Tania dan Angga duduk berhadapan di kafe dekat kantor. Tania tak banyak makan. Ia tak bernafsu. Selain ingat ucapan Romi tadi, ia juga masih sangat kesal pada Adrian. “Tan?” “Iya, kak?” “Ada yang ingin aku ceritakan.” “Tentang apa?” “Isti.” “Kenapa kak Isti?” Angga mengelap mulutnya dengan tisu sebelum bicara, “Kemarin waktu dia pergi bersama keluarganya, sebenarnya kita sedang bertengkar.” Tania diam. Ia tahu Angga belum selesai bicara. “Papa terus mendesak Isti untuk hamil, terlebih saat kamu sudah hamil. Papa bilang mana mungkin papa hanya memiliki satu cucu, dan itu dari kamu saja. Isti jadi stress dan sering menangis.” “Kami akhirnya menemui dokter untuk sekedar ngobrol. Isti lalu meminta dokter untuk melakukan program hamil. Aku ikut saja. Aku pikir mungkin sudah saatnya kami memiliki anak, setelah menikah selama empat tahun.” “Dokter melakukan serangkaian pemeriksaan. Dokter mengatakan kalau—Isti akan kesulitan menjalani program hamil.” “Maksudnya?” “I
Tania memasuki ruangan kerjanya setelah diantarkan Angga sampai depan gedung kantor. Ia akan mulai bekerja lagi, mencari celah para manager yang mungkin masih menggelapkan uang perusahaan. Ia terkejut melihat Adrian duduk di sofa, menatapnya. “Dari mana saja sampai menghilang selama dua jam?” “Bukan urusanmu.” Tania menaruh tas di meja dan mulai sibuk melihat berkas-berkas yang harus ia periksa. Adrian mendekatinya, “Kamu tahu aku tidak suka kamu pergi tanpa izin?" Tania menaruh beberapa berkas dengan kasar, “Aku habis bertemu kakakku! Puas kamu?” “Kamu bisa bilang.” “Hanya untuk bertemu kak Angga aku harus mengatakannya padamu? Kamu takut?” “Tan—” “Adrian, dengar, kalau kamu terus menggunakan caramu, maka jangan salahkan aku yang akan menggunakan caraku juga.” “Aku tahu kamu bertemu Romi tadi.” “Kamu akan terus bertanya dan tidak membiarkanku bekerja?” Adrian mengambil semua berkas dihadapan Tania, “Ini bisa dikerjakan nanti. Sekarang kita bicara dulu. Katakan
Tania merasa rumah jadi ramai, padahal ini masih pagi buta. Ia keluar kamar, berharap mendapat jawaban kenapa ia harus terbangun saat langit masih gelap. Adrian keluar dari lift, ia melirik Tania yang masih marah padanya. “Ada apa? Kenapa rumah sangat ramai?” “Aku berniat mencari tahu.” Adrian berjalan menuju ruang tamu dibuntuti Tania. Betapa terkejutnya mereka melihat Wini tengah duduk frustasi diantara orang tuanya. Papanya yang beres operasi ternyata sudah pulang, dan bingungnya kenapa ia ada disini, lengkap dengan mamanya kembali berani datang. “Eh, Adrian?” papa Wini mendekati Adrian, “Kamu apa kabar? Kamu tega sekali tidak menjenguk papa di rumah sakit kemarin.” Wini menghampiri papanya, “Pa, aku ‘kan sudah bilang, mas Adrian sibuk.” “Iya, papa ngerti. Terima kasih kamu sudah membayar penuh kebutuhan papa selama di rumah sakit, sampai papa di rawat di ruang VIP. Kamu memang menantu terbaik sepanjang masa.” Mama mendekati mantan suami dan anaknya, “Betul, pa, A
Tania menutup pintu kamar dari luar. Ia yang berniat akan mengelilingi halaman belakang rumah, langsung dihampiri orang tua Wini. “Lihat, istri kedua Adrian. Sungguh tidak tahu malu. Ada kita disini sebagai tamu, tapi dia malah asik di kamar membawa suami orang.” sindir mama Wini. “Aku pikir kamu cukup tahu diri sebagai seorang istri kedua. Ternyata—kamu lebih buruk dari yang dibayangkan.” Papa Wini ternyata tak kalah bermulut ular. “Om, tante, maaf saya tinggal dulu. Silakan istirahat, mengingat om baru pulang dari rumah sakit.” “Tidak perlu sok perhatian. Saya tahu akal bulus kamu. Kamu sedang mencari muka ‘kan?” Tania tersenyum, “Kalau itu yang kalian pikirkan, itu bukan salah saya ‘kan?” ia melewati mereka. “Lancang kamu ya! Kami akan mencelakan anak haram kamu itu! Kamu pikir kami tidak tahu akal bulus kamu untuk mengeruk harta keluarga Kiehl dengan menjual anakmu itu?” Tania membalikkan badannya, “Jangan pernah katakan kalau anak ini anak haram! Dia punya ayah!”
