Axel dan Alea memutuskan ke rumah sakit selepas salat Ashar. Sekitar jam empat sore. Axel sengaja mengemudikan mobilnya sendiri. Mereka hanya berdua, tidak diantar supir pribadi. "Lea, coba kamu telepon kak Sandra dulu. Dia ada di rumah enggak?""Oke."Tanpa membantah, Alea yang duduk di samping kemudi, mengeluarkan handphone. "Nanti di rumah sakit jangan lama-lama. Selepas salat Magrib kita ke rumah Kak Sandra. Takut kemalaman," sambung Axel lagi. "Iya."Alea menunggu panggilannya diangkat Cassandra. Tidak berselang lama, suara di seberang terdengar setelah Alea mengucapkan salam."Gemma Shella, ya?" terka Alea saat menyadari yang mengangkat teleponnya adalah wanita yang telah melahirkan Cassandra. Gemma yang artinya Grandma atau nenek. Axel menoleh, menyipitkan kedua mata. "Iya, Alea. Cassandra-nya lagi sakit.""Hah? Kak Sandra sakit? Sakit apa, Gemma?" Axel yang mendengar kondisi Cassandra langsung menoleh. Memberi isyarat pada kembarannya agar meloudspeaker handphone. Alea me
"Kak ...." panggil Alea bersedih lagi. "Xel, jangan bilang gitu. Tante enggak apa-apa," ucap Nida memegang lengan Axel. "Enggak, Tante. Mama udah keterlaluan. Mama pikir aku enggak tau, kalau Mama menghina bang Gilang. Aku tau, Ma. Sekarang Mama bisa-bisanya menuduh tante Nida kayak gitu. Ingat, Ma! Yang punya hati bukan Mama doang. Tante Nida, Alea, aku juga punya hati. Kenapa sih, Ma? Sekarang kalau ngomong enggak dijaga. Kenapa enggak introspeksi diri?"Axel meluapkan emosinya. Alea merunduk, memegang lengan Nida. Di sana, Nida tampak serba salah. Satu sisi, dia merasa bersalah namun sisi lain hatinya lega karena Axel dan Alea sudah mengetahui siapa orang tua kandung mereka. Tenggorokan Bianca tercekat, kepalanya merunduk, air mata membasahi wajah. Ia menyeka, menarik napas panjang, lalu menatap lekat Nida yang tak berani membalas tatapannya. "Nida, aku ... a-aku minta maaf. Maaf, ucapanku menyakitimu."Nida mendongak, baru berani membalas tatapan Bianca. Ketidakberanian Nida m
Masuk ke dalam mobil, Nida menumpahkan tangisan. Ia menangis tersedu-sedu. Stir mobil basah oleh air matanya. Sungguh, Nida tak menyangka jika Bianca menuduh iri padanya. Sedikit pun tidak ada perasaan itu. Belum lagi, Bianca yang menyebutnya wanita mandul. Sakit, sakit sekali hati Nida. Sepersekian menit Nida menumpahkan kesedihannya di dalam mobil. Tidak mungkin ia menangis di rumah. Sekarang prilaku Hanif tidak seperti dulu lagi. Nida merasa, Hanif mulai terpengaruhi ucapan ibu Ros. Wanita yang menjadi ibu mertua Nida. Setelah meluapkan rasa sedihnya, barulah Nida melajukan kendaraan. Meninggalkan area parkir rumah sakit. Kini, Nida merasa seorang diri lagi. Dia pikir, Bianca masih seperti dulu, sudah memaafkan kesalahannya atas perbuatan Nida yang membongkar rahasia tentang siapa kedua orang tua kandung Axel dan Alea. Justru Nida semakin merasa kalau Bianca amat sangat membencinya. Tidak ada yang bisa dilakukan seorang Nida, selain mengalah dan berdiam diri. Jika Nida memiliki
"Untungnya apa aku mempermalukanmu?" Bukan Nida ingin melawan, tetapi dia sudah lelah disalahkan dan disudutkan. Disalahkan Hanif, Ibu Ros dan Bianca. Semua orang yang dekat dengannya, selalu saja menyalahkan dirinya. Nida lelah, sangat lelah. "Ya terus, tadi kenapa kamu bilang masih kurang nafkah dari aku, Dek? Kamu bisa kan, alasannya karena bosan di rumah terus, bosan jadi ibu rumah tangga. Makanya kamu kerja. Bisa kan bilang gitu?" tandas Hanif dengan emosi yang tak bisa dia kontrol lagi. Dia merasa gengsi dibilang demikian oleh Nida. Nida memejamkan kedua mata, menghela napas berat. Lalu, menatap lekat suaminya yang berdiri di hadapan. Nida pun berdiri, mensejajarkan tubuh pada Hanif. "Dia yang bilang duluan, apakah pemberian dari suamimu kurang? Ya aku bilang apa adanya. Nyatanya emang kurang, kan? Kenapa? Kamu mau belain dia? Kamu mau nyuruh aku minta maaf? Iya?" tantang Nida. Emosinya tak bisa dikendalikan lagi. "Nida!" sentak Hanif yang tak biasanya. "Kenapa kamu jadi ber
Tanpa disadari, pesan yang dikirim Friska membuat Hanif terenyum. Aliran darahnya mengalir terasa panas. Bayangan Friska yang mengenakan pakaian cukup terbuka dan wangi parfum yang menyengat membuat bayangan wanita itu sulit terhempas. Hanif akui, Friska pun semakin canti dan ... seksi. Hanif menelan saliva, tangannya gemetar membaca pesan yang menurutnya mesra. "Hei, kok enggak dibalas? Apa kamu lagi nunggu aku kirim gambar sedang di toilet? Pesan Friska kembali masuk. Jakun Hanif naik turun. Selang beberapa detik, foto Friska muncul dengan pose hanya mengenakan handuk sebatas dada sembari menggigit bibir bawah. Kedua mata Hanif membeliak, segera menghapus foto tersebut. Dengan tangan gemetar, ia membalas pesan Friska. "Ada istriku." Hanya dua kalimat itu yang diketik Hanif. Kepalanya menoleh pada Nida yang terbaring memunggungi. Hanif menunggu balasan Friska. "Oke, Sayang. Besok pulang ngajar, aku pengen ketemu kamu, ya? Kamu bisa 'kan?" Hanif langsung membala
"Kamu ngomong apa, Xel?" Cassandra yang mendengar samar-samar ucapan Axel membalikkan badan. Axel tergagap, mengusap tengkuk dan meringis. "Enggak ngomong apa-apa. Emang tadi aku ngomong apa?"Sementara Alea, gadis itu mengulum senyum melihat tingkah Axel dan Cassandra. Yang satu butuh kejelasan, yang satu lagi tukang ngeles. "Ya enggak tau, tadi kan aku nanya. Udahlah, lupain! Kalian mau minum apa?" tanya Cassandra mengalihkan pembicaraan. Padahal dia dengar apa yang dikatakan Axel itu hanya saja Cassandra ingin mendengar lagi. "Kopi aja, Kak. Kak Axel mau minum kopi juga?""Iya boleh."Cassandra menganggukkan kepala, masuk ke ruangan lain. "Hem, gengsi mulu. Gimana mau mengungkapkan cinta," sindir Alea pada kakaknya. Axel menempelkan jari telunjuk ke depan bibirnya. "Ssstt ... jangan berisik! Aku enggak mau Kak Sandra salah paham lagi," tegur Axel sambil melotot. Sesekali melongok ke ruangan lain, khawatir Cassandra kembali dan memergoki obrolan mereka. "Nyantai aja sih, Kak."
Alea dan Cassandra tergelak mendengar pujian Alex. Raut wajah Cassandra memerah karena malu. Begitu pula Axel. Meski malu, tapi hatinya terasa lega. Cassandra menarik napas panjang, berusaha bersikap biasa-biasa saja. "Kamu pasti bohong. Kalau pengen bahagiain orang, enggak perlu berbohong, dosa tau!" kilah Cassandra menepis pujian tulus yang diucapkan Axel. "Aku enggak bohong. Aku serius. Dari dulu kamu emang ... emang begitu. Di mataku selalu mempesona."Axel semakin berani mengungkapkan kekagumannya pada Cassandra. Alea yang mendengar kejujuran kakaknya hanya melipat bibir, membiarkan kedua manusia itu berbicara. "Masa sih?" Cassandra tetap biasa-biasa saja. Dia bersukur karena bisa mengendalikan rasa gugupnya di depan Axel dan Alea. "Serius, Kak. Aku udah lama sekali menganggumimu. Cuma ...." Axel menjeda kalimat. Kepalanya merunduk. "Cuma apa?" Cassandra mendesak. Sementara Alea tetap tersenyum tanpa bicara sepatah kata pun. Tak masalah ia seperti nyamuk. Yang penting, kaka
Bibir Axel tersenyum membaca sederet kalimat yang dikirim Cassandra. "Isi pesannya apa, Kak?" Alea penasaran, mendekatkan diri pada Axel. "Eh, rahasia!" ujar Axel memasukkan handphone ke dalam saku. Kali ini saku celana supaya adiknya tidak berani merebut. "Dih, pelit amat? tau gitu, tadi aku buka aja pesannya langsung," gerutu Alea kecewa. Tidak diberitahu kakaknya. "Lea, makasih banyak. Kamu kemaren malam udah kasih solusi, mau dengerin ceritaku. Makasih banyak. Kalau kamu kayak gitu, aku jadi ngerasa punya adik yang berguna."Senyum yang sebelumnya terlihat dibibir Alea, seketika lenyap."Eh, emang kemarin-marin aku enggak berguna?" Alea bertanya nyolot. Kesal pada kembarannya. "Hahahaha ... biasanya enggak. Sekarang alhamdulillah berguna. Terima kasih.""Ck, ngeselin. Iya sama-sama."Kendaraan yang ditumpangi Alea dan Axel sudah memasuki halaman rumah keluarga Bragastara. Keduanya masuk dan langsung ke kamar masing-masing. Alea ingin segera istirahat. Sangat lelah. Sedangkan
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang