"Kurang, Ganes! Wajahmu masih manusia! Liarkan pandanganmu! Tatap aku layaknya memburu makananmu! Jangan berharap apa pun pada manusia sepertiku!"Cemeti yang digenggam Nyonya Saras dilecut hingga bunyinya memekakkan telinga. Tak terkecuali Ganes yang terganggu pendengarannya.Ganes merangkak, berjalan dengan kedua kaki dan tangan seolah-olah menjelma menjadi binatang berkaki empat. Ia memutar, mencoba membuat Nyonya Saras terintimidasi hanya bermodal tatapan mata yang nyalang.Jam masih menunjuk ke angka enam saat keduanya sibuk berlatih peran. Sudah tiga hari sejak naskah dan pilihan diberikan Rajendra, tetapi Ganes masih bersikeras untuk tetap bekerja. Meski sudah banyak iming-iming yang diberikan sang direktur utama, Ganes terus mencoba menutup telinga.Bukan tanpa sebab. Cukup baginya untuk masuk lebih dalam pada rencana yang dibuat oleh Rajendra. Jika ia terus-menerus menyanggupi, bukan tak mungkin ia akan makin tersesat dengan neraka yang diciptakan sang direktur utama.Lecutan
Jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam saat Ganes pulang dengan tubuh yang dipenuhi luka dan perih berkepanjangan. Ia menyesal, terlebih setelah mengutarakan keinginannya untuk berhenti mencoba.Air mata Ganes tiada hentinya merebas. Bahkan di tiap perjalanan, ia harus memelankan laju kendaraan sebab pandangannya mengabur karena air mata. Sesekali, ia akan menghapus jejak air mata dengan kesal.Jarak yang biasa Ganes tempuh untuk tiba di rumah indekos kini terasa amat panjang. Lebih dari dua puluh menit lebih lambat untuk tiba di kasur lantainya yang nyaman.Dengan bibir bergetar, juga dengan tubuh ringkih yang dipenuhi luka, mau tak mau Ganes menerjang angin malam yang menyesakkan dada. Ada yang tak bisa ia jelaskan setelah mengambil keputusan secara sepihak.Ia tak kuasa. Ia tak lagi mampu punya daya. Setidaknya, ia masih bekerja di rumah sakit salah satu panca indra ternama demi menyokong hidupnya di tengah kota.Ganes telah tiba di depan rumah indekos yang telah disewa selama
Perlahan tapi pasti, bayangan bocah laki-laki tadi membuat Ganes tersadar. Telinganya berdenging tak keruan. Terlebih, setelah pandangannya perlahan mulai normal.Titik-titik bayangan yang terlihat besar, kini kian jelas di kedua mata Ganes yang silau akan sinar mentari hangat. Sedangkan telinganya mulai menangkap suara yang terasa begitu ia kenal. Suara dan kontur wajah yang sama.Ganes mengerjap-ngerjap. Lantas, tangannya mulai meraba-raba. Tak ada gurat yang berbeda. Ia tahu betul, wajah itu wajah yang sama dengan sosok laki-laki yang terus memuji di kali pertama keduanya jumpa di acara kesenian daerah.Sayangnya, lambat laun, saat pandangan Ganes mulai kembali jelas, betapa terkejutnya ia saat mendapati wajah sang direktur utama. Alih-alih merasa kesakitan, Ganes mencoba bangkit dengan kedua mata berkaca-kaca."Jangan melihat ini, Pak. Kumohon. Mundur saja. Jangan hiraukan aku."Pernyataan Ganes tentu saja membuat siapa pun yang berada di sana mengernyit keheranan. Terlebih, saat
