“Kok pakai tato, Mas?” tanya Viza.
“Ini tidak permanen. Bisa dihapus," jawab Vikram. “Oh.” “Jadi kamu beneran tidak mau cerita nih? Biasanya, perempuan itu akan merasa lega saat bebannya diceritakan. Hatinya akan plong. Benar begitu kan?” sambung Vikram. “Aku nggak tahu.” “Berarti kamu tidak pernah punya teman curhat ya? Semua beban dipikul sendiri. Nanti cepat tua loh.” Vikram tersenyum. Tampan sekali. Viza pun tersenyum tipis. Inilah pertama kalinya Vikram melihat senyum di wajah cantik Viza setelah seharian wanita itu terlihat datar tanpa ekspresi. “Aku mau siapin makan malam dulu, Mas,” pamit Viza. “Bukankah ada Runa dan ibu? Mereka bisa siapkan. Kamu pengantin baru, setidaknya istirahat untuk malam ini.” Viza memutar mata canggung. “Aku ke dapur dulu, Mas.” Ia bergegas meninggalkan Vikram. Begitu cekatan tangannya mempersiapkan makan malam di meja makan. Menuangkan lauk pauk dan sayur dari kuali ke mangkuk, lalu menyajikannya ke meja. Tak lupa menyiapkan buah pencuci mulut. “Viza, ikan bakarnya sudah disiapin belum?” Mulan muncul dan langsung mengecek meja makan. “Sudah.” Viza datar saja. “Jangan lupa jus buat ibu dan Runa dibikin. Terus pencuci mulutnya disiapin juga. Mangkuk kobokannya juga harus ada di meja. Kerupuknya udah. Siapin semua. Sebentar lagi ibu dan Runa mau makan!” titah Mulan kemudian berlalu pergi. Viza berjibaku dengan meja makan. Ia lalu tersenyum ketika melihat Vikram menyusul ke dapur. “Mas Vikram mau makan sekarang?” tanya Viza. “Belum lapar.” “Memangnya makan apa kok belum lapar?” “Makan angin.” Viza tersenyum lagi. Sudah dua kali Vikram berhasil membuat Viza tersenyum. Pria itu dengan cekatan membantu menyiapkan makan di meja, dia memindahkan ikan bakar dari pemanggangnya ke piring lalu ditaruh ke meja. “Terima kasih, Mas.” Viza merasa terbantu. Ia kemudian membuat teh hangat dan jus jeruk hangat. “Mas Vikram mau dibuatin minum apa? Jus, kopi, teh, susu atau apa?” “Itu kamu sudah bikin teh, lalu kenapa bikin lagi?” “Ini untuk Runa dan ibu. Runa biasanya setiap malam minum tomat, kalau ibu minum jus jeruk hangat,” jawab Viza. “Aku tidak perlu dibuatkan jus.” Vikram memperhatikan gerakan tangan Viza yang cekatan demi melayani ibu dan adiknya. Dia terlihat sudah biasa melakukannya. “Viza, cepat bawakan makan malam dua piring ke depan, jusnya sekalian. Ibu dan Runa mau makan di depan!” titah Mulan yang tiba-tiba muncul di pintu. “Ibu sama Runa makan di depan saja, depan TV.” Viza hanya menatap sekilas saja ke arah Mulan. Dia lalu mengmbil dua piring dan mengisi dengan nasi dan lauk. “Tidak usah!” Vikram memegang punggung tangan Viza, menahannya saat akan mengangkat dua piring itu ke nampan. “Loh loh… kok Viza dilarang menuruti perintah ibu?” sinis Mulan. “Viza sekarang sudah menjadi istriku. Semua pindah padaku. Bukan ibu lagi yang mengaturnya, tapi aku,” tegas Vikram. Dia bicara dengan sangat mendominasi. Namun tetap tenang. Muka Mulan memerah. “Kamu boleh bilang begitu kalau kamu bisa kasih uang seratus juta. Tapi yang kamu kasih ke aku sebagai ibunya Viza saja cuma angin. Bagaimana bisa kamu menganggap kepatuhan Viza pindah ke kamu? Aku yang mengandung, melahirkan dan bahkan membesarkan Viza. Lantas sudah besar begini kamu ambil dia hanya dengan gratis. Enak saja.” Vikram menaruh dua piring berisi nasi dan dua gelas jus, lalu mengangkat nampan itu. “Ini mau dibawa kemana?” tanyanya bersiap mengangkat nampan. “Ke depan, ruang tamu.” Mulan melengos pergi. “Mas!” Viza menatap Vikram tak enak hati. Malah jadi Vikram yang melayani ibu dan adiknya. “Tidak apa-apa,” sahut Vikram dengan senyum. Dia paham maksud panggilan Viza. “Aku bawa ke depan dulu.” Vikram membawa nampan ke ruang tamu. Viza mengikuti di belakang. Namun ia hanya berdiri di ambang pintu saja, tepat di perbatasan antara ruang tamu dan ruang tengah. Mulan dan Runa duduk di sofa. Ada Mones duduk di lantai sambil memijiti kaki Runa. Cari muka dan cari perhatian. Rumah itu tidak luas, sederhana saja. Kecil tapi layak. Hanya ada tiga kamar. Dua kamar berukuran sedang dan satu kamar kecil yang dihuni oleh Viza. Vikram meletakkan nampan ke meja. “Eh, pelayan kita udah ganti ya? Emang mbak Viza kemana?” tanya Runa dengan dagu terangkat. “Mulai sekarang, dia istriku. Tidak ada yang bisa mengaturnya kecuali aku. Tanggung jawab Viza pindah ke aku, ketaatannya juga pindah ke aku,” tegas Vikram. “Dih! Ini sudah menjadi kebiasaan kami,” ketus Runa. “Sudah kubilang, kamu itu mengambil Viza dariku tanpa sepeser uang. Bagaimana kamu bisa main ambil dia begitu saja?” sahut Mulan sambil mengambil piring, lalu menyantap isinya.Lalu, dengan mulut berisi penuh makanan, Mulan melanjutkan perkataannya, “Ibu sudah mengurus Viza dari bayi sampai sekarang loh. Enak saja kamu mau main ambil begitu saja. setidaknya ada etika. Setelah kamu kasih ibu uang, baru kamu bisa bicara begitu. Modal dengkul saja, mana bisa berkuasa atas diri Viza.”Vikram menatap tajam pada Runa dan Mulan. Napasnya tersengal akibat emosi, namun ia tampak sedang berusaha menahan amarah supaya tidak meluap. “Viza bukan barang yang bisa dibeli,” sahut Vikram.“Bukan barang, tapi rongsokan. Hi hiii…” Mones menyahuti kemudian cekikikan.“Diam kau! di sini kau tidak ada hak bicara! Kau cuma pelayan warung kan?” tegas Vikram membuat Mones membungkam.“Kamu balik ke warung sana! Sudah malam. Tempat tidurmu di sana. Tugasmu jaga warung. Awas jangan sampai ada maling!” titah Mulan.“Iya siap, Bu. Lagian warung makan juga sudah ditutup, Bu. Ini juga belum larut. Saya Cuma mau nonton TV saja loh tadinya.” Meski menyahuti, Mones tetap bang
Viza membiarkan tangannya berada di pinggang Vikram, lalu tangan satunya pun berinisiatif maju dan memegangi pinggang sebelahnya.Viza mengira sosok garang seperti Vikram akan mengendarai motor ugal-ugalan, tapi ternyata tidak. “Kamu yakin bapakmu sakit?” tanya Vikram memecah keheningan.Viza tak tahu harus menjawab apa.Tak mendapat jawaban, Vikram pun berkata, “Mungkin saja bapakmu tidak sakit. Dia seperti sengaja menghindari pernikahan kita. Mungkin memang beliau tidak mau menikahkan kita. Makanya dia pura-pura sakit dan mencari wali hakim.”“Kenapa Mas Vikram berpendapat begitu?” tanya Viza pura-pura bod0h. Padahal dia juga berpikiran yang sama seperti yang dipikirkan Vikram. Tapi dia butuh penjelasan yang logis dari semua ini.“Tiba-tiba saja bapakmu dikabarkan jatuh sakit tapi seluruh keluargamu terlihat tak peduli. Mereka bahkan tidak menjenguk bapakmu atau minimal menunggu di puskesmas. Bukankah mereka menyayangi bapakmu? Lalu kenapa tidak ada tindakan apa pun saat bapakmu