Tania tidak fokus bekerja hari ini. Ketakutannya akan kehilangan sang calon anak, membuatnya hanya bisa duduk tidak tenang. “Mbok Sayem atau bodyguard sudah lapor ke mas Adrian belum, ya? Kalau sudah, kenapa mas Adrian tidak kesini untuk mengecek keadaanku seperti biasa? Atau—setidaknya menanyakan kabarku?” Tok-Tok-Tok “Masuk.” “Maaf, bu, ada tamu untuk ibu.” “Siapa, mbak Tika?” “Namanya pak Angga dan bu Isti. Katanya mereka kakak dan ipar bu Tania.” “Oh, iya, biarkan mereka masuk.” “Baik, bu.” “Mbak Tika?” “Iya, bu?” “Pak Adrian—tidak kesini?” “Tadi pak Adrian sempat kesini, bu, tapi hanya sebentar. Begitu sampai lobi dan bertemu bodyguard bu Tania, pak Adrian langsung pergi dengan marah.” Tania diam. Apa mungkin Adrian langsung mengambil keputusan untuk mengusir orang tua Wini? “Oh begitu. Iya, terima kasih, mbak. Kakak dan ipar saya tolong dipanggilkan kesini.” Tania berjalan mondar-mandir memikirkan keputusan apa yang akan Adrian ambil untuk mertuanya
Tania duduk bersandar di ranjang kamar tamu sambil mengelus perutnya. Ia kembali sibuk memikirkan nasibnya ke depan. “Apa benar aku harus menjadi janda lebih cepat demi menjaga anak ini?” “Mas Adrian pasti menjagaku, meski tidak selalu. Tapi kak Angga benar, aku akan terus dituduh pelakor. Aku tahu di kantor, para karyawan diam-diam membicarakanku.” Tania menutup wajahnya, “Aku harus bagaimana sekarang?” “...aku hanya mau bertemu Tania!” Tania menajamkan telinganya, “Itu seperti suara—mas Adrian?” “Mana Tania? Tan! Tania!” Tania bangkit. Ia yang akan membuka handel pintu, tidak bisa mendorong pintu kamar. Seperti ada yang menahannya dari luar. “Tania tidak ada disini, Adrian.” Angga berkata pelan, seolah menenangkannya. “Mana mungkin tidak ada disini. Aku tahu Tania pulang bersama kamu dan Isti dari kantor.” “Apa buktinya? Bodyguard suruhanmu yang bilang?” “Mereka tidak tahu apa-apa. Aku melihat dari CCTV kantor. Sekarang bawa Tania kesini!” Angga tertawa, “Aku
Mbok Sayem dan dua asisten rumah tangga lain baru sampai disini bersama dua bodyguard yang diminta untuk membantu membereskan barang Tania dan sebagian barang Adrian. “Wah, rumah ini lebih besar dari rumah bu Wini ya.” cuap salah satu asisten rumah tangga pada rekannya. “Iya, benar. Ini lebih besar, lebih modern, dan lebih—aku berharap bisa ditempatkan disini.” “Aku pun.” Adrian berdehem. “Eh, maaf, pak. Barang-barang bu Tania sudah saya bereskan di kamar. Untuk keperluan dapur dan yang lain apa harus dibereskan sekarang juga?” “Besok saja. Kalian sudah makan?” “Sudah, pak.” Tania melenggang mendekati ruang tengah, dimana semua orang berkumpul, “Saya juga sudah makan malam, tapi masih lapar. Bagaimana kalau kita—barbequan?” Semua berteriak senang. “Mbok sudah lama tidak barbequan.” Tania melirik Adrian, “Tidak papa ‘kan, mas? Kamu belum lelah?” Adrian pikir setelah mengurus kepindahan rumah, mereka bisa langsung bertarung di ranjang. Ia terpaksa mengangguk, “Ak
