“Ooh… itu. Kemarin pas keluar dari kampus, aku tuh nggak sengaja nyerempet si Vikram. Terus, ponsel miliknya jatuh dan retak. Aku kabur. Padahal aku udah ngebut, kupikir dia nggak bakalan bisa mengejarku. Nggak nyangka dia malah mengejarku sampai rumah. Dan yang lebih aneh lagi, dia bisa tahu namaku. Misterius banget tuh orang.” Runa tampak berpikir.
“Sudah! Jangan kelamaan. Ayo cepat keluar!” Mulan menarik lengan Viza keluar kamar. “Jangan lupa, kasih tau nama lengkapmu ke Vikram supaya dia bisa menyebutkan namamu di ijab qabul! Viza Shanum Azalia binti Johan Al Kahfi.” “Johan Al Kahfi? Bukankah nama bapak Johan Ambarawa?” “Sudah, jangan kebanyakan protes. Johan Ambarawa itu cuma nama ganti saja, aslinya Johan Al Kahfi.” Viza malas berdebat. Ibunya tentu jauh lebih mengerti. Wajah Viza menunduk sepanjang berjalan menuju ruang tamu. Hampir tak ada ekspresi, bahkan kesedihan pun tak tampak lagi, air mata juga tak ada, lebih seperti sudah jengah dan kebal atas semua lelah yang menimbun. Yang lebih menyakitkan, kedua orang tuanya rela menumbalkan dirinya demi Runa supaya tidak diseret ke penjara oleh Vikram. Sejak dulu, dia terbiasa diperlakukan dengan tidak adil. Adiknya dibiayai oleh kedua orang tuanya sekolah ke perguruan tinggi, sedangkan Viza masih harus bekerja untuk memenuhi biaya kuliahnya, untung saja dia cerdas hingga terbantu oleh bea siswa. Runa sekolah di kampus swasta elit yang menelan biaya tak sedikit, sedangkan Viza sekolah di kampus negeri. Pulang kuliah, ia masih harus bekerja di warung makan bersmaa beberapa orang pelayan lainnya. Tepat saat itu, Vikram yang baru datang pun melangkah masuk, sendirian saja tanpa siapa pun mendampinginya. Tatapannya langsung tertuju ke wajah Viza yang menunduk. Gadis itu cantik sekali. Meski tanpa sentuhan make up, kecantikannya yang natural justru mengalahkan semua orang yang ada di sana, termasuk Runa. Keluarganya Viza sengaja tidak mengundang siapa pun termasuk tetangga karena tak mau mengeluarkan sepeser pun uang. Tak ada kenduri atau sejenisnya, Mulan hanya mengundang pak kades dan dua orang untuk saksi. Irit biaya. Namun, di luar prediksi, para tetangga justru bermunculan, memenuhi setiap sudut rumah. Bahkan di luar pun mereka berjubel. Intinya, mereka sangat penasaran dengan pernikahan si jagoan yang kemarin sempat menghebohkan kompleks. Bahkan mulut para ibu-ibu komplek seharian kemarin asik membicarakan Vikram. Perilakunya yang terlihat berandalan, namun kehebatannya malah dikagumi dan namanya menjadi topik hangat yang terus dibicarakan. Vikram menyusul duduk di sisi Viza yang sudah lebih dulu duduk. Ia kembali menoleh pada Viza. Gadis itu bergeming. Sedikit pun tak terlukis senyuman di wajah itu. Viza seperti sudah lupa bagaimana caranya tersenyum, terlalu banyak timbunan luka dan kesedihan. “Terima kasih sudah mau menjadi istriku!” bisik Vikram. Suara itu sangat lembut. Viza langsung menoleh untuk memastikan apakah yang sedang duduk di sisinya ini benar Vikram, pria yang disebut berandal dan jagoan kemarin? Pandangan Viza bertemu dengan sepasang mata gelap. Benar, ini adalah Vikram. Tapi kenapa lembut sekali? Tidak ada kegarangan, tidak ada kekasaran, tidak ada amarah. Wajah itu sangat teduh. Tatapannya pun hangat. Kok Viza jadi nyaman ya? “Jangan takut! Aku akan menjagamu!” sambung Vikram seolah sedang menenangkan Viza yang gundah. Bagaimana Viza tidak gundah saat tiba-tiba diajak nikah oleh berandal tak jelas begini? Namun, pandangan tentang berandal tak jelas perlahan berubah. Sikap Vikram berbanding terbalik dari berandalan, justru malah sopan dan memuliakan wanita. Casing boleh sangar, namun isinya jauh berbeda. Meski demikian, tetap saja Viza merasa takut pada lelaki asing ini. Bagaimana bisa ia akan menghabiskan waktu pada lelaki asing yang kelihatan urakan ini? Mau dibawa kemana hidupnya nanti? “Bagaimana, Nak Vikram? Sudah siap?” Wali hakim membuyarkan bayangan Viza. “Sudah,” jawab Vikram penuh semangat. Ya ampun, sesemangat itu lelaki ini akan menikah. Sedangkan Viza? “Saya wali hakim yang akan menikahkanmu. Kalau begitu kita bisa mulai.” Pandangan Vikram sekilas mengedar ke sekitar. Ia tidak mendapati wajah Johan. “Kenapa bukan bapaknya Viza yang menikahkanku?” “Beliau sedang di puskesmas karena sakit. Makanya Bu Mulan meminta supaya saya yang menjadi wali hakim untuk menikahkan kalian,” sahut sang wali hakim. “Suamiku tidak sadarkan diri, semalam jatuh dari tangga. Sudah, lanjutkan saja! Jangan kelamaan!” sergah Mulan sinis. Jatuh dari tangga? Kenapa Viza tidak tahu apa-apa soal itu? Jika ayahnya cedera hebat bahkan sampai tak sadarkan diri, seharusnya seisi rumah heboh. Mulan pun pasti tak henti menangis. Tapi situasi seperti biasa saja. Bahkan tak seorang pun yang menjaga Johan di rumah sakit. Semuanya berkumpul di rumah. Ini janggal sekali. Bersambung“Maharnya apa, Viza?” tanya wali hakim.Viza menggeleng. Ia tak tahu mahar apa yang dia mau. Tak pernah terlintas sedikit pun perihal mahar di hari pernikahan ini. Membayangkan menikah saja tidak, apa lagi kepikiran mahar.“Mahar itu bisa berupa uang, cincin, atau apa saja yang penting berfaedah. Nak Vikram sanggupnya kasih mahar apa?” tanya wali hakim.“Dengkul. Hi hi hi…” Runa berbisik dan terkekeh kecil, bahagia sekali saat bisa mengejek orang lain. Namun suaranya tetap kedengaran di telinga Viza.“Saya bisa kasih mahar ini.” Vikram melepas kalung hitam miliknya yang terbuat dari karet.Seisi ruangan dan orang-orang yang berjubel memadati pintu pun tertawa. “Nak Viza, apakah kamu ridha dinikahi dengan mahar ini?” tanya wali hakim.Beberapa detik Viza menatap kalung itu, kemudian ia berkata, “Maharnya surat Al Kahfi saja.”Tak tahu mengapa, lidah Viza berkata begitu. Setelahnya, ia tersadar bahwa bisa saja ia mempermalukan Vikram bila ternyata pria itu tak hafal surat tersebut. Se
“Viza, jangan!” Suara keras mengejutkan Viza bersamaan dengan tangan kokoh yang menahan tangannya di udara. Pisau di tangan Viza dirampas lalu dilempar.Tubuh Viza tak bisa bergerak, ada satu lengan besar dan kuat yang melingkar menahan badannya dari arah belakang supaya tak bergerak. Sedangkan tangan lain pria itu memegangi tangan Viza.Viza menoleh, menatap wajah Vikram yang sangat dekat dengannya. Tamparan hangat napas pria itu mengenai wajahnya. Vikram tampak panik sekali. Alis tebal pria itu sampai menyatu.“Apa yang kau lakukan? Jangan nekat! Berdosa! Dosa besar!” bisik Vikram lembut. Tatapannya teduh sekali.Dosa? Nekat? Apaan sih? Viza malah bingung. Oh.. Viza baru sadar maksud perkataan Vikram setelah beberapa detik otak kecilnya berpikir, Vikram mengira dia akan mengakhiri hidup. Padahal tadi Viza sedang ingin memuaskan kekesalan dengan mencincang tomat sepuasnya.“Jika sedang ada masalah, bicarakan saja! Jangan pendam sendiri! Itu akan memberatkan perasaanmu. Kamu sudah p
“Kok pakai tato, Mas?” tanya Viza.“Ini tidak permanen. Bisa dihapus," jawab Vikram.“Oh.” “Jadi kamu beneran tidak mau cerita nih? Biasanya, perempuan itu akan merasa lega saat bebannya diceritakan. Hatinya akan plong. Benar begitu kan?” sambung Vikram.“Aku nggak tahu.” “Berarti kamu tidak pernah punya teman curhat ya? Semua beban dipikul sendiri. Nanti cepat tua loh.” Vikram tersenyum. Tampan sekali. Viza pun tersenyum tipis. Inilah pertama kalinya Vikram melihat senyum di wajah cantik Viza setelah seharian wanita itu terlihat datar tanpa ekspresi.“Aku mau siapin makan malam dulu, Mas,” pamit Viza.“Bukankah ada Runa dan ibu? Mereka bisa siapkan. Kamu pengantin baru, setidaknya istirahat untuk malam ini.”Viza memutar mata canggung. “Aku ke dapur dulu, Mas.”Ia bergegas meninggalkan Vikram. Begitu cekatan tangannya mempersiapkan makan malam di meja makan. Menuangkan lauk pauk dan sayur dari kuali ke mangkuk, lalu menyajikannya ke meja. Tak lupa menyiapkan buah pencuci mulut.“
Lalu, dengan mulut berisi penuh makanan, Mulan melanjutkan perkataannya, “Ibu sudah mengurus Viza dari bayi sampai sekarang loh. Enak saja kamu mau main ambil begitu saja. setidaknya ada etika. Setelah kamu kasih ibu uang, baru kamu bisa bicara begitu. Modal dengkul saja, mana bisa berkuasa atas diri Viza.”Vikram menatap tajam pada Runa dan Mulan. Napasnya tersengal akibat emosi, namun ia tampak sedang berusaha menahan amarah supaya tidak meluap. “Viza bukan barang yang bisa dibeli,” sahut Vikram.“Bukan barang, tapi rongsokan. Hi hiii…” Mones menyahuti kemudian cekikikan.“Diam kau! di sini kau tidak ada hak bicara! Kau cuma pelayan warung kan?” tegas Vikram membuat Mones membungkam.“Kamu balik ke warung sana! Sudah malam. Tempat tidurmu di sana. Tugasmu jaga warung. Awas jangan sampai ada maling!” titah Mulan.“Iya siap, Bu. Lagian warung makan juga sudah ditutup, Bu. Ini juga belum larut. Saya Cuma mau nonton TV saja loh tadinya.” Meski menyahuti, Mones tetap bang
Viza membiarkan tangannya berada di pinggang Vikram, lalu tangan satunya pun berinisiatif maju dan memegangi pinggang sebelahnya.Viza mengira sosok garang seperti Vikram akan mengendarai motor ugal-ugalan, tapi ternyata tidak. “Kamu yakin bapakmu sakit?” tanya Vikram memecah keheningan.Viza tak tahu harus menjawab apa.Tak mendapat jawaban, Vikram pun berkata, “Mungkin saja bapakmu tidak sakit. Dia seperti sengaja menghindari pernikahan kita. Mungkin memang beliau tidak mau menikahkan kita. Makanya dia pura-pura sakit dan mencari wali hakim.”“Kenapa Mas Vikram berpendapat begitu?” tanya Viza pura-pura bod0h. Padahal dia juga berpikiran yang sama seperti yang dipikirkan Vikram. Tapi dia butuh penjelasan yang logis dari semua ini.“Tiba-tiba saja bapakmu dikabarkan jatuh sakit tapi seluruh keluargamu terlihat tak peduli. Mereka bahkan tidak menjenguk bapakmu atau minimal menunggu di puskesmas. Bukankah mereka menyayangi bapakmu? Lalu kenapa tidak ada tindakan apa pun saat bapakmu
“Kulihat ibumu memperlakukanmu berbeda dengan Runa. Apakah setiap hari dia begitu?” tanya Vikram.Pertanyaan itu membuat Viza mengenang rutinitas hidupnya yang kelam. Tidak sekalipun dia mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, demikian juga Runa yang kerap semena-mena terhadapnya.Sikap lembut Vikram tiba-tiba membuat Viza merasa ingin berbagi. Sudah sangat lama ia menimbun tekanan batin sendirian tanpa sekalipun membagi kepada siapa saja.Baginya, rasa lelah batin dan raganya sudah basi, sudah biasa. Sampai dia lupa bagaimana rasanya bahagia.“Aku pernah bertanya-tanya dalam hati. Apakah aku ini anak pungut? Kenapa ibu dan ayah membedakan aku dan Runa?” Kalimat itu mengalir begitu saja. “Kadang aku merasa iri pada Runa, tapi aku berhasil menyingkirkan rasa itu. Setiap hari, aku harus memghabiskan waktuku di warung untuk bekerja.”“Runa tidak membantumu di warung?”Viza menggeleng. “Nggak pernah sekalipun Runa turun ke dapur. Bahkan untuk ceplok telur pun dia mungkin nggak t
“Aku jadi supir di pabrik. Gajiku memang kecil. Tapi nanti gajinya biar masuk ke rekeningmu saja," ucap Vikram.“Oh… jadi nanti kalau Mas Vikram butuh uang, minta saja sama aku ya, Mas?” Viza kemudian mengambil hp dan membacakan nomer rekeningnya. “Ini juga udah lama banget nggak diisi. Kosong terus isi rekeningnya. Palingan cuma diisi pas mau transfer uang buku atau apalah.”Vikram menyimpan nomer rekening Viza.“Besok pagi-pagi Viza sudah harus bangun dan memasak. Jadi, menantu pun harus bantu-bantu kalau nggak ada kerjaan. Jangan jadi beban! Besok bangun subuh terus bantuin di dapur buat keperluan masak. Punya mantu nggak bisa kasih apa-apa, bisanya numpang hidup!” Suara Mulan merepet terdengar keras di ruang sebelah.Viza menatap Vikram, seolah memberi isyarat dari tatapannya kalau Vikram tidak perlu mengambil pusing perkataan ibunya.“Aku duluan ke kamar, Mas!”“Kok buru-buru?”“Mau tidur, besok harus bangun pagi.”“Oh… Kirain mau ngajakin apa gitu.”Maksud perkataan Vikram apa
Viza mengulang pandangan. Siapa tahu ia salah lihat. Bisa jadi seratus ribu dan matanya kurang tepat saat melihatnya. Tapi… ternyata ia tidak salah. Setelah mengulang beberapa kali, bahkan sampai menghitung jumlah nol, memang itu seratus juta.Kok bisa? Uang dari mana ini? Banyak sekali. Fantastis.Viza tak pernah melihat angka sebanyak itu. Nominal terbesar di rekeningnya hanya tiga juta. Itu pun numpang lewat saja saat ada keperluan untuk bayar sesuatu via transfer.Viza mendadak gugup. Uang segitu membuatnya jadi panas dingin.Setelah selesai memasak, sekitar jam sepuluh dia sudah bisa membuka warung makan dan menjadi pelayan bersama Mones. Begitulah rutinitas kesehariannya.Lelah? Jangan ditanya. Badannya sering sakit karena terkadang tak sempat makan saking sibuknya.“Air kobokan di teko semua meja belum diisi tuh! Cepat isi! Meja ada yang belum dilap!” Mones cerewet sekali. Main tunjuk sana sini.Dia kemudian mengambili buah-buahan dari kulkas untuk dipajang di etalase. Meskip
“Rejeki itu Allah hadirkan nggak hanya melalui tangan Vikram saja, ada banyak cara untuk kamu bisa bertahan hidup tanpa melibatkan Vikram maupun Viza,” sahut Fairuz. “Aku hanya tidak ingin berurusan dengan keluarga Bu Mulan lagi. Hubungan yang tidak baik maka lebih baik disudahi atau dijauhi, ini sama dengan menjauhi mudharat. Jadi inilah keputusanku!” Vikram lalu melenggang pergi. “Mbak Viza, kamu nggak kasian sama Bapak? Bapak lagi sakit. Ibu dan bapak nggak punya rumah hingga menumpang di rumahnya Mas Leo. Kami bahkan sekarang nggak punya penghasilan. Aku pun sedang hamil. Tolong bantu kami!” Runa memohon pada Viza, takut hidupnya akana sengsara jika tanpa pendapatan. “Mbak Viza diam-diam bisa kirimin aku uang, tolonglah Mbak. Bantu bapak berobat juga.” “Aku taat sama suamiku. Aku nggak berani berkhianat di belakangnya,” sahut Viza. “Mbak, tapi keadaan kami benar-benar down.” Wajah Runa memelas. “Kamu punya suami yang sempurna secara fisik, dia juga sehat walafiat. Insyaa
Viza ikutan membaca tulisan itu. (Teruntuk Viza tersayang, Saat kamu membaca tulisan ini, mungkin aku sudah tiada. Atau mungkin aku telah celaka dan dalam keadaan kritis. Atau bisa saja baik-baik saja. Kemungkinan buruk itu bisa saja terjadi padaku saat aku menabrak suamimu, biarkan dia m4ti. Aku pun tak masalah jka harus meregang nyaw4 untuk kematirn Vikram. Jika bukan aku yang memilikimu, maka orang lain pun tidak boleh. Sudah sangat lama aku rencanakan kematiannya, biarlah aku ikut m4ti jika memang dikehendaki m4ti. Viza, aku sudah sangat lama memendam rasa cintaku kepadamu. Bagaimana mungkin aku merelakanmu dimiliki lelaki lain? Hidupmu hanyalah untukku. Itulah cita-citaku selama ini. Surat kaleng itu kiriman dariku. Tujuanku hanya satu, memberikan kebahagiaan untukmu. Leo telah memberikan informasi akurat untukku bisa menuliskan surat itu. Tentu saja dengan bertukar keuntungan. Aku ijinkan Leo menikahi wanita yang diam-diam dia cintai, yaitu Runa. Aku pun mendapatkan keuntun
“Mas Vikram!” Viza menghambur dan memeluk erat suaminya. Tangisnya kembali pecah.Tubuhnya gemetar hebat dalam pelukan sang suami. Ia tak menyangka masih bisa bertemu dengan Vikram setelah mengira sang suami tak akan pernah kembali lagi.Dan kini, Viza bahkan masih bisa memegang suaminya, memeluk pria itu dengan erat.Tak lama Viza merasakan elusan di punggungnya. Deraian air mata Viza semakin deras merasakan elusan lembut itu. Artinya sang suami masih mau menerimanya dengan baik.“Mas, kupikir kita nggak akan ketemu lagi. Kupikir kamu pergi meninggalkan aku. Kamu udah janji mau menjagaku. Aku nggak mau kamu pergi. Kamu harus tepati janjiku.” Viza sesenggukan.“Tidak. Aku tidak pergi. Aku di sini,” lembut Vikram.Hati Viza basah mendengar suara lembut itu.“Mas Vikram masih sayang sama aku kan?” tanya Viza.Tak menjawab, Vikram malah mengerang. “Aaargggkh….”Viza mengernyit. Ia melepas pelukan dan memundurkan wajah, menatap sang suami bingung. “Sakit? Mana yang sakit?”“Punggung dan
Viza memegang kepalanya, jantungnya berdetak sangat kencang. Takut sekali. Kemungkinan buruk itu sudah bertengger di kepala Viza. Tangannya gemetar saat menggeser tombol hijau. “Ha haloo…” Suara Viza lirih. “Nyonya, sebaiknya Anda segera ke rumah sakit sekarang. Maaf, kami sudah melakukan yang terbaik, tapi….” Mendengar kalimat yang diucapkan dokter, Viza sudah tahu sambungannya. Dia menjauhkan hp dari telinga. Menurunkan benda pipih itu ke bawah. Ia tak perlu mendengar sambungan kalimat dari dokter. Dengan langkah gemetar, Viza menuju ke kamar yang dituju. Tubuhnya mendadak terasa dingin. Ia menerobos masuk ke kamar sesaat setelah mendorong pintu. Suster menutup bagian wajah pasien dengan kain. Dokter melepas handscoon dan bersiap hendak keluar kamar. Dokter menunjuk Viza dan berkata, “Anda…” “Istri korban,” lirih Viza menatap sayu. “Maaf, kami sudah melakukan semaksimal mungkin, tapi sudah terlalu jauh dari kata selamat. Nyawa suami Anda tidak bisa diselamatkan. Tuhan b
“Semua kesalahan masih bisa dimaafkan.” Fairuz berusaha menenangkan putrinya. “Vikram memang kecewa berat sama kamu, tapi pasti dia akan kembali kepadamu. Jangan khawatir ya. Ibu tahu kok bagaimana Vikram. Dia anak yang baik.” “Bagaimana kalau Mas Vikram membatalkan pesta pernikahan kami? Dia pasti nggak peduli meskipun uang milyaran yang dia gunakan untuk pesta pernikahan terbuang sia-sia.” “Nanti bisa kamu bicarakan baik-baik dengannya. Kalau hati Vikram sudah lega, dia pasti bisa diajak bicara secara dewasa kok. Ini hanya karena dia lagi emosi aja.” Viza menghela napas. “Sebenarnya, yang paling aku takutkan itu satu hal, bagaimana kalau rasa sayangnya ke aku jadi hilang gara-gara ini?” “Nggak semudah itu.” Fairuz mengusap punggung tangan putrinya dengan senyum. Perkataan Fairuz berhasil mengurangi sedikit kecemasan Viza. Meski itu hanyalah kata-kata sekedar menghibur saja, atau memang sungguhan pendapat Fairuz benar, yang jelas Viza merasa mendapat support. Brrrt brrrrt…
Cekrek cekrek. Kilatan kamera memotret wajahnya dari berbagai sisi dan berbagai gaya pula. Bibir dibikin manyun, dibikin tersenyum, jari membingkai wajah, dan berbagai macam gaya. Viza memilih beberapa gambar dan mengirimkannya ke nomer Vikram. Tak mengapa nakal sedikit sama suami. Halal. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Caption di gambar juga dibikin nakal. ‘Mas gk pingin ketemu nih?’ ‘Aku salah, tapi aku kangen. Gimana dong?’ ‘Maafin aku ya, sayang. Pulang dong. Mau peluk.’ ‘Kalau Mas Vikram di sini, aku lepas semuanya deh.’ Pesan terkirim. Centang dua. Tapi tidak dilihat juga. Lama menunggu, bolak balik mengecek, tetap saja tidak dibaca. Duh, kok jadi cemas ya? *** Viza menggeliat di atas kasur empuk. Kasur ini memang nyaman sekali. Bikin betah berguling bebas di sini. Eh, tunggu dulu. Kok Viza sudah berada di atas kasur? Seingatnya, tadi malam ia ketiduran di kursi dekat jendela. Lalu siapa yang mengangkat badannya ke kasur dan bahkan menyelimuti dengan bed co
Gubrak! Viza tersungkur setelah tersandung. Duh, Vikram kali ini lengah, dia tidak menangkap badan Viza. Entah pria itu sedang tidak sigap, atau memang dia sengaja tak mau menangkap badan Viza. Dada Viza yang masih dalam masa perkembangan itu sakit sekali. Kalau suami marah, efeknya Viza jatuh sendiri, bangkit pun sendiri. Tanpa bantuan. Eh, Viza melihat tangan terjulur ke depan wajahnya. Pandangan Viza naik dari telapak tangan menuju ke wajah. Wajah datar Vikram dingin sekali. Viza tersenyum menyambut tangan suaminya. “Terima kasih, Mas.” Meski dibantu dengan muma dingin, namun Viza tetap menunjukkan sikap manis. Viza sedang berusaha melukuhkan hati suaminya, maka jangan putus asa. “Diamlah supaya tidak terjatuh!” titah Vikram kemudian melenggang keluar rumah. Pria itu masih terluhat dingin. “Mas…… Tunggu….!” Viza mengejar Vikram. “Aku minta maaf. Plis, jangan marah! Mas, aku sayang kamu.” Vikram masuk ke mobil. Senyum Viza perlahan lenyap menatap mobil yang kemudian
Hening.Beberapa detik benar-benar sunyi.Lalu terdengar suara sepatu melangkah mendekat. Vikram berada tepat di belakang Viza.Caruk leher Viza sempurna meremang. Ia kemudian bangkit berdiri, memutar badan hingga menghadap dengan Vikram. Mereka bertukar pandang.Wajah Vikram tak seperti biasanya. Pria yang selalu terlihat manis dan hangat, kini dingin. Tatapannya pun dingin.“Mas, aku…”“Aku bahkan telah membatalkan meeting dengan dua klien besar untuk makan malam kita di restoran kemarin,” potong Vikram datar. Viza semakin merasa bersalah. Aduh, bagaimana ini? Vikram pasti merasa sangat kecewa. Begitu banyak hal besar telah dia korbankan demi hal kecil bersama dengan keluarga kecilnya, tapi istrinya ini malah memporak-porandakannya.Demi apa Vikram melakukan hal itu? Tentu demi rasa sayangnya pada Viza. Huh, kenapa Viza bisa termakan ucapan si pengirim surat kaleng itu?“Maaf, aku sudah mengacaukan semuanya.” Viza berucap lirih.“Tidak ada bulan madu ke Mesir, tidak ada pesta.”“Ta
“Ucapanku ini berlaku jika memang tuduhanmu benar, tapi kenyataannya tuduhanmu ini keliru. Kamu salah paham, Viza.” “Kalau begitu jelaskan dan luruskan dimana letak kesalahpahamanku supaya aku mengerti.” Mones mengusap air mata, tangisnya sudah terhenti. Ia menarik napas untuk menenangkan diri. “Memang benar aku mencintai Vikram sejak lama, aku menyimpan perasaan itu, aku memendamnya karena takut persahabatan kami akan rusak oleh perasaan yang nggak seharusnya. Juga karena aku takut dia akan menjauhiku saat tahu aku mencintainya,” jelas Mones. “Setahuku, Vikram hanya mencintaimu. Dia nggak pernah mencintaiku. Bahkan setelah dia mendengar pengakuanku di restoran waktu itu, bahwa aku mencintainya, responnya sangat datar. Dia bilang supaya aku profesional kerja. Sebab dia sudah beristri.” “Lalu, kartu undangan itu apa?” Viza menunjuk kartu undangan di tangan Mones. “Ini?” Mones mengangkat kartu itu. “Ini adalah salah satu bentuk dan caraku menuangkan rasa cintaku ke Vikram. Ini car