“Oalaahh, Rion dari tadi ngeledek Boni karena cemburu? Ya ampun ini cuma permainan, Nak!” ucap Bu Sri setelah mendengar perkataan Bella tadi, dan seisi kelas menyorakinya.
“Ih enggak Bu! Siapa yang cemburu? Saya nggak suka tu sama modelannya Bella! Apalagi kalau sama Boni, ya dia kalah jauh Bu!” jawab Rion kelabakan, karena senjata makan tuan.
“Ternyata selama 2 tahun ini, sudah menyimpan rasa," ledek Bu Sri sambil menahan tawanya.
“Enggak Bu! Sumpah ini!” Rion yang ingin menyakinkan Bu Sri dan teman-temannya, mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya sejajar dengan kepala.
“Ya sudah! Biarlah untuk sekarang perasaan Rion ia pendam, nanti kalau sudah tidak kuat, siap-siap kamu terima ya Bella!” sontak ledekan di dalam kelas semakin menjadi-jadi. Bahkan Rain sampai memukul-mukul meja, berbeda dengan Garda yang hanya tersenyum.
“Ya sudah, silahkan kalian berdua buka!”
Boni dan Bella pun membuka kertas masing-masing. Membaca judulnya, dah mereka berdua menghembuskan nafas lega. Karena di kertasnya ada rangkaian kalimat, membuat mereka tidak perlu membuat puisi sendiri.
“Wah, ternyata pasangan pertama kita ini mendapat potongan puisi dari satu puisi yang sama, jadi mereka hanya perlu membacanya, menyambungkannya agar jadi satu kesatuan. Dimulai dari yang ada judulnya,” ucap Bu Sri.
Boni pun mulai membaca,
“Sajak Putih, karya Chairil Anwar.
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi
Malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa,”
“Dan dalam dadaku memerdu jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah.”
Sambung Bella. Membuat seisi kelas bertepuk tangan karena puisi yang baru saja dibacakan sangat indah.
“Nah, seperti itulah permainan ini. Tapi ingat, siap-siap saja ada satu kertas kosong ya!” ingat Bu Sri dan mempersilahkan Boni dan Bella kembali ke bangkunya.
Satu persatu pasangan yang telah dipilih Bu Sri pun bergantian maju. Hingga tiba di tengah-tengah kegiatan, Bu Sri kembali melihat daftar absensinya.
“Sekarang pasangan entah keberapa, emmmm, Rain dan,” Ibu Sri terlihat berfikir.
“Garda!” ucapnya dan sontak seisi kelas heboh.
“Wah Bu, jangan sama Garda Bu! Saya yang sama Garda!” kurang lebih begitulah protes siswi di kelas IPS 2.
“Wih, gas in Bu!” dukungan siswa ke pasangan satu ini.
“Silahkan kalian berdua maju dan ambil kertas ini!” sambil menyodorkan kertas di mejanya.
Mereka berdua berjalan dengan santai, sesampainya di meja Bu Sri, Rain mengambil kertas origami berwarna hijau tua, sedangkan Garda mengambil origami berwarna biru tua.
“Kalau dilihat-lihat, kalian cocok ya? Dari sekian pasangan yang maju, hanya kalian yang bersikap seolah ini memang permainan biasa,” puji Bu Sri, dan suara ketidak terimaan dari teman cewek Rain memenuhi ruangan.
“Cocok dari Hongkong!” jawab Rain dengan lirihnya dan hanya terdengar pula oleh Garda.
“Gue juga nggak mau dicocok-cocokin sama loe!” balas Garda.
“Dikira lagi cocok tanam, pake dicocok-cocokin!” sewot Rain dan membuat Garda menarik bibirnya membuat senyum kecil.
Deg. Garda terkejut membuka kertasnya.
Deg. Rain dua kali lebih terkejut membuka kertasnya.
“Baiklah, siapa yang mau membaca duluan?” tanya Bu Sri yang terlihat lebih antusias.
“Rain aja dulu Bu, cewek pertama,” ucap Garda membuat Rain menoleh.
“Enggak Bu! Garda dulu! Kan dari tadi cowok dulu yang baca,” sanggah Rain.
“Ya udah, yang baca Garda dulu!” Bu Sri pun mengangguk ke arah Garda, dan Garda segera menyiapkan suaranya.
“Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Damono
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada,”
Suara Garda membuat suasana kelas sunyi senyap, para penghuni kelas memekik dan tersenyum tertahan.
“Bagus sekali Garda! Pembacaanmu seperti dari hati! Penjiwaan kamu baik sekali!” puji Bu Sri dan Garda mendapat tepukan dari teman sekelasnya.
“Baiklah, sekarang giliran kamu Rain! Silahkan kamu baca!” perintah Bu Sri. Namun Rain hanya diam mematung.
“Ada apa Rain?” tanya Bu Sri memastikan.
“Kosong Bu,” ucap Rain dan membuat seisi kelas bersamaan menjatuhkan rahang bawahnya, sempurna melongo.
“Nah, ini yang Ibu tunggu. Kamu beruntung bisa mendapatkannya Rain. Sekarang, buatlah puisi sebisamu,” Bu Sri tersenyum.
Rain menelan ludah. Menghembuskan nafasnya dan berfikir sebentar.
“Aku ingin dan mau dicintai dengan sederhana, seperti katamu
Tapi aku tak ingin dicinta dengan biasa
Sekedar janji manis dan sandiwara
Aku juga tak ingin dicinta dengan biasa
Hanya perhatian dengan kata-kata
Aku pun tak ingin dicinta dengan biasa
Dengan rayuan pembuat rongseng di mata
Aku ingin dan mau dicinta dengan biasa, seperti katamu
Meski sebenarnya aku ingin dicinta dengan luar biasa
Bak romeo juliet yang rela bertaruh nyawa
Aku ingin dicinta dengan luar biasa
Seperti cerita Rama Sinta yang penuh makna
Aku ingin dicinta dengan luar biasa
Seakan aku maha karya, Monalisa
Yang dikenang abadi tak ditelan masa,” ucap Rain dan membuat seisi kelas hening beberapa saat dan bergemuruh beberapa detik kemudian.
“Gila sih Rain, loe keren banget!” ucap Bella sambil bertepuk tangan dan menatap Rain dengan mata bulat sempurna.“Apanya yang keren? Biasa aja ih!” timpal Rain sambil menghempaskan pantatnya dengan kasar di bangku miliknya.“Apa lihat-lihat?” sergah Garda ketika melihat Rain yang memandang sebal ke arahnya, saat ia melewati bangku milik Rain.“Mimpi apa si loe Rain tadi malem? Kok bisa-bisanya loe dipasangin sama Garda. Ah gue juga mau,” ucap Bella berbisik di telinga Rain sambil melirik Garda yang ada di bangku belakang mereka.“Cuma kebetulan Bel! Emang ganteng sih tapi Garda tu, tapi nggak usah ngarep loe!” jawab Rain sambil menjitak kepala Bella.Di depan sana, Bu Sri sedang membereskan kertas dan buku yang tadi dibawanya. Mengecek buku absensi agar tak ada yang terlewat ia absen.“Loe nggak baper apa? Gue lihat-lihat loe cocok deh sama Garda,” godanya.
"Sialan!" umpat Garda sambil berdiri mengibaskan sampah di dadanya, membuat plastik es teh milik Boni jatuh di bawah mejanya."Rasain loe! Berani-beraninya ngatain gue bocah!" jawab Rain sambil terus melemparkan apa saja ke arah Boni, yang tidak ada tanda-tanda akan berhenti."Emang loe kayak bocah! Aneh!" ucap Garda dan mendapat timpukan kertas ulangan matematika milik Rain yang terpahat nilai 20 dengan tinta merah. Melihat itu Garda pun melemparkan kertas itu kembali ke Rain."Pantes," ucapnya dan memutar bola matanya."Udah Rain! Pak Arsan bentar lagi masuk kelas! Masak iya kelas kita kayak tong sampah gini!" Bella mencoba memeluk Rain, mencegah kedua tangan Rain untuk melemparkan barang-barang di sekitarnya."Lepasin Bel! Lagian biarin aja kotor, kayak nggak pernah liat aja loe!" ucap Rain sambil berusaha melepaskan diri."Bon! Bon! Pak Arsan dateng Bon!" teriak Bara dari pintu kelas. Membuat Boni menoleh sekilas dan tetap melemparkan sa
"Sudah belum bersihin kelasnya Rain, Boni?" Ucap Pak Arsan ketika memasuki ruang kelas.“Sudaahh Paakk!” jawab Rain dengan semangat yang dibuat-buat karena kesal.“Baiklah, sekarang bisa kita mulai pelajaran matematika hari ini?” tanya Pak Arsan dan hanya diangguki malas oleh penghuni kelas, kecuali Bella dan Garda.“Bisa Pak!” ucap mereka berdua dengan tegas dan bersamaan.“Nah! Seperti ini seharusnya murid Bapak! Diajak belajar matematika semangat, menjawab dengan tegas, tidak membuat ulah!” ucap Pak Arsan sambil melihat ke arah Bella dan Garda bergantian.“Kamu seharusnya bisa mencontoh teman kamu, si Bella, Rain! Murid teladan!” tambahnya lagi.“Bapak hobi banget sih banding- bandingin orang," jawab Rain memutar bola matanya malas.“Bapak bandingin kamu supaya kamu sadar, bisa jadi murid yang lebih baik lagi,”“Ya sudah, buka buk
Bel tanda pulang sekolah pun berbunyi. Seluruh siswa-siswi dari kelas X sampai XII berhamburan dari kelas masing-masing bak gerombolan lebah mencari pelaku pengobrak-abrik sarang. Saling sikut, saling mendahului, saling menginjak, saling menjitak. Tak bisa dibedakan mereka berpelukan atau berdesakan. Amat sesak, membuat mata yang melihatnya penat.“Cabut yuk!” ucap Rion menepuk bahu Nando dan berjalan ke arah Rain.“Mau ke cafe dulu nggak? Nongki-nongki kek biasa,” tanya Nando sambil mengikuti Rion dari belakang, seperti anak ayam yang mengikuti induknya.“Aduh! Males ah gue, males ketemu mbak-mbak pelayan yang sok kemarin, iuu,” jawab Rain sambil memasukkan buku terakhir di mejanya, berjalan keluar kelas diikuti Rion dan Nando.“Yakelah Rain, cuma sama mbak-mbak pelayan sok aja loe pake ngambek nggak mau ke cafe. Kan belum tentu tu mbak-mbak pelayan hari ini jaga. Bisa juga temennya,” Rion mencoba mencari a
"Assalamualaikum Ma, Rain pulang!” salam Rain ketika membuka pintu rumahnya.“Ma?” panggil Rain karena tidak ada jawaban dari Mamanya.“Ma? Rain udah pulang nih! Mama dimana?” ucapnya lagi sambil mencari Mamanya di dapur.“Ma?” teriaknya lebih keras.“Iya Rain! Mama di kamar mandi, habis nyuci baju ini!” mendengar jawaban dari Mamanya, Rain memutuskan menghampirinya.“Loh kok pakai tangan Ma? Mesin cucinya kenapa lagi? Rusak ya?” segera Rain berjongkok di samping Mamanya, dan mencoba mengambil alih pekerjaan yang tengah dilakoni Mamanya.“Rain! Nggak usah, biar Mama aja yang nyuci, kamu kan baru aja pulang. Sana ganti baju dulu, terus makan siang,” perintah Mamanya namun tak dihiraukan oleh Rain.“Mama cubit ya! Satu, dua,”“Eh jangan dong Ma! Jangan dicubit. Mama udah makan siang?” tanya Rain.“Hehe, belum nih, ha
Pagi harinya, Rain berangkat sekolah dengan menaiki angkutan umum berwarna biru dari rumahnya. Ia berjalan melewati gerbang sekolah dengan senyuman riangnya.“Senyum-senyum mulu loe Rain!” Ucap Nando yang entah dari mana datangnya sudah berada di samping Rain.“Apaan si loe? Kayak demit tahu nggak loe!” ucap Rain sambil menyingkirkan tangan kiri Nando yang tanpa ia sadari sudah ada di pundaknya.“Yakelah galak amat loe! Mana ada demit ganteng kayak gue gini hah?” ucapnya sambil merapikan kerah bajunya.“Elooe? Ganteng? Ganteng dari Hongkong!” balas Rain lagi dan disambut cengiran kuda khas Nando, mereka berdua pun berjalan beriringan sampai tiba di kelasnya.“Eh si nyonya sudah datang!” sapa Rion yang sudah terlebih dahulu berada di kelas Xl IPS 2. Sedang duduk di kursi Rain bersama dengan Bara, Boni, Arya dan teman-teman cowoknya yang lain. Maklum sudah menjadi tradisi bahwa bangku
“Nggak usah sok baik sama gue!” ucap Garda setelah ia tersadar dengan siapa ia berbicara, cewek yang ia katakan aneh. Cewek yang akhir-akhir ini selalu membuatnya emosi.Rain yang mendengar dirinya dibilang sok baik pun hanya mengernyitkan keningnya dan tersenyum.“Terserah sih loe mau ngomong apa ke gue. Tapi kalau gue sok baik, apa untungnya buat gue? Kalau gue nggak tulus apa untungnya gue bersiap diri buat dengerin cerita loe yang gue aja nggak tahu loe buat dramatis atau enggak,” jawabnya enteng.“Alah loe kayak gini biar loe bisa dapat kunci ngebully gue kan? Biar loe bisa bilang ke temen-temen kan kalau gue sadboy! Ngaku aja loe nggak usah munafik!” kini sempurna Garda menghadap ke arah Rain.“Terserah loe mau ngomong apa, terserah loe mau berfikiran buruk ke gue kayak gimana. Terserah loe mau percaya sama gue atau enggak, nggak ada ruginya buat gue,&r
“Rain!” teriak Bella ketika melihat gadis berambut pirang dan berbadan atletis serta proporsional itu berjalan sendirian di koridor sekolah.“Rain!” panggilnya lagi, namun gadis yang dipanggilnya tak kunjung menoleh. Bella berlari menghampirinya dan tahu alasan kenapa teman sebangkunya itu tidak mendengar panggilannya.“Raaaaiiiinnnnnnn!” teriaknya sekali lagi tepat di telinga kanan Rain, sambil menyopot earphone yang Rain kenakan.“Aduuhh! Kuping gue sakit gila! Loe apa-apaan si Bel?” sewot Rain yang merasa paginya sudah berantakan.“Makanya kalau pagi-pagi jangan jalan pakai earphone,”“Gue kalau nggak pakai earphone, sepanjang koridor nih, gue cuma denger orang gosip terus tauk!” ucapnya sambil merangkul bahu Bella, menggiringnya agar mempercepat langkahnya.“Selow aja kali Rain, bel masuk masih lama juga ih,” Bella yang tak suka diburu-buru be
“Nggak usah sok baik sama gue!” ucap Garda setelah ia tersadar dengan siapa ia berbicara, cewek yang ia katakan aneh. Cewek yang akhir-akhir ini selalu membuatnya emosi.Rain yang mendengar dirinya dibilang sok baik pun hanya mengernyitkan keningnya dan tersenyum.“Terserah sih loe mau ngomong apa ke gue. Tapi kalau gue sok baik, apa untungnya buat gue? Kalau gue nggak tulus apa untungnya gue bersiap diri buat dengerin cerita loe yang gue aja nggak tahu loe buat dramatis atau enggak,” jawabnya enteng.“Alah loe kayak gini biar loe bisa dapat kunci ngebully gue kan? Biar loe bisa bilang ke temen-temen kan kalau gue sadboy! Ngaku aja loe nggak usah munafik!” kini sempurna Garda menghadap ke arah Rain.“Terserah loe mau ngomong apa, terserah loe mau berfikiran buruk ke gue kayak gimana. Terserah loe mau percaya sama gue atau enggak, nggak ada ruginya buat gue,&r