Pov Adrian Adrian menyetir dengan keadaan sangat marah. Ia tidak menyangka, Tania kembali mempermainkannya. Ia sudah menunggu selama empat bulan untuk bisa mencicipi tubuh indah istri keduanya, tapi kembali gagal. “Sial! Sebenarnya mau Tania apa?” Tentu, Adrian bisa melakukannya setiap kali mereka sudah terlanjur melakukan pemanasan, tapi ia selalu tidak tega melihat wajah takut dan khawatir Tania. Ia hanya tidak mau membuat istrinya tidak nyaman. Mobil sampai di halaman rumah. Ia menemukan Wini tertidur di sofa ruang tamu. “Win?” Mata Wini mengerjap, “Mas?” Adrian menunggu Wini bangkit dari sofa. “Aku pikir kamu—akan tidur di rumah Tania.” “Kalau kamu berpikir begitu kenapa kamu masih menunggu disini?” Wini tersenyum, “Entahlah. Kamu sudah makan?” “Hm.” “Ya sudah, aku siapkan air hangat untuk mandi.” Adrian menahan lengan Wini, “Aku—mau.” Adrian sudah menyemburkan cairan miliknya beberapa kali pada Wini. Istri pertamanya itu kewalahan menampung nafsu suami
Orang yang berpura-pura menjadi ODGJ langsung pergi ketika banyak orang mendekati TKP, dimana Tania pingsan setelah di dorongnya. “Bu Tania, bu?” Bodyguard yang lain datang membawa banyak cup bubur kacang yang dipesan Tania, “Bu Tania!” “Telpon pak Adrian cepat!” Bodyguard dengan sigap memangku Tania yang tak sadarkan diri. Darah mengalir deras seperti sebelumnya setiap kali ia stress. Karena kalut, dan kebetulan ada taksi yang berhenti untuk melihat kerumunan, bodyguard membawa Tania ke rumah sakit menggunakan taksi. Untungnya di dekat sini ada rumah sakit. Kedua bodyguard memasang wajah takut pada kondisi Tania yang lebih buruk dari sebelumnya. Baru kali ini istri tuannya pingsan. Mereka tahu Adrian akan marah besar sebentar lagi. “Tania?” “Pak Adrian.” salah satu bodyguard mengangkat tangannya memberi petunjuk keberadaan mereka. “Bagaimana keadaannya?” “Dokter belum keluar, pak. Tadi samar kami dengar, bu Tania akan—dilakukan bedah caesar emergency sekarang.”
Tania berjalan pagi sendiri ketika sinar matahari masih malu-malu menampakkan diri. Ia di ikuti dua bodyguard untuk berkeliling komplek. Adrian harus bersiap ke kantor, karena selama ia di rumah sakit, suaminya itu sama sekali tak memerdulikan pekerjaan. “Bu, apa ibu belum lelah?” tanya salah satu bodyguard yang berjalan dibelakang Tania. Tania membalikkan badan, “Lumayan, tapi saya masih kuat.” “Lebih baik ibu istirahat. Biar ibu minum dulu.” Tania mengangguk. Bodyguard lainnya yang sedari tadi mendorong kursi roda, memberikannya pada Tania, “Silakan, bu.” Tania duduk di kursi roda. “Minumnya mana?” tanya bodyguard pada rekannya. “Saya tidak bawa minum.” “Kan tadi saya suruh kamu bawa minum untuk bu Tania.” Tania tertawa, “Tidak perlu bertengkar. Kalian bisa membelinya di depan.” “Baik, bu. Saya belikan dulu.” satu bodyguard berlari menuju minimarket depan komplek. Tania melirik bodyguard lainnya, “Pak, saya boleh minta tolong?” “Boleh, bu, ada yang bisa say
Pov Wini Wini meninggalkan rumah Tania dengan deraian air mata. Kepalanya sakit, hatinya nyeri, mendengar ucapan Adrian yang mengatakan secara tidak langsung kalau ia tidak mencintainya. “Pak, kita pulang sekarang.” katanya pada pak Heru yang sedang minum kopi dengan pak Udin yang tinggal disini. “Loh, bu, kok cepat sekali?” Wini berdiri di dekat pintu mobil sambil menyeka air matanya. Pak Heru membuka pintu mobil, “Silakan, bu.” Wini menangis semakin dalam saat mobil bergerak menjauhi rumah Tania. Pak Heru yang melihatnya kebingungan sendiri. “Bu, maaf, kondisi bu Tania sekarang bagaimana, ya? Saya pikir tadi saya bisa bertemu dan melihat kondisinya langsung.” “Tania baik, sangat baik.” “Syukurlah kalau begitu, bu. Saya ikut senang.” Wini tidak suka semua orang peduli pada Tania. Bahkan semua asisten rumah tangganya pamit untuk menyambut kepulangan Tania, membuatnya hanya tinggal sendiri di rumah. Ia pun terpaksa meminta mama dan papa menemaninya karena tidak bera
Isti menghampiri kursi roda, ia duduk memohon pada Tania, “Aku mohon, Tan, bantu kami kali ini. Kamu bisa punya anak lagi, tidak seperti aku.” “Kak, mas Adrian itu—bermasalah. Kalian pikir bagaimana caranya aku akan hamil nanti?” Angga mendekati Tania, “Maka kamu tidak perlu anak. Kemarin, ketika kondisimu memburuk, dokter menjelaskan kemungkinan bayimu tidak selamat itu tinggi karena kamu tidak mau segera melahirkan. Dan kita bisa memakai alasan itu untuk—menganggap anakmu tidak pernah hidup. Kami akan merawatnya dengan baik, Tan, kami janji.” Tania tertawa meledek, “Kalian ingin hidup aman, tapi merelakan aku yang jadi tumbalnya?” “Ini bukan tumbal, Tan, aku sudah jelaskan dulu, kalau Adrian tidak secinta itu denganmu. Dia hanya pura-pura. Keluarga Kiehl hanya memerlukan anakmu.” “Dan aku memilikinya. Aku akan memberikan anakku pada keluarga Kiehl sesuai janji papa dulu.” Angga tertawa, “Apa aku perlu menunjukkan kebusukan Adrian padamu, supaya kamu percaya kalau dia—tid
Selama dua hari ini, Tania tidak menghendaki siapapun masuk ke dalam ruangannya kecuali dokter dan perawat. Ia masih keukeuh dengan keputusannya untuk menunda persalinan. Ia ingin melahirkan di waktu yang tepat, ketika usia janinnya matang. Perawat masuk, “Selamat siang bu Tania. Sekarang waktunya minum obat, ya.” Tania terduduk tegap di ranjang, “Sus, diluar gak ada siapa-siapa, ‘kan?” “Di luar ada suami ibu. Apa perlu saya panggilkan?” “Dia—ada disini?” “Iya, bu. Sejak dua hari lalu pak Adrian selalu menunggu didepan ruangan. Sampai makan dan kerja pun dilakukannya di depan, bu.” Tania diam. “Pak Adrian sangat kalut ketika ibu mengatakan tidak mau bertemu siapapun. Untungnya dokter Lusi menjelaskan, kalau cara yang bu Tania ambil sudah benar, agar terhindar dari stress. Pak Adrian baru tenang.” Tania tersenyum. Ia mengambil obat yang dibawakan perawat. “Pak Adrian sampai bertanya pada perawat dan dokter jaga setiap sepuluh menit sekali, untuk memastikan kondisi ibu
“Mas...” Tania berkata lirik. Saturasi oksigennya melemah. “Sayang?” Adrian menghampiri ranjang. Ia memencet bel memanggil dokter jaga. Tak lama dokter datang bersama perawat, “Pak Adrian, bu Wini, silakan tunggu diluar.” “Saya mau disini, dok.” “Maaf, pak, tidak bisa. Silakan.” Adrian terpaksa keluar. Ia didekati ayah dan ibu serta mama dan papa. Wini menatap Adrian sinis, “Kamu takut kehilangan istri dan anak haramnya?” Adrian menunjuk wajah Wini, “Wini! Jaga bicara kamu atau aku—” “Apa? Kamu mau menamparku lagi? Atau menggugat ceraiku?” Adrian membalikkan badan menatap pintu ruangan Tania, “Aku tidak ada waktu untuk meladenimu. Pulanglah.” Wini menatap ibu-ayah, mama dan papa, “Saya—izin pulang. Kalau saya ada disini, mas Adrian mungkin—saya pamit.” Papa melirik sinis dengan kepergian Wini, “Sekarang sifat aslinya sudah terlihat. Bagaimana mungkin Tania sanggup satu rumah dengannya selama ini.” Ayah dan ibu melirik papa dan mama tidak enak. Dokter keluar.
