Sebenarnya aku tidak merasa begitu istimewa hanya karena lahir tepat di bawah sinar bulan purnama. Keistimewaan yang hanya dikarenakan legenda yang mengisahkan kehidupan nenek moyang pulau Tannin di masa yang lalu. Tidak lebih dan tidak kurang. Tertulis jika dahulu pulau ini adalah tempat suci yang hanya dihuni oleh seekor naga biru suci. Beribu tahun kemudian tiba-tiba sebuah kapal terombang-ambing di lautan dekat pulau. Naga yang melihat kapal itu memutuskan untuk menariknya ke daratan. Di dalam kapal terlihat banyak sekali tubuh manusia yang sudah tidak bernyawa. Tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi dengan kapal itu namun, yang jelas ada dua anak yang selamat dan bertahan hidup. Seorang anak perempuan dan laki-laki.
Ketika mereka mendengar suara aneh dari luar, kedua anak itu memberanikan diri untuk beranjak dari tempat masing-masing. Si anak perempuan yang melihat anak laki-laki itu segera berlari memeluknya. Begitu juga dengan anak laki-laki yang juga selamat. Dia memeluk perempuan itu dengan erat sejak hari itu takdir telah menuliskan kisah dua anak manusia itu. Diceritakan usia mereka sekitar 12 dan 10 tahun di kala itu. Mereka tentu saja ketakutan melihat naga yang panjangnya melebihi kapa. Namun, mereka tidak ada pilihan lain selain keluar dari kapal dengan bantuan ekor naga itu.
Kedua anak itu terdiam, mereka terheran melihat naga yang berada di depan mereka. Beberapa saat kemudian, naga itu mendekat dan makin mendekat sampai akhirnya menempelkan kepalanya ke kepala dua anak malang itu. Setelah berselang kurang lebih satu menit naga itu menjauh dan sesuatu yang ajaib terjadi.
"Tinggallah di sini, wahai kalian anak manusia!" Ucap naga biru dengan suara yang begitu gagah dan menggelegar.
Naga itu bisa berbicara dengan bahasa manusia. Pohon kelapa di sepanjang pantai seolah tertiup suaranya yang megah.
"Kalian akan bahagia jika tinggal di pulau ini, tanah ini akan membantu kalian menjalani kehidupan ke depan." Lanjutnya.
Kedua anak itu hanya mengangguk. Mereka tidak ada pilihan lain selain berjalan mengikuti naga biru menuju satu batang pohon yang begitu besar dengan akar menjuntaikan ke bawah. Naga biru memerintahkan agar mereka berdua tinggal di pohon besar.
“Aku takut,” bisik anak perempuan.
“Jangan takut. Tenang, kita ikuti saja. Sepertinya dia tidak berniat jahat.” Kata anak lelaki mencoba menenangkan perempuan itu.
"Aku akan melindungi kalian selama kalian berpijak di pulau ini. Kalian berdua lebih baik segera mengambil alat yang kalian perlukan dari kapal sebab sebentar lagi kapal itu akan kuhanyutkan lagi ke samudra." Jelasnya.
Ketakutan yang sedari tadi menghantui kedua anak sudah lenyap. Kini mereka menggantungkan hidupnya pada si naga biru.
Kedua anak itu kembali ke kapal, mengambil alat-alat yang mereka perlukan . Setelah melihat kedua anak itu keluar, naga biru menarik kapal kembali ke lautan. Ia menjauhkan mayat-mayat yang ada di kapal dari pulau.
Naga biru selalu membantu kedua anak itu memenuhi kebutuhan mereka sampai akhirnya kedua anak manusia itu bisa hidup mandiri. Anak perempuan diberi nama Kaliyah, sedangkan anak laki-laki dianugerahi nama Anaga. Mereka hidup berdampingan dengan si naga biru. Kaliyah dan Anaga menjalani kehidupan mereka tahun demi tahun sampai akhirnya mereka beranjak dewasa.
Anaga yang sudah berusia 19 tahun menyadari bahwa ia memiliki ketertarikan kepada Kaliyah. Ia selalu merasakan jantungnya berdebar kencang, keringatnya bercucuran bahkan ia merasakan bagian bawah tubuhnya selalu tegang ketika bersama Kaliyah. Namun, tentu saja ia tidak tahu harus berbuat apa. Sampai di suatu malam Kaliyah duduk di dekat perapian sembari merapikan rambutnya yang begitu panjang. Saat itu sinar bulan purnama menyinari indahnya sosok Kaliyah, bahkan indahnya mengalahkan mutiara yang mereka dapat dari kerang di dasar laut. Anaga tidak sanggup lagi menahan semua hasrat dalam dirinya.
