"Kok teleponnya ditolak? Yelah ... masih aja marah," gerutu Axel yang duduk di kursi depan rumah kos-an Gilang. Baru saja Axel selesai menyantap sarapan bersama sahabatnya. "Kenapa, Xel?" tanya Gilang yang keluar membawa dua gelas teh manis hangat. Axel masih memandangi layar ponsel di tangan. Ditelepon lagi tapi sudah tidak aktif. "Kak Sandra nolak panggilanku, Bang," jawab Axel lesu. Pandangannya beralih lurus ke depan. Gilang duduk di kursi sebelah kirinya. "Menolak panggilanmu, belum tentu menolak cintamu," timpal Gilang terkekeh. Axel hanya tersenyum miring. "Bang Gilang bisa ae," kata Axel meletakkan handphone di atas meja. Menyeruput teh manis hangat di gelas hingga menyisakan setengah. "Cinta emang kayak gitu, Xel. Kadang bisa bikin hati bahagia. Kadang bisa bikin hati menderita. Tapi, yang Abang rasain. Lebih banyak menderitanya daripada bahagianya. Itu kalau Abang."Dua lelaki beda usia di pagi sekitar jam setengah tujuh membicarakan perihal cinta. Axel tahu perjalanan
Alea tak bisa menyangkal, diam seribu basa. Jika ia melarang Bianca untuk mengatakan hal itu, pastilah Bianca akan marah. Tapi, mengingat Axel juga ternyata menyukai Cassandra, diperingati demikian, pasti Axel juga akan marah apalagi alasan Bianca melarang hubungan mereka hanya karena ayah kandung Cassandra yang supir angkot. Semakin kuat penilaian Axel jika Bianca memiliki sifat suka merendahkan orang lain. Hal itu tentu saja tidak sukai Axel. "Ma, tadi aku udah kirim pesan ke kak Axel. Katanya dia nunggu Mama di parkiran mobil. Mobilnya masukin aja ya ke area parkir mobil," kata Alea setelah terjadi keheningan diantara mereka. Bianca menganggukkan kepala. "Baiklah. Mama harap dia enggak menghindar lagi," ucap Bianca tanpa membalas tatapan Alea. Benar saja, tiba di area parkir mobil, terlihat Axel sedang memainkan handphone. "Ma, itu kak Axel," ujar Alea menunjuk Axel yang berdiri di depan mobilnya. Bibir Bianca tersenyum bahagia. Ia lantas turun dari mobil, berjalan cepat mengh
"Xel, Alea kemana? Tumben enggak masuk, enggak kasih kabar juga. Enggak biasanya tuh anak," tanya Arfan ketika bertemu Axel di kantin sekolah. Arfan adalah teman sekelas Alea. Kening Axel mengkerut, "Alea enggak sekolah? Yakin?""Iyalah, yakin. Orang gue temen sekelasnya," cetus Arfan sembari duduk di kursi yang tak jauh dari Axel. Mendengar kabar itu, Axel mengeluarkan handphone, menghubungi Alea. Namun, tak diangkat."Nih anak kenapa lagi? Ditelepon bukannya diangkat?" gerutu Axel yang baru saja memesan bakso. Panggilan teleponnya tak juga diangkat, Axel mengetik pesan. "Lea, kenapa enggak sekolah? Kamu kemana?" ***Di rumah sakit, Bianca langsung mendapat penanganan. Di tengah perjalanan menuju rumah sakit, Alea menelepon Evan. Tidak mungkin Alea mengurus administrasi seorang diri. Meminta tolong pada Axel lebih tidak mungkin. Ribet, pikir Alea. Beruntung, Evan cepat tanggap. Lelaki itu langsung meluncur ke rumah sakit, menemui istrinya. Sekarang Bianca sudah mendapat ruangan.
"Axel enggak salah, Lea. Sikapnya yang sekarang menurut Papa sangat wajar," timpal Evan berusaha menenangkan seorang gadis yang sebetulnya adik iparnya. "Enggak, Pa. Kak Axel itu salah. Dia egois, keras kepala, enggak tau diri. Hanya karena Papa dan mama merahasiakan siapa orang tua kandung kami, dia sampai segitunya padahal pengorbanan Papa dan mama untuk kami selama ini sangat besar. Aku minta maaf, enggak bisa ngebujuk kak Axel datang ke sini. Aku minta maaf, Pa," jelas Alea panjang lebar. Hatinya begitu sedih melihat keluarganya seperti ini. "Enggak apa-apa. Udah jangan nangis lagi. Sekarang lebih baik kamu pulang dulu. Biar Papa yang jagain mama," titah Evan merasa kasihan pada Alea yang tampak kelelahan. "Aku pengen nemuin mama dulu, Pa. Kali aja, mama mau ngerespon kalau aku ajak ngobrol."Evan menganggukkan kepala. Membiarkan Alea masuk ke ruangan istrinya. Alea menyeka lelehan air mata, menarik napas panjang sebelum masuk ke dalam ruangan Bianca. Melihat kondisi Bianca, h
Ferry terkejut dengan pertanyaan Axel. Dia pikir, Axel tidak mempermasalahkan tentang siapa Daniel dan Namira?"Nak Axel, sebetulnya saya enggak terlalu dekat dengan keluarga Bragastara. Hanya saja, dulu saya punya ... hm ... punya kekasih karyawan perusahaan Bragastara. Dan kebetulan sekali, Bianca dulunya adalah teman satu sekolah. Bukan hanya Bianca, Namira juga."Pandangan Ferry lurus ke depan. Ingatannya melayang ke peristiwa beberapa tahun silam. Ferry yang dulu sempat jatuh hati pada Namria, Ferry yang pernah menikahi ibu kandung Bianca dan Ferry juga yang pernah menikahi Mutiara. Dua tante-tante yang hanya dimanfaatkan uangnya saja. "Lalu, bagaimana Om bisa berpikir kalau anak-anak papa Daniel dan mama Namira meninggal dunia? Apakah mama Bianca juga mengumumkan kalau dia punya anak?""Iya," jawab Ferry cepat. "Kalau enggak salah, enggak lama pak Daniel dan Namira meninggal dunia, Bianca mengumumkan dirinya sudah punya buah hati kembar. Sedangkan Pak Daniel dan Namira anaknya
"Xel dengerin aku. Kalau kamu terus saja memikirkan masalah itu, masa lalu mereka. Hidupmu enggak akan tenang. Menurutku, terpenting ibu Bianca dan pak Evan telah merawatmu dan Alea dengan baik. Terlepas mereka mengklaim sebagai orang tua kandung kalian atau bukan. Aku yakin, di balik sifat egoismu, keras kepalamu, sebetulnya kamu sangat merindukan kenyamanan di rumah itu. Kamu tau enggak, kenapa kamu enggak bisa tidur di sana? Ya karena itu! Kamu masih menyimpan kebencian dan dendam pada ibu Bianca dan pak Evan."Panjang lebar, Gilang berbicara. Ia tak peduli, jika akhirnya Axel akan marah padanya atau tidak. Gilang hanya merasa kasihan pada Alea yang beberapa menit lalu meneleponnya sambil menangis. Memintanya agar mau menasehati Axel. Kembaran Alea itu tak langsung menjawab, ia tampak berpikir. "Ya udah, kamu pikirin dulu dah. Kamu tenangin hatimu dulu. Aku mau keluar dulu." Axel membiarkan Gilang keluar ruangan. Memang yang dikatakan Gilang dan Alea tidak sepenuhnya salah. Mere
Axel dan Alea memutuskan ke rumah sakit selepas salat Ashar. Sekitar jam empat sore. Axel sengaja mengemudikan mobilnya sendiri. Mereka hanya berdua, tidak diantar supir pribadi. "Lea, coba kamu telepon kak Sandra dulu. Dia ada di rumah enggak?""Oke."Tanpa membantah, Alea yang duduk di samping kemudi, mengeluarkan handphone. "Nanti di rumah sakit jangan lama-lama. Selepas salat Magrib kita ke rumah Kak Sandra. Takut kemalaman," sambung Axel lagi. "Iya."Alea menunggu panggilannya diangkat Cassandra. Tidak berselang lama, suara di seberang terdengar setelah Alea mengucapkan salam."Gemma Shella, ya?" terka Alea saat menyadari yang mengangkat teleponnya adalah wanita yang telah melahirkan Cassandra. Gemma yang artinya Grandma atau nenek. Axel menoleh, menyipitkan kedua mata. "Iya, Alea. Cassandra-nya lagi sakit.""Hah? Kak Sandra sakit? Sakit apa, Gemma?" Axel yang mendengar kondisi Cassandra langsung menoleh. Memberi isyarat pada kembarannya agar meloudspeaker handphone. Alea me
"Kak ...." panggil Alea bersedih lagi. "Xel, jangan bilang gitu. Tante enggak apa-apa," ucap Nida memegang lengan Axel. "Enggak, Tante. Mama udah keterlaluan. Mama pikir aku enggak tau, kalau Mama menghina bang Gilang. Aku tau, Ma. Sekarang Mama bisa-bisanya menuduh tante Nida kayak gitu. Ingat, Ma! Yang punya hati bukan Mama doang. Tante Nida, Alea, aku juga punya hati. Kenapa sih, Ma? Sekarang kalau ngomong enggak dijaga. Kenapa enggak introspeksi diri?"Axel meluapkan emosinya. Alea merunduk, memegang lengan Nida. Di sana, Nida tampak serba salah. Satu sisi, dia merasa bersalah namun sisi lain hatinya lega karena Axel dan Alea sudah mengetahui siapa orang tua kandung mereka. Tenggorokan Bianca tercekat, kepalanya merunduk, air mata membasahi wajah. Ia menyeka, menarik napas panjang, lalu menatap lekat Nida yang tak berani membalas tatapannya. "Nida, aku ... a-aku minta maaf. Maaf, ucapanku menyakitimu."Nida mendongak, baru berani membalas tatapan Bianca. Ketidakberanian Nida m
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang