"Kenapa, Ma?" tanya Anggi menghampiri mereka.
"Shesa sama Alvin, di cari-cari nggak ada tapi kaya Windu, mereka sudah masuk ke hotel," jawab Paula.
"Biasalah mereka itu kan nggak bisa di kasih sela, yang ada ya mereka yang bulan madu," kata Pandu merangkul pundak istrinya.
"Ndu, kita balik ya ... sekali lagi selamat pokoknya, doain gue," kata Windu.
"Semangat, Win ... jalan masih terbuka lebar," ujar Pandu melirik Soraya.
"Anggi, sekali lagi selamat ya, kita pulang dulu," pamit Soraya menautkan pipinya pada pipi Anggi.
Anggi hanya tersenyum, entah mengapa dia masih belum percaya sepenuhnya dengan Soraya. Apalagi semenjak tahu Windu dan Soraya kembali menjalin hubungan.
"Kenapa sih?" tanya Pandu saat Windu dan Soraya berlalu dari hadapan mereka.
"Entah, aku masih curiga aja sama dia," kata Anggi.
"Nggak baik curiga begitu, setidaknya Soraya sudah mempunyai niat untuk memperbaiki kesalahannya,
Guys.. maaf ya kalo ada typo atau auto text yang bikin kalian blunder 🤭 kadang aku sudah cek tetep aja masih kecolongan untuk typo nya 🥺 Oh ya bakal ada GA dari Chida nanti mendekati part-part akhir jangan lupa untuk vote dan komen tergokil kalian ya siapa tau kalian salah satu yang beruntung 😘 Enjoy reading 😘
Anggi masih berada di dalam balutan selimut pagi itu, dekapan Pandu membuat tidurnya semakin pulas. Matahari kian lama semakin tinggi, namun pasangan pengantin baru itu masih saja terhanyut dalam mimpinya. Anggi menggerakkan tubuhnya, lengan kekar itu masih melingkar di dada nya. Diciumnya tangan lelaki yang sekarang sudah menjadi suaminya itu. Ditatapnya wajah pulas yang semalam menghentaknya tiada henti. "Selamat pagi, Sayang," bisik Anggi lembut di telinga Pandu. Tangannya merapikan alis tebal milik Pandu, lalu turun pada hidung mancung lelaki itu, dan perlahan Anggi usap bibir yang semalaman menyesapnya. "Mas," ucap Anggi menggoyangkan tubuh Pandu. "Hhmm ...." "Udah pagi, udah jam sembilan," ujar Anggi menarik selimutnya yang sudah turun ke perut. "Jangan di tarik," kata Pandu menahan selimut itu namun dengan mata yang masih tertutup. "Biar begini." Tangannya menangkup payudara Anggi yang polos. "Mas, ih." Anggi terkekeh lu
Soraya turun dari mobil, kala mereka sampai di sebuah klinik psikiatri khusus untuk para penderita tekanan kejiwaan. Windu mengulurkan tangannya pada Soraya, mereka berjalan beriringan masuk ke dalam klinik. Menemui seorang dokter untuk mengkonsultasikan keadaan sang Ibu. "Berarti keadaannya berangsur membaik ya, Dok?" tanya Soraya. "Iya, Ibu Citra termasuk pasien yang cepat penyembuhannya, tapi masih harus kita pantau oleh karena itu sebaiknya sementara waktu tetap berada di klinik saja sampai total penyembuhan," jelas dokter itu. "Baik, Dok. Saya bisa jenguk sekarang?" "Silahkan, sering di jenguk kemungkinan besar membantu pemulihannya." Wanita tua yang seharusnya masih terlihat cantik itu sekarang lebih terlihat kurus, pucat dan tanpa senyum. Pakaian berwarna putih seakan kontras dengan wajahnya. Soraya melangkah mendekati Citra yang duduk tepat di sebelah jendela, memandangi taman sore itu. "Mama," sapa Soraya memegang pundak
Dua bulan berlalu, kehidupan kembali seperti biasanya. Perut Shesa sudah terlihat semakin membesar, usia kandungannya kini sudah lima bulan lebih, tubuhnya semakin berisi bahkan Alvin saja lebih menyukai penampilan Shesa saat ini. "Kamu jadi ke Malang besok?" tanya Shesa masih di atas tempat tidur memperhatikan gerak gerik suaminya yang baru saja tiba dari kantor. "Jadi, kamu jadi ikut?" Alvin membuka helai demi helai pakaiannya. "Aku di minta hadir fashion show lusa, gimana kalo aku nyusul kamu?" "Sendirian? naik pesawat?" "Iya, tapi aku nggak mau naik pesawat. Boleh ya kalo aku naik kereta, please." Shesa memohon. "Janji deh ini ngidam aku terakhir, setelahnya nggak minta apa-apa lagi," ujar Shesa mengacungkan dua jarinya berbentuk V. "Nggak ah, ntar kenapa-kenapa." "Kan cuma di kereta, Vin. Nggak bakalan kenapa-kenapa. Ya, boleh ya." Shesa memohon. "Aku kabulin, asal—" Alvin jalan mendekat. "Apa?" tanya Shesa
"Iya, gue minta tolong lo selidiki. Mungkin lo punya temen di sini juga buat jaga-jaga istri gue, Win. Gue masih kurang lebih tiga hari di sini dan masih ngurusin pabrik baru, gimana? bisa bantu gue kan?" tanya Alvin pada Windu melalui sambungan telepon. "Gue coba hubungi temen gue di sana, mudah-mudahan bisa jaga Shesa ya. Dan masalah pria yang nabrak Shesa tadi, gue bakal pantau." "Maaf banget, Win. Cuma masalahnya, Anggi adik Shesa masih curiga dengan Soraya. Bukan gimana-gimana juga sih, cuma kan kita nggak tau yang ada di dalam hati dia bagaimana," jelas Alvin yang sebenarnya juga masih merasakan sesuatu dengan Soraya. "Gue ngerti, ngerti banget. Soraya serahin ke gue, semoga tidak seperti yang kita bayangkan." "Sayang," panggil Shesa. "Sudah dulu, Win, besok gue hubungi lagi," kata Alvin mengakhiri percakapan mereka. "Sayang," panggil Shesa lagi. "Iya," jawab Alvin masuk ke dalam kamar hotel. "Kenapa?"
"Awas, Sha!" Teriakan Soraya mengagetkan semua pengunjung di sana. Hanya tinggal empat anak tangga, harusnya sebentar lagi Shesa sampai di bawah dengan selamat. Lelaki bertopi hitam itu berlari entah kemana setelah menabrak Shesa dari belakang. Shesa terjatuh ke bawah, Soraya menjerit berlari menuruni anak tangga dengan wajah panik. Pelipis wanita hamil itu mengeluarkan darah, meringis memegangi perutnya. "Ya, an—ak a—ku," ujarnya terbata. "Tolong ... tolong, tolong teman saya," Isak Soraya. "Tolong ...." Soraya semakin panik saat melihat Shesa sudah tidak sadarkan diri. Beberapa orang berdatangan, membantu mengangkat Shesa hingga naik ke taksi yang membawa mereka menuju rumah sakit. Soraya meraih ponsely, bercepat mengabari Windu agar menghubungkan Alvin segera. Namun, sambungan telepon yang di tuju Soraya pun tidak ada jawaban sama sekali. "Ya Tuhan," lirih Soraya memandangi wajah Shesa. "Bapak tolong lebih cepat lagi!"
