“Maharnya apa, Viza?” tanya wali hakim.
Viza menggeleng. Ia tak tahu mahar apa yang dia mau. Tak pernah terlintas sedikit pun perihal mahar di hari pernikahan ini. Membayangkan menikah saja tidak, apa lagi kepikiran mahar. “Mahar itu bisa berupa uang, cincin, atau apa saja yang penting berfaedah. Nak Vikram sanggupnya kasih mahar apa?” tanya wali hakim. “Dengkul. Hi hi hi…” Runa berbisik dan terkekeh kecil, bahagia sekali saat bisa mengejek orang lain. Namun suaranya tetap kedengaran di telinga Viza. “Saya bisa kasih mahar ini.” Vikram melepas kalung hitam miliknya yang terbuat dari karet. Seisi ruangan dan orang-orang yang berjubel memadati pintu pun tertawa. “Nak Viza, apakah kamu ridha dinikahi dengan mahar ini?” tanya wali hakim. Beberapa detik Viza menatap kalung itu, kemudian ia berkata, “Maharnya surat Al Kahfi saja.” Tak tahu mengapa, lidah Viza berkata begitu. Setelahnya, ia tersadar bahwa bisa saja ia mempermalukan Vikram bila ternyata pria itu tak hafal surat tersebut. Seharusnya ia tidak berkata begitu, tapi sudah terlambat. Menarik ucapannya di depan banyak orang begini pun tak mungkin. “Nak Vikram, bisa baca ayat-ayat suci?” tanya wali hakim. Vikram menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Bisa baca surat Al Kahfi?” “Bismillahirahmanirrahiim… Al-hamdu lillaahillaziii angzala 'alaa 'abdihil-kitaaba wa lam yaj'al lahuu 'iwajaa….” Vikram membacakan ayat itu. Viza terkesiap, ia membeku menikmati lantunan ayat suci yang dibacakan dengan sangat merdu. Lafaznya tepat, bacaannya fasih, dan iramanya bagus sekali. Kulit Viza sampai merinding mendengarnya, hatinya pun basah. Ruangan yang sejak tadi ramai, mendadak sunyi, hanya irama lantunan ayat suci dari Vikram saja yang terdengar. Semua orang menyimak. Jika saja seorang ustad yang membaca surat Al Kahfi dengan suara indah, tentu tak seorang pun merasa heran. Tapi ini pria yang kelihatan berandal justru mampu membaca ayat suci dengan suara merdu. Tak kalah syahdu dari irama murotal yang kerap menggetarkan kalbu saat diputar. Seusai menyetor bacaan itu, Wali hakim menanyakan nama lengkap Vikram serta nama ayahnya. “Sudah belajar baca ijab? Coba baca dulu supaya nanti tidak salah pas ngucap!” sebut wali hakim. Viza teringat sesuatu, dia belum menyebutkan nama lengkapnya kepada Vikram, bahkan belum menyebutkan nama lengkap ayahnya pula, lalu bagaimana Vikram bisa mengucapkannya? Baru saja dia membuka mulut hendak menyebutkan nama lengkap, Vikram sudah duluan bersuara. “Saya terima nikahnya dan kawinnya Viza Shanum Azalia binti Johan Al Kahfi dengan mas kawin yang tersebut, tunai.” Vikram mengucapkannya tegas. Dari mana Vikram bisa tahu nama panjang Viza, lengkap dengan nama ayahnya pula? Bahkan Vikram menyebut nama Johan Al Kahfi, nama yang sama seperti yang disebutkan Mulan. Bukankah Viza belum sempat menyebutkan kedua nama itu? Wali hakim mengangguk. Ia meminta Vikram mengulang qabul untuk kedua kalinya sebelum akhirnya ia bersalaman dengan pemuda itu, bersiap mengucap ijab qabul. “Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Vikram Husan Al Din bin