"Selamat datang, nyonya Tirta. Mohon maaf karena kami tidak sempat menyambut Anda--""Tidak masalah, wakil manajer." Potong Kate mewakili Naura, membuat sang wakil manajer itu terdiam. "Di mana manajer Frank?" tanya Naura, matanya memperhatikan satu persatu wajah yang menyambutnya. "Ah... Beliau sedang memiliki urusan penting di luar, nyonya. Setelah mendengar kabar bahwa Anda akan datang beliau bergegas menuju kemari, mohon pengertiannya karena belakangan ini perusahaan sedang sibuk-sibuknya," jawab sang wakil manajer. Naura ataupun Kate tidak ada lagi yang membalas, sementara Althaf sejak awal hanya diam dan mengamati di belakang Naura. Mereka pun akhirnya dipersilahkan masuk menuju ruang utama manajer Frank, di sana Naura duduk dengan tenang di sofa tengah ruangan mereka. "Berikan aku laporan terkini," pinta Naura secara tiba-tiba. Sang wakil manajer dengan cepat melipat keningnya bingung. "Laporan mengenai apa, nyonya?"Naura menaikkan alis kirinya, pertanyaan macam apa itu?
Naura mengerjapkan matanya pelan, hanya ada atap putih khas rumah sakit di pengelihatannya. Belum ada lebih dari tiga detik, otak wanita itu secara otomatis mengingat Arjuna lalu menyusul pada pekerjaannya. Tubuh Naura mendadak menegang. Saat berusaha mengambil posisi duduk, ia tersadar bahwa sekarang dirinya berada di rumah sakit dengan selang infus di tangan. Menoleh ke samping, ia melihat sosok Althaf yang duduk tertidur di kursi dekat ranjangnya. Pria itu terlihat sangat lelah dan tenang, hingga tak lama kedua mata Althaf tiba-tiba terbuka, membuat pandangan mereka jatuh bersama di satu titik. "Kamu sudah sadar?" ucap Althaf sambil mengambil posisi tegak, wajahnya menatap penuh khawatir ke arah Naura. Naura mengangguk. "Iya. Apa aku sebelumnya pingsan?"Hening sejenak, sampai akhirnya Althaf mendengus tipis dan menatap Naura seolah marah. "Kamu bertanya padaku? Astaga! Ini semua karena pola makanmu yang berantakan, aku curiga sebenarnya sejak dulu pola makanmu seperti ini, y
Naura menggeser beranda sosial medianya sejak tadi, tangannya mendingin dengan jantung yang sedikit memburu. Kabar bahwa Arjuna siuman telah diklarifikasi oleh ratusan media, namun sampai saat ini Naura belum mendapatkan kabar langsung. Tak peduli seberapa keras ia berusaha berpikir positif, perasaan khawatir dan takut menyelimutinya dengan sangat sempurna. Apa yang telah terjadi selama dirinya tidak di Jakarta? Apa sesuatu telah menimpa Renjana? Perjalanannya menuju Jakarta dari Sulawesi hanya memakan waktu selama dua setengah jam. Pukul jam tiga sore, Naura berhasil mendarat di Jakarta.Ia sempat meminta Kate untuk mencari bubur sebelum mereka menemui Arjuna. Selama perjalanan menuju Mansion Renjana lengang, sejak percakapan di rumah sakit sebelumnya, Althaf tidak begitu banyak bicara. Pada akhirnya Naura tetap memaksakan dirinya pulang, ia bahkan berusaha meyakinkan dokter bahwa kondisinya baik-baik saja meskipun sang dokter sudah berkata tidak. Kepala Naura hanya dipenuhi
Naura melangkah melewati koridor panjang Mansion dengan tatapan datar. Jika diperhatikan lebih dalam, tatapannya mengandung berbagai macam emosi dan pertanyaan. Naura tidak ingin mempersulit beban kondisi Arjuna jika sibuk bertanya sekarang. Dia lebih memilih memendam semuanya sementara waktu. Tetapi begitu ia melewati dua pria berjas, langkahnya terhenti saat tidak sengaja mendengar percakapan mereka. Dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka bawahan Renjana yang bertugas di bawah Arjuna dan Damian langsung. "Bagaimana? Apa semuanya berjalan lancar?""Tentu, wanita itu sudah dibebaskan sesuai perintah tuan Renjana."Naura melirik dingin, lalu memutar tubuhnya dan melangkah mendekati mereka dengan tenang. "Apa wanita yang kalian maksud, Diandra?" tanya Naura dengan sorot mata kebingungan. Dua bawahan itu dengan cepat menoleh, lalu menundukkan kepalanya dalam. "Kenapa kalian bungkam?" tanya Naura lagi, pikirannya semakin tak karuan. Tetapi nada bicaranya tetap terkontrol.
Sehari setelah kejadian tidak mengenakkan kemarin, Naura kini kembali fokus bekerja. Wanita itu membuang paksa berbagai macam perasaan mengganggu di sekitarnya, kewajibannya pada perusahaan harus lebih diutamakan. Meskipun tak dapat dipungkiri perasaan bingung dan khawatirnya pada Arjuna, dia tidak memiliki pilihan lain selain fokus. "Sudah sampai mana?" tanya Naura pada Althaf yang sibuk memilih tumpukkan kertas dokumen perusahaan di meja sofa tengah ruangan. "Sebentar, aku perlu memisahkan beberapa," jawab Althaf cepat, tangannya bergerak lincah memilah-milah dokumen. Naura kembali menatap layar monitornya, perempuan itu mendadak bekerja jauh lebih cepat dari biasanya. Gerakannya gesit, seolah ia adalah robot pekerja. Sepertinya perasaan patah hati sangat membakar jiwa bekerja Naura. "Ini," ujar Althaf sambil menyerahkan beberapa lembar kertas dokumen. "Terima kasih," jawab Naura cepat, lalu mulai memeriksanya. Althaf menatap Naura dengan kening terlipat. Bukankah semangat
Naura dengan cepat mengalihkan pandangannya. Jantungnya berdegup cepat diam-diam, ah... Seharusnya dia tidak melihat ini. Ketika Naura hendak beranjak menjauh, suara Diandra yang menyapa ramah terdengar. "Hai, Naura benar?" Naura diam-diam menggigit bibir dalamnya, lalu menatap ke arah mereka lagi dan tersenyum tipis. Arjuna tampak biasa saja meskipun pria itu telah melihat Naura, seolah tak ada sesuatu yang penting. "Nona Diandra?" balas Naura, berusaha tersenyum. "Mengapa Anda seperti menghindari kami? Anda baik-baik saja?" tanya Diandra, bibirnya tersenyum ramah ke arah Naura. Sosok 'gila' wanita itu di penjara beberapa waktu lalu seolah tak pernah ada. Naura mengerutkan keningnya, menatap Diandra langsung dengan sorot mata dinginnya. "Maaf, menghindar? Tidak, sepertinya Anda salah paham. Saya bahkan baru menyadari kehadiran Anda berdua di sini, karena sibuk mencari seseorang," jawab Naura sambil tersenyum formal. Diandra melirik Arjuna. "Apa Anda mencari Aran?" Naura di
"Ada apa?" Damian melirik sosok Arjuna yang bersandar pada kursi mobil belakang melalui spion dalam. Arjuna hanya menggeleng singkat sambil memejamkan mata, seolah tengah memberi peringatan pada semua orang untuk tidak mengganggunya. Damian tersenyum tipis sambil memakai seat belt mobil. "Kamu menyesal?" Hening sejenak, sampai akhirnya Arjuna kembali membuka kedua matanya. Mata hijau emerald itu seolah memancarkan cahaya dingin. "Apa dia pria yang sempat kau ceritakan?" tanya Arjuna, membuat Damian menaikkan alis kirinya sekilas. "Maksudmu Althaf? Aku dengar dia adalah tangan kanan baru nyonya Tirta sekarang," jawabnya dengan nada meledek Arjuna. Arjuna kembali memejamkan matanya. "Lalu kenapa? Menilai dari portofolio, pria itu cukup kompeten." Damian terkekeh. "Benar, bagaimana dia juga kompeten dalam memikat hati wanita?"Arjuna mengerutkan keningnya dalam, mulai mengerti maksud Damian. Hingga tak lama ia kembali membuka kedua matanya. "Terus awasi Naura, pastikan pihak-pih
Selesai dari kejadian tidak membingungkan kemarin antara dirinya dan Arjuna, Naura kini kembali beraktivitas seperti biasa. Tetapi di penghujung minggu ini dia memutuskan untuk tidak melakukan aktivitas di luar Mansion, wanita itu mengurus pekerjaannya dari ruang kerja pribadinya. Meskipun telah berusaha keras untuk fokus, kepala Naura selalu lagi dan lagi mengingat kejadian kemarin. Tak jarang matanya teralihkan pada cincin pertunangan mereka, lalu ia akan menggelengkan kepala untuk menyadarkan pikirannya kembali fokus. Di tengah kesibukannya, ketukan pintu terdengar. Tanpa melirik pun Naura tahu siapa yang datang, Althaf. Berbeda dengan Kate, wanita itu akan bicara meminta izin setelah mengetuk. Sementara Althaf, dia hanya akan mengetuk dan menunggu jawaban tanpa bertanya. "Masuk," ucap cepat. Pintu ruangan kerjanya terbuka, tanpa Naura ketahui Althaf masuk dengan membawa nampan berisi sepotong cheesecake. "Untukmu," ujar Althaf setelah meletakkan piring kecil cheesecake di
Setelah menolak permintaan Tiara untuk bercerai, sang presiden pun meninggalkan kediaman Bara. Asisten pribadi Tiara, Vivi, dengan cepat berlarian ke arah atasannya dan membantu wanita itu berdiri. Vivi menangis deras, sejak awal dia dilarang masuk oleh penjaga pintu dan langsung syok begitu pintu terbuka melihat Tiara yang terkapar lemas penuh darah di lantai. "Nyonya, hati-hati..." Vivi berusaha menahan air matanya agar tidak menangis lagi. Tiara tersenyum tipis ke arah Vivi, saat menyadari bawahannya itu menangis, Tiara dengan cepat berkata,"Aku belum mati."Vivi tidak menjawab, dia tahu hal itu. Tetapi melihat sosok Tiara yang terkapar lemas dengan darah tentu saja dia sangat cemas. Ketika hendak melangkah keluar, tiba-tiba saja Sela mendekat ke arahnya. "Nyonya, Anda baik-baik saja?" tanya Sela dengan raut wajah polos. "Sela, kemari. Tidak perlu mempedulikan wanita itu, dia sudah berbuat jahat padamu," ujar Jovan yang berdiri tak jauh dari mereka. Sela menggeleng cepat. "
Keringat dingin menetes di lantai kediaman keluarga Bara.Tiara berlutut denga kepala tertunduk dalam, di depannya duduk seorang pria paruh baya dengan badan gempal yang memegang cambuk. Di sebelahnya terdapat Jovan yang duduk di sofa, Sela ikut duduk di sana sambil memeluk erat lengan suaminya dengan wajah ketakutan. Jovan tersenyum puas melihat Tiara yang berlutut tak berkutik, inilah akibat dari melawan kata-katanya. "Aku sudah pernah memberi peringatan padamu sebelumnya, bukan? Mengapa kamu melanggar perintah ku?" ucap presiden dengan nada bicara yang dingin. Tak pernah ada yang tahu sosok mengerikan kepala negara yang satu ini. Dia selalu tersenyum ramah di hadapan para rakyat, bahkan jika Tiara berteriak lari keluar untuk meminta pertolongan tak akan ada yang percaya. "Saya tidak mengerti maksud Anda, bapak Presiden." CTAK!Presiden mengayuhkan kasar cambuk itu ke lantai, membuat Tiara mengepalkan kedua tangannya dengan mata terpejam. "Tidak tahu malu!" ucap presiden sam
"Ada apa, nyonya?" tanya Kate penasaran saat mereka telah berada di dalam mobil menuju Mansion Tirta. "Nyonya Bara menitipkan pesan pada pelayan tadi menggunakan kertas ini," ucapnya sambil menunjukkan kertas yang sudah dia remas kuat tadi. "Dia hanya mengatakan ada sesuatu yang berada di luar perkiraan serta memintaku untuk terus percaya serta dan tidak khawatir," lanjut Naura. Kate mengerutkan keningnya. "Jadi 'beliau' yang dimaksud pelayan tadi adalah nyonya Bara?" tanyanya syok dan menambahkan,"Lalu