"Kaliyah, aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Tapi seluruh tubuhku menjadi aneh setiap kali aku melihatmu. Dan sensasi itu makin mengganggu belakangan ini.” Ucapnya pada Kaliyah yang sontak menghentikan kegiatannya.
“Aku tidak paham maksud kak Anaga,” katanya begitu polos.
Dengan perlahan Anaga bergerak dari tempat duduknya dan mendekati Kaliyah. Jari-jarinya menyentuh wajah Kaliyah, ia membelai perempuan itu begitu lembut hingga Kaliyah terangsang.
“Aku mencintaimu Kaliyah. Aku dan dirimu sudah ditakdirkan bersama. Aku jatuh cinta denganmu!” Ucap Anaga yang tanpa menunggu jawaban Kaliyah langsung menciumi bibir perempuan itu. Ia tidak membiarkan barang satu senti terlewat oleh bibirnya.
Anaga melepas kain yang menutup tubuh Kaliyah dengan perlahan.
"Kak, jangan. Aku, aku tidak yakin sudah saatnya!" Ucap Kaliyah sambil menutup buah dadanya yang begitu indah.
"Tidak apa, tidak ada yang perlu ditakutkan. Aku akan lembut." Kata Anaga menenangkan Kaliyah.
Baik Kaliyah dan Anaga tidak pernah diajarkan hal ini. Mereka sudah terpisah dari kehidupan manusia sejak masih kecil. Semua kejadian selanjutnya hanya dipandu oleh gairah semata. Tubuh mereka tahu apa yang harus mereka lakukan.
Anaga memperhatikan tubuh Kaliyah, ia mengagumi setiap lekuk tubuh wanita itu. Tangannya mulai menjamah perut Kaliyah. Membiarkan perempuan itu merasakan sentuhan hangatnya.
"Ah..." bisik Kaliyah saat jari-jari Anaga bergerak mengelus betisnya, pahanya dan seluruh tubuhnya.
Napas Kaliyah makin memburu begitu juga dengan Anaga. Bibirnya kemudian mencium tangan Kaliyah yang menutup buah dadanya. Ketika tangan Kaliyah terlepas Anaga lekas menciumi seluruh tubuh Kaliyah, seolah madu menetes di atasnya. Dia merasakan kelembutan perempuan itu. Tubuh Kaliyah mulai basah. Anaga menelusuri seluruh tubuh gadis itu, bergerak masuk dan keluar, membiarkan Kaliyah terbiasa dengan sensasi itu, mempersiapkan Kaliyah untuk percintaan sebenarnya.
"Ahhhhhh, sakit," pekik Kaliyah.
Untuk pertama kalinya Kaliyah merasakan tubuhnya menjadi satu dengan Anaga. Anaga berhenti sejenak, membiarkan Kaliyah menarik napas dalam-dalam. Anaga mencium bibir Kaliyah, melumatnya seperti saat dia memakan buah manis yang diambil di tengah hutan. Ketika melihat perempuan itu sudah terbiasa Anaga kembali membiarkan tubuhnya bergerak sesuai irama hasrat mereka.
Anaga membiarkan Kaliyah duduk di atasnya. Mempersilakan perempuan itu menikmati kenikmatan malam itu. Sinar bulan purnama yang menjadi saksi menyatunya dua anak manusia. Lama sekali mereka saling bergerak, mencium, mencari titik kenikmatan masing-masing.
"Aku mencintaimu!" ucap Anaga sambil meremas buah dada Kaliyah yang bergerak begitu indah.
Kaliyah yang penuh keringat tidak bisa membalas ucapan cinta itu, dia hanya mendesah, memecahkan keheningan malam itu. Beberapa saat kemudian terdengar suara naga biru yang menghampiri Anaga dan Kaliyah. Lama sekali naga itu mematung di depan mereka, seolah hendak mengatakan sesuatu namun terlalu berat untuk disampaikan. Akhirnya naga biru mendekati Kaliyah. Sesaat kemudian dia meneteskan air mata ke perut perempuan itu. “Keturunanmu adalah milik kami!” ucapnya.