Pagi harinya, Rain berangkat sekolah dengan menaiki angkutan umum berwarna biru dari rumahnya. Ia berjalan melewati gerbang sekolah dengan senyuman riangnya.“Senyum-senyum mulu loe Rain!” Ucap Nando yang entah dari mana datangnya sudah berada di samping Rain.“Apaan si loe? Kayak demit tahu nggak loe!” ucap Rain sambil menyingkirkan tangan kiri Nando yang tanpa ia sadari sudah ada di pundaknya.“Yakelah galak amat loe! Mana ada demit ganteng kayak gue gini hah?” ucapnya sambil merapikan kerah bajunya.“Elooe? Ganteng? Ganteng dari Hongkong!” balas Rain lagi dan disambut cengiran kuda khas Nando, mereka berdua pun berjalan beriringan sampai tiba di kelasnya.“Eh si nyonya sudah datang!” sapa Rion yang sudah terlebih dahulu berada di kelas Xl IPS 2. Sedang duduk di kursi Rain bersama dengan Bara, Boni, Arya dan teman-teman cowoknya yang lain. Maklum sudah menjadi tradisi bahwa bangku
"Assalamualaikum Ma, Rain pulang!” salam Rain ketika membuka pintu rumahnya.“Ma?” panggil Rain karena tidak ada jawaban dari Mamanya.“Ma? Rain udah pulang nih! Mama dimana?” ucapnya lagi sambil mencari Mamanya di dapur.“Ma?” teriaknya lebih keras.“Iya Rain! Mama di kamar mandi, habis nyuci baju ini!” mendengar jawaban dari Mamanya, Rain memutuskan menghampirinya.“Loh kok pakai tangan Ma? Mesin cucinya kenapa lagi? Rusak ya?” segera Rain berjongkok di samping Mamanya, dan mencoba mengambil alih pekerjaan yang tengah dilakoni Mamanya.“Rain! Nggak usah, biar Mama aja yang nyuci, kamu kan baru aja pulang. Sana ganti baju dulu, terus makan siang,” perintah Mamanya namun tak dihiraukan oleh Rain.“Mama cubit ya! Satu, dua,”“Eh jangan dong Ma! Jangan dicubit. Mama udah makan siang?” tanya Rain.“Hehe, belum nih, ha
Bel tanda pulang sekolah pun berbunyi. Seluruh siswa-siswi dari kelas X sampai XII berhamburan dari kelas masing-masing bak gerombolan lebah mencari pelaku pengobrak-abrik sarang. Saling sikut, saling mendahului, saling menginjak, saling menjitak. Tak bisa dibedakan mereka berpelukan atau berdesakan. Amat sesak, membuat mata yang melihatnya penat.“Cabut yuk!” ucap Rion menepuk bahu Nando dan berjalan ke arah Rain.“Mau ke cafe dulu nggak? Nongki-nongki kek biasa,” tanya Nando sambil mengikuti Rion dari belakang, seperti anak ayam yang mengikuti induknya.“Aduh! Males ah gue, males ketemu mbak-mbak pelayan yang sok kemarin, iuu,” jawab Rain sambil memasukkan buku terakhir di mejanya, berjalan keluar kelas diikuti Rion dan Nando.“Yakelah Rain, cuma sama mbak-mbak pelayan sok aja loe pake ngambek nggak mau ke cafe. Kan belum tentu tu mbak-mbak pelayan hari ini jaga. Bisa juga temennya,” Rion mencoba mencari a
"Sudah belum bersihin kelasnya Rain, Boni?" Ucap Pak Arsan ketika memasuki ruang kelas.“Sudaahh Paakk!” jawab Rain dengan semangat yang dibuat-buat karena kesal.“Baiklah, sekarang bisa kita mulai pelajaran matematika hari ini?” tanya Pak Arsan dan hanya diangguki malas oleh penghuni kelas, kecuali Bella dan Garda.“Bisa Pak!” ucap mereka berdua dengan tegas dan bersamaan.“Nah! Seperti ini seharusnya murid Bapak! Diajak belajar matematika semangat, menjawab dengan tegas, tidak membuat ulah!” ucap Pak Arsan sambil melihat ke arah Bella dan Garda bergantian.“Kamu seharusnya bisa mencontoh teman kamu, si Bella, Rain! Murid teladan!” tambahnya lagi.“Bapak hobi banget sih banding- bandingin orang," jawab Rain memutar bola matanya malas.“Bapak bandingin kamu supaya kamu sadar, bisa jadi murid yang lebih baik lagi,”“Ya sudah, buka buk
"Sialan!" umpat Garda sambil berdiri mengibaskan sampah di dadanya, membuat plastik es teh milik Boni jatuh di bawah mejanya."Rasain loe! Berani-beraninya ngatain gue bocah!" jawab Rain sambil terus melemparkan apa saja ke arah Boni, yang tidak ada tanda-tanda akan berhenti."Emang loe kayak bocah! Aneh!" ucap Garda dan mendapat timpukan kertas ulangan matematika milik Rain yang terpahat nilai 20 dengan tinta merah. Melihat itu Garda pun melemparkan kertas itu kembali ke Rain."Pantes," ucapnya dan memutar bola matanya."Udah Rain! Pak Arsan bentar lagi masuk kelas! Masak iya kelas kita kayak tong sampah gini!" Bella mencoba memeluk Rain, mencegah kedua tangan Rain untuk melemparkan barang-barang di sekitarnya."Lepasin Bel! Lagian biarin aja kotor, kayak nggak pernah liat aja loe!" ucap Rain sambil berusaha melepaskan diri."Bon! Bon! Pak Arsan dateng Bon!" teriak Bara dari pintu kelas. Membuat Boni menoleh sekilas dan tetap melemparkan sa
“Gila sih Rain, loe keren banget!” ucap Bella sambil bertepuk tangan dan menatap Rain dengan mata bulat sempurna.“Apanya yang keren? Biasa aja ih!” timpal Rain sambil menghempaskan pantatnya dengan kasar di bangku miliknya.“Apa lihat-lihat?” sergah Garda ketika melihat Rain yang memandang sebal ke arahnya, saat ia melewati bangku milik Rain.“Mimpi apa si loe Rain tadi malem? Kok bisa-bisanya loe dipasangin sama Garda. Ah gue juga mau,” ucap Bella berbisik di telinga Rain sambil melirik Garda yang ada di bangku belakang mereka.“Cuma kebetulan Bel! Emang ganteng sih tapi Garda tu, tapi nggak usah ngarep loe!” jawab Rain sambil menjitak kepala Bella.Di depan sana, Bu Sri sedang membereskan kertas dan buku yang tadi dibawanya. Mengecek buku absensi agar tak ada yang terlewat ia absen.“Loe nggak baper apa? Gue lihat-lihat loe cocok deh sama Garda,” godanya.
“Oalaahh, Rion dari tadi ngeledek Boni karena cemburu? Ya ampun ini cuma permainan, Nak!” ucap Bu Sri setelah mendengar perkataan Bella tadi, dan seisi kelas menyorakinya.“Ih enggak Bu! Siapa yang cemburu? Saya nggak suka tu sama modelannya Bella! Apalagi kalau sama Boni, ya dia kalah jauh Bu!” jawab Rion kelabakan, karena senjata makan tuan.“Ternyata selama 2 tahun ini, sudah menyimpan rasa," ledek Bu Sri sambil menahan tawanya.“Enggak Bu! Sumpah ini!” Rion yang ingin menyakinkan Bu Sri dan teman-temannya, mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya sejajar dengan kepala.“Ya sudah! Biarlah untuk sekarang perasaan Rion ia pendam, nanti kalau sudah tidak kuat, siap-siap kamu terima ya Bella!” sontak ledekan di dalam kelas semakin menjadi-jadi. Bahkan Rain sampai memukul-mukul meja, berbeda dengan Garda yang hanya tersenyum.“Ya sudah, silahkan kalian berdua buka!”Boni d
Baru saja Garda duduk, Rain langsung memutar badannya menghadap ke belakang, membuat Garda hampir saja terjatuh dari kursinya."Widih, namanya Garda ya, Bang?" ucap Rain sambil mengulurkan tangan kanannya, yang hanya dilirik sekilas oleh Garda."Bang beng bang beng, emang gue abang loe?" sewot Garda karena masih kesal dengan peristiwa tadi pagi."Selow aja napa si? Ganteng-ganteng ngegasan! Belum kenal aja udah sewot uuuu!" Rain yang merasa kesal pun membalikkan tubuhnya ke depan, dan segera teman-temannya menghampiri meja Garda. Berebut memperkenalkan diri dan menyalami Garda, kecuali Nando dan Rion yang malah duduk di meja Rain."Bel, loe mau ikut antri kenalan sama si Gonzales?" tanya Nando ketika melihat Bella akan membalikkan kursinya."Gonzales siapa bege? Cortizo! Beda jauh anying!" ucap Rain menahan kesal sekaligus tawa."Ya terserah kita manggilnya lah, lagian enakan manggil Gonzales, iya nggak?" dalih Rion dan mendapat anggukan set