Tanpa disadari, pesan yang dikirim Friska membuat Hanif terenyum. Aliran darahnya mengalir terasa panas. Bayangan Friska yang mengenakan pakaian cukup terbuka dan wangi parfum yang menyengat membuat bayangan wanita itu sulit terhempas. Hanif akui, Friska pun semakin canti dan ... seksi. Hanif menelan saliva, tangannya gemetar membaca pesan yang menurutnya mesra. "Hei, kok enggak dibalas? Apa kamu lagi nunggu aku kirim gambar sedang di toilet? Pesan Friska kembali masuk. Jakun Hanif naik turun. Selang beberapa detik, foto Friska muncul dengan pose hanya mengenakan handuk sebatas dada sembari menggigit bibir bawah. Kedua mata Hanif membeliak, segera menghapus foto tersebut. Dengan tangan gemetar, ia membalas pesan Friska. "Ada istriku." Hanya dua kalimat itu yang diketik Hanif. Kepalanya menoleh pada Nida yang terbaring memunggungi. Hanif menunggu balasan Friska. "Oke, Sayang. Besok pulang ngajar, aku pengen ketemu kamu, ya? Kamu bisa 'kan?" Hanif langsung membala
"Kamu ngomong apa, Xel?" Cassandra yang mendengar samar-samar ucapan Axel membalikkan badan. Axel tergagap, mengusap tengkuk dan meringis. "Enggak ngomong apa-apa. Emang tadi aku ngomong apa?"Sementara Alea, gadis itu mengulum senyum melihat tingkah Axel dan Cassandra. Yang satu butuh kejelasan, yang satu lagi tukang ngeles. "Ya enggak tau, tadi kan aku nanya. Udahlah, lupain! Kalian mau minum apa?" tanya Cassandra mengalihkan pembicaraan. Padahal dia dengar apa yang dikatakan Axel itu hanya saja Cassandra ingin mendengar lagi. "Kopi aja, Kak. Kak Axel mau minum kopi juga?""Iya boleh."Cassandra menganggukkan kepala, masuk ke ruangan lain. "Hem, gengsi mulu. Gimana mau mengungkapkan cinta," sindir Alea pada kakaknya. Axel menempelkan jari telunjuk ke depan bibirnya. "Ssstt ... jangan berisik! Aku enggak mau Kak Sandra salah paham lagi," tegur Axel sambil melotot. Sesekali melongok ke ruangan lain, khawatir Cassandra kembali dan memergoki obrolan mereka. "Nyantai aja sih, Kak."
Alea dan Cassandra tergelak mendengar pujian Alex. Raut wajah Cassandra memerah karena malu. Begitu pula Axel. Meski malu, tapi hatinya terasa lega. Cassandra menarik napas panjang, berusaha bersikap biasa-biasa saja. "Kamu pasti bohong. Kalau pengen bahagiain orang, enggak perlu berbohong, dosa tau!" kilah Cassandra menepis pujian tulus yang diucapkan Axel. "Aku enggak bohong. Aku serius. Dari dulu kamu emang ... emang begitu. Di mataku selalu mempesona."Axel semakin berani mengungkapkan kekagumannya pada Cassandra. Alea yang mendengar kejujuran kakaknya hanya melipat bibir, membiarkan kedua manusia itu berbicara. "Masa sih?" Cassandra tetap biasa-biasa saja. Dia bersukur karena bisa mengendalikan rasa gugupnya di depan Axel dan Alea. "Serius, Kak. Aku udah lama sekali menganggumimu. Cuma ...." Axel menjeda kalimat. Kepalanya merunduk. "Cuma apa?" Cassandra mendesak. Sementara Alea tetap tersenyum tanpa bicara sepatah kata pun. Tak masalah ia seperti nyamuk. Yang penting, kaka
Bibir Axel tersenyum membaca sederet kalimat yang dikirim Cassandra. "Isi pesannya apa, Kak?" Alea penasaran, mendekatkan diri pada Axel. "Eh, rahasia!" ujar Axel memasukkan handphone ke dalam saku. Kali ini saku celana supaya adiknya tidak berani merebut. "Dih, pelit amat? tau gitu, tadi aku buka aja pesannya langsung," gerutu Alea kecewa. Tidak diberitahu kakaknya. "Lea, makasih banyak. Kamu kemaren malam udah kasih solusi, mau dengerin ceritaku. Makasih banyak. Kalau kamu kayak gitu, aku jadi ngerasa punya adik yang berguna."Senyum yang sebelumnya terlihat dibibir Alea, seketika lenyap."Eh, emang kemarin-marin aku enggak berguna?" Alea bertanya nyolot. Kesal pada kembarannya. "Hahahaha ... biasanya enggak. Sekarang alhamdulillah berguna. Terima kasih.""Ck, ngeselin. Iya sama-sama."Kendaraan yang ditumpangi Alea dan Axel sudah memasuki halaman rumah keluarga Bragastara. Keduanya masuk dan langsung ke kamar masing-masing. Alea ingin segera istirahat. Sangat lelah. Sedangkan
"Hahahaha ... tentu saja sudah, Tante ... aku udah menggodanya melalui chat dan kirim fotoku yang hanya mengenakan handuk sebatas dada. Hahahahah ...." Friska tertawa lepas. Sangat bahagia jika mengingat chat-nya semalam pada Hanif. Kedua mata ibu Ros membeliak mendengar jawaban wanita yang diinginkannya menjadi menantu itu. "Kamu serius, Friska?" Tampak tak percaya mendengarnya, ibu Ros kembali bertanya untuk meyakinkan. "Serius, Tante. Nanti siang juga aku dan Hanif akan bertemu. Tante tenang aja, Hanif pasti akan jatuh dalam pelukanku dan mengusir wanita mandul itu."Kali ini Ibu Ros yang tertawa mendengar rencana Friska. Sebentar lagi keinginannya akan terpenuhi. Nida akan diceraikan Hanif dan Friska akan dinikahi. "Bagus, Friska. Tante sangat bersyukur bertemu sama kamu lagi. Kamu emang wanita yang hebat, wanita yang cantik. Dari awal Tante yakin, Hanif pasti tergoda sama kamu. Ya ampun, Friska ... Tante sangat senang.""Terima kasih, Tante. Jujur saja, sampai sekarang aku ma
"Oke. Kamu jalan duluan. Aku ngikutin dari belakang," jawab Hanif tanpa keraguan. "Sayang, kenapa enggak satu mobil saja? Mobilmu taro di sekolah. Aman 'kan?" Saran yang diucapkan Friska langsung disetujui Hanif. "Kamu tunggu sebentar!"Hanif bergegas keluar. Masuk ke dalam mobil, lalu memasukkan kendaraannya ke dalam area parkir lagi. Friska sangat senang melihat sikap Hanif yang tampaknya sudah tak tahan. Wanita itu pun mengeluarkan obat kuat dari dalam tas. Ia tahu, kemampuan laki-laki seperti Hanif pasti tidak bertahan lama apalagi menyeimbangi nafsu Friska. Melihat Hanif sudah datang kembali, Friska cepat-cepat memasukan obat kuat itu ke dalam tas. Hanif masuk dengan napas turun naik. "Friska, kita berangkat sekarang.""Oke, Sayang."Friska pun mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Sepanjang jalan, tangan kiri Friska begitu nakal. Sering kali mengelus paha dan kepunyaan Hanif. Lelaki itu menyandarkan kepala, memejamkan kedua mata. Akal warasnya sudah
Hanif mengerjapkan kedua mata. Ia tertidur setelah menyudahi permainannya dengan Friska tepat pukul empat dini hari. Mereka benar-benar dimabuk asmara. Keduanya terlelap setelah berkubang dalam dosa. Dosa yang dipenuhi kenikmatan sesaat. Tubuh Hanif baru terasa pegal. Ekor matanya melirik wanita yang tanpa sehelai benang tidur di samping sambil memeluk tubuhnya. Hanif melepaskan rengkuhan tangan Friska, menyibak selimut dan duduk di tepian ranjang. Ingatan Hanif kembali pada kejadian sejak siang tadi hingga dini hari bersama Friska. Ia tak menyangka kesetiaannya hancur lebur ketika bertemu dengan mantan kekasihnya dulu. Hanif menoleh, memerhatikan wanita yang kecantikan dan keseksiannya masih sama seperti dulu. Begitu mudahnya cinta Hanif terhadap istrinya berpaling pada Friska. Hanif mengusap wajahnya dengan kasar. Melirik jam dinding, sudah pukul tujuh pagi. Itu artinya, ia tidak mungkin berangkat mengajar. Sisi lain dari hatinya, ia merutuk diri. Begitu mudah terpedaya dengan buj
"Tentu saja boleh. Sekarang juga kamu boleh kok tinggal di rumahku dari pada kita tinggal di hotel ini. Gimana? Kamu mau enggak?" jawab Friska tersenyum manis. Tidak ada keraguan sedikit pun dari intonasi suaranya kalau ia mengizinkan Hanif tinggal di rumahnya. Hanif mengulas senyum mendengar jawaban Friska. "Terima kasih, Sayang. Kalau begitu, aku mau beresin urusan satu-satu dulu. Kalau aku udah menceraikan Nida, aku akan segera keluar dari rumah itu dan langsung pindah ke rumahmu." "Oke, Sayang. Dengan senang hati, aku akan menerimamu di rumahku." Friska semakin mengeratkan pelukan. Tak ada rasa lelah pada diri wanita itu. Ia selalu berhasrat jika di dekat Hanif. Kerinduannya selama ini pada Hanif telah terlabuhkan. "Sejarang aku mau pulang dulu," ucap Hanif melepaskan kedua tangan Friska dari tubuhnya. "Tapi nanti malam kamu ke sini lagi, ya?" rengek Friska menunjukan raut wajah manja. Hanif gemas, memencet hidung mancung wanita yang semalaman melayaninya. "Besok mala
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang