Pandangan Ganes begitu kosong. Meski berulang kali ia diajak penumpang lain untuk bicara empat mata, perempuan dua puluh satu tahun itu tetap terdiam. Dalam kepalanya yang dipenuhi kecamuk dan pikiran, ia menyesalkan sikapnya yang acuh tak acuh dengan sekitar."Mbak, jangan salahkan diri sendiri. Sampean ndak salah sama sekali. Kita semua pun tahu, njenengan tidur saat bapak tadi masuk dan duduk di samping sampean. Kita semua tau, njenengan yang sadar pertama kali kalo bapak itu sudah tak bernyawa."Di halaman sebuah polres di Probolinggo, Ganes masih duduk termenung. Seluruh penumpang bus diharap turun dan memberikan informasi terkait kematian pria paruh baya yang ditemukan oleh Ganes.Meski tak ada tuduhan khusus tetap saja Ganes merasa begitu bersalah. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dirinya terguncang. Terlebih ialah pertama kali yang tahu akan nyawa yang tak lagi membersamai raga dari sosok yang duduk di sampingnya.Entah mengapa, tiba-tiba Ganes men
Ganes menggigil setelah membersihkan diri untuk salat Subuh berjemaah bersama Ros. Ia sudah tak sabar untuk mulai hidup liar di alam bebas. Meski akan ada banyak pengunjung padang yang juga termasuk manusia, setidaknya ia akan melihat para wisatawan itu dengan sudut pandang berbeda.Ganes hampir saja keluar dari rumah sederhana milik Ros saat perempuan paruh baya itu menghalangi jalannya. Ia mengernyit, mempertanyakan mengenai apa yang dilakukan sang empunya rumah."Ada apa, Bu?"Rosmana menggeleng pelan. "Mungkin ada cara lain untuk mendapatkan keputusan yang tepat, Nduk. Tidak dengan hidup di alam bebas meski hanya seharian. Kamu perempuan, Nduk. Jangan sampai ada sesuatu yang tak bisa ibuk bayangkan. Ibuk akan merasa begitu bersalah jika ada hal-hal buruk terjadi padamu, Nduk."Keresahan terlihat jelas di kedua mata Rosmana yang telah berkaca-kaca. Ia benar-benar berharap mampu mengubah keputusan yang Ganes pilih sejak pertama kali mengukuhkan hati untuk berangkat.Melihat ketulusa
Debuman terdengar begitu keras disusul dengan teriakan dan derap langkah yang tergesa-gesa. Ganes telah melompat turun dari pohon tempatnya meringkuk sebab begitu terkejut kala diteriaki layaknya maling di tengah siang yang terik.Dengan cepat, ia berlari dengan kedua tangan dan kaki. Bukan hanya sosok yang meneriakinya setan yang terlongong-longong di tempat, melainkan semua orang yang melihatnya berlari dengan empat kaki pun turut membeliak tak percaya.Tak ada respons berarti dari orang-orang yang memperhatikan kelakukan Ganes yang tak lazim, selain hanya menelan ludah dan menganga tak percaya. Siapa yang mengira, dari pohon setinggi tiga meter turun seorang gadis yang kemudian berlari dengan kencang ke tengah padang.Sebab itulah, para pengunjung lain mulai berlomba-lomba untuk mendekat demi mengabadikan momen yang langka. Belum lagi mereka yang membawa kendaraan langsung menarik handle gas demi melaju, mengejar Ganes yang larinya terlihat begitu kencang. Di sisi lain, tangan Gan
Ganes berjalan dengan pelan. Kedua tangan dan kakinya berkontribusi besar dalam pergerakannya yang tak kalah lincah dari kucing liar yang tengah berada sejajar dengannya. Perlahan tapi pasti, Ganes membidik seekor burung yang tengah mendarat di dekat aliran sungai kecil di tengah padang. Kedua matanya menatap dengan tajam, lalu lidahnya menyapu bibir hingga basah sepenuhnya.Air liurnya telah menetes dengan kuat. Rasa laparnya telah berhasil menguasai jiwa. Matanya menatap lekat, lalu menunduk tepat di dekat burung blekok sawah yang mulai bersiaga.Matahari sedang terik-teriknya saat burung blekok mencoba meminum air dari aliran sungai kecil yang dipenuhi ikan. Dalam sekejap mata, Ganes yang berada dalam posisi waspada telah melompat, menangkap burung blekok dengan kedua tangannya yang menggenggam dan geliginya yang langsung menggigit leher burung dengan cepat.Tanpa pisau atau apa pun, Ganes menggelengkan kepala kuat-kuat saat sadar bahwa mangsanya telah berhasil ia tangkap. Bukan t
Ganes terbangun setelah hampir setengah hari terlelap di atas dahan pohon yang rindang. Dengan malas, ia menggeliat, melupakan posisinya yang berada di atas batang cukup besar. Mau tak mau, ia terjun ke bawah dengan bebas.Debuman terdengar jelas. Bukan hanya punggungnya yang kini terasa begitu sakit tak keruan. Melainkan seluruh badannya mulai terasa tak nyaman.Ganes menggeram. Entah bagaimana ia mengekspresikan kesakitannya yang luar biasa. Namun, ingatannya mengulang akan kejadian sore tadi mengenai keraguannya. Bersamaan dengan itu ia jadi teringat salah satu momen sebelum matanya benar-benar terlelap.Ganes ingat betul, bagaimana ekspresi kerbau yang ketakutan tak jauh dari tempatnya meringkuk. Ekspresi ketakutan, amarah, serta kesakitan saat beberapa dari mereka mulai menghujani kerbau malang itu dengan batu.Bukan tanpa sebab. Kerbau malang itu hanya salah jalan. Ia sendirian, mendekat pada sisa tulang belulang buruan yang Ganes tinggalkan sebelumnya. Ia mengendus, lantas meng
Hari telah begitu terik saat Ganes berjalan dengan lunglai. Seluruh tubuhnya kotor tak terkira, sedangkan setelan kulot hitam dan kaus panjang berwarna merah muda harus berubah warna menjadi keabuan.Belum lagi dengan wajahnya yang begitu berantakan. Banyak lumpur dan sisa makanan yang mengelilingi mulutnya berserakan. Rambutnya acak-acakan, kusut tak karuan.Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Ganes memilih untuk pulang. Bagaimanapun juga, ia hanya meminta izin untuk tak masuk kerja hingga Senin. Maka, mau tak mau ia harus segera kembali.Tak ada rasa ragu dalam benak Ganes untuk melewati para pelancong yang tengah santai di bawah pohon rindang. Ia hanya ingin pulang, makan dengan nyaman setelah mendapat apa yang diinginkan.Meski beberapa kali pengunjung yang ia lewati harus mengibaskan tangan sebab aroma yang menguar, Ganes enggan memedulikan. Ia tak butuh komentar apa pun dari mereka. Ia lebih butuh makan.Ya. Sejak semalam, setelah menyantap katak bakar, ia belum mendapat mang
Ganes telah berada dalam perjalanan menuju ke Surabaya. Ditatapnya luar jendela dengan nanar. Mengingat jawaban Rosmana, ia terus memikirkan ibunya.Ganes mulai bimbang. Entah kenapa, ia ingin mencari tahu kembali mengenai sosok sang ibu yang telah lama ia kutuk sebab menelantarkannya sejak masih berusia hitungan jam. Diliriknya jam yang melingkar. Kemungkinan, ia tiba di Surabaya tepat jam delapan, jika tanpa macet menghadang. Lekas, diaktifkannya ponsel yang sebelumnya memang dinonaktifkan.Tanpa diduga, ada lebih dari seratus pesan yang masuk dalam ponselnya. Padahal, belum tiga kali dua puluh empat jam ia menghilang. Namun, kawan-kawan terdekatnya terus mneghantui dengan banyak pertanyaan. Tak terkecuali Faruk dan Diana.Hampir saja Ganes membalas pesan-pesan terakhir dari kedua teman baiknya saat terdapat panggilan masuk dari Diana. Dengan cepat, diterimanya panggilan dengan senyum terkembang. Sayang, salam Ganes pun disela tanpa ampunan."Jancuk kamu iki! Ke mana aja, sih? Niat