“Kulihat ibumu memperlakukanmu berbeda dengan Runa. Apakah setiap hari dia begitu?” tanya Vikram.Pertanyaan itu membuat Viza mengenang rutinitas hidupnya yang kelam. Tidak sekalipun dia mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, demikian juga Runa yang kerap semena-mena terhadapnya.Sikap lembut Vikram tiba-tiba membuat Viza merasa ingin berbagi. Sudah sangat lama ia menimbun tekanan batin sendirian tanpa sekalipun membagi kepada siapa saja.Baginya, rasa lelah batin dan raganya sudah basi, sudah biasa. Sampai dia lupa bagaimana rasanya bahagia.“Aku pernah bertanya-tanya dalam hati. Apakah aku ini anak pungut? Kenapa ibu dan ayah membedakan aku dan Runa?” Kalimat itu mengalir begitu saja. “Kadang aku merasa iri pada Runa, tapi aku berhasil menyingkirkan rasa itu. Setiap hari, aku harus memghabiskan waktuku di warung untuk bekerja.”“Runa tidak membantumu di warung?”Viza menggeleng. “Nggak pernah sekalipun Runa turun ke dapur. Bahkan untuk ceplok telur pun dia mungkin nggak t
“Aku jadi supir di pabrik. Gajiku memang kecil. Tapi nanti gajinya biar masuk ke rekeningmu saja," ucap Vikram.“Oh… jadi nanti kalau Mas Vikram butuh uang, minta saja sama aku ya, Mas?” Viza kemudian mengambil hp dan membacakan nomer rekeningnya. “Ini juga udah lama banget nggak diisi. Kosong terus isi rekeningnya. Palingan cuma diisi pas mau transfer uang buku atau apalah.”Vikram menyimpan nomer rekening Viza.“Besok pagi-pagi Viza sudah harus bangun dan memasak. Jadi, menantu pun harus bantu-bantu kalau nggak ada kerjaan. Jangan jadi beban! Besok bangun subuh terus bantuin di dapur buat keperluan masak. Punya mantu nggak bisa kasih apa-apa, bisanya numpang hidup!” Suara Mulan merepet terdengar keras di ruang sebelah.Viza menatap Vikram, seolah memberi isyarat dari tatapannya kalau Vikram tidak perlu mengambil pusing perkataan ibunya.“Aku duluan ke kamar, Mas!”“Kok buru-buru?”“Mau tidur, besok harus bangun pagi.”“Oh… Kirain mau ngajakin apa gitu.”Maksud perkataan Vikram apa
Viza mengulang pandangan. Siapa tahu ia salah lihat. Bisa jadi seratus ribu dan matanya kurang tepat saat melihatnya. Tapi… ternyata ia tidak salah. Setelah mengulang beberapa kali, bahkan sampai menghitung jumlah nol, memang itu seratus juta.Kok bisa? Uang dari mana ini? Banyak sekali. Fantastis.Viza tak pernah melihat angka sebanyak itu. Nominal terbesar di rekeningnya hanya tiga juta. Itu pun numpang lewat saja saat ada keperluan untuk bayar sesuatu via transfer.Viza mendadak gugup. Uang segitu membuatnya jadi panas dingin.Setelah selesai memasak, sekitar jam sepuluh dia sudah bisa membuka warung makan dan menjadi pelayan bersama Mones. Begitulah rutinitas kesehariannya.Lelah? Jangan ditanya. Badannya sering sakit karena terkadang tak sempat makan saking sibuknya.“Air kobokan di teko semua meja belum diisi tuh! Cepat isi! Meja ada yang belum dilap!” Mones cerewet sekali. Main tunjuk sana sini.Dia kemudian mengambili buah-buahan dari kulkas untuk dipajang di etalase. Meskip