Ganes mendecih. Ia yang memang tak terbiasa untuk hanya diam merebah di ranjang seharian pun akhirnya bangkit. Diliriknya infus yang terpasang, lalu menarik jarumnya hingga terlepas.Ia mengaduh, kesakitan. Namun, tak membuatnya berhenti untuk keluar dari ruangan. Tekadnya sudah bulat. Dibiarkannya darah yang terus menetes dari kulit bekas jarum infus disuntikkan.Meski terlihat plin-plan akan pilihannya sendiri, tetapi Ganes juga masih punya hak. Terlebih, ia tahu betul, Nyonya Saras belum mengatakan apa yang ia pilih semalam pada sang direktur utama. Dengan demikian, ia masih punya waktu hingga tiga hari ke depan untuk menenangkan diri dan memantapkan hati.Ganes telah meraih tas dan jaket yang diletakkan dalam nakas di sisi ranjang pesakitan. Dengan cepat, dikenakannya jaket dan tas demi mampu menutupi noda darah pada jaketnya yang berwarna gelap.Ganes telah melewati lorong rumah sakit yang dipenuhi lalu-lalang pengunjung. Walaupun jam jenguk pasien ditiadakan, setidaknya masih ad
Pakaian Ganes telah diganti setelah membersihkan diri usai menyantap makan siang yang kepagian. Ia telah siap untuk berangkat menuju ke tempat di mana hendak mendapatkan apa yang diinginkan.Tak ada perlengkapan berarti yang disiapkan oleh Ganes untuk bertahan di tempat yang dibayangkan. Ia hanya membawa sebatang korek api dalam tas kecil berisi dompet dan ponselnya. Tanpa baju ganti, ataupun alat pertahanan diri lain.Usai memantapkan diri untuk tetap pergi menuju ke padang yang dipercaya mampu membangkitkan sisi liar dalam alam bawah sadar, Ganes pun berangkat menggunakan moda transportasi termurah. Dilewati Diana yang masih menatapnya penuh tanda tanya.Ia mengangguk samar, mencoba meyakinkan Diana bahwa ini adalah keputusan terbaik untuk dirinya. Lekas, ia berjalan menuju ke jalan utama.Benar saja, dari kejauhan bus yang menuju ke terminal Purabaya telah terlihat batang spionnya. Dengan gegas, Ganes pun melambaikan tangan, mencoba naik bis tanpa menanti di terminal yang jaraknya
Pandangan Ganes begitu kosong. Meski berulang kali ia diajak penumpang lain untuk bicara empat mata, perempuan dua puluh satu tahun itu tetap terdiam. Dalam kepalanya yang dipenuhi kecamuk dan pikiran, ia menyesalkan sikapnya yang acuh tak acuh dengan sekitar."Mbak, jangan salahkan diri sendiri. Sampean ndak salah sama sekali. Kita semua pun tahu, njenengan tidur saat bapak tadi masuk dan duduk di samping sampean. Kita semua tau, njenengan yang sadar pertama kali kalo bapak itu sudah tak bernyawa."Di halaman sebuah polres di Probolinggo, Ganes masih duduk termenung. Seluruh penumpang bus diharap turun dan memberikan informasi terkait kematian pria paruh baya yang ditemukan oleh Ganes.Meski tak ada tuduhan khusus tetap saja Ganes merasa begitu bersalah. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dirinya terguncang. Terlebih ialah pertama kali yang tahu akan nyawa yang tak lagi membersamai raga dari sosok yang duduk di sampingnya.Entah mengapa, tiba-tiba Ganes men
Ganes menggigil setelah membersihkan diri untuk salat Subuh berjemaah bersama Ros. Ia sudah tak sabar untuk mulai hidup liar di alam bebas. Meski akan ada banyak pengunjung padang yang juga termasuk manusia, setidaknya ia akan melihat para wisatawan itu dengan sudut pandang berbeda.Ganes hampir saja keluar dari rumah sederhana milik Ros saat perempuan paruh baya itu menghalangi jalannya. Ia mengernyit, mempertanyakan mengenai apa yang dilakukan sang empunya rumah."Ada apa, Bu?"Rosmana menggeleng pelan. "Mungkin ada cara lain untuk mendapatkan keputusan yang tepat, Nduk. Tidak dengan hidup di alam bebas meski hanya seharian. Kamu perempuan, Nduk. Jangan sampai ada sesuatu yang tak bisa ibuk bayangkan. Ibuk akan merasa begitu bersalah jika ada hal-hal buruk terjadi padamu, Nduk."Keresahan terlihat jelas di kedua mata Rosmana yang telah berkaca-kaca. Ia benar-benar berharap mampu mengubah keputusan yang Ganes pilih sejak pertama kali mengukuhkan hati untuk berangkat.Melihat ketulusa