"Apa yang mau kamu urus! HAH?! kamu lihat istri aku, hampir saja nyawanya dan anak yang dia kandung melayang, dan itu semua karena ayah kamu, Soraya!" "Apa yang mau kamu bantu? APA!" Emosi Alvin benar-benar sudah tidak lagi dapat dia tahan. "Sayang, please kasih kita waktu untuk mencari jalan keluar dari kasus ini," ujar Windu mengusap punggung kekasihnya. "Tapi hanya ini satu-satunya ca—" Belum selesai Soraya meneruskan kata-katanya ponselnya bergetar. "Halo," jawab Soraya. "Selamat sore, dengan Ibu Soraya?" tanya suara di seberang sana. "Iya, saya sendiri," ujarnya lagi. "Kami dari kepolisian, mengabarkan bahwa ayah Anda ditemukan sudah tidak bernyawa dengan luka tusuk di dada di dalam selnya, hasil penyelidikan sementara Bapak Chandra Adhiyaksa melakukan penusukan sendiri atau lebih tepatnya beliau bunuh diri," jelas pihak kepolisian. Tubuh Soraya meremang, Soraya mundur beberapa langkah dengan ponsel yan
"Ya Tuhan, Shesa." Wulan dan Anggi menghampiri Shesa yang masih tertidur dengan posisi miring pagi itu. "Sha, kamu baik-baik, kan?" Wulan mencium kening putrinya. "Kok kamu ada di sini, Nggi? Bukannya sama Mas Pandu di Singapura?" "Malah nanya aku, sih. Kak Shesa gimana? udah enak kan?" "Aku nggak apa-apa, udah baikan. Baby juga baik, barusan tadi abis tendang-tendang perut aku. Cuma ya itu tidurnya masih posisi miring dan nggak boleh banyak gerak." "Terus rencana pulang ke Jakarta kapan, Vin?" tanya Paula "Beberapa hari lagi, Ma. Shesa harus istirahat total dulu di sini, kalo baby sudah kuat kita pulang ke Jakarta." "Kalo gitu Papa telpon temen Papa dulu, biar kita sewa apartemen mereka, selama kalian berada di sini." Budiman melangkah keluar ruangan ketika sambungan teleponnya terhubung. "Mama lihat di tivi kemarin, Chandra Adhiyaksa meninggal dunia? Bener, Vin?" Wulan memberikan jeruk yang sudah terkupas
Satu bulan berlalu semenjak tragedi kecelakaan yang menimpa Shesa. Alvin dan Shesa sudah kembali ke Jakarta. Memulai kehidupan seperti biasa, sedangkan Anggi dan Pandu masih harus berpisah jarak. Kabar terakhir yang mereka terima tentang Soraya, wanita itu sudah berkumpul kembali dengan ibunya. "Sha." Ketukan di pintu kamar Shesa membuat wanita berbadan dua itu menoleh ke asal suara. "Mama ... masuk, Ma," ujar Shesa saat melihat Paula sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. "Lagi siap-siap, ya? Mau kemana?" "Aku bosan, Ma. Aku mau ke butik, Mama mau ikut?" "Boleh sama Alvin?" "Boleh, Alvin juga kasian kalo aku diem aja di rumah, Ma. Mama Wulan juga udah pulang ke Bandung, persiapan rumah baru Anggi." "Mama ikut deh kalo kamu mau ke butik," ujar Paula. "Mama sarapan dulu," kata Shesa sebelum Paula menutup pintu kamarnya. "Udah, tadi di rumah." "Mama pasti jalan kaki lagi
Taman samping rumah Shesa sudah di penuhi keluarga Atmaja dan Gunawan. Malam ini adalah perayaan kembalinya Gunawan setelah melewati masa hukumannya di penjara atas perbuatannya. Shesa dan Anggi duduk di sisi para suaminya, Gunawan dengan seksama mendengarkan cerita dari putri-putrinya melewati hari mengurus buah hati mereka. Sementara Wulan dan Paula sudah menjadi kebiasaan dua nenek ini menyiapkan segala sesuatu di meja makan. "Ini yang mau di bakar apa?" tanya Pandu dengan polosnya. "Jangan rumah gue," seloroh Alvin diiringi tawa semua anggota keluarga. "Kita tunggu satu keluarga lagi untuk bergabung," ujar Budiman. "Papa sengaja mengundang mereka." "Selamat malam." Semua orang menoleh ke asal suara, lelaki tampan bermata sipit berkulit putih, merangkul seorang wanita dengan perut yang membesar. "Aya, Windu," sahut Shesa yang tak percaya jika yang di maksud Budiman adalah Soraya dan Windu serta Citra yang berdi
"Sayaaang," seru Anggi dari dalam kamarnya. Pandu menaiki tangga tergopoh-gopoh, membawa tiga bungkus pampers berukuran besar dan satu plastik besar. Setengah jam yang lalu, Anggi menyuruhnya membeli perlengkapan bayi yang dia butuhkan termasuk susu dan Pampers untuk si kembar. "Sayang," seru Anggi lagi. "Iya, aku di sini," jawab Pandu masuk ke dalam dan melihat kesibukan Anggi mengurus bayi mereka yang berumur lima bulan. "Apa lagi yang harus aku bantu?" tanya Pandu dengan napas tersengal-sengal. "Bikinin susu untuk Aira, aku mau gantiin pampers Arya dulu," jawab Anggi meletakkan Aira ke tempat tidur bayinya, lalu mengangkat pelan tubuh Arya yang sudah menunggu antrian untuk di gantikan popoknya. "Siap!" jawab Pandu lantang, lalu melangkah ke sudut ruangan yang sudah lengkap dengan semua peralatan susu bayi kembar mereka. "Nggi." Wulan memanggilnya di ambang pintu. "Iya, Ma." "Kita berangkat setelah makan siang
"Wah, selamat ya, Ndu. Langsung dua keren banget gimana bikinnya itu?" tanya Windu yang siang itu di telpon oleh Pandu, mengabarkan kalau Anggi sudah melahirkan. "Ya bikin aja, Win. Masa perlu gue ajarin." Pandu terkekeh. "Gimana Soraya?" "Sehat dia, tapi ya gitu ... apa memang begitu ya kalo perempuan lagi hamil?" "Emang gimana?" tanya Pandu, "eh, sebentar gue ubah mode video call aja, ini ada yang ribet pengen ikut ngobrol." Windu tertawa, hubungan tiga orang lelaki ini semakin hari semakin akrab. "Gimana? Coba di ulang lagi." Alvin meminta Windu mengulang perkataannya. "Iya, banyak banget maunya, belum sensitifnya, belum lagi minta yang nggak-nggak," keluh Windu. "Minta yang aneh dalam hal itu, nggak?" tanya Alvin tertawa. "Iya, Vin. Kok lo tau? Shesa juga?" tanya Windu penasaran. "Ya kali gue cerita, Win." Alvin tertawa. "Kapan lahiran?" tanya Pandu. "Masih lima bulan lagi," ujar Windu.
Pandu berjalan tergopoh-gopoh memasuki koridor rumah sakit. Setengah jam yang lalu dia di telpon Wulan untuk langsung datang ke rumah sakit karena Anggi mengeluh sakit pada perutnya. Jadwal melahirkan Anggi masih tiga minggu lagi seharusnya. Saat ini usia kandungannya masih delapan bulan, untung saja selesai acara keluarga tiga minggu lalu, Wulan memutuskan untuk tinggal bersama mereka mengingat kandungan Anggi yang sudah membesar. Apalagi kehamilan bayi kembar lebih-lebih tidak bisa di prediksi kapan akan lahirnya. Dokter saat pemeriksaan terakhir dua minggu lalu menyarankan untuk Anggi melakukan operasi secar, namun Anggi bersikeras ingin melahirkan normal. "Gimana, Ma?" tanya Pandu pada Wulan yang berdiri di depan ruang bersalin. "Ndu, kamu cepat siap-siap, temui suster temani Anggi," ujar Wulan terlihat panik. "I-iya, Ma. Pandu masuk dulu ya, Mama tolong hubungi keluarga," kata Pandu. Memasuki ruang dingin itu dengan baju yang suda
Perut itu semakin membuncit, bukan hal biasa jika mengandung dua janin sekaligus apalagi dengan tubuh mungil seperti tubuh Anggi. Dengan susah payah, wanita yang mengenakan denim jumper dress itu berjalan menuju ruang makan VVIP di sebuah restoran di Bandung. "Kenapa sih nggak di rumah aja?" tanyanya namun dengan mendumel. "Perutnya gede banget," kekeh Shesa yang sedang menyuapi Naima. "Iyalah Kak, kan di kasih makan sama bapaknya," ujar Anggi sebal lalu dia menoleh ke kanan ke kiri. "Mas Pandu mana?" "Dih, mana tau," jawab Alvin mengangkat kedua bahunya. "Suami situ," kekeh Alvin di balas tepukan di bahu oleh Shesa. "Kakaknya situ," balas Shesa. "Iya juga, ya." Alvin lalu tertawa lagi. "Dia belum dateng?" Anggi mendelik, lalu merogoh tasnya mengambil ponsel. "Suami isrti yang aneh," ujar Wulan mengusap bibir Naima yang sudah belepotan dengan biskuitnya. "Ya udah, ini udah di tungguin," ujar Anggi yang ber