bagaimana dengan luka memar dan cambuknya? Itu juga nyonya Bara?"Naura mengangguk singkat, hatinya semakin merasa khawatir. "Nyonya, bukankah ini sudah masuk ke dalam tindakan kekerasan?" tanya Kate khawatir. Naura tidak menjawab, dia juga tahu hal itu.Melihat Naura yang tidak merespon, Kate yang sudah kalut khawatir pun kembali bicara. "Sepertinya masalah ini memang sangat berbahaya, nyonya. Mengingat Presiden bahkan mampu membungkam keluarga Bara yang berada diurutan kelima,
Naura melangkah masuk ke dalam Mansion Tirta begitu tiba. Malam ini otaknya tidak bersahabat untuk diajak beristirahat, kepalanya masih penuh dengan Tiara. Meskipun masalah itu bukan urusannya, Naura tetap merasa tidak tenang untuk Tiara. Dia pernah berada di posisi rumit seperti itu seorang diri, tidak ada yang membantunya hingga rasanya seperti tercekik ingin mati. Menghela napas tipis, Naura duduk di kursi kerjanya. Malam ini terasa jauh lebih hening dibanding biasanya. Kate sudah pamit pergi sebelum Naura masuk ke dalam ruang kerja, kini dirinya benar-benar sendirian mengurus pekerjaan. Naura memeriksa ponselnya terlebih dahulu sebelum memulai fokusnya pada layar komputer. Tidak ada pesan atau panggilan apa pun dari Arjuna, sepertinya pria itu mulai kembali sibuk.Meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, Naura meregangkan tubuhnya sebelum bekerja. Tiga jam lebih, wanita itu bahkan tidak menggeser pandangannya dari layar komputer selain untuk menyeruput teh yang sempat di
Naura melangkah masuk ke sebuah gedung restoran bintang lima tak jauh dari lokasi pertemuan sembilan pilar negara sebelumnya. Saat hampir tiba di area Mansion Tirta, Naura tiba-tiba menerima panggilan dari Tiara. Wanita itu meminta pertemuan secara mendadak malam ini juga. Sampai di dalam restoran, Naura dibawa oleh seorang pelayan wanita menuju ruang VIP tempat Tiara berada. Mereka saling melempar senyum setelah saling melihat. "Selamat datang, nyonya Tirta. Maaf karena saya meminta waktu Anda secara tiba-tiba seperti ini," ucap Tiara dengan raut wajah dan nada bicara tak enak. Naura mengangguk singkat. "Bukan masalah besar, kebetulan sejujurnya saya juga khawatir dengan kondisi Anda."Mendengar Naura yang selalu memperlakukannya dengan baik, senyum dan tatapan mata Tiara berubah sedikit mengabu. Kepalanya tertunduk lemah. "Saya... Merasa malu karena Anda dapat melihat sosok tidak berdaya saya. Saya seorang kepala keluarga wanita, seperti Anda. Tetapi saya lemah dan tidak--""A
"Nyonya Bara." Beberapa penjaga yang bertugas di depan pintu ruang rumah sakit Jovan membungkuk menyapa Tiara. Tiara masuk tanpa menjawab sapaan mereka, raut wajahnya suram menahan amarah. Di dalam dia melihat Jovan tengah mengunyah buah pisang, mata pria itu melirik kedatangan Tiara dengan malas. Mata Tiara menelusuri ruangan itu dengan dingin, sosok Sela entah berada di mana. Wanita itu sepertinya ditahan petugas agar tidak mendekat pada Jovan untuk sementara waktu. "Nyonya Bara yang terhormat mengunjungiku?" ucap Jovan dengan nada sarkas. Tiara tidak membalas dan memilih duduk dengan tenang di sofa. "Bagaimana kondisimu?""Apa itu penting? Bukankah ini yang kau mau?" balas Jovan, menatap penuh kebencian pada Tiara. Tiara mengepalkan kedua tangannya. "Kamulah yang memancing emosi tuan Wajendra, semua orang tahu bahwa pria itu masih memiliki perasaan pada nyonya Tirta.""Tidak, bukan salahku. Jika sejak awal kamu tidak mengizinkan nyonya Tirta ikut campur, maka kejadian ini ti