Debuman terdengar begitu keras disusul dengan teriakan dan derap langkah yang tergesa-gesa. Ganes telah melompat turun dari pohon tempatnya meringkuk sebab begitu terkejut kala diteriaki layaknya maling di tengah siang yang terik.Dengan cepat, ia berlari dengan kedua tangan dan kaki. Bukan hanya sosok yang meneriakinya setan yang terlongong-longong di tempat, melainkan semua orang yang melihatnya berlari dengan empat kaki pun turut membeliak tak percaya.Tak ada respons berarti dari orang-orang yang memperhatikan kelakukan Ganes yang tak lazim, selain hanya menelan ludah dan menganga tak percaya. Siapa yang mengira, dari pohon setinggi tiga meter turun seorang gadis yang kemudian berlari dengan kencang ke tengah padang.Sebab itulah, para pengunjung lain mulai berlomba-lomba untuk mendekat demi mengabadikan momen yang langka. Belum lagi mereka yang membawa kendaraan langsung menarik handle gas demi melaju, mengejar Ganes yang larinya terlihat begitu kencang. Di sisi lain, tangan Gan
Ganes menghela napas panjang. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran sang kawan. Terlebih, niat yang dikukuhkan demi bisa menyainginya.Padahal, Ganes tak pernah melupakan Diana. Ia bahkan selalu berterimakasih atas segala hal, meski tak pernah diterima. Namun kini, alih-alih mendukung ia akan mendapat tusukan dari kawan sendiri.Ganes telah menyelesaikan tiga permintaan antar dari aplikasi ojek online yang menaunginya. Ia memilih menepi sebentar di pinggir jalan. Bukan untuk sarapan, melainkan untuk membuka pikiran.Sudah barang pasti ada hal yang tak memuaskan bagi Diana hingga harus berniat hendak menusuknya dari belakang. Walaupun Ganes tak tahu pasti apa itu, tapi ia memaksa untuk mengingat banyak hal.Nyatanya, ia merasa memang tak pernah punya salah. Begitu pun Diana. Tak ada tanda-tanda sikap Diana yang berubah. Terlebih, setelah ia diberikan peran untuk debut pertama.Mau tak mau, Ganes mencoba menghubungi sang kawan. Telah ia kirimkan pesan singkat pada Diana hanya
"Apa yang membuatmu begitu ikut campur atas masalah keluargaku, Nes? Masalahmu sendiri saja, kamu tak mampu menyelesaikannya! Lantas, kenapa ikut campur masalah orang?"Pertanyaan Diana terus terngiang dalam kepalanya. Sudah berhari-hari ia tak lagi bertemu dengan Diana. Jangankan bertemu dan kembali bersenda gurau, untuk saling menyapa dalam pesan singkat pun keduanya terlihat enggan.Ganes dengan kekecewaannya yang mendalam sedangkan Diana dengan kekesalannya sebab dituduh sedemikian rupa. Sudah tujuh hari pula ia bekerja lebih dari delapan jam tiap harinya demi menebus jam tayangnya saat pertunjukan.Bak didatangi Dewi Fortuna. Hal itu lantas membuat Ganes terlihat lebih sibuk dari biasanya. Dengan begitu, ia tak harus segera pulang ke rumah. Usai bekerja, ia akan melanjutkan pekerjaan utamanya sejak beberapa tahun silam, yakni menjadi sopir ojek online.Selama bekerja pun, tak ada satu patah kata yang bisa ia ungkap selain menjawab sapaan para aktris muda. Penampilannya dalam debu