Ganes tiba di kediamannya tepat pada waktunya. Jam baru menunjuk ke angka sembilan malam saat ia mencoba membuka pintu pagar. Berapa terkejutnya ia saat dikageti oleh sang tetangga yang merangkul dari belakang dengan sangat hangat."Aku khawatir, Nes! Ayo makan dulu di rumah!"Ajakan Diana berhasil membuat Ganes tersenyum ramah. Diikutinya Diana yang menarik tangan dengan cepat. "Tunggu bentar, Di. Aku mesti ganti baju!"Diana melirik sebentar. Ia berhenti melangkah, lalu mencoba memindai pakaian yang dikenakan sang kawan. Telunjuk dan jempolnya telah membingkai dagu dengan memiringkan kepala, sedang tangan yang lain bersedekap."Tunggu. Aku kayak enggak pernah liat ini baju? Dikata baru, tapi udah kusem. Dikata lama, tapi aku enggak pernah liat. Lagian, ini bukan kamu banget, lo."Mendengar itu, Ganes hanya meringis. Ia menggaruk kepala yang tak gatal saat Diana tak lagi memedulikan pakaian yang dikenakan olehnya."Entahlah. Nanti mesti cerita pokoknya. Ayok, makan di rumah!"Sekali
Ganes menghela napas panjang. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran sang kawan. Terlebih, niat yang dikukuhkan demi bisa menyainginya.Padahal, Ganes tak pernah melupakan Diana. Ia bahkan selalu berterimakasih atas segala hal, meski tak pernah diterima. Namun kini, alih-alih mendukung ia akan mendapat tusukan dari kawan sendiri.Ganes telah menyelesaikan tiga permintaan antar dari aplikasi ojek online yang menaunginya. Ia memilih menepi sebentar di pinggir jalan. Bukan untuk sarapan, melainkan untuk membuka pikiran.Sudah barang pasti ada hal yang tak memuaskan bagi Diana hingga harus berniat hendak menusuknya dari belakang. Walaupun Ganes tak tahu pasti apa itu, tapi ia memaksa untuk mengingat banyak hal.Nyatanya, ia merasa memang tak pernah punya salah. Begitu pun Diana. Tak ada tanda-tanda sikap Diana yang berubah. Terlebih, setelah ia diberikan peran untuk debut pertama.Mau tak mau, Ganes mencoba menghubungi sang kawan. Telah ia kirimkan pesan singkat pada Diana hanya
"Apa yang membuatmu begitu ikut campur atas masalah keluargaku, Nes? Masalahmu sendiri saja, kamu tak mampu menyelesaikannya! Lantas, kenapa ikut campur masalah orang?"Pertanyaan Diana terus terngiang dalam kepalanya. Sudah berhari-hari ia tak lagi bertemu dengan Diana. Jangankan bertemu dan kembali bersenda gurau, untuk saling menyapa dalam pesan singkat pun keduanya terlihat enggan.Ganes dengan kekecewaannya yang mendalam sedangkan Diana dengan kekesalannya sebab dituduh sedemikian rupa. Sudah tujuh hari pula ia bekerja lebih dari delapan jam tiap harinya demi menebus jam tayangnya saat pertunjukan.Bak didatangi Dewi Fortuna. Hal itu lantas membuat Ganes terlihat lebih sibuk dari biasanya. Dengan begitu, ia tak harus segera pulang ke rumah. Usai bekerja, ia akan melanjutkan pekerjaan utamanya sejak beberapa tahun silam, yakni menjadi sopir ojek online.Selama bekerja pun, tak ada satu patah kata yang bisa ia ungkap selain menjawab sapaan para aktris muda. Penampilannya dalam debu
"Saya tak pernah kenal dengan orang tua saya, Bu. Jangankan nama, darah yang mengalir saja tak akan mampu lagi mengenali mereka."Pernyataan yang masih terngiang-ngiang dalam kepala Ganes itu benar-benar membuatnya memikirkan banyak hal. Meski ia sendiri yang mengatakan demikian, tetapi saat mengingat ucapan Rosmana, ia mulai resah nan bimbang.Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh setelah ia ngebit beberapa jam sepulang dari kediaman Nyonya Saras. Tujuh permintaan antar pun telah ia selesaikan dalam waktu dua jam. Lantas, segera ditujunya bangunan dua lantai yang menjadi tempatnya berpulang setelah sadar hari kian malam.Ganes telah merebahkan badan di kasur lantainya. Spon busa densiti tinggi itu berhasil meredam sakit punggung dan pinggangnya seketika. Ia mendesah panjang, lantas kembali terpikirkan mengenai jawaban Nyonya Saras.Bukan tanpa sebab. Tepat usai ia membersihkan badan, kala ia sibuk menenggak teh rempah buatan Nyonya Saras, ada yang membuatnya begitu resah. Melihat sang
Tujuh hari pertunjukan Ganes telah usai. Namun, hutang pekerjaan Ganes belum juga terbayar. Sejak awal, Rajendra memang telah menyiapkan segalanya. Mengenai neraka yang berkemungkinan akan membuat Ganes jera.Meski ada tanda tangan di atas kertas mengenai pertunjukan yang masih berada di jam kerja telah dihitung kerja, tetapi nyatanya ada catatan terakhir yang membuat Ganes rugi besar."Sialan emang si Jendra. Aku baru tau kalo pas tanda tangan mesti baca semua poin yang tertuang. Yang kutahu kan, cuma perjanjian bahwa pertunjukanku termasuk jam kerja."Gerutuan Ganes tak juga berhenti meski jam sudah menunjuk ke angka lima. Meski ia tak lagi berlatih di aula seperti yang sudah-sudah, tetapi tetap saja ia sudah bekerja lebih dari delapan jam."Sialnya, itu poin malah tercetak lebih kecil dan ditebalkan. Bodohnya, aku enggak baca. Halah. Emang otak si Jendra aja yang liciknya enggak kira-kira."Sekali lagi, Ganes tengah moping sembari terus mengomel tanpa jeda. Padahal, tak ada lagi se
Ganes baru saja usai memerankan pertunjukan di hari keduanya usai debut pertama kemarin sore. Dibukanya senyum lebar saat melihat Faruk yang datang sembari membawa buket uang.Bukan tanpa sebab. Sebagai permintaan maafnya tempo hari, Ganes memilih mengirimkan Faruk tiket pertunjukan.Kebetulan, Faruk pun tengah mengambil cuti sebab kondisi kesehatan yang tak memungkinkan. Itu sebabnya, ia bisa hadir memenuhi undangan dari sang kawan."Aku enggak nyangka, Nes, kamu sehebat ini. Sumpah, Ganes yang dulu ingusan, nangisan, gembengan, suka cari gara-gara, bisa semenakjubkan ini. Enggak salah emang kalo aku jadi kawanmu sejak dini. Membanggakan sekali!"Ganes tersipu mendengar pujian Faruk yang tiada habisnya. Ia telah menerima buket uang bernilai ratusan ribu dengan senyum mengembang. "Jangan muji terlalu tinggi, Ruk. Aku masih sebutir nasi di tengah kuah soto yang lagi dipanasi. Ngeri kalo sampek ledeh sendiri."Faruk terbahak-bahak. Ia telah menepuk bangku kosong di sebelahnya demi mengu
Ganes mulai membuka ponsel saat merebah di kamar. Beberapa headline berita ternama, menyorot namanya yang mulai banyak dikenal. Beberapa kali, senyumnya terkembang. Namun, tepat saat ia hendak berbangga dengan pencapaian diri, ia teringat akan kesalahannya sendiri.Ganes berusaha menarik napas dalam-dalam. Dibukanya salah satu pesan dalam aplikasi dalam jaringan. Dibukanya nama profil dengan gambar sang kawan sejak masih di panti asuhan.Ia ingat betul, beberapa hari sebelum debut pementasannya tiba, ia salah paham dengan apa yang terjadi pada Diana. Ganes masih berutang maaf, meski persahabatan mereka lebih dari sekadar terima kasih dan maaf."Kamu ngapain Diana, Ruk?" tanya Ganes kala itu.Ia yang telah naik pitam sebab melihat kondisi Diana yang awut-awutan, langsung melabrak sang kawan yang dikenal bak playboy kelas teri sejak masih sekolah."Ngapain Diana gimana? Aku kenal Diana aja enggak. Cuma sekedar ngomong berdua dan tanya-tanya. Titip salam juga. Enggak ngapa-ngapain, kok,"
Ganes tercekat. Kerongkongannya kering kerontang. Entah kenapa, pernyataan Tari berhasil membuatnya mematung di tempat.Butuh waktu lebih dari semenit untuk Tari pergi dari sisi lain tempat Ganes mengerjap-ngerjap. Lantas, di detik berikutnya, Ganes telah menatap gamang seluruh gemerlap malam.Dadanya terasa sesak. Begitu juga dengan geliginya yang terus menggemeletuk tak keruan.Hampir saja kaca-kaca di kedua matanya pecah saat Diana dan Emak tiba di hadapan. Cepat, Ganes menatap angkasa malam. Langit gulita yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang usai badai menerjang."Bagus kan langitnya? Padahal, tadi ujan badai. Angin kenceng juga. Tapi yang di dalem enggak denger apa pun karena saking terpukaunya orang-orang sama peran yang kamu mainkan."Ganes masih mengerjap-ngerjap. Ia mengangguk meski kepalanya terus mendongak.Melihat tingkah absurd sang kawan, Diana makin kebingungan. Ditatapnya sang emak yang sudah ikut mendongak, lantas ia turut serta menatap langit malam yang kelam. "Ada ap
"Selamat, Ganes! Itu tadi bener-bener luar biasa! Sumpah, aku Sampek merinding pas ada yang nyambukin! Kesel sama si Geral. Sumpah! Udahlah jahat, mau sok jadi orang yang ngadopsi Jean, malah enggak taunya Jean yang udah belajar berdiri diperlakukan kayak binatang lagi hanya demi duit. Setan, emang!"Ganes tertawa saat mendengar apresiasi dari sang kawan. Ia hanya mengangguk, lantas kembali berterimakasih atas kehadiran mereka."Makasih banget, sudah mau jadi bagian dari pertunjukan ini. Makasih, Bu Ros, Emak, Mama sama Mami."Mama, sebutan untuk pengurus panti yang ia kirimi tiket pertunjukan VIP pun hanya bisa mengangkat kedua jempolnya setinggi dada. "Akhirnya, apa yang pernah kamu cita-citakan, apa yang pernah kamu kagum-kagumkan, benar-benar tercapai. Selamat, Ganes."Mendengar itu, kaca-kaca pada kedua mata Ganes pun tercipta. Ia teringat akan sosok Bunda, orang yang terus mendukungnya sejak lama. "Hanya ini yang bisa kubanggakan."Mami menunjukkan gambar yang diambil melalui po
Terang saja, seluruh penonton menganga tak percaya. Di detik berikutnya, mereka semua bertepuk tangan kian meriah, seolah-olah menyambut baik usaha Ganes yang terus memerankan perannya dengan baik.Butuh lebih dari tiga jam untuk sandiwara teater itu berjalan dengan sempurna. Meski di pertengahan drama, seluruh lampu penerangan padam begitu saja. Namun, para aktor dan aktris itu tetap bersandiwara dengan baik.Walaupun begitu, penerangan dibantu dengan beberapa cahaya lampu sorot tangan. Nyatanya, diesel yang dimiliki pun tak mampu mengangkat konsumsi listrik gedung sebab kurangnya pemeliharaan.Beruntungnya, suasana remang-remang yang tercipta tanpa direncanakan itu berhasil memberi nuansa baru pada drama yang dibintangi oleh sang aktris di debut perdananya. Tepuk tangan kian riuh, bergemuruh saat Ganes dan kawan-kawan tampil di depan panggung, memberi salam terakhir saat Jean berhasil berjalan dengan kedua kaki.Debut Ganes sukses besar. Seluruh orang bertepuk tangan, bersiul, bahka