Mataku membelalak dan mulut menganga saat mobil Azlan memasuki gerbang sebuah rumah yang sangat megah dan mewah. Kemegahan rumah itu mengalahkan rumah yang ditempat Azlan dan Elina. Kuperkirakan luas dan mewahnya tiga kali lipat dari rumah Elina.Pantas saja Elina sangat menginginkan harta keluarga Wijaya Pratama. Ternyata, rumahnya saja seperti istana. Sangat lux desain yang dipilih. Dari luar sudah jelas terlihat betapa kayanya sang pemilik, apalagi di dalamnya."Ra, ayo masuk!" ajak Azlan yang melihat aku sejak tadi hanya diam mematung dengan ekspresi kagum."Azlan, ini rumah nyokap lo?"Azlan geleng-geleng sambil mendecih. "Ra, ingat ya ... jangan pakai kata lo gue di rumah ini. Itu akan terdengar tidak sopan, dan Mama paling tidak suka itu.""Eh iya, gue lupa. Ehm ... maksud gue, eh aku ... huff, oke sorry! Itu tadi spontanitas saja.""Ya sudah, ayo masuk.""Ehm ... boleh gandeng nggak?" tanyaku dengan sikap manja dan malu-malu."Nara Paramitha ... di sini kita tidak bisa bergand
"Nara? A ... Azlan?" Flora terbata-bata saat menjawab, pastinya dia juga syok saat melihat kami.Wajah Flora seketika pias, sedangkan Azlan seperti orang yang bingung mau berbuat apa. Dan aku ... ah, aku bisa apa selain hanya mematung dengan mata membelalak dan mulut menganga.Sungguh ini sebuah kejutan di luar dugaan. Siapa sangka yang bayar Flora untuk jadi anaknya ternyata kawan lama dari Pak Wijaya. Tapi kenapa Flora tidak cerita? Apakah dia sengaja atau memang tidak tahu?"Lho, kalian sudah kenal?" tanya Bu Wijaya.Bukannya menjawab, kami bertiga justru mengarahkan pandangan ke Pak Robby dan istrinya. Seolah paham dengan kebingungan Flora, akhirnya Pak Robby berdiri dan mendekati Flora."Duduk dulu, Bella." Pak Robby mengajak Flora untuk duduk di kursi tepat di hadapan Azlan."Tunggu, tunggu ... nama anak kamu ini Bella atau Flora, Rob?" tanya Pak Wijaya kebingungan."Begini, Bro. nama lengkap Bella itu ... ehm ... Flora Salsabila. Teman kecilnya panggil dia Flora, dan di rumah d
"Lama amat kamu, Ra?" tanya Azlan setengah berbisik ketika aku baru saja mendaratkan tulang duduk."Nggak usah berisik!" sahutku tanpa melihatnya, lalu berpura-pura tersenyum dengan Bu Wijaya yang memang memperhatikan aku dan Azlan."Maaf, saya terlalu asyik di toilet sampai lupa balik. Habisnya, lukisan di lorongnya itu keren banget." Aku masih berusaha mencari alasan dan mengulas senyum, berharap tidak akan dicurigai."Iya, Tante. Bagus banget lukisan dan juga desain interiornya. Selera Tante memang kelas elit," puji Flora menimpali kebohonganku."Ah, kalian ini bisa aja." Bu Wijaya tersenyum dengan ekspresi pura-pura tersipu.Acara makan malam telah berakhir, acara dilanjutkan dengan obrolan ringan di ruang tamu. Tentu saja obrolan itu bermuara pada rencana mereka, yaitu perjodohan antara Bella—si anak adopsi palsu—dengan Azlan.Dengan seksama, aku menyimak. Berharap ada kesempatan untuk menyela dan membuat rencana perjodohan gagal tanpa memberatkan Flora, karena kasihan jika harus
Dengan langkah gontai, aku berjalan tanpa tahu arah. Bahkan aku tak peduli dengan sekitar, termasuk tatapan orang-orang yang melihatku. Hingga tanpa aku sadari, sebuah mobil menepi dan menghalangi jalanku.Kepalaku mulai berputar, jalanku pun mulai terhuyung. Di saat hampir limbung, tangan seseorang menangkap tubuhku."Nara, kamu kenapa, Ra?" tanya lelaki yang wajahnya samar-samar aku lihat.Beberapa kali aku mengerjapkan mata agar kesadaranku tidak hilang. Mata juga turut berkabut akibat terlalu banyak menangis, sembab dan berat rasanya.Dapat kurasakan lelaki itu membopong tubuhku yang lunglai, aku hanya bisa pasrah tanpa bisa menolak. Beberapa saat kemudian, kurasakan tenggorokanku basah oleh air dan membuat kesadaranku semakin membaik."Nara, apa yang terjadi denganmu, Ra? Kenapa kamu sampai seperti ini?" lelaki itu kembali bertanya.Samar-samar aku mulai mengenali wajah dan suaranya. "Om Fadli?" sontak aku kaget.Aku baru menyadari posisiku sekarang telah berada dalam mobilnya. R
