauh lebih indah dari warna langit atau warna lautan. Karena begitu cantik, akhirnya aku memutuskan untuk menyimpannya.“Aku menyerah!” teriak Tania.“Wah, padahal aku cuma sembunyi di sini!” teriakku. Aku keluar dari tempat persembunyian tadi.“Sepertinya kalian jago sekali sembunyi. Kakiku capek sekali mencari kesana-sini.”“Itu karena badanku kecil. Sembunyi di balik kayu itu jadinya gampang!” kata seorang sambil tertawa.Ternyata beberapa anak tidak bisa ditemukan Tania. Kami tertawa terbahak-bahak seraya menceritakan tempat persembunyian. “Kita cari buah ke pinggir sungai saja ya!” kata Tari kepada anak-anak lain.Semua setuju dengan saran Tari. Kami bergerak menuju pinggiran sungai. Ternyata benar kata Tari, banyak sekali buah-buah di pinggir sungai dekat hutan bambu ini. Ada buah jambu, mangga, sirsak dan buah lainnya.“Harum sekali!” pikirku. Tidak seperti tempat persembunyianku tadi yang berbau lumpur, tempat ini beraroma manis sekali.“Tempat ini sangat terkenal. Makanya aku heran kau belum pernah ke sini. Musim buah seperti ini, wah aku pernah bawa sekejang penuh ke rumah,” kata Tari bangga, “Latu, makan ini nah!” kata Tari sambil melemparkan jambu air berwarna merah ranum ke arahku.Sialnya aku malah terpeleset saat menangkap jambu itu. Kakiku jatuh ke batu yang tepat di depanku. Tidak terelakkan kakiku tergores dan mengeluarkan darah. Sontak saja aku mencuci darah itu ke sungai, membersihkan tanah yang menempel di luka itu.“Astaga Latu, bagaimana ini?” tanya Tari yang panik. Ia tidak mau jika nanti akan disalahkan oleh para tetua desa karena membuat anak perempuan yang lahir di bawah sinar bulan purnama itu terluka.“Aku tidak apa-apa, salahku juga!” ucapku menenangkan Tari. Anak lain langsung membawa daun-daun untuk menghentikan darahnya.“Benaran enggak sakit?”“Tenang. Cuma tergores sedikit,”Setelah kejadian itu, kami memutuskan untuk pulang. Luka di kakiku hanya gores kecil, malahan sudah tidak terasa sakit. Aku bahkan sudah lupa jika kakiku terluka. Namun ternyata, dua kejadian hari ini adalah pertanda. Ketika aku menemukan benda biru berkilauan serta menetesnya darahku ke aliran sungai takdir sudah diikat. Suatu permulaan untuk gadis yang telah dijanjikan.Sebenarnya aku tidak merasa begitu istimewa hanya karena lahir tepat di bawah sinar bulan purnama. Keistimewaan yang hanya dikarenakan legenda yang mengisahkan kehidupan nenek moyang pulau Tannin di masa yang lalu. Tidak lebih dan tidak kurang. Tertulis jika dahulu pulau ini adalah tempat suci yang hanya dihuni oleh seekor naga biru suci. Beribu tahun kemudian tiba-tiba sebuah kapal terombang-ambing di lautan dekat pulau. Naga yang melihat kapal itu memutuskan untuk menariknya ke daratan. Di dalam kapal terlihat banyak sekali tubuh manusia yang sudah tidak bernyawa. Tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi dengan kapal itu namun, yang jelas ada dua anak yang selamat dan bertahan hidup. Seorang anak perempuan dan laki-laki. Ketika mereka mendengar suara aneh dari luar, kedua anak itu memberanikan diri untuk beranjak dari tempat masing-masing. Si anak perempuan yang melihat anak laki-laki itu segera berlari memeluknya. Begitu juga dengan anak laki-laki yang juga selamat. Dia memeluk
Hari ini usiaku sudah hampir 17 tahun dan tak sekalipun naga biru muncul, bahkan di mimpi sekalipun. Aku makin yakin jika naga biru hanyalah dongeng tidak lebih dari itu. Namun, aku tidak berani untuk mengatakan keraguanku kepada para tetua, bisa-bisa aku diusir dari pulau. Malam ini aku harus mengikuti ritual. Sesuai perkiraan para tentu, ritual kami malam ini akan dilakukan di bawah bulan purnama. Kami akan berdoa kepada semesta dan naga biru. “Ibu, kain tenun yang warna biruku di mana ya?”“Astaga Latu, tadi ibu jemur. Ibu lupa ambil dari jemuran!”“Oh, kalau begitu aku ambil dulu baru kita berangkat ya,” kataku sambil berlari ke halaman.Aku berlari melihat jemuran di pinggir rumah. Kain itu terbentang di tali jemuran yang diikat pada batang pinang dekat rumah. Aku mengambil kain biru dari jemuran dan membawanya ke kamar. Melihat warna biru kain itu aku teringat pada benda yang kutemukan di sungai beberapa tahun yang lalu. Setelah mengamatinya aku merasa jika benda itu akan cant
Sampai siang hari para tetua desa belum memberikan penjelasan dari kejadian tadi malam. Sepertinya mereka juga belum yakin 100%, bahkan setelah melihat ramalan-ramalan di buku tua peninggalan nenek moyang. Kejadian seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Penduduk desa mulai takut, mereka waswas jika kejadian tadi malam akan membawa bencana bagi penduduk pulau Tannin. “Latu, kamu tahu tidak? Katanya kejadian tadi malam berhubungan dengan naga biru!” “Kata siapa?” tanyaku penasaran.“Tadi aku baru saja ambil rebung sama Tania, katanya dia dengar pembicaraan para tetua tadi malam. Mungkin ini pesan dari naga biru. Katanya sih satu-satu hal yang seolah meninggalkan pulau ya naga biru.”“Ah, mungkin saja itu hanya dugaan saja. Lagian aku yakin tadi malam mungkin saja nenek tetua desa kelelahan atau paling maksimal ya roh nenek moyang kita saja yang datang,” ucapku dengan santai.Memang tidak ada penjelasan yang memuaskan untuk menjelaskan kejadian malam itu, namun menghubungkannya
Karena penasaran dengan mimpi yang berulang, maka aku memutuskan untuk pergi ke sungai. Kali ini aku meminta Tari untuk menemaniku. Sebentar lagi perempuan ini akan menjadi istri seseorang. Ritual tadi malam berjalan sesuai harapan. Para tetua merestui rencana pernikahan Tari. Sebenarnya, aku ragu untuk menceritakan ini kepada Tari tetapi tidak ada lagi orang yang bisa aku ajak bicara.“Tari aku mau cerita tapi kamu janji ya tidak akan cerita ke orang lain.”“Wah, ada apa, aku jadi jantungan!” bisik Tari.Setelah sampai di hulu sungai aku dan Tari duduk di batu-batu besar, aku bersiap untuk menceritakan mimpiku yang berulang dalam dua malam terakhir.“Jadi aku sudah dua kali bermimpi, dan mimpiku itu seolah berlanjut.”“Mimpi apa?” bisik Tari, dia bersiap mendengarkan sebuah rahasia yang tidak boleh dibagikan dengan orang lain. “Jadi aku sudah dua kali bermimpi bertemu pemuda di sini, tepat disini.” Kataku sambil menunjukkan tempat di mana biasanya aku mandi. “Jadi aku akan muncul di
Pagi itu pulau Tannin Gaduh. Terdengar teriakan dari segala arah. Ibu yang juga baru selesai masak segera keluar rumah begitu juga denganku. “Kenapa itu?” tanya ibu melihat orang yang berlarian ke arah pantai. “Semua tetua kesurupan!” jawabnya sambil berlari. Ibu segera merapikan diri dan ikut berlari ke pantai. Aku pun begitu. “Ada apa ini!” pikirku. Baru saja aku bermimpi aneh dan ternyata mimpi itu tak cukup. Harus sekali pagi ini kebingunganku ditambah oleh kejadian ini. “Ini kenapa Tari?” teriakku saat melihat Tari yang juga sudah berdiri di pantai melihat kesepuluh tetua pulau yang menari berkeliling membentuk lingkaran. Mereka berteriak dengan kata-kata yang tak bisa dimengerti. “Tidak tahu, tiba-tiba mereka semua berteriak begitu. Enggak tahu juga!” balas Tari. Ia menarik tanganku mendekat padanya. Seluruh penduduk pulau berkumpul di pantai. Mencoba mengerti apa yang sedang terjadi. Namun, hasilnya tidak ada. Semua kebingungan melihat para tetua pulau yang masih menari
“Kau kenapa?” tanya Bratindra kebingungan. Sama dengannya yang bingung aku pun begitu. Aku heran kenapa laki-laki pujaan seluruh gadis pulau berada di sini. Ditambah lagi aku sedang berada dalam pangkuannya. Kekuatan mistis mana yang sedang bekerja di sini. Aku tak menjawab pertanyaan itu karena kepalaku dipenuhi tanda tanya yang tak memunculkan jawaban. “Latu? Kau tak apa?” “Astaga!” ucapku ketika sadar aku tergeletak di tanah persis di depan rumah. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Terakhir aku melihat pemuda dalam mimpiku muncul di depan rumah dan aku melihat suatu tempat yang dihuni begitu banyak naga. Tempat yang belum pernah aku lihat sebelumnya, bahkan mendengar pun tak pernah. Tempat yang terasa begitu asing, tetapi begitu akrab di waktu yang bersamaan. Semua itu bergabung dan membentuk teka-teki yang memenuhi otakku. Bahkan laki-laki yang menolongku pun tak terlaluku hiraukan. “Kau tak apa?” tanyanya lagi. Aku yang masih berbaring di pangkuannya tak kunjung menunj
Sudah dua hari ini ibu sibuk sekali mengurus para tetua yang masih melakukan ritual-ritual guna mengetahui kejadian yang terjadi. Semua para tetua berkumpul di balai dan para ibu bertugas menyiapkan makanan dan kebutuhan lain para tetua. Para suami juga berburu atau menyiapkan lauk yang diberikan pada mereka. Semua sibuk, semua berharap akan ada titik terang atas kejadian yang menggemparkan pulau di hari yang lalu. Aku merasa badanku begitu kotor karena belum mandi dua hari ini. Tari juga sibuk karena orang tuanya ikut bekerja di balai. Aku tentu saja tak mau ikut menjadi beban. Maka aku putuskan untuk berangkat ke sungai sendirian. Di jalan setapak aku mencoba menjernihkan pikiran. Hari-hari belakangan sangat membingungkan, seolah dunia sedang bermain teka-teki. Orang berkata jika hidup itu sederhana, nyatanya bagiku rumit sekali. Apa yang sedang terjadi sangat membingungkan, dan apa yang akan terjadi membentuk tanda tanya besar. Di saat menghitung langkah aku melihat pemuda itu.
Aku tak tahu haru berkata atau berbuat apa. Belum pernah ada satu orang menyatakan cinta kepadaku. Dan sekarang laki-laki bernama Bratindra, laki-laki pujaan seluruh gadis desa tiba-tiba menyatakan perasaannya di jalan setapak di tengah matahari hendak bersembunyi. Otakku tak memiliki kapasitas lebih untuk memikirkan itu. Semua akalku seolah tersumbat dan berhenti. Pikiranku tak mengeluarkan perintah bagi mulut untuk merespons dengan baik. “Aku... Aku..” “Oh, kau tak harus mengatakan apa-apa sekarang,” katanya lembut, “Aku hanya ingin memberitahu padamu jika ada seseorang yang menyukaimu sejak dulu.” Bratindra berjalan seperti tidak ada terjadi sedangkan aku berjalan dengan canggung. Bagaimana mungkin aku bisa berjalan santai bersama orang yang barus saja mengatakakan cinta. Dari depan aku melihatnya berjalan. Langkahku pendek dan tak mampu untuk mengimbanginya. Aku berpikir dan terus berpikir. Mengapa aku sebingung ini. Bukankan sudah kepastian jika aku menyukai laki-laki itu. La
Bratindra memeluk erat tubuh Latu, ia berusaha membangunkan perempuan itu. Sesekali kelopak mata Latu terlihat bergerak seperti hendak terbuka. Namun, hanya dalam hitungan detik kembali diam bak patung. Malam ini akan sangat panjang dan dingin. Ia tak pernah membayangkan akan tidur di gua yang disucikan ini. Benar jika semua penduduk desa tak pernah masuk ke dalam gua ini, tetapi Bratindra sudah berulang kali masuk ke dalamnya. Bratindra tahu betul kondisi gua ini dan sudah mempersiapkan banyak hal untuk menjalani kejadian ini. Untung saja dia sudah mempersiapkan banyak hal. Bratindra sudah tahu jika cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Dia menumpuk kayu kering dekat dinding gua. Dengan bantuan batu ia menyalakan api kecil untuk menghangatkan mereka berdua. Dengan bantuan ibunya dia mengebas buah dan makanan. Memang tak terlalu banyak karena awalnya mereka tak menduga mulut gua akan ditutup. Namun, hal itu tak terlalu dipusingkan Bratindra. Ternyata penduduk membawa persembahan
“Oh, tidak mungkin!” kata Latu saat mendengar pengakuan pemuda itu. Bagaimana mungkin pemuda yang selama ini hidup dalam mimpinya adalah naga biru, naga yang dipuja-puja oleh penduduk pulau Tannin. Naga yang sama sekali tak ia percayai. “Aku kira kau sudah tahu,” katanya menggoda. “Dari mana aku tahu?” balas Latu pendek. “Bagaimana mungkin manusia bisa memberimu kenikmatan seperti yang aku berikan?” tatap pemuda itu. Ia menatap Latu begitu lekat sampai Latu tak berani membalasnya. “Aku tak merasa kau memberikan sesuatu padaku,” “Kenikmatan yang kuberikan padamu, ah tentu saja kau masih mengingatnya. Walaupun pemuda itu memberikan hal itu padamu tapi kau pasti sadar jika ia tak mampu membuatmu merasakan apa yang kau rasakan saat bersamaku,” “Dari mana kau tahu aku dan kak Bratindra,” kata Latu keceplosan. Ia tak melanjutkan kalimatnya. “Oh, tentu saja aku tahu. Aku bisa melihat semua yang terjadi di pulau Tannin, hanya saja tubuhku masih belum terlalu kuat untuk data
“Latu, bangun, bangun,” bisik Bratindra. Ia muncul dari bebatuan di pinggir gua. Sejak semua penduduk pulau sibuk menyiapkan ritual dia bersiap dengan rencana membatalkan ritual itu. Ia membawa kebutuhannya untuk bertahan di gua dan berniat membawa Latu pergi dari tempat itu. Namun, yang tidak ia duga adalah bahwa gua akan ditutup dengan kayu-kayu besar yang begitu rapat. Di depan kayu itu mereka juga menumpuk bebatuan sehingga akan sulit atau bahkan mustahil baginya melewati pintu itu. Bratindra juga tahu jika gua itu hanya memiliki satu jalan keluar. Satu-satunya hal yang dilakukan Bratindra adalah membangunkan Latu dari tidurnya. Membuatnya terbangun, tetapi hal itu juga mustahil. Bratindra mengangkat Latu dari baru besar dan membaringkannya di pinggir gua yang sudah ia lapisi dengan kain yang dibawanya. Bratindra menjambak dan menggarut rambunya yang tak gatal. Ia tak mungkin membawa Latu, apa yang harus dia lakukan? Ia sendiri tak tahu. Semakin malam suhu gua semak
☆Sudut pandang orang ketiga serba tahu _____Warga berkumpul di depan rumah Latu dengan obor di tangan. Bratindra sudah keluar dari kamar Latu. Ia berjanji akan membatalkan ritual itu dengan segala cara. “Aku akan menyelamatkanmu,” katanya pada Latu dan segera keluar dari jendela kamar Latu. Meninggalkan Latu, gadis yang baru saja bercumbu dengannya menghadapi hari yang mungkin saja menjadi hari terakhirnya. Latu membuka pintu dan membiarkan para tetua masuk ke rumah. Dari belakang ibunya berjalan dengan kepala yang tertunduk lesu. Latu berjalan dengan janggal karena baru saja tubuhnya sangat lelah dibuat Bratindra. “Dengar, Nak. Tak ada dari kami menginginkan hal buruk terjadi padamu. Seharian kami berdoa agar engkau masih memiliki nafas kehidupan setelah ritual ini dilakukan. Para tetua percaya jika Naga memiliki cara bijaksana untuk menerima persembahan ini.” Latu mengangguk, ia tak mendengar nasihat itu, bahkan sedikit pun. Mereka mulai membersihkan tubuh Latu d
“Kak, kita bisa ketahuan!” bisikku ketika Bratindra membuka kain yang menutup tubuhku. “Kak, pintu terbuka. Seseorang bisa saja masuk!” kataku mendorong Bratindra. Aku memperbaiki kain yang tadi hampir terlepas. Aku bingung apakah laki-laki ini tulus mencintaiku sehingga dia mau melakukan segala hal untuk menyelamatkanku dan pulau Tannin. Atau dia punya agenda lain. Bratindra mengedap-endap ke depan. Ia menutup pintu tanpa dilihat oleh orang yang berjaga di depan. Kayu panjang penghalang pintu pun dipasang sehingga orang tak bisa membuka dari depan. “Kau tahu, kau harus menjadi milikku, kau tak bisa diberikan begitu saja kepada makhluk-makhluk kejam itu!” Bratindra melepas kain itu dengan begitu mudah. Hanya sedetik tak ada lagi yang menghalangi pemandangan pemuda itu. Cahaya remang dari obor di luar rumah membuat suasana semakin erotis. “Aku malu,” “Apa kau tak mau membuka matamu, Latu?” Latu tak tahu hal apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah semua sama nikmatny
