"Apa, Kak?" Alea terperanjat mendengar kejujuran Axel. "Jadi, Kakak enggak fokus dengerin cerita kak Sandra karena dia terlalu cantik dan terlalu seksi di mata Kakak? Begitu bukan?"Axel menghela napas berat, menurunkan kedua pundak. "Iya.""Wah, jangan-jangan Kakak juga cinta sama kak Sandra, ya?" Alea langsung menyimpulkan demikian. Axel sekarang tak bisa berkelit lagi. Tidak mungkin dia berbohong pada Alea. "Kamu jangan bilang ke orang lain apalagi ke Kak Sandra. Udah diem dulu!" titah Axel takut kalau Cassandra tak punya perasaan cinta seperti dirinya. Alea tersenyum manis, mendengar ungkapan cinta Axel pada Cassandra. Alea tidak menyangka jika Axel juga jatuh cinta pada Cassandra. Ahay, lucu sekali. Ternyata mereka diam-diam saling mencintai. "Kalau emang Kakak cinta sama kak Sandra, kenapa enggak diungkapin aja?"Obrolan si kembar semakin panjang. Tapi, membuat Axel bernapas lega. Paling tidak, dia dapat menceritakan permasalahnnya pada Alea tanpa menunggu Gilang pulang ke kos
Akhirnya pikiran Axel jauh lebih tenang. Setelah bercerita dengan kembarannya, kini Axel bisa tidur dengan nyenyak. Bibirnya menyunggingkan senyuman, membayangkan wajah cantik Cassandra. Axel beranjak, keluar kamar. Hendak ke dapur, meminum segelas air putih. Lalu, samar-samar terdengar suara motor berhenti di depan rumah kos-an Gilang. Axel berjalan tenang, sudah tahu siapa yang datang. Gilang yang baru saja membuka helm terkejut melihat Axel yang berdiri di ambang pintu sambil tersenyum. Raut wajahnya sangat kontras dengan di cafe tadi. "Kenapa kamu, Xel? Senyam-senyum gitu?" tanya Gilang sembari mendorong sepeda motornya masuk ke dalam rumah. Axel menyingkir memberi ruang pada Gilang untuk masuk. "Yelah emang kenapa, Bang? Senyum kan ibadah," jawab Axel menggaruk tengkuk lehernya. Gilang terkekeh mendengar jawaban remaja yang sudah menginjak dewasa itu. "Kamu mau cerita dulu atau gimana nih?" Gilang bertanya, melepaskan tas kecil yang diselendangkan di atas pundaknya. "Enggak
"Kok teleponnya ditolak? Yelah ... masih aja marah," gerutu Axel yang duduk di kursi depan rumah kos-an Gilang. Baru saja Axel selesai menyantap sarapan bersama sahabatnya. "Kenapa, Xel?" tanya Gilang yang keluar membawa dua gelas teh manis hangat. Axel masih memandangi layar ponsel di tangan. Ditelepon lagi tapi sudah tidak aktif. "Kak Sandra nolak panggilanku, Bang," jawab Axel lesu. Pandangannya beralih lurus ke depan. Gilang duduk di kursi sebelah kirinya. "Menolak panggilanmu, belum tentu menolak cintamu," timpal Gilang terkekeh. Axel hanya tersenyum miring. "Bang Gilang bisa ae," kata Axel meletakkan handphone di atas meja. Menyeruput teh manis hangat di gelas hingga menyisakan setengah. "Cinta emang kayak gitu, Xel. Kadang bisa bikin hati bahagia. Kadang bisa bikin hati menderita. Tapi, yang Abang rasain. Lebih banyak menderitanya daripada bahagianya. Itu kalau Abang."Dua lelaki beda usia di pagi sekitar jam setengah tujuh membicarakan perihal cinta. Axel tahu perjalanan
Alea tak bisa menyangkal, diam seribu basa. Jika ia melarang Bianca untuk mengatakan hal itu, pastilah Bianca akan marah. Tapi, mengingat Axel juga ternyata menyukai Cassandra, diperingati demikian, pasti Axel juga akan marah apalagi alasan Bianca melarang hubungan mereka hanya karena ayah kandung Cassandra yang supir angkot. Semakin kuat penilaian Axel jika Bianca memiliki sifat suka merendahkan orang lain. Hal itu tentu saja tidak sukai Axel. "Ma, tadi aku udah kirim pesan ke kak Axel. Katanya dia nunggu Mama di parkiran mobil. Mobilnya masukin aja ya ke area parkir mobil," kata Alea setelah terjadi keheningan diantara mereka. Bianca menganggukkan kepala. "Baiklah. Mama harap dia enggak menghindar lagi," ucap Bianca tanpa membalas tatapan Alea. Benar saja, tiba di area parkir mobil, terlihat Axel sedang memainkan handphone. "Ma, itu kak Axel," ujar Alea menunjuk Axel yang berdiri di depan mobilnya. Bibir Bianca tersenyum bahagia. Ia lantas turun dari mobil, berjalan cepat mengh
"Xel, Alea kemana? Tumben enggak masuk, enggak kasih kabar juga. Enggak biasanya tuh anak," tanya Arfan ketika bertemu Axel di kantin sekolah. Arfan adalah teman sekelas Alea. Kening Axel mengkerut, "Alea enggak sekolah? Yakin?""Iyalah, yakin. Orang gue temen sekelasnya," cetus Arfan sembari duduk di kursi yang tak jauh dari Axel. Mendengar kabar itu, Axel mengeluarkan handphone, menghubungi Alea. Namun, tak diangkat."Nih anak kenapa lagi? Ditelepon bukannya diangkat?" gerutu Axel yang baru saja memesan bakso. Panggilan teleponnya tak juga diangkat, Axel mengetik pesan. "Lea, kenapa enggak sekolah? Kamu kemana?" ***Di rumah sakit, Bianca langsung mendapat penanganan. Di tengah perjalanan menuju rumah sakit, Alea menelepon Evan. Tidak mungkin Alea mengurus administrasi seorang diri. Meminta tolong pada Axel lebih tidak mungkin. Ribet, pikir Alea. Beruntung, Evan cepat tanggap. Lelaki itu langsung meluncur ke rumah sakit, menemui istrinya. Sekarang Bianca sudah mendapat ruangan.
"Axel enggak salah, Lea. Sikapnya yang sekarang menurut Papa sangat wajar," timpal Evan berusaha menenangkan seorang gadis yang sebetulnya adik iparnya. "Enggak, Pa. Kak Axel itu salah. Dia egois, keras kepala, enggak tau diri. Hanya karena Papa dan mama merahasiakan siapa orang tua kandung kami, dia sampai segitunya padahal pengorbanan Papa dan mama untuk kami selama ini sangat besar. Aku minta maaf, enggak bisa ngebujuk kak Axel datang ke sini. Aku minta maaf, Pa," jelas Alea panjang lebar. Hatinya begitu sedih melihat keluarganya seperti ini. "Enggak apa-apa. Udah jangan nangis lagi. Sekarang lebih baik kamu pulang dulu. Biar Papa yang jagain mama," titah Evan merasa kasihan pada Alea yang tampak kelelahan. "Aku pengen nemuin mama dulu, Pa. Kali aja, mama mau ngerespon kalau aku ajak ngobrol."Evan menganggukkan kepala. Membiarkan Alea masuk ke ruangan istrinya. Alea menyeka lelehan air mata, menarik napas panjang sebelum masuk ke dalam ruangan Bianca. Melihat kondisi Bianca, h
Ferry terkejut dengan pertanyaan Axel. Dia pikir, Axel tidak mempermasalahkan tentang siapa Daniel dan Namira?"Nak Axel, sebetulnya saya enggak terlalu dekat dengan keluarga Bragastara. Hanya saja, dulu saya punya ... hm ... punya kekasih karyawan perusahaan Bragastara. Dan kebetulan sekali, Bianca dulunya adalah teman satu sekolah. Bukan hanya Bianca, Namira juga."Pandangan Ferry lurus ke depan. Ingatannya melayang ke peristiwa beberapa tahun silam. Ferry yang dulu sempat jatuh hati pada Namria, Ferry yang pernah menikahi ibu kandung Bianca dan Ferry juga yang pernah menikahi Mutiara. Dua tante-tante yang hanya dimanfaatkan uangnya saja. "Lalu, bagaimana Om bisa berpikir kalau anak-anak papa Daniel dan mama Namira meninggal dunia? Apakah mama Bianca juga mengumumkan kalau dia punya anak?""Iya," jawab Ferry cepat. "Kalau enggak salah, enggak lama pak Daniel dan Namira meninggal dunia, Bianca mengumumkan dirinya sudah punya buah hati kembar. Sedangkan Pak Daniel dan Namira anaknya
"Xel dengerin aku. Kalau kamu terus saja memikirkan masalah itu, masa lalu mereka. Hidupmu enggak akan tenang. Menurutku, terpenting ibu Bianca dan pak Evan telah merawatmu dan Alea dengan baik. Terlepas mereka mengklaim sebagai orang tua kandung kalian atau bukan. Aku yakin, di balik sifat egoismu, keras kepalamu, sebetulnya kamu sangat merindukan kenyamanan di rumah itu. Kamu tau enggak, kenapa kamu enggak bisa tidur di sana? Ya karena itu! Kamu masih menyimpan kebencian dan dendam pada ibu Bianca dan pak Evan."Panjang lebar, Gilang berbicara. Ia tak peduli, jika akhirnya Axel akan marah padanya atau tidak. Gilang hanya merasa kasihan pada Alea yang beberapa menit lalu meneleponnya sambil menangis. Memintanya agar mau menasehati Axel. Kembaran Alea itu tak langsung menjawab, ia tampak berpikir. "Ya udah, kamu pikirin dulu dah. Kamu tenangin hatimu dulu. Aku mau keluar dulu." Axel membiarkan Gilang keluar ruangan. Memang yang dikatakan Gilang dan Alea tidak sepenuhnya salah. Mere
"Minumannya udah datang..., " seru Alea membawa tiga cangkir kopi. Dua cangkir berisi kopi, satu cangkir berisi teh manis. Alea meletakkan cangkir teh manis di depan Arfan. "Makasih, Lea." "Sama-sama. Diminum dulu tehnya biar semangat!" kata Alea menarik kursi yang tak jauh dari jangkauan. Ketiga anak muda itu langsung fokus pada layar laptop yang biasa digunakan Axel. Sebelum meretas, Arfan ingin tahu lebih dulu akun Hanif. "Kayaknya Pak Hanif enggak terlalu aktif di media sosial yang ini. Nih kalian lihat!" Arfan menyodorkan layar laptop ke hadapan Axel dan Alea. Saudara kembar itu duduk berdekatan. "Enggak bisa di cek DM -nya?" tanya Axel menoleh pada Arfan. "Bisa. Sebentar, aku coba lagi." Kali ini cukup lama, Arfan berkutat di depan laptop. Arfan begitu lincah mengoperasikan teknologi. Alea yang baru melihat kemampuan Arfan secara langsung, sampai dibuat kagum. Tanpa disadari, Alea tersenyum sembari memandang wajah Arfan yang cukup tampan. Axel yang semula memandang l
"Astaghfirullah, Mama kok bilang gitu? Enggak peduli sekali dengan musibah yang dialami tante Nida." Refleks, Alea menimpali ucapan Bianca. Biasanya Alea tak berani menyanggah ucapan Bianca tetapi kini, ia langsung angkat bicara."Bukan Mama enggak peduli! Ah, sudahlah. Sekarang lebih baik kalian mandi, ganti seragam dan makan. Mama enggak mau penghuni rumah ini ada yang sakit lagi," ucap Bianca masih diselimuti emosi. Wanita itu masuk ke dalam rumah, tanpa menunggu tanggapan dari kedua adiknya. Axel menarik napas panjang melihat tingkah laku Bianca yang tak berubah. Masih saja menyebalkan. "Kenapa mama jadi ngeselin banget sih, Kak?" gerutu Alea, bibirnya cemberut, kedua tangsj bersidekap. "Emang ngeselin!" jawab Axel masuk ke dalam rumah lebih dulu. Axel sedang malas berdebat. Kalau saja tidak ingat dengan kesehatan Bianca, mungkin Axel tadi akan ribut juga. Saudara kembar itu masuk ke dalam kamar masing-masing. Melakukan perintah Bianca setelahnya mereka berdua menuju ruang mej
Raut wajah Alea seketika berbinar. Ia baru ingat kalau teman sekelasnya itu memiliki keahlian teknologi. Meski masih SMA, tapi otak Arfan bisa dikatakan lumayan encer terutama masalah teknologi. "Iya, Kak. Bener banget tuh! Aku baru inget kalau si Arfan jago IT. Ya udah, Kak. Aku mau telepon dia dulu. Suruh dia dateng ke rumah nanti malam. Gimana, Kak?" Alea sangat bersemangat menjalankan rencana yang disampaikan oleh Axel. Ia tak sabar ingin mengetahui penyebab Hanif menceraikan Nida. "Boleh. Coba aja kamu telepon." Alea langsung merogoh handphone dari saku seragamnya. Lalu menekan nomor kontak Arfan. Arfan yang tengah berkutat di depan komputer rumahnya, terkejut melihat Alea sang gadis pujaan hati menghubunginya. Senyum Arfan mengembang, menarik napas panjang lalu mengangkat telepon dari Alea. "Hallo?" "Fan, nanti malam kamu bisa enggak ke rumahku?" Tanpa basa-basi Alea bertanya. Ia tak mau membuang waktu. Ingin secepatnya mengetahui alasan Hanif mecneraikan tante
"Analisamu ada benernya, Lea. Bisa jadi Om Hanif yang mandul," timpal Axel sependapat dengan kembarannya.Nida hanya mengulum senyum mendengar tanggapan dari Alea dan Axel."Ya udahlah, Tante enggak mau terlalu mikirin itu lagi. Toh kenyataannya, sekarang kami udah bercerai. Tinggal menunggu sidangnya saja." Sangat tenang, Nida menanggapi ucapan anak kembar itu. Alea dan Axel saling pandang lalu keduanya mengela napas berat. "Tante harus kuat ya terutama di depan om Hanif. Jangan sampai terlihat lemah atau bersedih. Nanti si om malah besar kepala. Malah mikir, Tante kecintaan banget ama dia," kata Alea memberi semangat pada wanita yang selama ini tempat mereka curhat. "Tapi, Tante. Apa Tante enggak ada curiga kalau om punya wanita idaman lain? Ya aku sih, enggak habis pikir aja. Selama ini yang aku tau, rumah tangga Tante kan baik-baik aja. Kok sekarang tiba-tiba ...."Axel menggantung kalimat, tak sanggup melanjutkan kalimat yang sudah dimengerti oleh Nida dan Alea. "Namanya juga
"Cerai?" Serempak Alea dan Axel bertanya. Raut wajah mereka terkejut. "Tante serius?" tanya Alea. "Pasti cuma nge-prank nih," timpal Axel tak percaya. Nida tersenyum, menepuk pundak Axel. "Kita makan dulu aja. Nanti Tante baru cerita."Keduanya menganggukkan kepala. Mengikuti langkah Nida yang menuju dapur. "Kalian tunggu di sini. Tante mau hangatin masakannya. Oke?""Oke, Tante."Nida menarik napas lega sebab Alea dan Axel datang ke rumahnya. Paling tidak ia sedikit terhibur akan kedatangan mereka. Dirinya tidak merasa sendirian di rumah ini. Namun, Nida sadar. Dia mesti terbiasa dengan kesendirian. "Sudah siap masakannya," seru Nida seolah tak terjadi hal buruk yang menimpanya. Ya, hal buruk. Sebab, meski Nida terlihat sumringah, terlihat menerima keputusan Hanif akan tetapi hatinya tetaplah bersedih dan sakit. Nida wanita normal. Yang sakit hati jika cintanya dikhianati. Nida menyimpulkan sendiri jika alasan Hanif menceraikannya karena ada wanita lain. Wanita lain itu kemungk
Hanif tak dapat mengelak lagi. Selama ini tidak bisa ia berbohong pada Nida. Pun Nida, ia tahu jika suaminya menyembunyikan sesuatu atau sedang berbohong. Namun, lagi dan lagi Hanif diam, tak juga menjawab. "Oke. Kalau kamu masih enggak mau jawab pertanyaanku, enggak masalah. Aku juga enggak masalah kalau kamu mau cerai. Silakan saja."Nida menyerah, tidak bisa mendesak lelaki yang lebih banyak diam itu. Nida beranjak ke toilet. Di dalam sana, setelah membuka kran, Nida menangis tersedu-sedu. Sedikit pun Nida tak menyangka jika Hanif akan menceraikannya. Baru beberapa hari lalu, Hanif meyakinkan cinta dan kesetiannya terhadap Nida. Hanif menarik napas panjang ketika Nida pergi meninggalkannya. Ia mengusap wajah kasar, memandang lurus ke depan, lalu pandangannya mengitari kamar yang sudah bertahun-tahun ditempatinya bersama wanita yang dulu mati-matian ia perjuangkan. Dan hari ini, Hanif sudah menjatuhkan talak. Lelaki itu kembali menarik napas, mengembuskan perlahan. Berusaha meyak
Tiba di rumah, Nida berjalan cepat, ingin segera menemui suaminya. Ketika hendak menaiki anak tangga yang menghubungkan ke kamarnya, terdengar suara percakapan Hanif dengan ibunya di ruang keluarga. Nida pun mengurungkan pergi ke kamar, belok ke ruang keluarga. "Mas!" pekik Nida menghampiri suaminya yang duduk di sebelah ibu Ros. "Kamu enggak apa-apa, Mas? Mana yang terluka?" telisik Nida panik. Menelisik Hanif. "Kamu ini gimana sih? Malah nyari yang terluka? Kamu pengen suamimu terluka?" Pertanyaan ibu Ros membuat Nida menoleh. Menghela napas berat. Nida tahu, apapun yang dilakukannya, di hadapan ibu Ros selalu saja salah. "Bukan aku pengen mas Hanif terluka, Ma. Tadi Mas Hanif bilang semalam kecelakaan. Makanya dia enggak pulang," jelas Nida menahan rasa kesal pada ibu mertua. Hanif masih bergeming, tidak mengeluarkan kata-kata. "Udah tau! Sebelum Hanif cerita ke kamu, dia udah cerita ke Mama," tandas ibu Ros menunjukkan raut wajah tak suka. "Aku mau bicara empat ma
"Kamu serius mau menceraikan si Nida?" tanya ibu Ros memastikan yang didengarnya. Hanif tersenyum simpul, menganggukkan kepala. "Iya, Ma. Mungkin ini jalan yang terbaik.""Nah gitu dong! Menceraikan Nida emang jalan yang terbaik!" Ibu Rosita berseru gembira. Ibu Ros langsung memeluk tubuh Hanif. Hatinya begitu gembira. Keinginannya sebentar lagi akan terwujud. Hanif akan menceraikan Nida dan akan menikah dengan Friska. Impian memiliki menantu yang kaya raya dan loyal, sebentar lagi akan terwujud. "Sukurlah sekarang kamu udah sadar. Mama senang sekali. Mama berharap, nanti kalau kamu nikah lagi, kamu cepat punya keturunan," ujar ibu Ros sumringah. Hatinya benar-benar bahagia mendengar perceraian anak pertamanya dengan Nida. "Aamiin. Terima kasih, Ma.""Iya, Nak. Sama-sama. Oh ya, kalau kamu keluar dari rumah ini, kamu mau tinggal di mana? Soalnya kan rumah Mama enggak seluas rumah ini. Udah gitu, semua kamar udah ada yang tempati. Ada sih kamar belakang, cuma sekarang udah jadi gud
"Tentu saja boleh. Sekarang juga kamu boleh kok tinggal di rumahku dari pada kita tinggal di hotel ini. Gimana? Kamu mau enggak?" jawab Friska tersenyum manis. Tidak ada keraguan sedikit pun dari intonasi suaranya kalau ia mengizinkan Hanif tinggal di rumahnya. Hanif mengulas senyum mendengar jawaban Friska. "Terima kasih, Sayang. Kalau begitu, aku mau beresin urusan satu-satu dulu. Kalau aku udah menceraikan Nida, aku akan segera keluar dari rumah itu dan langsung pindah ke rumahmu." "Oke, Sayang. Dengan senang hati, aku akan menerimamu di rumahku." Friska semakin mengeratkan pelukan. Tak ada rasa lelah pada diri wanita itu. Ia selalu berhasrat jika di dekat Hanif. Kerinduannya selama ini pada Hanif telah terlabuhkan. "Sejarang aku mau pulang dulu," ucap Hanif melepaskan kedua tangan Friska dari tubuhnya. "Tapi nanti malam kamu ke sini lagi, ya?" rengek Friska menunjukan raut wajah manja. Hanif gemas, memencet hidung mancung wanita yang semalaman melayaninya. "Besok mala