(POV Azlan)Namaku Azlan Wijaya Pratama, satu-satunya penerus kerajaan bisnis Wijaya Pratama. Saat ini, aku terjebak dalam sebuah pernikahan toxic. Aku sadar bahwa wanita yang aku nikahi, mulai berubah. Dia bukan lagi seorang gadis sederhana seperti yang dulu kukenal.Aku mengenalnya saat masih kuliah, dia begitu lugu dan polos. Bahkan saat dibully oleh gadis yang sangat menyukaiku, dia tak berani membalas. Sejak saat itu, aku berusaha dekat dengannya dan ingin melindungi dia.Elina, gadis cantik tanpa kehidupan yang glamour. Waktu itu, ayahnya mengalami kebangkrutan dan Elina harus berjuang agar tetap bisa lanjut kuliah. Dia wanita yang pantang menyerah jika sudah punya keinginan.Melihat ketangguhannya, aku jatuh cinta dengan Elina. Bahkan diam-diam memberikan uang modal untuk ayahnya agar bisa memulai usaha kembali. Tentu saja itu uang pemberian Papa yang selama ini aku kumpulkan.Walaupun aku terlahir di keluarga kaya raya, tetapi Mama dan Papa mengajarkan padaku untuk tidak boros
(POV Azlan)"Mas Azlan beneran mau ke Bandung?" tanya Elina yang seakan meragukan kepergianku untuk urusan kerjaan.Aku tahu, dia pasti curiga dan berpikir kalau aku hanya beralasan agar bisa bersama dengan Nara. Sikap Elina semakin posesif sejak mendapati aku mengigau, dalam igauan tersebut katanya aku mendesah seraya menyebut nama Nara. Ah, bodohnya aku. Kenapa sering kali memikirkan Nara, membayangkan bercinta dengannya. Tanpa kusadari sampai terbawa di bawah alam sadar."Mas," panggil elina kembali."Elina sayang, istriku yang teramaaaat aku cintai. Kamu bisa tanya ke Dara, tanya saja apa agenda kerjaku dan dengan siapa di sana aku akan bertemu.""Halah, bisa saja kamu bayar sekretarismu itu untuk bohong, Mas.""Elina, cukup ya. Kalau alasan cemburumu karena igauan itu, harusnya kamu mikir donk. Siapa yang menyuruhku untuk meniduri wanita lain? Aku lelaki normal, El. Meskipun hatiku tidak menginginkan, tapi otakku tidak bisa menolak." Akhirnya kekesalanku tertumpah."Sudahlah, El
Bicara mengenai wanita bayaran, nyatanya sekarang aku juga terjebak dalam permainan yang diciptakan oleh istriku sendiri. Aku yang mulai menaruh perasaan pada Nara, harus berjuang melawan perasaan tersebut. Dan ini sungguh menyiksa.Kenyamanan saat bersama Nara, telah lama tidak aku dapatkan dari Elina. Elina lebih sibuk dengan urusannya. Apalagi setelah dia mendapatkan tekanan dari Mama, psikis dia tentu saja tidak baik-baik saja. Aku tak pernah menuntut apapun pada Elina, karena melihat kondisi dia saja sudah sangat memprihatinkan waktu itu.Membuat Elina bahagia adalah pilihanku, meskipun terkadang permintaannya di luar nalar. Termasuk menyewa rahim wanita lain untuk melahirkan benihku, dan justru wanita bayaran itu mampu menjerat perasaanku.Nara ... setiap aku menyebut nama wanita itu, bayangan kenikmatan dari sensasi menyentuh tubuhnya seperti aliran listrik yang sangat kuat. Libidoku langsung naik dan membuat bagian tubuh lain menegang.Bagiku sekarang, tubuh Nara adalah candu.
Terlahir sebagai anak konglomerat tidak sepenuhnya bahagia. Justru banyak problema yang harus dihadapi, bahkan sering terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan. Sebagai penerus kerajaan bisnis Wijaya Pratama, aku pun tidak hanya diberi limpahan warisan. Melainkan juga limpahan tanggungjawab mengurus perusahaan, mempertahankan agar tetap eksis dan terus berkembang menjadi lebih besar. Selain itu, aku juga dituntut untuk menjaga sikap di depan umum. Tak ada cela di mata semua orang agar mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak. Itu sebabnya, ayahku mengajarkan semua tata cara dari bersikap, berbicara, dan bagaimana cara menjalankan bisnis yang baik. Semua itu ditanamkan sejak kecil, agar saat dewasa aku sudah bisa menerapkan semua ilmu.Aku akui, eksistensi perusahaan Wijaya Pratama sudah mendapatkan tempat spesial. Hal tersebut membuat aku sebagai penerusnya lebih mudah memenangkan setiap projek.Namun, di balik kesuksesanku sebagai penerus bisnis Wijaya Pratama, ada banyak ma
Akhirnya aku bisa bernapas lega, Azlan mampu mengatasi kecurigaan istrinya Om Fadli. Hampir saja bertambah masalah baru, dan aku yakin kalau sampai wanita tahu, mungkin akan terjadi hal lain juga.Azlan kembali melajukan mobil menuju ke rumah kediaman keluarga Wijaya Pratama. Sepanjang jalan aku merasa seperti seekor belut yang mengantar diri untuk dijadikan sate. Namun, aku sudah mempersiapkan diri. Apapun yang terjadi, aku siap menghadapi.Mobil memasuki area parkir depan istana mewah, jantungku semakin berdetak kencang. Umpatan dan caci maki sudah memenuhi pikiran, bahkan saat ini kedua tanganku telah menjadi dingin karena pikiran-pikiran itu.Azlan yang melihatku dilanda kecemasan, dia segera menggenggam jemariku dan memberikan penguatan. Perlahan aku turun dari mobil, kemudian melangkah menuju teras rumah. Genggaman tangan Azlan kurasakan semakin erat saat kaki kami menginjak lantai depan pintu.Baru saja hendak menekan bel, terdengar sebuah teriakan. "Aku sudah bilang, sampai ma
Azlan membuntutiku hingga ke kamar. Setelah dia membersihkan diri, dia pun duduk di tepi ranjang. Tatapannya penuh tanda tanya, tetapi tak ada sirat kemarahan atas sikapku. Aku tahu, Azlan pasti paham akan kekhawatiranku."Nara, apa kamu sudah pikirkan matang-matang tindakan kamu ini?" tanya Azlan sembari menyingkirkan anak rambutku ke belakang telinga."Aku sudah pertimbangkan semuanya, Azlan. Aku tahu, Mama akan mengusirku. Aku tahu Mama akan memisahkan aku dari kamu dan anak-anak. Jika aku tidak mengantisipasi dari sekarang, justru akan semakin sulit menyelamatkan rumah tangga kita." Suaraku terdengar bergetar, menahan perihnya batin yang terhempas oleh badai kenyataan."Maafkan aku ya, Ra. Aku gagal menjaga rahasia siapa diri kamu," ucap Azlan dengan tampang sedih.Aku pun tersenyum, kemudian meraih tangannya. "Azlan ... suamiku yang paling aku cintai. Jangan pernah menyalahkan dirimu. Aku tahu, selama ini kamu telah melakukan banyak hal untukku. Kamu adalah anugerah dari Tuhan, k
Entah karena apa, pikiranku berubah. Rasanya aku belum siap untuk bicara dengan wanita yang saat ini tergolek lemah di atas brankar."Azlan, kita pergi aja!" ujarku seraya berusaha memutar kursi roda.Azlan segera mendorong kursi roda, mengikuti permintaanku.Baru saja hendak keluar, muncul gadis muda dari kamar mandi."Mas Azlan ... kamu ngapain ke sini? A ... apa ... apa ini Mbak Nara?" tanya gadis muda yang aku sendiri tak tahu siapa."Iya, ini Nara." Aku menoleh ke arah Azlan, mencoba meminta penjelasan. "Dia siapa, Azlan?""Dia Della, Ra. Sepupu kamu juga, dia yang selama ini merawat Bu Rosmala."Sejenak aku mencoba mengingat. "Apa kamu Della keponakan Ibu?""Iya, Mbak Nara.""Ooh ... iya, aku ingat. Waktu itu kamu masih kecil. Tidak menyangka bisa ketemu. Bagaimana keluarga di kampung?" tanyaku untuk basa-basi, karena sebenarnya mereka tak pernah peduli padaku."Semua baik, Mbak. Hanya saja, keadaan Budhe Ros ....""Iya, tadi aku sudah melihat. Hanya saja Ibu tidur, besok saja
Tatapan sinis kedua lelaki itu, menandakan bahwa permusuhan belum usai. Azlan yang melihat kehadiran Ryan di ruanganku, seketika murka. Dia menarik kerah baju Ryan."Masih berani kamu ke sini? Hah?! Dasar bedebah! Tak punya malu!!!" teriak Azlan dan hampir saja melayangkan pukulan ke wajah Ryan."Azlan, cukup!" teriakku menghentikan aksi barbar Azlan.Azlan pun berhenti dan menatapku tajam, sorot penuh kemarahan."Biarkan dia pergi, Azlan. Dia ke sini hanya berpamitan. Setelah ini dia tak akan lagi mengganggu hidup kita!" ujarku agar membuat Azlan lebih tenang.Azlan menatap sejenak pada rivalnya, setelah itu mendorong keras tubuh itu hingga jatuh ke lantai."Menghilanglah dari kehidupan aku dan Nara, menjauh sejauh mungkin. Karena sekali saja aku melihatmu, tak akan ada ampun lagi bagi manusia bedebah sepertimu!"Mendengar ucapan Azlan, Ryan pun bergegas pergi dengan tatapan penuh amarah yang dia tahan. Setelah kepergian lelaki dari masa laluku itu, Azlan pun mendekat. "Jangan perna
POV NaraSudah dua malam aku menginap di ruang VVIP rumah sakit ini. Ada kelegaan karena melihat anak ketiga lahir dengan selamat. Namun, di sisi lain ada pula kekhawatiran mengenai ucapan Ryan.Ya, aku takut jika sampai Azlan termakan oleh ucapan Ryan. Bahkan jika sampai test DNA itu dilakukan, aku pun benar-benar tak siap. Takut jika hasilnya tak sesuai harapanku.Itu sebabnya kenapa aku menangis saat Azlan datang menemuiku. Ada perasaan bersalah telah me menyembunyikan peristiwa malam itu dari Azlan.Hari ini, Azlan pamit untuk mengurus beberapa pekerjaan di kantor. Aku tidak bisa mencegahnya, apalagi menuntut waktunya. Kata Bu Wijaya, aku harus mandiri ketika suami pergi mencari nafkah. Bagiku, ucapan itu benar.Bu Wijaya sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Mungkin cukup ironis, ibu kandung tak bisa menyayangiku. Namun, Bu Wijaya sebagai ibu mertua justru mampu memberikan kasih sayangnya padaku.Hal tersebut yang membuat aku memilih menuruti kemauannya. Anggap saja sebagai bal
Melihat perjuangan Om Fadli, sungguh mengharukan. Siapa sangka, lelaki yang dulu sering bikin masalah justru punya hati nurani yang begitu tulus.Aku yang sedari tadi hanya berdiri di belakang Mama, akhirnya turut maju ke depan dan bicara."Ma, Om Fadli ada benarnya. Mama tidak bisa bertindak semena-mena pada Nara, hanya karena sakit hati Mama pada Bu Rosmala."Mama yang mendengar ucapanku langsung menatap tajam ke arahku. "Jangan pernah lagi kamu sebut nama itu! Kamu harus ingat, Azlan ... seberapa banyak air mata yang jatuh gara-gara wanita bedebah itu?""Aku paham, Ma. Tapi tidak seharusnya Mama menghukum Nara atas perbuatan ibunya! Dia tidak tahu apa-apa, bahkan selama ini dia dibuat menderita oleh ibunya sendiri. Itu sudah lebih dari cukup, Ma!""Kalian ini kenapa sih? Kenapa kalian sulit sekali memahami perasaan ini? Kalian pikir mudah melalui semua itu?""Ma ....""Cukup, Azlan! Mama mau istirahat, Mama tidak ingin bicara apapun!" ucap Mama dengan nada kesal, kemudian berlalu d
POV AzlanKeesokan hari ....Aku berpamitan pada Nara untuk ke kantor sebentar, dengan alasan ada dokumen yang harus aku tanda tangani dan ketemu dengan klien penting. Seperti biasa, Nara tak banyak menuntut waktuku. Dia sangat memahamiku.Sebenarnya aku tidak benar-benar ke kantor. Itu hanyalah alasan yang aku buat-buat agar bisa ke rumah Mama bareng Om Fadli.Hari ini masalah harus segera tuntas. Aku tidak ingin saat Nara pulang, dia harus menghadapi sikap dingin dan ketus Mama. Sesuai kesepakatan, aku dan Om Fadli mendatangi rumah Mama. Tampak Om Fadli membawa sebuah amplop panjang di tangannya. Aku yakin, itu adalah bukti test DNA Nara.Saat kami datang, Mama yang tengah duduk di belakang rumah, menikmati secangkir teh sembari melihat seluruh tanaman kesukaannya. Om Fadli segera melempar amplop panjang itu ke atas meja, tepat di hadapan Mama. Hal tersebut membuat Mama terkejut dan mendongakkan kepala. "Kamu ini, Mas. Kalau datang nggak usah bikin kaget, bisa kan?""Ratih, aku ng
Tampak wajah Della menunjukkan rasa tidak percaya. Dia menggeleng, menampik semua kenyataan yang aku sampaikan."Kalian pasti hanya ingin memfitnah Budhe Ros! Kalian jahat! Orang sebaik Budhe Ros tidak akan melakukan hal sehina itu!" teriak Della tidak terima."Sekarang ikut aku, akan aku tunjukkan di mana Nara. Kamu bisa tanya dia, dan di sana juga ada ayahnya Nara!" tantangku seraya menarik lengan Della.Gadis muda itu masih menolak ajakanku. Dia berusaha menepis tangan dengan sangat kasar. Della benar-benar tidak terima dengan apa yang aku jelaskan."Kalian itu sama saja! Buat apa aku percaya kalian yang baru saja aku kenal? Aku ... aku yang sekian lama mengenal Budhe Ros! Dia orang yang baik!" Della masih bersikukuh dengan pendapatnya."Baiklah kalau kamu tidak percaya. Kamu tidak mau juga aku ajak ketemu Nara untuk mengetahui kebenaran. Lebih baik, tanyakan pada Budhe-mu itu saja!" ujarku seraya tersenyum sinis.Gadis lugu itu terdiam sesaat. Ada keraguan di sorot matanya. "Kena
POV AzlanAku melangkah kembali ke ruang operasi. Menunggu Nara selesai pemulihan dan diantar ke ruang rawat inap.Tepat saat kaki berdiri di depan ruang itu, dua petugas keluar membawa Nara menggunakan brankar. Aku membuntuti dari belakang. Wajah Nara begitu sayu, aku tak tahu hal apa yang sudah dia lewati di dalam sana. Yang aku tahu hanya satu, perutnya terluka demi melahirkan anak keturunanku.Ingin sekali kupeluk dia, memberikan tempat ternyaman dari segala kelelahan. Namun, saat ini mata Nara hanya terpejam. Ada bulir bening yang diam-diam menetes dari sudut matanya.Aku harap, itu adalah air mata bahagia karena anak ketiga telah lahir dengan selamat. Sesampainya di ruang VVIP, Nara dipindahkan ke tempat yang tersedia. Mama memang baik, memberikan fasilitas terbaik untuk menantunya.Setelah selesai, petugas pun berpamitan. Tak lupa aku ucapkan pada dua petugas itu.Suasana begitu tenang, tak ada hiruk pikuk suara berisik mengganggu. Aku mendekat ke Nara, kemudian duduk di kursi