Mama-papa, ayah-ibu, dan Wini berkumpul di ruang tunggu ruang ranap VIP. Mereka harus bergantian untuk membesuk Tania. Adrian belum juga keluar. Dari luar ruangan hanya terdengar tangisnya yang kencang. “Yah, bagaimana kalau—Tania harus melahirkan sekarang?” ibu menangis dipelukkan ayah. “Kita doakan yang terbaik saja, bu.” Mama menggenggam tangan papa yang bergetar. Mama tahu, meski tampak acuh, papa pasti sangat khawatir pada kondisi Tania. “Ma, kenapa Adrian lama sekali di dalam?” “Biarkan saja, pa, Adrian mungkin—sedang membujuk Tania agar mau segera melahirkan sekarang.” “Kita harus bisa bujuk Tania agar mau melahirkan sekarang. Dokter sudah menjelaskan kalau—Tania terus menahannya, anak itu akan—” Mama menangis. Mama tidak bisa membayangkan jika anak itu meninggal, akan seperti apa kedepannya. Tania begitu membenci anak itu, tapi mama tahu, perlahan, ia sudah bisa menerimanya. Dan saat begini, jika Tuhan mengambilnya, Tania sungguh malang sebagai seorang perempua
Dua bulan kemudian Tania berhenti berjalan menuju tangga lift, karena merasa perutnya nyeri. Ia menutup mata, berharap perasaan sakit itu akan mereda. Ada rapat besar yang harus melibatkannya siang ini. Ia tidak boleh absen. “Sayang?” Adrian yang baru kembali setelah membawa pesanan makan siang, melihat Tania yang kesakitan disamping lift, “Kamu—kenapa?” Tania tak menjawab. Keringat membanjiri seluruh dahinya. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Tania mengangguk. Ketika tangannya memegangi lengan Adrian, tubuhnya perlahan ambruk. “Tania!” Adrian tak bisa berdiri tenang di depan ruang VK, IGD khusus ibu hamil dan melahirkan di rumah sakit. Saat hendak menggendong Tania menuju mobil, ia melihat ada darah yang mengalir diantara kedua kakinya. “Adrian.” dokter Lusi keluar dengan wajah cukup serius. Adrian menatap dokter Lusi, “Bagaimana Tania?” “Keadannya cukup—mengkhawatirkan. Tania—mengalami Plasenta Previa. Keadaan itu membuat Plasenta menutupi leher rahim. Kalau perdar
Selama Adrian demam, Wini memutuskan untuk menginap disini, tentu dengan izin Tania. Ia dengan telaten merawat Adrian, karena Tania sering merasakan perutnya terasa kencang. “Tan, masakan sudah siap. Kamu mau makan sekarang?” “Sebentar lagi, Win, aku masih tanggung harus mengikuti rapat online.” “Oh ya sudah. Mas Adrian—demamnya sudah turun?” Tania mengclose kamera aplikasi rapat onlinenya, “Aku—lupa, Win. Bisa tolong kamu cek?” “Iya, aku akan cek.” Wini melepas celemek dan berjalan ke kamar. Tania yang melihat itu sangat merasa bersalah pada Adrian. Ia terlalu fokus kerja hingga melupakan suaminya yang masih sakit. “Harusnya mas Adrian mau di rawat di rumah sakit, dengan begitu pasti dia akan cepat sembuh. Tapi tidak papa, untungnya ada Wini. Dia—terlihat begitu mencintai mas Adrian sampai sangat telaten mengurusnya. Sedangkan aku, mengecek keadaannya saja tidak sempat.” Tania kewalahan menghadapi banyak rapat di berbagai perusahaan keluarga Kiehl. Adrian yang sedang