"Mas ... Mas Pandu," seru Alvin dari luar pintu kamar Pandu.
Ketukan pintu itu membuat Pandu dan Anggi kelabakan harus bersikap seperti apa. Anggi merapikan piyamanya, begitu juga Pandu memakai kembali kaos dan boxer nya.
"Mau apa sih anak itu," gerutu Pandu. "Udah, Sayang?" tanya nya pada Anggi agar tunangannya itu siap menghadapi yang terjadi jika pintu itu terbuka nanti. "Santai ya, jangan grogi," ujar Pandu lagi, Anggi hanya mengangguk.
"Lama banget sih," ujar Alvin saat pintu kamar itu terbuka.
Alvin tersenyum tipis kala matanya mendapati Anggi berada di dalam kamar itu dengan pakaian tidur.
"Ngapain sih lo?" tanya Pandu. "Belum juga ngapa-ngapain, ganggu aja lo," bisik Pandu.
"Lah ... nyalahin gue, lo kurang cepet gerakannya," kekeh Alvin. "Mama udah tidur, Nggi?" tanya Alvin iseng.
"Udah, Mas."
"Pantesan." Alvin tertawa.
"Ngapain lo ke kamar gue?"
"Temenin gue nyari bubur kacang
Enjoy reading 😘
Hingar bingar musik begitu keras terdengar, Windu mengedarkan pandangannya mencari sosok wanita yang sudah empat hari ini mengganggu pikirannya. Terakhir bertemu lalu bercinta malam itu membuatnya menekatkan diri untuk mencoba memulai hubungan mereka kembali. Meskipun niat awalnya adalah mencegah aksi balas dendam Soraya. Matanya terpaku pada wanita dengan dress berbahan latex sedikit di bawah lutut, dengan model baju tanpa lengan dan bagian dada terbelah. Dress berwarna hitam yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. Windu berjalan menghampiri Soraya yang berada di lantai dansa sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya seorang diri dan berada di bawah pengaruh alkohol. "Winwin ...," sapa Soraya saat melihat lelaki bertubuh tegap, berkulit putih lengkap dengan kacamata yang selalu dia kenakan. "Kamu selalu ada dimana pun aku berada," ujar Soraya dalam keadaan mabuk. "Sudah cukup, Ya ... aku antar kamu pulang," kata Windu merengkuh pinggang Soraya.
"Kita mulai dari awal, Aya," bisik Windu di balik telinga wanita yang sampai detik ini masih dia cintai. Soraya menahan napasnya, sentuhan tangan Windu di lengannya membuatnya kembali merasakan desiran-desiran yang semakin nyata mengalir di sekujur tubuhnya. "Aku nggak—" "Please, kita bahkan belum mencoba," ucap Windu lembut. Hembusan napas Windu yang hangat menerpa leher jenjang Soraya. Soraya memejamkan matanya, menahan rasa yang ada di hatinya. Ingin sekali dia berbalik dan memeluk lelaki itu, lelaki yang selalu menerima apa ada dirinya. Soraya melepaskan genggaman tangan Windu di lengannya lalu memutar tubuhnya. "Aku nggak bisa, Win ... hidup aku sudah hancur, keluarga aku hancur ... masih untung aku bisa berdiri seperti sekarang ini meski hati aku sakit melihat semua berantakan." "Karena kamu kuat, Ya ... karena kamu tangguh, kamu bukan wanita sembarangan, kamu hadapi ini sendirian itulah kenapa kamu masih berdiri me
"Sayang," panggil Alvin saat dia masuk ke dalam kamarnya dan tidak mendapati Shesa di dalam sana. "Shesa," panggil Alvin lagi sambil mengetuk pintu kamar mandi. Shesa keluar dari kamar mandi dengan wajah yang pucat, sore ini entah sudah berapa kali dia memuntahkan isi perutnya. Semenjak kepulangan mereka dari Bali dua hari lalu Shesa termasuk sering muntah hingga membuatnya semakin lemas. "Muntah lagi?" tanya Alvin. "Iya, nggak enak banget, Vin." "Kita ke dokter aja ya," ajak Alvin. "Seharian ini udah berapa kali kamu begini, Sayang," ujar Alvin menguncir rambut panjang Shesa. "Nggak tau," jawab Shesa dengan mata berkaca-kaca. "Ya udah sekarang siap-siap, kita ke dokter," kata Alvin memberikan kecupan di kening Shesa lalu meninggalkannya sebentar di sana. "Vin," panggil Paula saat Alvin keluar dari kamarnya. "Ya, Ma." "Gimana Shesa? kata bibik seharian ini dia muntah-muntah." "Iya, Ma. Ini kita mau ke do
Kandungan Shesa sudah memasuki umur tiga bulan, tubuh wanita itu tidak banyak berubah masih terlihat langsing, namun belakangan sudah nampak segar. "Kak," panggil Anggi dari balik pintu kamar Shesa. "Masuk, Nggi." "Udah siap?" tanya Anggi. "Sebentar lagi, one more touch," ujar Shesa menyapukan kuas blush-on pada tulang pipinya. "You look so gorgeous," ucap Anggi, membelai rambut indah milik kakaknya. "You too," balas Shesa lalu berdiri memeluk Anggi. "Setelah memberitahukan kabar gembira ini sama papa, berjanji sama Kakak, kamu akan selalu berbahagia, ya." Binar mata Shesa tidak dapat di ungkapkan dengan kata-kata. Baginya setelah kehilangan dan kehancuran yang pernah dia alami mendapatkan kembali keluarganya adalah suatu keajaiban yang Tuhan berikan padanya. "Ayo, Mas Pandu dan Mas Alvin udah nunggu kita di sana," ajak Anggi. Hari ini Shesa mengantarkan Anggi bertemu dengan ayah mereka. Pandu memohon rest
Haru biru pertemuan keluarga ini membawa dampak baik untuk hubungan mereka. Alvi dan Pandu ikut merasakan kebahagiaan keluarga itu, sedikit banyak merekalah yang berperan menyatukannya. "Papa hanya meminta pada kalian berdua, tolong cintai anak-anak Papa ini, jangan lagi mengulangi kesalahan yang sama seperti yang Papa lakukan pada mereka. Papa meminta dengan sangat bahagia kan anak-anak, Papa," ujar Gunawan terisak. "Papa, serahkan kedua putri Papa pada kalian," katanya lagi menghapus air matanya. Alvin dan Pandu menjawab dengan anggukan dan ekspresi wajah yang sungguh-sungguh sudah cukup bagi Gunawan. "Waktunya sudah habis," ujar petugas jaga. "Papa sehat-sehat ya," ujar Shesa. "Papa harus sehat, kita akan bertemu lagi nanti," kata Anggi memberikan kecupan pada pipi Gunawan. "Aku masih mencoba mengajukan beberapa remisi dan pembebasan bersyarat, ini masih kita diskusikan dengan tim pengacara, Papa sabar ya," ujar
Balutan kebaya swarovski berwarna putih yang dikenakan Anggi terlihat begitu anggun. Shesa mendesain sendiri kebaya itu untuk pernikahan adik semata wayangnya. Ronce bunga melati kuncup terjuntai menghiasi kepala Anggi pagi itu. Riasan wajah yang simpel membuat wajahnya semakin cantik. "Kalo udah cantik, tetap aja cantik mau diapain juga," ujar penata rias sambil merapikan kebaya pengantin itu. "Bisa aja." Anggi ikut terkekeh. "Nggi, udah siap? tanya Shesa yang baru masuk ke kamar Anggi. "Udah, Kak," jawab Anggi. "Oh, ternyata adiknya Shesa pantas saja cantik, kakaknya aja cantik dan seksi seperti ini," kata penata rias itu lagi. "Bisa aja, "ujar Shesa terkekeh. "Nggi kalo udah siap, kita turun yuk ... calon suami kamu udah nunggu di taman hotel." "Aku kok deg deg an ya Kak," ujar Anggi dengan wajah merona. "Deg deg an gimana nih? malam pertama ya?" Penata rias itu menimpali. "Haha ... kalo itu nan
"Kenapa, Ma?" tanya Anggi menghampiri mereka. "Shesa sama Alvin, di cari-cari nggak ada tapi kaya Windu, mereka sudah masuk ke hotel," jawab Paula. "Biasalah mereka itu kan nggak bisa di kasih sela, yang ada ya mereka yang bulan madu," kata Pandu merangkul pundak istrinya. "Ndu, kita balik ya ... sekali lagi selamat pokoknya, doain gue," kata Windu. "Semangat, Win ... jalan masih terbuka lebar," ujar Pandu melirik Soraya. "Anggi, sekali lagi selamat ya, kita pulang dulu," pamit Soraya menautkan pipinya pada pipi Anggi. Anggi hanya tersenyum, entah mengapa dia masih belum percaya sepenuhnya dengan Soraya. Apalagi semenjak tahu Windu dan Soraya kembali menjalin hubungan. "Kenapa sih?" tanya Pandu saat Windu dan Soraya berlalu dari hadapan mereka. "Entah, aku masih curiga aja sama dia," kata Anggi. "Nggak baik curiga begitu, setidaknya Soraya sudah mempunyai niat untuk memperbaiki kesalahannya,
Anggi masih berada di dalam balutan selimut pagi itu, dekapan Pandu membuat tidurnya semakin pulas. Matahari kian lama semakin tinggi, namun pasangan pengantin baru itu masih saja terhanyut dalam mimpinya. Anggi menggerakkan tubuhnya, lengan kekar itu masih melingkar di dada nya. Diciumnya tangan lelaki yang sekarang sudah menjadi suaminya itu. Ditatapnya wajah pulas yang semalam menghentaknya tiada henti. "Selamat pagi, Sayang," bisik Anggi lembut di telinga Pandu. Tangannya merapikan alis tebal milik Pandu, lalu turun pada hidung mancung lelaki itu, dan perlahan Anggi usap bibir yang semalaman menyesapnya. "Mas," ucap Anggi menggoyangkan tubuh Pandu. "Hhmm ...." "Udah pagi, udah jam sembilan," ujar Anggi menarik selimutnya yang sudah turun ke perut. "Jangan di tarik," kata Pandu menahan selimut itu namun dengan mata yang masih tertutup. "Biar begini." Tangannya menangkup payudara Anggi yang polos. "Mas, ih." Anggi terkekeh lu
Taman samping rumah Shesa sudah di penuhi keluarga Atmaja dan Gunawan. Malam ini adalah perayaan kembalinya Gunawan setelah melewati masa hukumannya di penjara atas perbuatannya. Shesa dan Anggi duduk di sisi para suaminya, Gunawan dengan seksama mendengarkan cerita dari putri-putrinya melewati hari mengurus buah hati mereka. Sementara Wulan dan Paula sudah menjadi kebiasaan dua nenek ini menyiapkan segala sesuatu di meja makan. "Ini yang mau di bakar apa?" tanya Pandu dengan polosnya. "Jangan rumah gue," seloroh Alvin diiringi tawa semua anggota keluarga. "Kita tunggu satu keluarga lagi untuk bergabung," ujar Budiman. "Papa sengaja mengundang mereka." "Selamat malam." Semua orang menoleh ke asal suara, lelaki tampan bermata sipit berkulit putih, merangkul seorang wanita dengan perut yang membesar. "Aya, Windu," sahut Shesa yang tak percaya jika yang di maksud Budiman adalah Soraya dan Windu serta Citra yang berdi
"Sayaaang," seru Anggi dari dalam kamarnya. Pandu menaiki tangga tergopoh-gopoh, membawa tiga bungkus pampers berukuran besar dan satu plastik besar. Setengah jam yang lalu, Anggi menyuruhnya membeli perlengkapan bayi yang dia butuhkan termasuk susu dan Pampers untuk si kembar. "Sayang," seru Anggi lagi. "Iya, aku di sini," jawab Pandu masuk ke dalam dan melihat kesibukan Anggi mengurus bayi mereka yang berumur lima bulan. "Apa lagi yang harus aku bantu?" tanya Pandu dengan napas tersengal-sengal. "Bikinin susu untuk Aira, aku mau gantiin pampers Arya dulu," jawab Anggi meletakkan Aira ke tempat tidur bayinya, lalu mengangkat pelan tubuh Arya yang sudah menunggu antrian untuk di gantikan popoknya. "Siap!" jawab Pandu lantang, lalu melangkah ke sudut ruangan yang sudah lengkap dengan semua peralatan susu bayi kembar mereka. "Nggi." Wulan memanggilnya di ambang pintu. "Iya, Ma." "Kita berangkat setelah makan siang
"Wah, selamat ya, Ndu. Langsung dua keren banget gimana bikinnya itu?" tanya Windu yang siang itu di telpon oleh Pandu, mengabarkan kalau Anggi sudah melahirkan. "Ya bikin aja, Win. Masa perlu gue ajarin." Pandu terkekeh. "Gimana Soraya?" "Sehat dia, tapi ya gitu ... apa memang begitu ya kalo perempuan lagi hamil?" "Emang gimana?" tanya Pandu, "eh, sebentar gue ubah mode video call aja, ini ada yang ribet pengen ikut ngobrol." Windu tertawa, hubungan tiga orang lelaki ini semakin hari semakin akrab. "Gimana? Coba di ulang lagi." Alvin meminta Windu mengulang perkataannya. "Iya, banyak banget maunya, belum sensitifnya, belum lagi minta yang nggak-nggak," keluh Windu. "Minta yang aneh dalam hal itu, nggak?" tanya Alvin tertawa. "Iya, Vin. Kok lo tau? Shesa juga?" tanya Windu penasaran. "Ya kali gue cerita, Win." Alvin tertawa. "Kapan lahiran?" tanya Pandu. "Masih lima bulan lagi," ujar Windu.
Pandu berjalan tergopoh-gopoh memasuki koridor rumah sakit. Setengah jam yang lalu dia di telpon Wulan untuk langsung datang ke rumah sakit karena Anggi mengeluh sakit pada perutnya. Jadwal melahirkan Anggi masih tiga minggu lagi seharusnya. Saat ini usia kandungannya masih delapan bulan, untung saja selesai acara keluarga tiga minggu lalu, Wulan memutuskan untuk tinggal bersama mereka mengingat kandungan Anggi yang sudah membesar. Apalagi kehamilan bayi kembar lebih-lebih tidak bisa di prediksi kapan akan lahirnya. Dokter saat pemeriksaan terakhir dua minggu lalu menyarankan untuk Anggi melakukan operasi secar, namun Anggi bersikeras ingin melahirkan normal. "Gimana, Ma?" tanya Pandu pada Wulan yang berdiri di depan ruang bersalin. "Ndu, kamu cepat siap-siap, temui suster temani Anggi," ujar Wulan terlihat panik. "I-iya, Ma. Pandu masuk dulu ya, Mama tolong hubungi keluarga," kata Pandu. Memasuki ruang dingin itu dengan baju yang suda
Perut itu semakin membuncit, bukan hal biasa jika mengandung dua janin sekaligus apalagi dengan tubuh mungil seperti tubuh Anggi. Dengan susah payah, wanita yang mengenakan denim jumper dress itu berjalan menuju ruang makan VVIP di sebuah restoran di Bandung. "Kenapa sih nggak di rumah aja?" tanyanya namun dengan mendumel. "Perutnya gede banget," kekeh Shesa yang sedang menyuapi Naima. "Iyalah Kak, kan di kasih makan sama bapaknya," ujar Anggi sebal lalu dia menoleh ke kanan ke kiri. "Mas Pandu mana?" "Dih, mana tau," jawab Alvin mengangkat kedua bahunya. "Suami situ," kekeh Alvin di balas tepukan di bahu oleh Shesa. "Kakaknya situ," balas Shesa. "Iya juga, ya." Alvin lalu tertawa lagi. "Dia belum dateng?" Anggi mendelik, lalu merogoh tasnya mengambil ponsel. "Suami isrti yang aneh," ujar Wulan mengusap bibir Naima yang sudah belepotan dengan biskuitnya. "Ya udah, ini udah di tungguin," ujar Anggi yang ber
Usia Naima menginjak enam bulan, hari ini adalah hari pertama dia mendapatkan makanan pendamping ASI. Pagi sekali Shesa sudah sibuk di dapur, dia begitu bersemangat memberikan makanan pendamping pertama untuk Naima. "Mau dibikinin apa?" tanya Wulan yang sudah satu bulan ini tinggal bersama mereka. "Ada hati ayam, telur ayam kampung, wortel, brokoli," jawab Shesa. "Kaldu ayam yang Mama bikin kemarin jangan lupa, Sha." Wulan membalik telur dadar yang di buat untuk tambahan sarapan nasi goreng kegemaran Alvin. "Buburnya kamu saring, kan?" "Iya, Ma. Kalo di blender emang kenapa, Ma?" tanya Shesa. "Ya nggak kenapa-kenapa. Cuma kayaknya nggak sreg aja sih, kalo Mama ya." "Ya udah, nanti Shesa saring aja," ujar Shesa yang mencampur semua bahan menjadi satu. "Bik," panggilnya pada pembantu rumah tangganya. "Tolong di aduk ya, aku mau lihat Nay sama papi nya udah pada bangun belum." Yang di serahkan tanggungjawab pun hanya mengangguk. S
"Kamu mau coba gaya yang gimana?" tanya Windu mendesah di telinga Soraya. Soraya mendekat dengan seluruh tubuh yang tidak terhalang sehelai benangpun. Masih menggunakan heelsnya, Soraya mendorong pelan tubuh suaminya hingga ke sisi tempat tidur. Windu terjatuh pelan ke atas tempat, membuat senyuman kecil kala melihat kelakuan istrinya. Dia memundurkan dirinya tepat ke tengah-tengah, Soraya merangkak erotis menggerakkan tubuhnya meliuk di atas tubuh Windu. "Kamu punya gaya baru?" goda Windu. "Khusus malam ini," ujar Soraya menarik turun boxer suaminya dan membuangnya ke sembarang tempat. Kelakian Windu sudah menegang sejak awal mereka melakukan cumbuan tadi. Tangan Soraya dengan cepatnya meraih milik Windu, Soraya sedikit turun menghadap pada milik Windu, lalu menatap mata Windu. Windu mengangkat sedikit kepalanya, rasa ingin tahu yang besar atas apa yang akan dilakukan Soraya padanya. "Hhmm." Windu mengerang saat So
Soraya memandangi tubuhnya di depan kaca besar di dalam kamar hotel. Tubuh langsing, tinggi dan cantik, siapa yang tidak ingin bersanding dengannya. Hubungannya dengan Windu yang sempat terputus akhirnya membawanya kembali kedalam pelukan lelaki itu. Windu yang selalu ada di saat-saat susahnya, di saat-saat terpuruknya. Windu yang selalu menyemangati hidupnya, Windu yang meredamkan amarah kesalahpahaman yang terjadi selama ini, dan Windu juga yang menguatkan dia dan ibunya. Sebegitu yakinnya Soraya jika Windu adalah pelabuhan cinta terakhirnya. Ketukan di pintu kamar menyadarkannya untuk bergegas merapikan penampilannya. Shesa masuk ke dalam kamar Soraya, dia tertegun dengan penampilan wanita yang sempat menjadi saingannya itu. "Ya ampun, cantik banget," ujar Shesa terpana. "Siapa yang bikin gaunnya," kekeh Soraya mengulurkan tangannya pada Shesa. "Makasih ya, ini luar biasa." Gaun pengantin dengan potongan tanpa lengan, dengan bagian da
"Siapa?" tanya Soraya lagi. "Kalo marah kamu makin cantik," ujar Windu menggoda. "Nggak usa ngerayu!' "Aku ngga ngerayu, bahkan kamu memang lebih cantik dengan wanita tadi," ucap Windu mengendusi parfum di leher kekasihnya. "Jadi pengen." Tangan Windu sudah berada di bokong Soraya. "Nggak usah macem-macem, aku masih marah." "Kalo marah malah lebih hot," bisik Windu di telinga Soraya, yang membuat tubuh Soraya menegang. "Lepas nggak! Aku mau tau siapa perempuan tadi!" Soraya berusaha melepaskan dirinya dari Windu. "Kalo aku kasih tau, janji jangan marah ya?" Windu semakin menempelkan tubuhnya. "Hhmm." "Cium dulu tapi." "Win!" "Cium dulu," rengek Windu. Mau tidak mau, Soraya pun memberikan kecupan sekilas di bibir calon suaminya yang entah mengapa semakin hari semakin manja dan harus siap di layani. "Udah," ujar Soraya kesal. "Jadi siapa dia?" "Dia itu ... wedding organizer