Muhammad Fatah dengan pinanganmu yang bernama Viza Shanum Azalia dengan mas kawinnya berupa ayat suci Al Qur'an surah Al Kahfi tunai.” “Saya terima nikahnya dan kawinnya Viza Shanum Azalia binti Johan Al Kahfi dengan mas kawin yang tersebut, tunai.” “Saah.” Viza memaku. Dia tak tahu harus berbuat apa. ketika punggung tangannya disentuh, barulah dia mengangkat wajah dan menatap mata teduh. Genggaman tangan Vikram terasa hangat. “Terima kasih,” lembut Vikram. *** Viza duduk di sisi kasur. Bingung harus berbuat apa. Ini adalah malam pertamanya dengan sang suami. Apakah ia harus melayani pria asing itu? Bagaimana jika Vikram meminta haknya? Viza benar-benar belum siap. Viza terkejut saat pintu kamar dibuka dan Vikram menyembul masuk. Jantung Viza rasanya berlarian. “Aku ke dapur dulu, Mas. Mau beresin dapur.” Viza beranjak pergi melewati Vikram dengan kepala menunduk. Vikram mengangguk sambil mengawasi Viza yang tertunduk melewatinya. Viza lega sudah keluar kamar. Dia langsung ke dapur. Tuhan, kenapa hidup Viza jadi begini? Masih sulit dipercaya jika ia harus diperistri lelaki asing. Viza berdiri menghadap meja, memegangi talenan, ada tomat di atas talenan. Ia sedang ingin memotong tomat untuk membuat jus. “Buatin jus dua! Buat ibu dan Runa. Cepetan! Langsung bawa ke depan!” Mulan muncul sebentar kemudian berlalu pergi. Selalu begini. Viza nyaris seperti pembantu yang melayani keluarganya sendiri, bahkan sampai saat ia sudah menikah pun masih diperbudak. Setelah sekian tahun hidupnya tertekan oleh keluarganya sendiri, yang seolah menganggapnya seperti pembantu, dianak tirikan, kerap diperlakukan tidak adil, kini penderitaannya belum berakhir. Ia harus menikah dengan lelaki asing. Harapannya selama ini tenggelam begitu saja. Hidupnya penuh dengan intimidasi dan paksaan. Bahkan dalam hal pernikahan pun ia tak bisa memilih pasangan hidup. Ini perkara masa depan, bukan perkara kecil. Tidak puaskah bapak, ibu dan Runa menyudutkan hidupnya? Satu-satunya keinginan untuk dijemput lelaki yang dicintai pun tidak terwujud. Lalu bagaimana kehidupannya kelak bersama dengan lelaki asing ini? Viza takut, takut justru nestapa menjemputnya. Air mata Viza akhirnya tumpah dengan deras. Tak sanggup lagi ia menahannya. Hatinya terlalu sakit. Bebannya terasa berat. Tubuhnya ambruk, jatuh ke lantai. Beberapa menit melepas tangis, masih saja hatinya sesak. Sampai akhirnya ia bangkit kembali, mengambil pisau dan mengangkat ke udara.“Viza, jangan!” Suara keras mengejutkan Viza bersamaan dengan tangan kokoh yang menahan tangannya di udara. Pisau di tangan Viza dirampas lalu dilempar.Tubuh Viza tak bisa bergerak, ada satu lengan besar dan kuat yang melingkar menahan badannya dari arah belakang supaya tak bergerak. Sedangkan tangan lain pria itu memegangi tangan Viza.Viza menoleh, menatap wajah Vikram yang sangat dekat dengannya. Tamparan hangat napas pria itu mengenai wajahnya. Vikram tampak panik sekali. Alis tebal pria itu sampai menyatu.“Apa yang kau lakukan? Jangan nekat! Berdosa! Dosa besar!” bisik Vikram lembut. Tatapannya teduh sekali.Dosa? Nekat? Apaan sih? Viza malah bingung. Oh.. Viza baru sadar maksud perkataan Vikram setelah beberapa detik otak kecilnya berpikir, Vikram mengira dia akan mengakhiri hidup. Padahal tadi Viza sedang ingin memuaskan kekesalan dengan mencincang tomat sepuasnya.“Jika sedang ada masalah, bicarakan saja! Jangan pendam sendiri! Itu akan memberatkan perasaanmu. Kamu sudah p
“Kok pakai tato, Mas?” tanya Viza.“Ini tidak permanen. Bisa dihapus," jawab Vikram.“Oh.” “Jadi kamu beneran tidak mau cerita nih? Biasanya, perempuan itu akan merasa lega saat bebannya diceritakan. Hatinya akan plong. Benar begitu kan?” sambung Vikram.“Aku nggak tahu.” “Berarti kamu tidak pernah punya teman curhat ya? Semua beban dipikul sendiri. Nanti cepat tua loh.” Vikram tersenyum. Tampan sekali. Viza pun tersenyum tipis. Inilah pertama kalinya Vikram melihat senyum di wajah cantik Viza setelah seharian wanita itu terlihat datar tanpa ekspresi.“Aku mau siapin makan malam dulu, Mas,” pamit Viza.“Bukankah ada Runa dan ibu? Mereka bisa siapkan. Kamu pengantin baru, setidaknya istirahat untuk malam ini.”Viza memutar mata canggung. “Aku ke dapur dulu, Mas.”Ia bergegas meninggalkan Vikram. Begitu cekatan tangannya mempersiapkan makan malam di meja makan. Menuangkan lauk pauk dan sayur dari kuali ke mangkuk, lalu menyajikannya ke meja. Tak lupa menyiapkan buah pencuci mulut.“
Lalu, dengan mulut berisi penuh makanan, Mulan melanjutkan perkataannya, “Ibu sudah mengurus Viza dari bayi sampai sekarang loh. Enak saja kamu mau main ambil begitu saja. setidaknya ada etika. Setelah kamu kasih ibu uang, baru kamu bisa bicara begitu. Modal dengkul saja, mana bisa berkuasa atas diri Viza.”Vikram menatap tajam pada Runa dan Mulan. Napasnya tersengal akibat emosi, namun ia tampak sedang berusaha menahan amarah supaya tidak meluap. “Viza bukan barang yang bisa dibeli,” sahut Vikram.“Bukan barang, tapi rongsokan. Hi hiii…” Mones menyahuti kemudian cekikikan.“Diam kau! di sini kau tidak ada hak bicara! Kau cuma pelayan warung kan?” tegas Vikram membuat Mones membungkam.“Kamu balik ke warung sana! Sudah malam. Tempat tidurmu di sana. Tugasmu jaga warung. Awas jangan sampai ada maling!” titah Mulan.“Iya siap, Bu. Lagian warung makan juga sudah ditutup, Bu. Ini juga belum larut. Saya Cuma mau nonton TV saja loh tadinya.” Meski menyahuti, Mones tetap bang
Viza membiarkan tangannya berada di pinggang Vikram, lalu tangan satunya pun berinisiatif maju dan memegangi pinggang sebelahnya.Viza mengira sosok garang seperti Vikram akan mengendarai motor ugal-ugalan, tapi ternyata tidak. “Kamu yakin bapakmu sakit?” tanya Vikram memecah keheningan.Viza tak tahu harus menjawab apa.Tak mendapat jawaban, Vikram pun berkata, “Mungkin saja bapakmu tidak sakit. Dia seperti sengaja menghindari pernikahan kita. Mungkin memang beliau tidak mau menikahkan kita. Makanya dia pura-pura sakit dan mencari wali hakim.”“Kenapa Mas Vikram berpendapat begitu?” tanya Viza pura-pura bod0h. Padahal dia juga berpikiran yang sama seperti yang dipikirkan Vikram. Tapi dia butuh penjelasan yang logis dari semua ini.“Tiba-tiba saja bapakmu dikabarkan jatuh sakit tapi seluruh keluargamu terlihat tak peduli. Mereka bahkan tidak menjenguk bapakmu atau minimal menunggu di puskesmas. Bukankah mereka menyayangi bapakmu? Lalu kenapa tidak ada tindakan apa pun saat bapakmu