"Saya tak pernah kenal dengan orang tua saya, Bu. Jangankan nama, darah yang mengalir saja tak akan mampu lagi mengenali mereka."Pernyataan yang masih terngiang-ngiang dalam kepala Ganes itu benar-benar membuatnya memikirkan banyak hal. Meski ia sendiri yang mengatakan demikian, tetapi saat mengingat ucapan Rosmana, ia mulai resah nan bimbang.Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh setelah ia ngebit beberapa jam sepulang dari kediaman Nyonya Saras. Tujuh permintaan antar pun telah ia selesaikan dalam waktu dua jam. Lantas, segera ditujunya bangunan dua lantai yang menjadi tempatnya berpulang setelah sadar hari kian malam.Ganes telah merebahkan badan di kasur lantainya. Spon busa densiti tinggi itu berhasil meredam sakit punggung dan pinggangnya seketika. Ia mendesah panjang, lantas kembali terpikirkan mengenai jawaban Nyonya Saras.Bukan tanpa sebab. Tepat usai ia membersihkan badan, kala ia sibuk menenggak teh rempah buatan Nyonya Saras, ada yang membuatnya begitu resah. Melihat sang
Tujuh hari pertunjukan Ganes telah usai. Namun, hutang pekerjaan Ganes belum juga terbayar. Sejak awal, Rajendra memang telah menyiapkan segalanya. Mengenai neraka yang berkemungkinan akan membuat Ganes jera.Meski ada tanda tangan di atas kertas mengenai pertunjukan yang masih berada di jam kerja telah dihitung kerja, tetapi nyatanya ada catatan terakhir yang membuat Ganes rugi besar."Sialan emang si Jendra. Aku baru tau kalo pas tanda tangan mesti baca semua poin yang tertuang. Yang kutahu kan, cuma perjanjian bahwa pertunjukanku termasuk jam kerja."Gerutuan Ganes tak juga berhenti meski jam sudah menunjuk ke angka lima. Meski ia tak lagi berlatih di aula seperti yang sudah-sudah, tetapi tetap saja ia sudah bekerja lebih dari delapan jam."Sialnya, itu poin malah tercetak lebih kecil dan ditebalkan. Bodohnya, aku enggak baca. Halah. Emang otak si Jendra aja yang liciknya enggak kira-kira."Sekali lagi, Ganes tengah moping sembari terus mengomel tanpa jeda. Padahal, tak ada lagi se
Ganes baru saja usai memerankan pertunjukan di hari keduanya usai debut pertama kemarin sore. Dibukanya senyum lebar saat melihat Faruk yang datang sembari membawa buket uang.Bukan tanpa sebab. Sebagai permintaan maafnya tempo hari, Ganes memilih mengirimkan Faruk tiket pertunjukan.Kebetulan, Faruk pun tengah mengambil cuti sebab kondisi kesehatan yang tak memungkinkan. Itu sebabnya, ia bisa hadir memenuhi undangan dari sang kawan."Aku enggak nyangka, Nes, kamu sehebat ini. Sumpah, Ganes yang dulu ingusan, nangisan, gembengan, suka cari gara-gara, bisa semenakjubkan ini. Enggak salah emang kalo aku jadi kawanmu sejak dini. Membanggakan sekali!"Ganes tersipu mendengar pujian Faruk yang tiada habisnya. Ia telah menerima buket uang bernilai ratusan ribu dengan senyum mengembang. "Jangan muji terlalu tinggi, Ruk. Aku masih sebutir nasi di tengah kuah soto yang lagi dipanasi. Ngeri kalo sampek ledeh sendiri."Faruk terbahak-bahak. Ia telah menepuk bangku kosong di sebelahnya demi mengu
Ganes mulai membuka ponsel saat merebah di kamar. Beberapa headline berita ternama, menyorot namanya yang mulai banyak dikenal. Beberapa kali, senyumnya terkembang. Namun, tepat saat ia hendak berbangga dengan pencapaian diri, ia teringat akan kesalahannya sendiri.Ganes berusaha menarik napas dalam-dalam. Dibukanya salah satu pesan dalam aplikasi dalam jaringan. Dibukanya nama profil dengan gambar sang kawan sejak masih di panti asuhan.Ia ingat betul, beberapa hari sebelum debut pementasannya tiba, ia salah paham dengan apa yang terjadi pada Diana. Ganes masih berutang maaf, meski persahabatan mereka lebih dari sekadar terima kasih dan maaf."Kamu ngapain Diana, Ruk?" tanya Ganes kala itu.Ia yang telah naik pitam sebab melihat kondisi Diana yang awut-awutan, langsung melabrak sang kawan yang dikenal bak playboy kelas teri sejak masih sekolah."Ngapain Diana gimana? Aku kenal Diana aja enggak. Cuma sekedar ngomong berdua dan tanya-tanya. Titip salam juga. Enggak ngapa-ngapain, kok,"
Ganes tercekat. Kerongkongannya kering kerontang. Entah kenapa, pernyataan Tari berhasil membuatnya mematung di tempat.Butuh waktu lebih dari semenit untuk Tari pergi dari sisi lain tempat Ganes mengerjap-ngerjap. Lantas, di detik berikutnya, Ganes telah menatap gamang seluruh gemerlap malam.Dadanya terasa sesak. Begitu juga dengan geliginya yang terus menggemeletuk tak keruan.Hampir saja kaca-kaca di kedua matanya pecah saat Diana dan Emak tiba di hadapan. Cepat, Ganes menatap angkasa malam. Langit gulita yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang usai badai menerjang."Bagus kan langitnya? Padahal, tadi ujan badai. Angin kenceng juga. Tapi yang di dalem enggak denger apa pun karena saking terpukaunya orang-orang sama peran yang kamu mainkan."Ganes masih mengerjap-ngerjap. Ia mengangguk meski kepalanya terus mendongak.Melihat tingkah absurd sang kawan, Diana makin kebingungan. Ditatapnya sang emak yang sudah ikut mendongak, lantas ia turut serta menatap langit malam yang kelam. "Ada ap
"Selamat, Ganes! Itu tadi bener-bener luar biasa! Sumpah, aku Sampek merinding pas ada yang nyambukin! Kesel sama si Geral. Sumpah! Udahlah jahat, mau sok jadi orang yang ngadopsi Jean, malah enggak taunya Jean yang udah belajar berdiri diperlakukan kayak binatang lagi hanya demi duit. Setan, emang!"Ganes tertawa saat mendengar apresiasi dari sang kawan. Ia hanya mengangguk, lantas kembali berterimakasih atas kehadiran mereka."Makasih banget, sudah mau jadi bagian dari pertunjukan ini. Makasih, Bu Ros, Emak, Mama sama Mami."Mama, sebutan untuk pengurus panti yang ia kirimi tiket pertunjukan VIP pun hanya bisa mengangkat kedua jempolnya setinggi dada. "Akhirnya, apa yang pernah kamu cita-citakan, apa yang pernah kamu kagum-kagumkan, benar-benar tercapai. Selamat, Ganes."Mendengar itu, kaca-kaca pada kedua mata Ganes pun tercipta. Ia teringat akan sosok Bunda, orang yang terus mendukungnya sejak lama. "Hanya ini yang bisa kubanggakan."Mami menunjukkan gambar yang diambil melalui po
Terang saja, seluruh penonton menganga tak percaya. Di detik berikutnya, mereka semua bertepuk tangan kian meriah, seolah-olah menyambut baik usaha Ganes yang terus memerankan perannya dengan baik.Butuh lebih dari tiga jam untuk sandiwara teater itu berjalan dengan sempurna. Meski di pertengahan drama, seluruh lampu penerangan padam begitu saja. Namun, para aktor dan aktris itu tetap bersandiwara dengan baik.Walaupun begitu, penerangan dibantu dengan beberapa cahaya lampu sorot tangan. Nyatanya, diesel yang dimiliki pun tak mampu mengangkat konsumsi listrik gedung sebab kurangnya pemeliharaan.Beruntungnya, suasana remang-remang yang tercipta tanpa direncanakan itu berhasil memberi nuansa baru pada drama yang dibintangi oleh sang aktris di debut perdananya. Tepuk tangan kian riuh, bergemuruh saat Ganes dan kawan-kawan tampil di depan panggung, memberi salam terakhir saat Jean berhasil berjalan dengan kedua kaki.Debut Ganes sukses besar. Seluruh orang bertepuk tangan, bersiul, bahka