Usia Naima menginjak enam bulan, hari ini adalah hari pertama dia mendapatkan makanan pendamping ASI. Pagi sekali Shesa sudah sibuk di dapur, dia begitu bersemangat memberikan makanan pendamping pertama untuk Naima. "Mau dibikinin apa?" tanya Wulan yang sudah satu bulan ini tinggal bersama mereka. "Ada hati ayam, telur ayam kampung, wortel, brokoli," jawab Shesa. "Kaldu ayam yang Mama bikin kemarin jangan lupa, Sha." Wulan membalik telur dadar yang di buat untuk tambahan sarapan nasi goreng kegemaran Alvin. "Buburnya kamu saring, kan?" "Iya, Ma. Kalo di blender emang kenapa, Ma?" tanya Shesa. "Ya nggak kenapa-kenapa. Cuma kayaknya nggak sreg aja sih, kalo Mama ya." "Ya udah, nanti Shesa saring aja," ujar Shesa yang mencampur semua bahan menjadi satu. "Bik," panggilnya pada pembantu rumah tangganya. "Tolong di aduk ya, aku mau lihat Nay sama papi nya udah pada bangun belum." Yang di serahkan tanggungjawab pun hanya mengangguk. S
"Kamu mau coba gaya yang gimana?" tanya Windu mendesah di telinga Soraya. Soraya mendekat dengan seluruh tubuh yang tidak terhalang sehelai benangpun. Masih menggunakan heelsnya, Soraya mendorong pelan tubuh suaminya hingga ke sisi tempat tidur. Windu terjatuh pelan ke atas tempat, membuat senyuman kecil kala melihat kelakuan istrinya. Dia memundurkan dirinya tepat ke tengah-tengah, Soraya merangkak erotis menggerakkan tubuhnya meliuk di atas tubuh Windu. "Kamu punya gaya baru?" goda Windu. "Khusus malam ini," ujar Soraya menarik turun boxer suaminya dan membuangnya ke sembarang tempat. Kelakian Windu sudah menegang sejak awal mereka melakukan cumbuan tadi. Tangan Soraya dengan cepatnya meraih milik Windu, Soraya sedikit turun menghadap pada milik Windu, lalu menatap mata Windu. Windu mengangkat sedikit kepalanya, rasa ingin tahu yang besar atas apa yang akan dilakukan Soraya padanya. "Hhmm." Windu mengerang saat So
Soraya memandangi tubuhnya di depan kaca besar di dalam kamar hotel. Tubuh langsing, tinggi dan cantik, siapa yang tidak ingin bersanding dengannya. Hubungannya dengan Windu yang sempat terputus akhirnya membawanya kembali kedalam pelukan lelaki itu. Windu yang selalu ada di saat-saat susahnya, di saat-saat terpuruknya. Windu yang selalu menyemangati hidupnya, Windu yang meredamkan amarah kesalahpahaman yang terjadi selama ini, dan Windu juga yang menguatkan dia dan ibunya. Sebegitu yakinnya Soraya jika Windu adalah pelabuhan cinta terakhirnya. Ketukan di pintu kamar menyadarkannya untuk bergegas merapikan penampilannya. Shesa masuk ke dalam kamar Soraya, dia tertegun dengan penampilan wanita yang sempat menjadi saingannya itu. "Ya ampun, cantik banget," ujar Shesa terpana. "Siapa yang bikin gaunnya," kekeh Soraya mengulurkan tangannya pada Shesa. "Makasih ya, ini luar biasa." Gaun pengantin dengan potongan tanpa lengan, dengan bagian da
"Siapa?" tanya Soraya lagi. "Kalo marah kamu makin cantik," ujar Windu menggoda. "Nggak usa ngerayu!' "Aku ngga ngerayu, bahkan kamu memang lebih cantik dengan wanita tadi," ucap Windu mengendusi parfum di leher kekasihnya. "Jadi pengen." Tangan Windu sudah berada di bokong Soraya. "Nggak usah macem-macem, aku masih marah." "Kalo marah malah lebih hot," bisik Windu di telinga Soraya, yang membuat tubuh Soraya menegang. "Lepas nggak! Aku mau tau siapa perempuan tadi!" Soraya berusaha melepaskan dirinya dari Windu. "Kalo aku kasih tau, janji jangan marah ya?" Windu semakin menempelkan tubuhnya. "Hhmm." "Cium dulu tapi." "Win!" "Cium dulu," rengek Windu. Mau tidak mau, Soraya pun memberikan kecupan sekilas di bibir calon suaminya yang entah mengapa semakin hari semakin manja dan harus siap di layani. "Udah," ujar Soraya kesal. "Jadi siapa dia?" "Dia itu ... wedding organizer