“Kulihat ibumu memperlakukanmu berbeda dengan Runa. Apakah setiap hari dia begitu?” tanya Vikram.Pertanyaan itu membuat Viza mengenang rutinitas hidupnya yang kelam. Tidak sekalipun dia mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, demikian juga Runa yang kerap semena-mena terhadapnya.Sikap lembut Vikram tiba-tiba membuat Viza merasa ingin berbagi. Sudah sangat lama ia menimbun tekanan batin sendirian tanpa sekalipun membagi kepada siapa saja.Baginya, rasa lelah batin dan raganya sudah basi, sudah biasa. Sampai dia lupa bagaimana rasanya bahagia.“Aku pernah bertanya-tanya dalam hati. Apakah aku ini anak pungut? Kenapa ibu dan ayah membedakan aku dan Runa?” Kalimat itu mengalir begitu saja. “Kadang aku merasa iri pada Runa, tapi aku berhasil menyingkirkan rasa itu. Setiap hari, aku harus memghabiskan waktuku di warung untuk bekerja.”“Runa tidak membantumu di warung?”Viza menggeleng. “Nggak pernah sekalipun Runa turun ke dapur. Bahkan untuk ceplok telur pun dia mungkin nggak t
“Aku jadi supir di pabrik. Gajiku memang kecil. Tapi nanti gajinya biar masuk ke rekeningmu saja," ucap Vikram.“Oh… jadi nanti kalau Mas Vikram butuh uang, minta saja sama aku ya, Mas?” Viza kemudian mengambil hp dan membacakan nomer rekeningnya. “Ini juga udah lama banget nggak diisi. Kosong terus isi rekeningnya. Palingan cuma diisi pas mau transfer uang buku atau apalah.”Vikram menyimpan nomer rekening Viza.“Besok pagi-pagi Viza sudah harus bangun dan memasak. Jadi, menantu pun harus bantu-bantu kalau nggak ada kerjaan. Jangan jadi beban! Besok bangun subuh terus bantuin di dapur buat keperluan masak. Punya mantu nggak bisa kasih apa-apa, bisanya numpang hidup!” Suara Mulan merepet terdengar keras di ruang sebelah.Viza menatap Vikram, seolah memberi isyarat dari tatapannya kalau Vikram tidak perlu mengambil pusing perkataan ibunya.“Aku duluan ke kamar, Mas!”“Kok buru-buru?”“Mau tidur, besok harus bangun pagi.”“Oh… Kirain mau ngajakin apa gitu.”Maksud perkataan Vikram apa
Viza mengulang pandangan. Siapa tahu ia salah lihat. Bisa jadi seratus ribu dan matanya kurang tepat saat melihatnya. Tapi… ternyata ia tidak salah. Setelah mengulang beberapa kali, bahkan sampai menghitung jumlah nol, memang itu seratus juta.Kok bisa? Uang dari mana ini? Banyak sekali. Fantastis.Viza tak pernah melihat angka sebanyak itu. Nominal terbesar di rekeningnya hanya tiga juta. Itu pun numpang lewat saja saat ada keperluan untuk bayar sesuatu via transfer.Viza mendadak gugup. Uang segitu membuatnya jadi panas dingin.Setelah selesai memasak, sekitar jam sepuluh dia sudah bisa membuka warung makan dan menjadi pelayan bersama Mones. Begitulah rutinitas kesehariannya.Lelah? Jangan ditanya. Badannya sering sakit karena terkadang tak sempat makan saking sibuknya.“Air kobokan di teko semua meja belum diisi tuh! Cepat isi! Meja ada yang belum dilap!” Mones cerewet sekali. Main tunjuk sana sini.Dia kemudian mengambili buah-buahan dari kulkas untuk dipajang di etalase. Meskip
Viza menyimpan hp dan menyusul ke depan, ia menyusun teko untuk cuci tangan berisi air ke meja.Pantesan Mones teriak-teriak garang begitu, rupanya ada Mulan dan Runa di meja kasir. Dua insan itu tampak sibuk menghitung uang receh pendapatan semalam.Beberapa orang pelanggan sudah duduk mengisi meja, menunggu pelayanan.Mones segera mendatangi meja yang diduduki pelanggan. “Mau pesan apa, Mas?”“Maaf, aku dilayani Viza saja!” tolak pelanggan saat dilayani oleh Mones. Pelanggan sudah sangat hafal dengan Viza. Mayoritas mereka memang menyukai pelayanan Viza yang sopan dan ramah.“Ya ampun, Viza mulu. Udah meringis gigi ampe kering juga masih ditolak,” celetuk Mones sambil garuk kepala. “Viza, layani tuh custumer.”Mones mengambil alih pekerjaan lain.Viza menghampiri dua pria yang menunggu di meja sudut. Hanya ada delapan meja, keseringan meja penuh saking ramainya.“Pesan apa, Bang?” tanya Viza. Warung itu menyediakan makan dengan cara pelayan yang mengambilkan nasi dan lauk seporsi d
Hati Viza kembali gundah. Perasaan bahagia kini bercabang. Antara meragukan cinta Vikram, namun juga merasa sedang jatuh cinta.Suara pintu tertutup di sebelah menyadarkan Viza kalau suaminya sudah duduk di samping.Mobil melaju.“Aku ingin mengajakmu bulan madu, ke luar negeri. Belum pernah ke Mesir kan?” tanya Vikram menatap Viza dengan tatapan hangat.“Belum,” jawab Viza agak malu. Ditatap seintens ini oleh suami membuatnya jadi salah tingkah.“Kalau begitu kita ke Mesir, kita ke Alexandria, kuil abu simbel, piramida, benteng salahudin, luxor dan banyak lagi. Setelah itu ke Libya. Dan ke Arab. Mau?” sambung Vikram.Kota impian. Arab. Sejak dulu Viza sangat ingin menginjakkan kaki ke sana. Ini kesempatan emas. “Mau banget, Mas,” jawab Viza senang.“Kalau begitu kita akan persiapkan semuanya lebih cepat. Satu minggu lagi kita terbang ke Mesir.” Vikram melihat sekilas ke jam tangan yang menampilkan kalender. Tanggal 20 kita berangkat.”Viza tersenyum senang sekali. “Mimpi apa aku b
“Berhenti di toko jam!” titah Vikram.“Siap, Mas!” Pengawal di balik kemudi mengangguk patuh. Mobil bergerak pelan menuju ke toko besar.Vikram lebih suka dipanggil dengan sebutan ‘Mas’ ketimbang panggila ‘Tuan’ atau apalah sejenisnya. Panggilan ‘Mas’ lebih fleksibel dan tidak memberi jarak antara bos dan anak buah.“Hei, kenapa berhenti di sini?” Vikram menatap ke luar, tidak sesuai dengan arahannya.“Bukankah Mas Vikram minta berhenti di toko jam?” “Oh ya ampun, ini toko jam dinding. Maksudku jam tangan.”“Astaghfirullah.. maaf, Mas.” Mobil kembali bergerak menuju ke toko yang disebutkan, tak jauh berbelok karena toko bersebelahan. Pengawal di belakang tertawa kecil.Mobil berbelok dan diparkirkan di halaman toko, pengawal membukakan pintu untuk Viza, bergantian membukakan untuk Vikram.“Terima kasih,” ucap Viza sesaat setelah pintunya dibukakan oleh pengawal.Vikram mengajak Viza memasuki toko jam tangan. Seperti biasa, pria itu memberi akses kepada Viza untuk berjalan di depan.
Mulan menelan saliva. “Vikram, kamu boleh membalaskan sakit hati Ibumu kepada kami, tapi kamu tahu kan kalau dia itu bukan ibu kandungmu, lalu kenapa sampai harus semarah ini kepadaku?”“Masih ingat bagaimana hidup Viza selama puluhan tahun bersama ibu kan?” Vikram balik tanya, membuat Mulan seperti kena skak.“Mm maksudmu… kamu mau membalaskan perbuatan ibu ke Viza?” Tatapan Mulan kemudian tertuju ke wajah Viza. “Mengadu apa saja kamu ke Vikram?”Viza diam membisu, lebih karena tak ingin banyak bicara alias malas. Sudah terlalu lama ia menelan rasa lelah, tak ingin lagi menambah rasa lelah itu.“Jangan salahkan Viza. Dia sama sekali tidak mengadu apa pun padaku, aku punya mata-mata akurat. Mones itu mata-mataku. Dia melaporkan semua kejadian yang terjadi di rumah ini kepadaku,” ucap Vikram. “Sebentar lagi penghuni baru rumah ini akan datang, ibu tolong cepat berkemas.”“Jadi kamu mengusir ibu?” Mulan menatap Vikram penuh permohonan.Hanya senyum simpul yang ditunjukkan oleh Vikram.“
“Kebetulan hari ini supir saya menikah. Jadi saya menghadiri pernikahannya bersama istri,” ucap Vikram sembari menepuk pundak Leo. Yang ditepuk mengangguk. “Terima kasih Mas Vikram sudah bersedia hadir,” balas Leo menunduk sopan. “Silakan dilanjutkan acaranya!” ucap Vikram. Segera penghulu memulai akad nikah. Acara benar-benar tidak khidmat, semua orang sibuk bergunjing, membicarakan tentang Mulan yang ternyata mendapatkan menantu seorang supir. Sedangkan nasib Viza berubah seratus delapan puluh derajat, langsung tajir. Sosok Vikram yang dulu terlihat sebagai berandalan, kini datang dengan status yang berbeda, dia bahkan mampu menaikkan derajat sang istri. “Walah walah, rupanya suaminya si Runa cuma supir. Lah kemarin nyokapnya sibuk koar koar ke sana sini kalau calon mantunya kay4.” “Lah malah yang kay4 itu rupanya suaminya Viza. Si abang ganteng yang jagoan kemarin itu loh.” “Iya. Suara ngajinya juga bagus. Beruntung banget ya Viza?” “Kemarin dateng padahal wujudnya bera
Mobil mewah warna silver membuat warga menatap bengong. Mereka bertanya-tanya, siapa tamu yang datang menggunakan mobil mewah itu. Dan mereka dibikin tercengang saat melihat sosok yang keluar dari mobil. Viza. Bahkan wanita itu keluar dari mobil dengan pintu yang dibukakan oleh pengawal. Tampak pula pengawal berapakaian hitam itu membungkuk sopan pada Viza. Dia terlihat sebagai wanita terhormat.Buset. Penampilan Viza menjadi perhatian semua orang. Fokus semua mata mengarah pada wanita itu. Gaun lengan panjang mewah warna abu-abu dipadu sendal heels tinggi warna senada, jilbab kekinian menyempurnakan tampilannya. Sangat berkelas. Hampir saja semua mata terkecoh dan tak mengenal Viza jika saja tak memperhatikan secara seksama. Menyusul Vikram yang keluar dengan tampilan yang tak kalah mencemgangkan, stelan jas warna abu-abu seakan couple-an dengan warna baju Viza. Sebenarnya ada drama menarik di balik pakaian yang mereka kenakan. Itu adalah baju baru. Iya, baru dibeli di perjalanan
Di luar, orang-orang terdengar sibuk sekali. Bukan sibuk rewang karena memang tak ada kenduri seperti yang sering dilakukan orang-orang saat ada hajatan, namun sibuk ngerumpi dan menggosip. Antara satu mulut dan mulut lain saling sahut. “Udah selesai belum sih, Bu? Dari tadi dandanin mulu, lama banget sih?” Runa pegel duduk di kursi dengah muka ditowel-towel oleh peralatan make up seadanya. “Sebentar.” “Cepetan, Bu. Aku pegel nih.” “Ini hidungmu jendol, bibir juga mmeble. Bedaknya jadi ketebelan di hidungmu.” Runa mnegambil kaca, menatap pantulan wajahnya. “Aaaaaaaaaa……” jerit Runa membahana. “Runa!” Mulan menabok mulut Runa pakai kipas tangan, membuat Runa kaget dan membungkam. “Jerit sembarangan aja! Bikin kaget jabang bayik!” Pintu kamar terbuka, kepala beberapa orang tetamgga menyembul. “Ada apa, Runa? Kok teriak?” tetangga melontar pertanyaan. “Nggak ada apa-apa.” Mulan mendekati pintu. “Maaf ya Jeng, ini ruangan privasi.” Mulan menutup pintu dan menguncinya. “Ibu ken
Vikram cepat melipat laptop. Juga mengemas kertas-kertas di meja dan membalikkannya hingga kertas-kertas itu di posisi menelungkup. Gerakannya sangat cepat, terburu-buru sekali sampai Viza tak sempat melihat isi kertas. Aneh, kenapa kertas-kertas itu hanrus dibalikkan? Sepertinya Vikram sedang menyembunyikan isi kertas dari Viza. “Ada apa kamu kemari, Viza?” Vikram bangkit berdiri. “Aku mau… aku pinjam laptopmu, Mas!” Viza segera mendekat pada Vikram namun kalah cepat. Vikram sudah lebih dulu meninggalkan kursi. Pria itu langsung merengkuh pundak Viza. “Kita harus secepatnya ke acara pernikahan Leo. Hari ini dia menikah.” Vikram merangkul Viza keluar ruangan. Viza sempat menoleh ke meja, ada kertas yang terjatuh di bawah meja. Sedikit ujung kertas kelihatan di pandangan mata Viza. Benar, itu adalah desain gambar untuk kartu undangan pernikahan. Sayangnya gambar wajah wanita di foto itu tak kelihatan. Hanya tanpa wajah Vikram di dalam konsep gambar itu. Benarkah itu wuju
Jari lentik Viza membuka kertas dari dalam amplop. Pelan, ia mulai membaca deretan demi deretan tulisan yang tertera di sana.Beberapa kali ia tersandung dan hampir menelungkup akibat pandangan mata fokus pada bacaan sedangkan kaki terus berjalan. Kalau sekali lagi ia kesandung, pasti bakalan mencium lantai. Sekilas pandangan Viza mengedar ke sekitar mencari kursi, namun tak satu pun kursi berada di dekatnya. Rumah terlalu luas. Viza perlu berjalan cukup jauh untuk sampai ke kursi yang ada di kejauhan sana.Alhasil, Viza memilih ngejeprok saja duduk di lantai sekenanya. Matanya jeli membaca kata demi kata.(Ini surat kedua. Viza Shanum Azalia, tujuanku baik, yaitu mau kasih tahu kamu tentang apa yang kamu tidak ketahui supaya kamu bisa tahu mana yang sungguh-sungguh teman dan mana yang musuh dalam selimut.Tapi ini tergantung padamu, mau percaya atau tidak. Yang jelas, semua yang aku sampaikan ke kamu, sudah kamu buktikan bahwa itu benar bukan? Tidak perlu kamu tahu siapa aku, yan
“Kita salah lawan, Bu. Lagian, Mas Vikram berbuat hal itu juga karena membalaskan perilaku bapak dan ibu,” ucap Runa.Deringan ponsel menghentikan pembicaraan mereka. “Leo nelepon, Bu.” Runa menatap nomer yang tertera di layar.“Ya udah, jawab!”Runa beberapa kali menggeser tombol hijau tapi tombol tak kunjung tergeser.“Duuu… ini hape ngeselin banget. Entah apanya yang kena, layarnya payah banget digeser. Ampun deh.” Runa kesal semdiri. Hape nya sudah mulai sakit-sakitan. Mau diperbaiki juga tak punya uang, beli baru apa lagi. Kalau pun ada uang, tentu lebih diutamakan untuk keperluan makan.Setelah berjuang menggeser layar, barulah tombol tergeser.“Runa, aku tidak bisa banyak ngomong, waktuku tidak banyak karena sebentar lagi mau antarin bos pergi. Mas Vikram minta supaya kita nikah. Jadi siapkan semuanya secepatnya,” ucap Leo di seberang tanpa berbasa-basi.“Nikah?”“Kamu tidak mau nikah sama aku, bapaknya anak di kandunganmu?”“I iya… mau gimana lagi. Dari pada nggak dinikahin j