"Bukan ketemu Axel aja, Ma ... cuma pengen nongkrong. Biasalah anak muda. Mama nih kayak enggak pernah ngalamin muda aja," elak Cassandra tersenyum miring, mengalihkan pandangan enggan membalas tatapan mamanya. Shella hanya menghela napas berat, membelai lembut rambut putrinya penuh kasih sayang. "Mama kangen sama kamu, Nak. Mama juga pengen denger ceritamu kuliah di LN. Mama akui, Mama yang salah. Harusnya ketika kamu ada di sini, Mama ada di rumah. Enggak kerja. Nemenin kamu selama liburan. Tapi, Nak ... apa kamu enggak bisa, malam ini kita ngobrol-ngobrol dulu?" Sebetulnya sejak kepulangan Cassandra, ingin sekali Shella meluangkan waktu untuk berbincang dengan anak kandungnya. Ia sekali mendengar keluh kesah dan keceriaan Cassandra selama di luar negeri sana. Namun, Shella tak bisa mengajukan cuti kerja meski pada suaminya sendiri, mengingat pekerjaan kantor sedang menumpuk. Cassandra yang sudah berhias dan mengenakan pakaian yang bagus, merunduk sebentar, tampak berpikir. "Ma,
Axel tak menjawab, membiarkan Gilang yang mencari tahu sendiri. Beberapa menit kemudian, Gilang pun tahu. Siapa yang dimaksud bidadari surga oleh Axel?"Ooh ... Cassandra. Tumben dia malam-malam datang ke cafe," celetuk Gilang merangkul pundak Axel yang sibuk meracik kopi untuk Cassandra. "Tadi sore dia emang bilang gitu. Katanya mau ke sini. Minggir, kopinya udah jadi nih!""Sini, biar Abang yang nganterin!" Gilang pura-pura menghadang Axel. "Yeh, enak aja!""Hahahaha ...." Gilang tertawa lepas melihat ekspresi wajah Axel yang menurutnya sangat lucu. "Silakan dicicipi kopinya, Nona," kata Axel meletakkan secangkir kopi di hadapan gadis yang usianya lebih tua darinya. "Terima kasih." Axel berdiri, menunggu kesan Cassandra yang sedang mencicipi kopi hasil racikannya. "Gimana? Enak enggak kopinya?" tanya Axel sembari tersenyum. Sungguh, wajah Cassandra sangat sedap dipandang. Menyejukan hati Axel dan membuat Axel nyaman jika berada di dekatnya. "Enak. Enggak terlalu manis, engga
Terlambat. Axel terlambat mengejar Cassandra. Gadis itu sudah masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya,meninggalkan halaman cafe milik Axel. Di area parkir, Axel menyugar rambut. Sangat kesal akan dirinya sendiri. Kenapa pula ia tak bisa fokus akan cerita Cassandra?Dengan raut wajah kesal, Axel masuk ke dalam cafe, berjalan ke meja tempat Cassandra meminum kopi. Mengambil selembar uang dengan nominal paling tinggi serta membawa cangkir kopi dan juga celemet. Di pantry, Axel duduk tercenung. Mengingat kembali reaksi Cassandra beberapa menit lalu. Axel merogoh ponsel dari balik saku celana, menekan nomor handphone Cassandra, menghubungi. Naas, beberapa panggilannya tak dijawab. Sepertinya Cassandra benar-benar marah. Axel mengusap wajah dengan kasar, lalu pamit pulang ke kos-an. "Enggak pulang ke rumah lagi, Xel?""Enggak, Bang," jawab Axel mengenakan switer yang digantung. "Eh, sebentar!" Gilang memalingkan wajah Axel dengan telapak tangannya. "Kamu kenapa? Habis nangis ap
Sungguh, Alea tak menyangka Bianca berbicara demikian. Sangat merendahkan seseorang. Baru sekarang dia tahu sifat Bianca yang merendahkan orang lain. Belum lama, Gilang yang dihina. Kini Cassandra. Bagaimana jika Cassandra dan Shella yang mendengar? Jika pun memang benar ayah kandung Cassandra adalah seorang supir angkot, tidak ada yang salah. Toh itu pekerjaan yang halal. Namun, sanggahan itu hanya terucap di dalam hati Alea. Tidak terucap di hadapan Bianca. Gadis itu memilih diam dan mengiyakan perintah Bianca. "Iya, Ma. Insya Allah nanti aku sampaikan. Kalau enggak ada yang dibicarakan, aku mau ke kamar dulu.""Iya, Nak. Belajar yang rajin supaya kelak kamu mendapatkan suami yang setara kedudukannya dengan keluarga Bragastara."Alea hanya tersenyum tipis tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Lalu meninggalkan Bianca sendirian di ruang tamu. Benar kata Axel, lama-lama sikap Bianca sangat memuakkan. Baru masuk ke dalam kamar, terdengar suara nada dering handphone miliknya. Alea meli
"Apa, Kak?" Alea terperanjat mendengar kejujuran Axel. "Jadi, Kakak enggak fokus dengerin cerita kak Sandra karena dia terlalu cantik dan terlalu seksi di mata Kakak? Begitu bukan?"Axel menghela napas berat, menurunkan kedua pundak. "Iya.""Wah, jangan-jangan Kakak juga cinta sama kak Sandra, ya?" Alea langsung menyimpulkan demikian. Axel sekarang tak bisa berkelit lagi. Tidak mungkin dia berbohong pada Alea. "Kamu jangan bilang ke orang lain apalagi ke Kak Sandra. Udah diem dulu!" titah Axel takut kalau Cassandra tak punya perasaan cinta seperti dirinya. Alea tersenyum manis, mendengar ungkapan cinta Axel pada Cassandra. Alea tidak menyangka jika Axel juga jatuh cinta pada Cassandra. Ahay, lucu sekali. Ternyata mereka diam-diam saling mencintai. "Kalau emang Kakak cinta sama kak Sandra, kenapa enggak diungkapin aja?"Obrolan si kembar semakin panjang. Tapi, membuat Axel bernapas lega. Paling tidak, dia dapat menceritakan permasalahnnya pada Alea tanpa menunggu Gilang pulang ke kos
Akhirnya pikiran Axel jauh lebih tenang. Setelah bercerita dengan kembarannya, kini Axel bisa tidur dengan nyenyak. Bibirnya menyunggingkan senyuman, membayangkan wajah cantik Cassandra. Axel beranjak, keluar kamar. Hendak ke dapur, meminum segelas air putih. Lalu, samar-samar terdengar suara motor berhenti di depan rumah kos-an Gilang. Axel berjalan tenang, sudah tahu siapa yang datang. Gilang yang baru saja membuka helm terkejut melihat Axel yang berdiri di ambang pintu sambil tersenyum. Raut wajahnya sangat kontras dengan di cafe tadi. "Kenapa kamu, Xel? Senyam-senyum gitu?" tanya Gilang sembari mendorong sepeda motornya masuk ke dalam rumah. Axel menyingkir memberi ruang pada Gilang untuk masuk. "Yelah emang kenapa, Bang? Senyum kan ibadah," jawab Axel menggaruk tengkuk lehernya. Gilang terkekeh mendengar jawaban remaja yang sudah menginjak dewasa itu. "Kamu mau cerita dulu atau gimana nih?" Gilang bertanya, melepaskan tas kecil yang diselendangkan di atas pundaknya. "Enggak
"Kok teleponnya ditolak? Yelah ... masih aja marah," gerutu Axel yang duduk di kursi depan rumah kos-an Gilang. Baru saja Axel selesai menyantap sarapan bersama sahabatnya. "Kenapa, Xel?" tanya Gilang yang keluar membawa dua gelas teh manis hangat. Axel masih memandangi layar ponsel di tangan. Ditelepon lagi tapi sudah tidak aktif. "Kak Sandra nolak panggilanku, Bang," jawab Axel lesu. Pandangannya beralih lurus ke depan. Gilang duduk di kursi sebelah kirinya. "Menolak panggilanmu, belum tentu menolak cintamu," timpal Gilang terkekeh. Axel hanya tersenyum miring. "Bang Gilang bisa ae," kata Axel meletakkan handphone di atas meja. Menyeruput teh manis hangat di gelas hingga menyisakan setengah. "Cinta emang kayak gitu, Xel. Kadang bisa bikin hati bahagia. Kadang bisa bikin hati menderita. Tapi, yang Abang rasain. Lebih banyak menderitanya daripada bahagianya. Itu kalau Abang."Dua lelaki beda usia di pagi sekitar jam setengah tujuh membicarakan perihal cinta. Axel tahu perjalanan
Alea tak bisa menyangkal, diam seribu basa. Jika ia melarang Bianca untuk mengatakan hal itu, pastilah Bianca akan marah. Tapi, mengingat Axel juga ternyata menyukai Cassandra, diperingati demikian, pasti Axel juga akan marah apalagi alasan Bianca melarang hubungan mereka hanya karena ayah kandung Cassandra yang supir angkot. Semakin kuat penilaian Axel jika Bianca memiliki sifat suka merendahkan orang lain. Hal itu tentu saja tidak sukai Axel. "Ma, tadi aku udah kirim pesan ke kak Axel. Katanya dia nunggu Mama di parkiran mobil. Mobilnya masukin aja ya ke area parkir mobil," kata Alea setelah terjadi keheningan diantara mereka. Bianca menganggukkan kepala. "Baiklah. Mama harap dia enggak menghindar lagi," ucap Bianca tanpa membalas tatapan Alea. Benar saja, tiba di area parkir mobil, terlihat Axel sedang memainkan handphone. "Ma, itu kak Axel," ujar Alea menunjuk Axel yang berdiri di depan mobilnya. Bibir Bianca tersenyum bahagia. Ia lantas turun dari mobil, berjalan cepat mengh
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang