"Eh, mbak, sini masuk. Sama siapa ke sini?" tanya Ibu Damar pada tamunya yang baru datang, yang tidak lain adalah Ibu Andra."Sama Andra, tapi dia diluar lagi ngobrol sama Bimo sama Damar juga. Udah lama katanya nggak ngumpul," jelas Ibu Andra."Duduk sini budhe," Tania menepuk tempat yang masih kosong di sampingnya.Ibu Andra berjalan mendekat, Tania lalu meraih tangannya dan mencium takzim. Dilanjut dengan Rania yang melakukan hal yang sama."Selamat ya nak,maaf tante baru bisa dateng sekarang. Kemarin masih sibuk di rumah," tutur Ibu Andra pada Rania. "Iya tante, nggak apa-apa.""Tante hanya bisa mendoakan semoga kamu bisa bahagia bersama Damar, semoga kalian segera diberi keturunan dan semoga hidup kalian selalu diberi keberkahan. Tante juga mau meminta maaf atas semua kesalahan kedua anak tante, terutama untuk Sinta, tante mohon kamu mau mendoakan dia agar semua dosanya bisa diampuni." Ibu Andra menitikkan air mata. Ibu me
"Kami pulang dulu ya, Bu. Nanti kalau Revan liburan, kami ke sini lagi. Ibu harus makan teratur biar tetap sehat," ucap Rania pada sang Ibu.Rania dan Damar sudah bersiap untuk kembali ke kota di mana mereka mencari rejeki, berencana mengendarai kendaraan sendiri membuat mereka harus berangkat pagi sekali."Ibu memang harus tetap sehat biar bisa liat cucu Ibu dari kamu bertambah, Ibu masih pengen ngeliat kamu bahagia sama nak Damar. Sudah cukup Ibu membiarkanmu berjuang sendiri dalam luka," ungkap Ibu Rania, matanya berkaca-kaca."Ibu udah janji buat nggak nangis lagi, sekarang Ibu udah nganterin Rania menuju gerbang bahagia. Ini semua juga berkat doa Ibu selama ini," hibur Rania.Mereka berpelukan erat, Ibu Rania mengelus punggung Rania.Damar mendekat setelah Rania berjalan menjauh dari sang Ibu, Damar lalu berjongkok di depan Ibu Rania yang tengah duduk di kursi roda."Damar pamit ya, Bu." Damar meraih tangan mertuanya lalu mencium takzim."Ibu minta tolong buat jagain Rania sama R
Rania segera berlari menghampiri anaknya. Rania terkejut dengan keadaan Revan dengan wajah kusut dan badan penuh noda darah, Rania hampir terjatuh, beruntung suaminya segera memapah Rania untuk mendekat pada Revan."Revan," ucap Rania memanggil sang anak."Bunda." Revan segera berlari untuk menghampiri Ibu dan Ayahnya."Kamu ngapain di sini? Baju kamu kenapa penuh darah? Kamu kecelakaan?" Pertanyaan beruntun keluar dari mulut Rania."Nggak gitu Bun, Revan...""Maaf saudara Revan, bisa ikut kami sebentar." Ucapan Revan terhenti karena dua polisi menghampiri mereka."Ada apa ya Pak? Apa anak saya melakukan kesalahan?" Rania menatap nanar dua polisi yang berdiri tegap di samping anaknya. Apa yang Revan lakukan sampai ada polisi yang menemuinya? Selama ini Revan tidak pernah menjadi anak yang bandel menurutnya, apa Rania sudah melewatkan sesuatu tentang anaknya?"Nanti saya jelaskan, Bu. Sekarang mari ikut kami untuk duduk di sana." Salah seorang polisi menunjuk kursi yang berada di depan
"Bun, nanti Revan ada les sama temen-temen di sekolah usai ujian, buat persiapan ulangan besok. Pulangnya agak sore ya," ucap Revan. Kini mereka sedang menikmati sarapan dengan nasi goreng buatan Ibunya."Iya, belajar yang sungguh-sungguh. Nanti siang Bunda mau ikut Ayah ke kerjaan Ayah, tapi sore udah pulang," jawab Rania."Kalau mau dijemput, nanti kamu telepon Ayah aja, paling jam dua Ayah sama Bunda udah di rumah," ujar Damar."Nanti ada jemputan dari sekolah, pulangnya juga dianterin karena semua ikut les," jelas Revan.Setelah menyelesaikan sarapannya, Revan segera pamit pada Ibu dan Ayahnya karena bis jemputan dari sekolah sudah tiba."Berangkat jam berapa, mas?" tanya Rania setelah selesai membereskan ruang makan, kini Damar sudah berada di teras untuk membaca berita secara online."Siangan, jam sepuluhan aja. Janjiannya jam sebelas. Kamu jadi ke toko dulu?" "Jadi, mau bantuin anak-anak sebentar," jawab Rania. Rania sudah bersiap dengan tunik, celana panjang dan jilbab pasmi
"Maksudnya, Anda kekasihnya Mas Damar?" tanya Rania dengan suara bergetar."Bisa dibilang begitu, hubungan kami bahkan lebih dekat dari kekasih. Kami sudah sering pergi bersama, banyak hal yang sudah kami lakuin bareng. Lalu, bagaimana bisa kamu mengaku kalau kalian sudah menikah?" tanya perempuan itu dengan penuh penekanan."Kalau memang kalian sedekat itu, mengapa mas Damar tidak bercerita pada anda kalau dia sudah menikah? Apa anda yakin kalau kalian sedekat itu?" tanya balik Rania pada perempuan di depannya, ia tidak mau begitu saja percaya padanya."Mungkin dia memang ingin menutupinya. Antara dia takut aku tau kalau kalian sudah menikah, atau karena memang kamu tidak sepenting itu untuk diberitahukan padaku. Bisa jadi dia memang hanya menjadikanmu pelampiasan karena kami tidak kunjung menikah," ucap perempuan itu dengan penuh percaya diri."Kalau memang kalian sepasang kekasih, mengapa mas Damar lebih memilihku untuk dinikahi? Bukankah itu menunjukkan kalau aku lebih penting dar
"Mbak Rania, seneng banget mas Damar mau bawa mbak Rania ke sini. Duduk mbak, mas," ucap Tania.Rania dan Damar mengikuti permintaan Tania, mereka duduk bersisihan di kursi ruang tamu Tania."Bimo belum pulang?" tanya Damar."Belum, mas. Mampir ke rumah temennya dulu, paling sebentar lagi sampek rumah. Mau minum apa mbak, mas?" "Nggak usah repot-repot Tan, kita cuma bentar kok. Mbak Rania ada sesuatu yang mau ditanyain sama kamu," jelas Damar."Masalah apa mbak? Kok jadi deg-degan aku," tanya Tania."Mas mau ketemu Bian aja ya, kalian ngobrol dulu. Ingat Tan, apapun yang ditanyain sama Rania, jangan ada yang kamu tutupi. Katakan aja semuanya," ujar Damar pada Tania.Damar lalu masuk untuk mencari keberadaan keponakannya."Ada apa sih, mbak? Aku jadi takut." Tania mendekat pada istri kakak iparnya itu."Mau nanya soal Mely, kamu kenal sama dia?" tanya Rania.Tania mengerutkan alisnya, bagaimana bisa Rania mengenal temannya itu? "Kenal, dia temenku. Mbak juga kenal sama dia?""Enggak
"Mas mau liat proyek pembangunan hotel, mungkin dua sampai tiga hari. Mau ikut nggak?" tanya Damar saat mereka sudah berbaring di ranjang."Nggak bisa, mas. Kasian Revan kalau ditinggal, tiga hari nggak lama. Lagian mas kan di sana kerja, nanti kalau aku ikut malah ganggu mas kerja. Aku ke toko aja, bantuin anak-anak. Aku kuat kok kalau cuma pisah tiga hari," jelas Rania."Sebenarnya aku yang nggak bisa pisah lama-lama sama kamu," ucap Damar, ia lalu mencubit hidung sang istri."Gombal banget," jawab Rania. Ia mencubit pinggang sang suami."Aduh, sakit sayang. Jangan nyubit di situ, nanti ada yang bangun," ucap Damar menggoda sang istri."Ih, dasar mesum. Udah sana, cepet tidur, besok kesiangan loh," peringatan Rania untuk suaminya.Damar mendekap tubuh mungil sang istri, ia lalu mengecup pipi istrinya. "Mau minta bekal dulu, biar tenang saat jauh dari kamu.""Apaan? Uang mas habis? Aku nggak pegang uang, mas. Mau bawa ATMku?" tanya Rania."Bukan itu, bekal yang lain. Kok malah ngomon
[Lin, kamu kenal sama wanita yang ada di belakang suamiku itu?] tanya Rania melalui pesan pada Linda.Panggilan masuk dari Linda, Rania segera meraihnya dan menggeser tombol hijau di layar ponselnya."Assalamualaikum," sapa Linda dari seberang."Waalaikumsalam," jawab Rania."Yang mana sih, mbak? Linda nggak ngerti yang mbak maksud," tanya Linda menanggapi pesan dari Rania."Yang pakai baju biru, duduk di belakangnya mas Damar. Kamu tau nggak dia siapa?" "Oh, yang itu. Nggak kenal aku mbak. Sepertinya pak Damar sama Bapak juga nggak kenal, emang mbak kenal sama dia?""Kok kayak temen mbak sama mas Damar, kamu nggak liat mereka saling sapa?" tanya Rania, ia masih berusaha mencari informasi tentang Mely dan suaminya."Sejauh ini sih enggak mbak, tapi emang dari tadi mbaknya merhatiin pak Damar terus. Temen deket atau gimana mbak?" tanya Linda, ia jadi lebih memperhatikan wanita di belakang rekan bisnis sekaligus suami dari kenalannya itu."Temen lama, udah lama nggak ketemu. Apa mungki