“Apa maksud dari perkataan itu?” bisik Kaliyah.
“Entahlah,” kata Anaga kembali melanjutkan yang sempat tertunda. Pikirannya tak mau diisi oleh hal lain.
Seiring berjalannya waktu, Kaliyah akhirnya melahirkan anak. Jumlah mereka makin bertambah, beranak cucu dan bertambah banyak hingga pada saat ini Pulau Tannin dianugerah beribu kehidupan.
Cerita itu selalu diceritakan para tetua secara turun-temurun sampai ke anak cucu mereka. Namun, yang jelas sudah lama tidak ada penduduk yang melihat naga biru. Sudah ribuan tahun tidak pernah ada saksi yang pernah bertemu dengan naga biru. Tinggallah kisah naga biru menjadi dongeng semata bagi beberapa penduduk Pulau Tannin. Para tetua selalu berdoa agar naga biru kembali pada mereka, namun doa itu hanya harapan semata sampai akhirnya aku lahir dan beban itu diberikan ke pundakku.
Hari ini usiaku sudah hampir 17 tahun dan tak sekalipun naga biru muncul, bahkan di mimpi sekalipun. Aku makin yakin jika naga biru hanyalah dongeng tidak lebih dari itu. Namun, aku tidak berani untuk mengatakan keraguanku kepada para tetua, bisa-bisa aku diusir dari pulau. Malam ini aku harus mengikuti ritual. Sesuai perkiraan para tentu, ritual kami malam ini akan dilakukan di bawah bulan purnama. Kami akan berdoa kepada semesta dan naga biru. “Ibu, kain tenun yang warna biruku di mana ya?”“Astaga Latu, tadi ibu jemur. Ibu lupa ambil dari jemuran!”“Oh, kalau begitu aku ambil dulu baru kita berangkat ya,” kataku sambil berlari ke halaman.Aku berlari melihat jemuran di pinggir rumah. Kain itu terbentang di tali jemuran yang diikat pada batang pinang dekat rumah. Aku mengambil kain biru dari jemuran dan membawanya ke kamar. Melihat warna biru kain itu aku teringat pada benda yang kutemukan di sungai beberapa tahun yang lalu. Setelah mengamatinya aku merasa jika benda itu akan cant
Sampai siang hari para tetua desa belum memberikan penjelasan dari kejadian tadi malam. Sepertinya mereka juga belum yakin 100%, bahkan setelah melihat ramalan-ramalan di buku tua peninggalan nenek moyang. Kejadian seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Penduduk desa mulai takut, mereka waswas jika kejadian tadi malam akan membawa bencana bagi penduduk pulau Tannin. “Latu, kamu tahu tidak? Katanya kejadian tadi malam berhubungan dengan naga biru!” “Kata siapa?” tanyaku penasaran.“Tadi aku baru saja ambil rebung sama Tania, katanya dia dengar pembicaraan para tetua tadi malam. Mungkin ini pesan dari naga biru. Katanya sih satu-satu hal yang seolah meninggalkan pulau ya naga biru.”“Ah, mungkin saja itu hanya dugaan saja. Lagian aku yakin tadi malam mungkin saja nenek tetua desa kelelahan atau paling maksimal ya roh nenek moyang kita saja yang datang,” ucapku dengan santai.Memang tidak ada penjelasan yang memuaskan untuk menjelaskan kejadian malam itu, namun menghubungkannya
Karena penasaran dengan mimpi yang berulang, maka aku memutuskan untuk pergi ke sungai. Kali ini aku meminta Tari untuk menemaniku. Sebentar lagi perempuan ini akan menjadi istri seseorang. Ritual tadi malam berjalan sesuai harapan. Para tetua merestui rencana pernikahan Tari. Sebenarnya, aku ragu untuk menceritakan ini kepada Tari tetapi tidak ada lagi orang yang bisa aku ajak bicara.“Tari aku mau cerita tapi kamu janji ya tidak akan cerita ke orang lain.”“Wah, ada apa, aku jadi jantungan!” bisik Tari.Setelah sampai di hulu sungai aku dan Tari duduk di batu-batu besar, aku bersiap untuk menceritakan mimpiku yang berulang dalam dua malam terakhir.“Jadi aku sudah dua kali bermimpi, dan mimpiku itu seolah berlanjut.”“Mimpi apa?” bisik Tari, dia bersiap mendengarkan sebuah rahasia yang tidak boleh dibagikan dengan orang lain. “Jadi aku sudah dua kali bermimpi bertemu pemuda di sini, tepat disini.” Kataku sambil menunjukkan tempat di mana biasanya aku mandi. “Jadi aku akan muncul di
Pagi itu pulau Tannin Gaduh. Terdengar teriakan dari segala arah. Ibu yang juga baru selesai masak segera keluar rumah begitu juga denganku. “Kenapa itu?” tanya ibu melihat orang yang berlarian ke arah pantai. “Semua tetua kesurupan!” jawabnya sambil berlari. Ibu segera merapikan diri dan ikut berlari ke pantai. Aku pun begitu. “Ada apa ini!” pikirku. Baru saja aku bermimpi aneh dan ternyata mimpi itu tak cukup. Harus sekali pagi ini kebingunganku ditambah oleh kejadian ini. “Ini kenapa Tari?” teriakku saat melihat Tari yang juga sudah berdiri di pantai melihat kesepuluh tetua pulau yang menari berkeliling membentuk lingkaran. Mereka berteriak dengan kata-kata yang tak bisa dimengerti. “Tidak tahu, tiba-tiba mereka semua berteriak begitu. Enggak tahu juga!” balas Tari. Ia menarik tanganku mendekat padanya. Seluruh penduduk pulau berkumpul di pantai. Mencoba mengerti apa yang sedang terjadi. Namun, hasilnya tidak ada. Semua kebingungan melihat para tetua pulau yang masih menari
“Kau kenapa?” tanya Bratindra kebingungan. Sama dengannya yang bingung aku pun begitu. Aku heran kenapa laki-laki pujaan seluruh gadis pulau berada di sini. Ditambah lagi aku sedang berada dalam pangkuannya. Kekuatan mistis mana yang sedang bekerja di sini. Aku tak menjawab pertanyaan itu karena kepalaku dipenuhi tanda tanya yang tak memunculkan jawaban. “Latu? Kau tak apa?” “Astaga!” ucapku ketika sadar aku tergeletak di tanah persis di depan rumah. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Terakhir aku melihat pemuda dalam mimpiku muncul di depan rumah dan aku melihat suatu tempat yang dihuni begitu banyak naga. Tempat yang belum pernah aku lihat sebelumnya, bahkan mendengar pun tak pernah. Tempat yang terasa begitu asing, tetapi begitu akrab di waktu yang bersamaan. Semua itu bergabung dan membentuk teka-teki yang memenuhi otakku. Bahkan laki-laki yang menolongku pun tak terlaluku hiraukan. “Kau tak apa?” tanyanya lagi. Aku yang masih berbaring di pangkuannya tak kunjung menunj
Sudah dua hari ini ibu sibuk sekali mengurus para tetua yang masih melakukan ritual-ritual guna mengetahui kejadian yang terjadi. Semua para tetua berkumpul di balai dan para ibu bertugas menyiapkan makanan dan kebutuhan lain para tetua. Para suami juga berburu atau menyiapkan lauk yang diberikan pada mereka. Semua sibuk, semua berharap akan ada titik terang atas kejadian yang menggemparkan pulau di hari yang lalu. Aku merasa badanku begitu kotor karena belum mandi dua hari ini. Tari juga sibuk karena orang tuanya ikut bekerja di balai. Aku tentu saja tak mau ikut menjadi beban. Maka aku putuskan untuk berangkat ke sungai sendirian. Di jalan setapak aku mencoba menjernihkan pikiran. Hari-hari belakangan sangat membingungkan, seolah dunia sedang bermain teka-teki. Orang berkata jika hidup itu sederhana, nyatanya bagiku rumit sekali. Apa yang sedang terjadi sangat membingungkan, dan apa yang akan terjadi membentuk tanda tanya besar. Di saat menghitung langkah aku melihat pemuda itu.
Aku tak tahu haru berkata atau berbuat apa. Belum pernah ada satu orang menyatakan cinta kepadaku. Dan sekarang laki-laki bernama Bratindra, laki-laki pujaan seluruh gadis desa tiba-tiba menyatakan perasaannya di jalan setapak di tengah matahari hendak bersembunyi. Otakku tak memiliki kapasitas lebih untuk memikirkan itu. Semua akalku seolah tersumbat dan berhenti. Pikiranku tak mengeluarkan perintah bagi mulut untuk merespons dengan baik. “Aku... Aku..” “Oh, kau tak harus mengatakan apa-apa sekarang,” katanya lembut, “Aku hanya ingin memberitahu padamu jika ada seseorang yang menyukaimu sejak dulu.” Bratindra berjalan seperti tidak ada terjadi sedangkan aku berjalan dengan canggung. Bagaimana mungkin aku bisa berjalan santai bersama orang yang barus saja mengatakakan cinta. Dari depan aku melihatnya berjalan. Langkahku pendek dan tak mampu untuk mengimbanginya. Aku berpikir dan terus berpikir. Mengapa aku sebingung ini. Bukankan sudah kepastian jika aku menyukai laki-laki itu. La
“Kau tak apa?” Aku tentu saja tak menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Bratindra tidak seharusnya berada di sini, apalagi dengan hari yang mulai gelap. Aku menggeleng kebingungan. Entah apa maksud laki-laki ini. “Mungkin sebaiknya kita di luar saja sampai ibumu pulang.” Katanya menarik kursi dari bambu. Ia duduk tanpa kupersilahkan. Sebenarnya aku senang di malam yang sepi ini ada seseorang yang menemaniku, ditambah dia adalah laki-laki kecintaan semua gadis di pulau. Namun, ada rasa canggung yang juga menghantuiku. Seperti aku katakan sebelumnya, aku adalah gadis tanpa pengalaman menjalin hubungan. Aku takut topik apa yang harus aku lemparkan. Bagaimana melanjutkan percakapan agar menarik atau kekhawatiran lainnya. “Tenang, kau bisa diam dan duduk saja!” kata Bratindra seolah tahu pikiranku. “Eh.. ehhmmmm” Aku duduk di kursi yang kutarik cukup jauh darinya. Tanganku kusilangkan di dada, menahan kain yang menutupi pundakku. Angin malam ini cukup dingin, ditambah sinar bulan yan
Bratindra memeluk erat tubuh Latu, ia berusaha membangunkan perempuan itu. Sesekali kelopak mata Latu terlihat bergerak seperti hendak terbuka. Namun, hanya dalam hitungan detik kembali diam bak patung. Malam ini akan sangat panjang dan dingin. Ia tak pernah membayangkan akan tidur di gua yang disucikan ini. Benar jika semua penduduk desa tak pernah masuk ke dalam gua ini, tetapi Bratindra sudah berulang kali masuk ke dalamnya. Bratindra tahu betul kondisi gua ini dan sudah mempersiapkan banyak hal untuk menjalani kejadian ini. Untung saja dia sudah mempersiapkan banyak hal. Bratindra sudah tahu jika cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Dia menumpuk kayu kering dekat dinding gua. Dengan bantuan batu ia menyalakan api kecil untuk menghangatkan mereka berdua. Dengan bantuan ibunya dia mengebas buah dan makanan. Memang tak terlalu banyak karena awalnya mereka tak menduga mulut gua akan ditutup. Namun, hal itu tak terlalu dipusingkan Bratindra. Ternyata penduduk membawa persembahan
“Oh, tidak mungkin!” kata Latu saat mendengar pengakuan pemuda itu. Bagaimana mungkin pemuda yang selama ini hidup dalam mimpinya adalah naga biru, naga yang dipuja-puja oleh penduduk pulau Tannin. Naga yang sama sekali tak ia percayai. “Aku kira kau sudah tahu,” katanya menggoda. “Dari mana aku tahu?” balas Latu pendek. “Bagaimana mungkin manusia bisa memberimu kenikmatan seperti yang aku berikan?” tatap pemuda itu. Ia menatap Latu begitu lekat sampai Latu tak berani membalasnya. “Aku tak merasa kau memberikan sesuatu padaku,” “Kenikmatan yang kuberikan padamu, ah tentu saja kau masih mengingatnya. Walaupun pemuda itu memberikan hal itu padamu tapi kau pasti sadar jika ia tak mampu membuatmu merasakan apa yang kau rasakan saat bersamaku,” “Dari mana kau tahu aku dan kak Bratindra,” kata Latu keceplosan. Ia tak melanjutkan kalimatnya. “Oh, tentu saja aku tahu. Aku bisa melihat semua yang terjadi di pulau Tannin, hanya saja tubuhku masih belum terlalu kuat untuk data
“Latu, bangun, bangun,” bisik Bratindra. Ia muncul dari bebatuan di pinggir gua. Sejak semua penduduk pulau sibuk menyiapkan ritual dia bersiap dengan rencana membatalkan ritual itu. Ia membawa kebutuhannya untuk bertahan di gua dan berniat membawa Latu pergi dari tempat itu. Namun, yang tidak ia duga adalah bahwa gua akan ditutup dengan kayu-kayu besar yang begitu rapat. Di depan kayu itu mereka juga menumpuk bebatuan sehingga akan sulit atau bahkan mustahil baginya melewati pintu itu. Bratindra juga tahu jika gua itu hanya memiliki satu jalan keluar. Satu-satunya hal yang dilakukan Bratindra adalah membangunkan Latu dari tidurnya. Membuatnya terbangun, tetapi hal itu juga mustahil. Bratindra mengangkat Latu dari baru besar dan membaringkannya di pinggir gua yang sudah ia lapisi dengan kain yang dibawanya. Bratindra menjambak dan menggarut rambunya yang tak gatal. Ia tak mungkin membawa Latu, apa yang harus dia lakukan? Ia sendiri tak tahu. Semakin malam suhu gua semak
☆Sudut pandang orang ketiga serba tahu _____Warga berkumpul di depan rumah Latu dengan obor di tangan. Bratindra sudah keluar dari kamar Latu. Ia berjanji akan membatalkan ritual itu dengan segala cara. “Aku akan menyelamatkanmu,” katanya pada Latu dan segera keluar dari jendela kamar Latu. Meninggalkan Latu, gadis yang baru saja bercumbu dengannya menghadapi hari yang mungkin saja menjadi hari terakhirnya. Latu membuka pintu dan membiarkan para tetua masuk ke rumah. Dari belakang ibunya berjalan dengan kepala yang tertunduk lesu. Latu berjalan dengan janggal karena baru saja tubuhnya sangat lelah dibuat Bratindra. “Dengar, Nak. Tak ada dari kami menginginkan hal buruk terjadi padamu. Seharian kami berdoa agar engkau masih memiliki nafas kehidupan setelah ritual ini dilakukan. Para tetua percaya jika Naga memiliki cara bijaksana untuk menerima persembahan ini.” Latu mengangguk, ia tak mendengar nasihat itu, bahkan sedikit pun. Mereka mulai membersihkan tubuh Latu d
“Kak, kita bisa ketahuan!” bisikku ketika Bratindra membuka kain yang menutup tubuhku. “Kak, pintu terbuka. Seseorang bisa saja masuk!” kataku mendorong Bratindra. Aku memperbaiki kain yang tadi hampir terlepas. Aku bingung apakah laki-laki ini tulus mencintaiku sehingga dia mau melakukan segala hal untuk menyelamatkanku dan pulau Tannin. Atau dia punya agenda lain. Bratindra mengedap-endap ke depan. Ia menutup pintu tanpa dilihat oleh orang yang berjaga di depan. Kayu panjang penghalang pintu pun dipasang sehingga orang tak bisa membuka dari depan. “Kau tahu, kau harus menjadi milikku, kau tak bisa diberikan begitu saja kepada makhluk-makhluk kejam itu!” Bratindra melepas kain itu dengan begitu mudah. Hanya sedetik tak ada lagi yang menghalangi pemandangan pemuda itu. Cahaya remang dari obor di luar rumah membuat suasana semakin erotis. “Aku malu,” “Apa kau tak mau membuka matamu, Latu?” Latu tak tahu hal apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah semua sama nikmatny
Baru saja Latu ingin berjalan ke sungai untuk menemui Bratindra suara ibu berteriak terdengar begitu cari dari kejauhan. “Latu! Nak!” teriaknya sambil berlari. “Latu!” Aku sontak saja menemui ibu. Dari raut wajahnya dia terlihat begitu ketakutan. Entah hantu apa yang mengejarnya, padahal masih sore. Sesampai di halaman ibu langsung memelukku. Matanya sembab dan merah. Ia menangis, meraung. Beberapa orang terlihat mengikuti ibu dari belakang. Mereka juga memasang wajah yang sama menyedihkannya dengan ibu. Mata mereka memandangku dengan tatapan kasihan. “Ibu kenapa?” tanyaku dengan suara gemetar. Aku bahkan tidak memikirkan tentang diri sendiri, aku mengira ibu sakit atau dia berbuat kesalahan. Namun, bukan ibu yang harus kukhawatirkan. “Nak, bagaimana ini. Bagaimana ini!” “Bagaimana gimana, Bu?” tanyaku sedikit emosi. Kenapa tak ada satu pun yang menjelaskan kejadian ini padaku? Setelah beberapa saat ibu terus menangis tanpa penjelasan para tetua pulau datang. Kali ini tak han
“Shttttt” Aku tentu saja melotot. Memandang laki-laki ini dengan tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin dia bersembunyi di kamarku di saat ibu sedang di rumah. Dia bukannya pulang malah di sini mengundang masalah. “Kau harus pergi!” bisikku. Aku tak ingin ibu bangun dan melihat aku bersama laki-laki ini. Sangat bahaya, bisa-bisa dia pingsan di tempat. “Asalkan kau berjanji!” “Apa!” paksaku pelan. Rumah ini bukan rumah besar. Suara kecil pun bisa terdengar ke semua ruangan. Untung saja suara jangkrik dan hewan lain mungkin menyamarkan suara bisikan antara aku dan Bratindra. “Besok kita bertemu di sungai, aku akan menunggu di batu besar tempatku menunggumu!” “Aku tak pergi ke sungai besok!” jawabku. Tangan laki-laki itu makin menggila. Seolah dia tidak menyukai jawaban yang baru saja aku berikan. “Baiklah,” jawabku akhirnya. Sebenarnya sensasi ini sangat menaikkan adrenalinku. Perasaan takut sekaligus menyenangkan ini tak mau aku hentikan. Namun, aku masih bisa mengatur kepalak
“Kau tak apa?” Aku tentu saja tak menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Bratindra tidak seharusnya berada di sini, apalagi dengan hari yang mulai gelap. Aku menggeleng kebingungan. Entah apa maksud laki-laki ini. “Mungkin sebaiknya kita di luar saja sampai ibumu pulang.” Katanya menarik kursi dari bambu. Ia duduk tanpa kupersilahkan. Sebenarnya aku senang di malam yang sepi ini ada seseorang yang menemaniku, ditambah dia adalah laki-laki kecintaan semua gadis di pulau. Namun, ada rasa canggung yang juga menghantuiku. Seperti aku katakan sebelumnya, aku adalah gadis tanpa pengalaman menjalin hubungan. Aku takut topik apa yang harus aku lemparkan. Bagaimana melanjutkan percakapan agar menarik atau kekhawatiran lainnya. “Tenang, kau bisa diam dan duduk saja!” kata Bratindra seolah tahu pikiranku. “Eh.. ehhmmmm” Aku duduk di kursi yang kutarik cukup jauh darinya. Tanganku kusilangkan di dada, menahan kain yang menutupi pundakku. Angin malam ini cukup dingin, ditambah sinar bulan yan
Aku tak tahu haru berkata atau berbuat apa. Belum pernah ada satu orang menyatakan cinta kepadaku. Dan sekarang laki-laki bernama Bratindra, laki-laki pujaan seluruh gadis desa tiba-tiba menyatakan perasaannya di jalan setapak di tengah matahari hendak bersembunyi. Otakku tak memiliki kapasitas lebih untuk memikirkan itu. Semua akalku seolah tersumbat dan berhenti. Pikiranku tak mengeluarkan perintah bagi mulut untuk merespons dengan baik. “Aku... Aku..” “Oh, kau tak harus mengatakan apa-apa sekarang,” katanya lembut, “Aku hanya ingin memberitahu padamu jika ada seseorang yang menyukaimu sejak dulu.” Bratindra berjalan seperti tidak ada terjadi sedangkan aku berjalan dengan canggung. Bagaimana mungkin aku bisa berjalan santai bersama orang yang barus saja mengatakakan cinta. Dari depan aku melihatnya berjalan. Langkahku pendek dan tak mampu untuk mengimbanginya. Aku berpikir dan terus berpikir. Mengapa aku sebingung ini. Bukankan sudah kepastian jika aku menyukai laki-laki itu. La