Rania segera berlari menghampiri anaknya. Rania terkejut dengan keadaan Revan dengan wajah kusut dan badan penuh noda darah, Rania hampir terjatuh, beruntung suaminya segera memapah Rania untuk mendekat pada Revan."Revan," ucap Rania memanggil sang anak."Bunda." Revan segera berlari untuk menghampiri Ibu dan Ayahnya."Kamu ngapain di sini? Baju kamu kenapa penuh darah? Kamu kecelakaan?" Pertanyaan beruntun keluar dari mulut Rania."Nggak gitu Bun, Revan...""Maaf saudara Revan, bisa ikut kami sebentar." Ucapan Revan terhenti karena dua polisi menghampiri mereka."Ada apa ya Pak? Apa anak saya melakukan kesalahan?" Rania menatap nanar dua polisi yang berdiri tegap di samping anaknya. Apa yang Revan lakukan sampai ada polisi yang menemuinya? Selama ini Revan tidak pernah menjadi anak yang bandel menurutnya, apa Rania sudah melewatkan sesuatu tentang anaknya?"Nanti saya jelaskan, Bu. Sekarang mari ikut kami untuk duduk di sana." Salah seorang polisi menunjuk kursi yang berada di depan
"Bun, nanti Revan ada les sama temen-temen di sekolah usai ujian, buat persiapan ulangan besok. Pulangnya agak sore ya," ucap Revan. Kini mereka sedang menikmati sarapan dengan nasi goreng buatan Ibunya."Iya, belajar yang sungguh-sungguh. Nanti siang Bunda mau ikut Ayah ke kerjaan Ayah, tapi sore udah pulang," jawab Rania."Kalau mau dijemput, nanti kamu telepon Ayah aja, paling jam dua Ayah sama Bunda udah di rumah," ujar Damar."Nanti ada jemputan dari sekolah, pulangnya juga dianterin karena semua ikut les," jelas Revan.Setelah menyelesaikan sarapannya, Revan segera pamit pada Ibu dan Ayahnya karena bis jemputan dari sekolah sudah tiba."Berangkat jam berapa, mas?" tanya Rania setelah selesai membereskan ruang makan, kini Damar sudah berada di teras untuk membaca berita secara online."Siangan, jam sepuluhan aja. Janjiannya jam sebelas. Kamu jadi ke toko dulu?" "Jadi, mau bantuin anak-anak sebentar," jawab Rania. Rania sudah bersiap dengan tunik, celana panjang dan jilbab pasmi
"Maksudnya, Anda kekasihnya Mas Damar?" tanya Rania dengan suara bergetar."Bisa dibilang begitu, hubungan kami bahkan lebih dekat dari kekasih. Kami sudah sering pergi bersama, banyak hal yang sudah kami lakuin bareng. Lalu, bagaimana bisa kamu mengaku kalau kalian sudah menikah?" tanya perempuan itu dengan penuh penekanan."Kalau memang kalian sedekat itu, mengapa mas Damar tidak bercerita pada anda kalau dia sudah menikah? Apa anda yakin kalau kalian sedekat itu?" tanya balik Rania pada perempuan di depannya, ia tidak mau begitu saja percaya padanya."Mungkin dia memang ingin menutupinya. Antara dia takut aku tau kalau kalian sudah menikah, atau karena memang kamu tidak sepenting itu untuk diberitahukan padaku. Bisa jadi dia memang hanya menjadikanmu pelampiasan karena kami tidak kunjung menikah," ucap perempuan itu dengan penuh percaya diri."Kalau memang kalian sepasang kekasih, mengapa mas Damar lebih memilihku untuk dinikahi? Bukankah itu menunjukkan kalau aku lebih penting dar
"Mbak Rania, seneng banget mas Damar mau bawa mbak Rania ke sini. Duduk mbak, mas," ucap Tania.Rania dan Damar mengikuti permintaan Tania, mereka duduk bersisihan di kursi ruang tamu Tania."Bimo belum pulang?" tanya Damar."Belum, mas. Mampir ke rumah temennya dulu, paling sebentar lagi sampek rumah. Mau minum apa mbak, mas?" "Nggak usah repot-repot Tan, kita cuma bentar kok. Mbak Rania ada sesuatu yang mau ditanyain sama kamu," jelas Damar."Masalah apa mbak? Kok jadi deg-degan aku," tanya Tania."Mas mau ketemu Bian aja ya, kalian ngobrol dulu. Ingat Tan, apapun yang ditanyain sama Rania, jangan ada yang kamu tutupi. Katakan aja semuanya," ujar Damar pada Tania.Damar lalu masuk untuk mencari keberadaan keponakannya."Ada apa sih, mbak? Aku jadi takut." Tania mendekat pada istri kakak iparnya itu."Mau nanya soal Mely, kamu kenal sama dia?" tanya Rania.Tania mengerutkan alisnya, bagaimana bisa Rania mengenal temannya itu? "Kenal, dia temenku. Mbak juga kenal sama dia?""Enggak
"Mas mau liat proyek pembangunan hotel, mungkin dua sampai tiga hari. Mau ikut nggak?" tanya Damar saat mereka sudah berbaring di ranjang."Nggak bisa, mas. Kasian Revan kalau ditinggal, tiga hari nggak lama. Lagian mas kan di sana kerja, nanti kalau aku ikut malah ganggu mas kerja. Aku ke toko aja, bantuin anak-anak. Aku kuat kok kalau cuma pisah tiga hari," jelas Rania."Sebenarnya aku yang nggak bisa pisah lama-lama sama kamu," ucap Damar, ia lalu mencubit hidung sang istri."Gombal banget," jawab Rania. Ia mencubit pinggang sang suami."Aduh, sakit sayang. Jangan nyubit di situ, nanti ada yang bangun," ucap Damar menggoda sang istri."Ih, dasar mesum. Udah sana, cepet tidur, besok kesiangan loh," peringatan Rania untuk suaminya.Damar mendekap tubuh mungil sang istri, ia lalu mengecup pipi istrinya. "Mau minta bekal dulu, biar tenang saat jauh dari kamu.""Apaan? Uang mas habis? Aku nggak pegang uang, mas. Mau bawa ATMku?" tanya Rania."Bukan itu, bekal yang lain. Kok malah ngomon
[Lin, kamu kenal sama wanita yang ada di belakang suamiku itu?] tanya Rania melalui pesan pada Linda.Panggilan masuk dari Linda, Rania segera meraihnya dan menggeser tombol hijau di layar ponselnya."Assalamualaikum," sapa Linda dari seberang."Waalaikumsalam," jawab Rania."Yang mana sih, mbak? Linda nggak ngerti yang mbak maksud," tanya Linda menanggapi pesan dari Rania."Yang pakai baju biru, duduk di belakangnya mas Damar. Kamu tau nggak dia siapa?" "Oh, yang itu. Nggak kenal aku mbak. Sepertinya pak Damar sama Bapak juga nggak kenal, emang mbak kenal sama dia?""Kok kayak temen mbak sama mas Damar, kamu nggak liat mereka saling sapa?" tanya Rania, ia masih berusaha mencari informasi tentang Mely dan suaminya."Sejauh ini sih enggak mbak, tapi emang dari tadi mbaknya merhatiin pak Damar terus. Temen deket atau gimana mbak?" tanya Linda, ia jadi lebih memperhatikan wanita di belakang rekan bisnis sekaligus suami dari kenalannya itu."Temen lama, udah lama nggak ketemu. Apa mungki
"Aku tuh nggak ngerti maksud mas apa, tolong jangan mencari alasan untuk menutupi hubungan kalian berdua. Kalau emang mas ada hubungan sama dia, aku harap mas mau jujur," ucap Rania, ia mulai terbawa emosi karena penjelasan suaminya yang bertele-tele."Aku mau jelasin, tapi kamu jangan marah dulu. Kamu dengerin semua penjelasan aku sampai selesai," jawab Damar.Rania mengangguk, ia memang ingin segera tahu kenyataan yang sebenarnya."Sebelum aku jelasin, aku mau tanya dulu dari mana kamu tau kalau aku ketemu sama Mely?" tanya Damar.Rania tidak menjawab, ia segera meraih ponselnya, lalu ia menunjukkan dua buah foto yang dikirim Linda pada Damar."Linda yang ngirim ini?"Rania mengangguk."Sejujurnya untuk foto yang pertama ini, aku sama sekali nggak tau kalau Mely ada di belakangku," ucap Damar menunjuk foto pertama yang ditunjukkan Rania."Saat itu aku sedang membahas progres pembangunan hotel dengan pak Yogi, saat itupun Mely tidak mendekatiku atau menyapaku sama sekali. Andai aku n
"Bunda!" Revan segera berlari mendekat pada Ibunya dan seseorang yang tidak ia kenal, dengan sekuat tenaga Revan mendorong tubuh Mely hingga Mely terhuyung ke samping."Bunda nggak apa-apa?" tanya Revan saat membantu Ibunya berdiri.Rania segera memeluk anaknya, sekuat apapun Rania, jika yang dihadapi membawa senjata sementara dirinya hanya dengan tangan kosong, apa yang bisa Rania lakukan selain minta tolong dan pasrah?"Alhamdulillah, Bunda nggak apa-apa sayang. Makasih banyak karena Revan datang tepat waktu," ucap Rania.Mely mencoba untuk berdiri, ia masih berusaha mencari pisau yang terpental jauh darinya. Benturan yang cukup keras membuat kaki Mely terkilir, dengan susah payah dia menyeimbangkan tubuhnya."Siapa kamu? Kenapa ikut campur urusan orang lain? Anak kecil, lebih baik pergi sana!" bentak Mely pada Revan. Ia masih menyeimbangkan tubuhnya dengan berpegangan pada tiang teras rumah Rania."Anda yang siapa? Bagaimana bisa anda berbuat kejahatan di rumah orang lain!" bentak