Viza menyimpan hp dan menyusul ke depan, ia menyusun teko untuk cuci tangan berisi air ke meja.Pantesan Mones teriak-teriak garang begitu, rupanya ada Mulan dan Runa di meja kasir. Dua insan itu tampak sibuk menghitung uang receh pendapatan semalam.Beberapa orang pelanggan sudah duduk mengisi meja, menunggu pelayanan.Mones segera mendatangi meja yang diduduki pelanggan. “Mau pesan apa, Mas?”“Maaf, aku dilayani Viza saja!” tolak pelanggan saat dilayani oleh Mones. Pelanggan sudah sangat hafal dengan Viza. Mayoritas mereka memang menyukai pelayanan Viza yang sopan dan ramah.“Ya ampun, Viza mulu. Udah meringis gigi ampe kering juga masih ditolak,” celetuk Mones sambil garuk kepala. “Viza, layani tuh custumer.”Mones mengambil alih pekerjaan lain.Viza menghampiri dua pria yang menunggu di meja sudut. Hanya ada delapan meja, keseringan meja penuh saking ramainya.“Pesan apa, Bang?” tanya Viza. Warung itu menyediakan makan dengan cara pelayan yang mengambilkan nasi dan lauk seporsi d
Seketika Mulan membeku di tempat. Mukanya langsung menegang. Sudah capek memamerkan gigi sejak tadi, tapi sia-sia. Berharap Runa yang menjadi tempat perhatian si pria tajir melintir, malah Viza yang dicari. Mulan kesal sekali.Runa kecewa. Kenapa justru Viza yang dicari oleh pria kaya ini? “Sebelumnya, Tuan ini siapa?” Mulan balik tanya.“Aku Leonardo. Panggil saja Leo.”Viza meninggalkan tempat itu dan berlalu ke balik etalase jus yang berdekatan dengan pintu menuju dapur.Melalui posisinya, ia masih bisa melihat interaksi di dalam warung karena mereka masih satu ruangan, hanya dibatasi oleh etalase kaca saja.Viza membuat teh es dua gelas, telinganya fokus mendengarkan pembicaraan antara Mulan dan si pemuda yang bernama Leo itu.“Ada keperluan apa Anda mencari Viza?” Mulan mewawancarai. Nadanya mulai kedengaran tak suka. Bukan tak suka pada pemuda itu, tapi tak suka bila pemuda itu mencari Viza.“Ini kartu nama saya.” Pemuda itu memberikan kartu nama.Mulan membelalak sembari menut
“Kembali ke tujuan awal saya kemari. Bisakah saya bertemu Viza?” tanya Leo yang kelihatannya tak sadar kalau wanita yang dia cari ada di sini dan tengah sibuk mondar mandir malayani pelanggan di meja lain. “Viza itu putriku,” jelas Mulan.“Oh jadi saya berbicara langsung dengan ibunya? Tepat sekali kalau begitu. Tolong pertemukan saya dengan Viza. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan kepadanya,” sahut Leo.Pembicaraan terhenti ketika Runa muncul diantaranya dan menyuguhkan aneka macam lauk ke meja makan. Tak lupa senyum manis semanis madu dipersembahkan pula olehnya. “Silakan!” ucap Runa salah tingkah.Leo mengangguk dan menoleh singkat saja ke arah Runa.“Nah, ini putri bungsuku. Namanya Runa. Cantik kan ya? Dia masih kuliah. Sekitar setahun lagi masa kuliahnya selesai. Sudah bisa dinikahi.” Mulan merengkuh pundak Runa. “Kebetulan dia masih jomblo. Belum ada yang punya. He heee.. Tuan Leo ini sudah menikah atau belum?” “Umur memang sudah tiga puluh empat, tapi belum menikah.”
“Ada Tuhan yang mengatur hidupku. Bahkan perusahan ini juga ada dalam genggaman-Nya. Seenteng apa pun caraku mengurus perusahaan ini, jika Tuhan berkehendak untuk mensukseskannya, maka perusahaan ini akan semakin besar. Sebaliknya, segigih apa pun aku berusaha, jika Tuhan berkehendak lain, maka perusahaan ini juga akan runtuh.”Mones terdiam. Pria ini memang luar biasa. “Ini bagaimana? Sudah disusun semua?” Vikram menunjuk kertas di mejanya.Mones menatap kertas yang ditunjuk. Isinya berupa daftar susunan acara pesta besar perayaan atas pembukaan pabrik milik Vikram di Sumatera, lengkap dengan anggaran yang tersedia. Sudah ditanda tangani. Pesta diselenggarakan hari ini di sebuah indoor kantor yang luasnya mencapai hampir setengah hektar, mampu menampung lima ratus orang lebih. Sayap kesuksesan Vikram melebar. Dia pemuda yang gigih dan cerdas. Dalam waktu sekejap, mampu mengubah keadaan dengan mudah.“Aku salut padamu, baru kemarin aku melihatmu seperti gelandangan, tapi sekarang s
“Kau lihat tadi? Mereka menuntut pertanggung jawabanmu!” Vikram menatap Leo datar.Yang ditatap menunduk, mukanya memucat pias.“Kesalahanmu fatal, Leo. Fatal! Kehamilan Runa membuatku jadi serba salah dalam mengambil tindakan!” Vikram meneguk minuman kaleng. Ia berdiri tak jauh dari jendela kamar Leo. Kini tatapannya tertuju ke luar. Rintik gerimis mulai turun di luar sana.Mungkin Runa dan orang tuanya kehujanan. Peduli amat. Vikram tak mau tahu soal itu.Leo masih menunduk, tak berani angkat suara.“Aku menginginkan kehancuran Johan dan keluarganya, aku ingin melihat mereka tersungkur, bahkan terseok, sampai hancur, tapi bukan untuk kehancuran bayi di kandungan Runa. Bayi itu suci, tidak bersalah. Maka tidak seharusnya menderita atas pebuatan orang tua jahanam yang menyengsarakanya. Kasihan sekali dia harus terlahir dari hubungan gelap kalian!” lanjut Vikram jengah.“Saya harus apa?” Leo berkata lirih.“Aku sebenarnya senang melihat Runa menderita saat tidak ada lelaki yang menikah
“Pantas sekali keturunanmu model begini. Sifatnya pasti menurun dari orang tuanya. Tidak sopan!” Fairuz ketus.“Runa, diam! Kita ke sini untuk hal penting, kau jangan malah mengacaukan!” ucap Johan merasa tak nyaman pada Fairuz.“Loh, mereka itu di sini cuma numpang hidup, masak kamu malah patuh sama mereka? Kita nggak ada urusan sama supir dan perempuan ini!” gerutu Mulan menatap sinis pada Fairuz. “Percuma kalian kemari! Bawa pulang aib memalukan itu dan jangan pernah kembali! Kalian akan mendapatkan hukuman yang jauh lebih memalukan!” ucap Fairuz dengan suara bergetar hebat. Dia ingin sekali menjambak Mulan yang datang tanpa merasa bersalah, juga Johan yang plintat plintut, serta Runa yang angkuh dan tak tahu diri. Tapi tenaganya tak ada lagi, tenaganya terkuras oleh rasa panas yang membara dalam dada.“Kau sudah bertemu dengan putrimu. Itu maumu kan? Maka, kupikir masalah sudah selesai,” ucap Johan canggung, merasa tak nyaman.Enteng sekali lidah Johan berkata begitu. Lantas, se
“Ada apa ini? Aku tidak pernah mengijinkan orang asing masuk ke rumah ini!” tegas Vikram. Meski tatapannya tajam penuh kebencian, namun ia tetap terlihat tenang dengan kedua tangan yang masuk ke kantong celana, dagu terangkat.Dia lupa kalau saat ini dia sedang menyamar menjadi supir. Seharusnnya bersikap seolah rumah itu bukanlah rumahnya. Tapi ia malah keceplosan, bersikap kalau ia adalah pemilik rumah.“Tidak usah kau bicara! Ini urusanku dengan Tuan Leo. Lagi pula apa hakmu atas ijin di rumah ini? Ini adalah rumah milik Tuan Leo?” sungut Johan.Gara-gara emosi, dia sampai berani marah-marah pada Vikram. Dia lupa kalau pukulan Vikram mampu memberikan dua pilihan pada korbannya. Kalau tidak rumah sakit, ya kuburan. Vikram tetap tenang. Kemarahan Johan tidak memberikan efek apa pun terhadapnya. Bahkan dia malah lanjut makan sosis di tengah keadaan genting begini.Beberapa orang keamanan muncul, berlari cepat mendekat pada Johan hendak mengamankan si biang keributan.“Sudah! Biarkan
“Tuan Leo…!” “Aku mengantuk dan harus beristirahat!” Leo memutus ucapan Viza yang berpapasan dengannya di ruang tamu. Leo ingat pesan Vikram yang memintanya supaya menghindari Viza, jangan bicara apa pun, apa lagi membahas Runa. Leo mematuhi bosnya, tak mau sampai slah bicara dan membuat Vikram makin ngamuk. Viza sebenarnya ingin bicara soal Runa, tapi ia tak berkutik melihat Leo melenggang naik ke lantai atas meninggalkannya begitu saja. Viza tak berani bertindak lebih atau memaksa Leo untuk bicara lebih banyak, takut dianggap ngelunjak. Sudah menumpang hidup, masih berani mengganggu tuan rumah.Viza melangkah lemas menuju ke ruang depan. Apakah Runa berjata benar bahwa dia sungguh-sungguh hamil? Lalu bagaimana caranya supaya Leo mau bertanggung jawab? Tapi… ah kenapa Viza harus ikutan berpikir mengenai hal itu? Bukankah Runa adalah sosok yang selalu kejam terhadapnya?Viza berhenti saat berpapasan dengan Vikram. Duh, rumah ini padahal luas. Tapi kenapa sih ketemu Vikram terus?
Viza menghela napas sepeninggalan mobil Vikram. Entah kenapa ia merasa Vikram sedang mempermainkan hidupnya. Ada banyak hal yang disembunyikan Vikram dan ia tak tahu itu apa.Bahkan ia merasa kalau kebaikan Vikram terhadapnya bukan semata-mata karena rasa sayang, tapi ada hal lain yang jauh lebih penting dari itu. Vikram menyayangi Viza hanya demi menyelesaikan misi lain. Langkah Viza terus gontai menyusuri trotoar. Peluh mulai membasuh tubuh. Wajah pun basah oleh siraman peluh. “Mbak Viza!”Suara ini lagi, Viza sangat mengenalnya meski tanpa harus menoleh pada si empunya suara dari arah belakang. “Mbak!” Runa berlari mengejar, lalu berdiri di hadapan Viza. Napasnya ngos-ngosan. Adiknya itu tidak lagi mengenakan seragam office girl. Sepertinya dia malu mengenakannya saat di luar kantor sehingga harus melepas dan menyimpan di loker. “Dipanggil dari tadi nggak dengar apa?” ketus Runa.“Aku nggak ingin berurusan denganmu, Runa. Kamu selalu bikin masalah sama aku. Setelah tadi kamu s
“Jangan sentuh Viza!” tegas Vikram dingin, suaranya datar sekali.Sontak Mawar membelalak hebat. “Kamu itu supir ya! Beraninya menentangku!” Wanita itu menaikkan dagunya, angkuh.“Jangan kaitkan status sosial. Itu tidak ada sangkut pautnya!” Vikram datar sekali.“Hei, kamu nggak tau permasalahannya. Jangan asal main bela orang sembarangan. Perempuan sialan ini sudah merusak dokumenku! Lihat ini!” Mawar menunjukkan kertas yang basah dengan emosi, urat wajahnya sampai menegang. “Cara bicaramu menunjukkan kualitasmu!” Vikram melenggang pergi menggandeng Viza, tak peduli Mawar yang terus berteriak memaki mengucapkan kata-kata umpatan. Segala jenis nama-nama kebun binatang diserukan.Mawar emosi sekali akibat dokumen miliknya yang rusak.Vikram membawa Viza menjauh, lalu melepaskan tangan itu begitu saja. Dia berjalan menjauh tanpa mengatakan apa pun.Viza menatap punggung pria itu hingga menjauh. “Jangan diam kalau dibuli!” seru Vikram sebelum akhirnya menghilang dari pandangan. Bahkan
Ternyata benar apa kata orang. Dunia magang itu keras. Akan ada banyak rintangan dan tak luput dari pembulian. Ini yang perludigaris bawahi. Jadi mesti kuatkan mental jika ingin lulus.Memang tidak semua, tapi di sini salah satunya. Melihat tatapan seram dari para senior saja sudah cukup membuat Viza memahami situasi, bahwa ia masuk di lingkungan yang tak sehat. Harus kuat mental.Seluruh staf disibukkan dengan pekerjaan. Viza memulai pekerjaan dengan sangat buruk. Dugaannya akan mendapatkan pembulian tidak meleset.Dua wanita yang menjadi pembimbingnya itu memperlakukannya dengan semena-mena. Menghardik, membentak, menyuruh-nyuruh, memaki dan menghujat. Viza harus kebal, berusaha menebalkan kuping meski rasanya kesal sekali. Dalam hati mendoakan semoga para manusia zalim ini akan mendapatkan balasan setimpal.“Hei, curut busuk! Antar tuh dokumen ke ruangan personalia!” titah Mawar menunjuk dokumen.Viza mematuhi, ia mengambil dokumen yang ditunjuk. “Ruangan personalia dimana, Kak?”
Pria ini adalah penyebab durasi waktu perpisahan antara Viza dan ibu kandungnya semakin lama. Vikram tak ada bedanya dengan Johan yang sama-sama ingin memisahkan Viza dari ibu kandungnya. “Suit suiiit…!!” Salah seorang pria yang berdiri tak jauh dari Viza, bersiul sambil melirik wanita itu dengan senyum simpul.“Setelah berpetualang selama ini, kok aku baru tau ada bidadari secantik ini ya, bro?” Pria lain menimpali.“Yo’i. Perlu disentil nih.”Viza risih sekali. Sekilas ia melirik ke arah dinding lift yang memantulkan wajah para pria yang menggodanya. Meski pantulan wajah itu agak kabur, namun ia bisa melihat dengan jelas wajah-wajah para pria berdasi itu. Mereka pasti para pegawai di kantor ini.“Dek cantik, pegawai baru ya di sini?” tanya salah seorang pria berdasi cokelat.Viza diam saja. Antara takut, bingung juga malu. Pandangannya masih lurus ke depan.“Kok, diam saja, Neng?”“Dia malu, Bro.”“Minta nomer, Dek. Boleh?” Pria berdasi cokelat memegangi hp, siap menyalin nomer.V