"Aku baru saja selesai menghadiri acara pertemuan sembilan pilar negara, sekarang hendak kembali ke Mansion," ucap Naura di telefon untuk Arjuna sambil terus melangkah menjauh dari ruangan Zafir."Pasti lelah. Pastikan segera beristirahat begitu tiba di Mansion, jika membutuhkan sesuatu aku akan segera--""Tidak perlu khawatir." Potong Naura dengan senyum tipis. "Kamu bisa tenang dan fokus mengurus pekerjaanmu." Hatinya menghangat saat Arjuna masih berusaha selalu ada untuknya meskipun jarak dan waktu mereka yang sangat berbeda. Belum lagi dengan urusan penting pria itu. "Tidak ada pekerjaan yang jauh lebih penting dari dirimu. Tetap hubungi aku jika kamu merasa kesulitan." Arjuna tetap kekeuh pada kalimatnya. Naura menghela napas tipis diam-diam, bibirnya masih tersenyum. Berbicara dengan Arjuna meskipun hanya melalui telefon rasanya berhasil melepas beban berat di pundaknya. Kehangatan pria itu selalu berhasil menyentuhnya di manapun dirinya berada. "Iya..." jawab Naura dengan
Petugas keamanan merangsek masuk, mereka berusaha melerai Zafir yang memukuli Jovan secara membabi buta. Naura mematung di posisinya, memandang syok ke arah Zafir. Kedua tangannya mengepal erat, jantungnya berdegup kencang. "Nyonya Tirta, Anda baik-baik saja?" tanya Tiara setelah menyusul posisi berdiri Naura. Naura tetap mematung memandangi Zafir, tidak menjawab pertanyaan Tiara. Setelah keduanya berhasil dilerai, Zafir dibawa ke ruangan lain untuk diobati. Wajah pria itu dua hingga tiga tempat mengalami memar. Sementara Jovan, hidung dan pelipisnya telah berdarah tak karuan, membuat pria itu perlu dibawa ke rumah sakit. "Tuan!" Suara isak tangis Sela yang menyayat hati menghiasi keributan di hari itu. Tak lama ia menghampiri Tiara setelah dipaksa mundur oleh petugas untuk mendekati Jovan. "Nyonya! Nyonya! Saya mohon... Ini semua... Ini semua salah saya. Jangan lampiaskan--"PLAK!"Tidak tahu malu!" ucap Tiara sambil menampar pipi Sela, kemudian saat hendak menoleh lagi ke N
"Mama papa keren! Keren! Itu mama papa Zevan!" Suara riang anak kecil terdengar begitu musik dansa berhenti. Naura menggenggam erat tangan Zafir, sementara tangannya yang lain memegang bahu pria itu. Zafir pun sama, dia merangkul erat pinggang rampung Naura dan tangan wanita itu. Keduanya saling tatap, Naura masih menatapnya penuh kebencian. Zafir lagi-lagi tidak keberatan.Zevan berlari lincah ke arah mereka, membuat Naura tersadar dan segera melepas pegangannya dari Zafir. "Mama! Mama cantik sekali!" Puji Zevan dengan senyum lebar, membuat Naura tak bisa menahan senyum. "Jangan berlari lagi, Zevan." Naura mencubit hidung anak itu. Tak lama suara tepuk tangan mulai terdengar, lalu menjadi jauh lebih ramai dan meriah dibandingkan tepuk tangan dansa sebelumnya. Naura mulai sadar dan memperhatikan sekitar, semua orang menatap mereka dengan senyuman. Konyol, ini konyol. Saat hendak memutuskan untuk pergi, tiba-tiba saja tak jauh dari posisi mereka terdengar suara teriakan wanit