Baru saja Latu ingin berjalan ke sungai untuk menemui Bratindra suara ibu berteriak terdengar begitu cari dari kejauhan. “Latu! Nak!” teriaknya sambil berlari. “Latu!” Aku sontak saja menemui ibu. Dari raut wajahnya dia terlihat begitu ketakutan. Entah hantu apa yang mengejarnya, padahal masih sore. Sesampai di halaman ibu langsung memelukku. Matanya sembab dan merah. Ia menangis, meraung. Beberapa orang terlihat mengikuti ibu dari belakang. Mereka juga memasang wajah yang sama menyedihkannya dengan ibu. Mata mereka memandangku dengan tatapan kasihan. “Ibu kenapa?” tanyaku dengan suara gemetar. Aku bahkan tidak memikirkan tentang diri sendiri, aku mengira ibu sakit atau dia berbuat kesalahan. Namun, bukan ibu yang harus kukhawatirkan. “Nak, bagaimana ini. Bagaimana ini!” “Bagaimana gimana, Bu?” tanyaku sedikit emosi. Kenapa tak ada satu pun yang menjelaskan kejadian ini padaku? Setelah beberapa saat ibu terus menangis tanpa penjelasan para tetua pulau datang. Kali ini tak han
“Shttttt” Aku tentu saja melotot. Memandang laki-laki ini dengan tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin dia bersembunyi di kamarku di saat ibu sedang di rumah. Dia bukannya pulang malah di sini mengundang masalah. “Kau harus pergi!” bisikku. Aku tak ingin ibu bangun dan melihat aku bersama laki-laki ini. Sangat bahaya, bisa-bisa dia pingsan di tempat. “Asalkan kau berjanji!” “Apa!” paksaku pelan. Rumah ini bukan rumah besar. Suara kecil pun bisa terdengar ke semua ruangan. Untung saja suara jangkrik dan hewan lain mungkin menyamarkan suara bisikan antara aku dan Bratindra. “Besok kita bertemu di sungai, aku akan menunggu di batu besar tempatku menunggumu!” “Aku tak pergi ke sungai besok!” jawabku. Tangan laki-laki itu makin menggila. Seolah dia tidak menyukai jawaban yang baru saja aku berikan. “Baiklah,” jawabku akhirnya. Sebenarnya sensasi ini sangat menaikkan adrenalinku. Perasaan takut sekaligus menyenangkan ini tak mau aku hentikan. Namun, aku masih bisa mengatur kepalak
“Kau tak apa?” Aku tentu saja tak menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Bratindra tidak seharusnya berada di sini, apalagi dengan hari yang mulai gelap. Aku menggeleng kebingungan. Entah apa maksud laki-laki ini. “Mungkin sebaiknya kita di luar saja sampai ibumu pulang.” Katanya menarik kursi dari bambu. Ia duduk tanpa kupersilahkan. Sebenarnya aku senang di malam yang sepi ini ada seseorang yang menemaniku, ditambah dia adalah laki-laki kecintaan semua gadis di pulau. Namun, ada rasa canggung yang juga menghantuiku. Seperti aku katakan sebelumnya, aku adalah gadis tanpa pengalaman menjalin hubungan. Aku takut topik apa yang harus aku lemparkan. Bagaimana melanjutkan percakapan agar menarik atau kekhawatiran lainnya. “Tenang, kau bisa diam dan duduk saja!” kata Bratindra seolah tahu pikiranku. “Eh.. ehhmmmm” Aku duduk di kursi yang kutarik cukup jauh darinya. Tanganku kusilangkan di dada, menahan kain yang menutupi pundakku. Angin malam ini cukup dingin, ditambah sinar bulan yan
Aku tak tahu haru berkata atau berbuat apa. Belum pernah ada satu orang menyatakan cinta kepadaku. Dan sekarang laki-laki bernama Bratindra, laki-laki pujaan seluruh gadis desa tiba-tiba menyatakan perasaannya di jalan setapak di tengah matahari hendak bersembunyi. Otakku tak memiliki kapasitas lebih untuk memikirkan itu. Semua akalku seolah tersumbat dan berhenti. Pikiranku tak mengeluarkan perintah bagi mulut untuk merespons dengan baik. “Aku... Aku..” “Oh, kau tak harus mengatakan apa-apa sekarang,” katanya lembut, “Aku hanya ingin memberitahu padamu jika ada seseorang yang menyukaimu sejak dulu.” Bratindra berjalan seperti tidak ada terjadi sedangkan aku berjalan dengan canggung. Bagaimana mungkin aku bisa berjalan santai bersama orang yang barus saja mengatakakan cinta. Dari depan aku melihatnya berjalan. Langkahku pendek dan tak mampu untuk mengimbanginya. Aku berpikir dan terus berpikir. Mengapa aku sebingung ini. Bukankan sudah kepastian jika aku menyukai laki-laki itu. La