Bianca terhenyak, baru ingat kalau Nida punya nomor handphone. "Aduh aku sampe lupa telepon dia. Sebentar!"Daniel tak bicara apa-apa. Ia hanya menyesali keputusannya mengizinkan Nida tinggal di rumah Yuda. "Ya Allah, hapenya malah gak aktif, Mih!"Kedua pundak Daniel menurun. Pikirannya mulai kacau. Ingin mencari keberadaan Nida, tapi dia tidak mau meninggalkan Namira di rumah ini tanpanya. Kalau Namira diajak mencari keberadaan Nida, Daniel takut kalau istrinya itu kelelahan. "Ya udah, kita tunggu Evan aja dulu. Semoga saja Nida baik-baik saja di manapun ia berada."Tidak berselang lama, terdengar suara bel. Bianca bergegas ke depan, menghalau langkah kaki Bi Rusmi yang hendak membukakan pintu. Namira dan Daniel pun beranjak. Menyusul Bianca yang berjalan cepat ke depan. "Van, kenapa Nida kabur dari rumah kamu, heuh?" tanya Bianca penuh emosi ketika membuka pintu rumah. Evan yang berdiri di ambang pintu terlihat kebingungan. "Bianca, biarkan Evan masuk dulu. Suruh dia duduk d
"Kamu kok gitu, Bi? Kenapa hubungan kita jadi kebawa-bawa? Ini kan masalah Nida," tandas Evan tak mau kalau hubungan asmaranya disangkutpautkan dengan masalah Nida. "Nida itu saudaraku, Van. Aku gak mau ya, nantinya Nida dij4hati terus sama mamahmu. Kemarin aku udah bilang ke kamu, jagain Nida! Mana hasilnya? Tetap aja kamu gak bisa. Pah, aku pamit. Mau cari Nida sama Pak Joko!"Tanpa menunggu tanggapan Daniel, Namira dan Evan, Bianca pergi meninggalkan mereka. Daniel pun tak bisa mencegah. Evan ingin mengejar Bianca tapi dia tahu, harus pergi bekerja. Seketika keheningan menyergap. Daniel terdiam, merundukkan kepala. Tidak tahu harus bagaimana. "Pak Daniel, saya benar-benar minta maaf enggak bisa jagain Nida. Saya minta maaf, Pak," ungkap Evan menyesali dirinya. Daniel memejamkan kedua mata, berusaha menenangkan hati dan pikirannya. Melihat suaminya diam saja, Namira menyentuh lengan Daniel. Lelaki itu pun membuka kedua mata. Berdehem, dan mengubah posisi duduk. Lalu, menatap lek
"Kita mau kemana, Non?" tanya Pak Joko ketika kendaraan yang ditumpangi di tengah perjalanan. "Kita ke rumah Om Yuda dulu. Aku pengen lihat rekaman CCTV rumah itu," jawab Bianca sudah tidak sabar ingin melihat rekaman CCTV di rumah Yuda. "Baik, Non."Kendaraan yang ditumpangi Nida sudah masuk ke halaman rumah Yuda. Bianca sangat muak jika nantinya bertemu dengan Gita. Wanita munafik yang dikenal Bianca. Keluar dari dalam mobil, Bianca berjalan cepat menuju pintu depan rumah Yuda. Menekan bel berulang kali. Tidak lama kemudian, pintu terbuka. Terlihat Yulia yang tengah tersenyum padanya. "Non Bianca?""Hai, Mbak. Saya pengen ketemu dengan Tante Gita. Kamu bisa panggilin dulu," ujar Bianca tanpa ingin berbasa-basi lagi. "Bisa, Non. Silakan duduk dulu."Bianca mengangukkan kepala. Melihat CCTV yamg dipasang keluarga Yuda. Yulia bergegas ke kamar Gita. Ingin memberitahu kedatangan calon menantunya. Gita yang sedang menghisap rokok dalam-dalam terhenyak. Ia segera merapikan rokok d
"Lebih baik kamu pulang sekarang, Nida. Keluargamu pasti lagi nyariin," ucap seorang lelaki berkaca mata, tubuhnya tinggi atletis, duduk di sofa yang bersebrangan dengan Nida. "Saya bingung mau pulang kemana, Pak?" Adanya Nida di rumah Pak Hanif, karena semalam lelaki berkaca mata itu tidak sengaja melihat Nida duduk di halte bus tengah malam. Pak Hanif yang baru pulang dari mengikuti kajian, sangat terkejut melihat gadis yang dicintainya ada di sana. "Pulang ke rumah Om kamu. Om kamu terlihat sangat menyayangimu, Nida. Pulang ke rumahnya." Sejak tadi pagi, Pak Hanif tak henti membujuk Nida agar mau pulang ke rumah om nya itu. Namun, Nida lagi-lagi menggelengkan kepala. Pak Hanif menghela napas panjang. "Saya malu, Pak. Saya yang memaksa ingin tinggal di rumah papah."Pak Hanif merunduk, mencari cara lain untuk membujuk Nida. "Kalau gitu, kamu telepon Pak Daniel. Kasih tau mereka, kalau kamu dalam keadaan baik-baik saja. Nida, aku bukan gak mau izinkan kamu tinggal di sini. Tapi,
Nida bingung menjawab. Ia terdiam sejenak, mencari jawaban yang tepat. Nida cuma takut kalau Daniel nantinya akan memarahi Pak Hanif. "Nida, kamu kenapa diam saja? Kontrakan seseorang siapa? Teman sekolahmu?" Namira kembali bertanya, menelisik wajah gadis belasan tahun itu. Belum sempat Nida menjawab, terdengar suara derum mobil memasuki halaman."Nida!" Rupanya mobil yang masuk ke halaman rumah Bragstara adalah Bianca. Gadis itu keluar dari mobil, setengah berlari menghampiri Nida lalu memeluknya. "Ya Allah, Nida ... aku khawatir banget tauuuu!" Bianca mencubit kedua pipi Nida setelah melepaskan pelukan. "Pipiku sakit, Kak ...." Nida meringis, memegang kedua pipi sambil cemberut. "Bodo amat. Makanya jadi orang tuh jangan suka kabur-kaburan. Kalau kamu kabur dari rumah Om Yuda, kamu tinggal pulang ke rumah ini. Tinggal telepon aku, minta dijemput! Ini, malah keluyuran. Kamu semalam tidur di mana?" omel Bianca seperti seorang kakak memarahi adiknya. Nida cemberut, tidak ingin me
Sampai sore hari, Daniel tak juga menghubunginya. Yuda bernapas lega karena Daniel tidak menyalahkannya atas kepergian Nida dari rumah tanpa izin. Yuda hanya berharap kalau Nida sudah sampai di rumah Bragastara. Pintu ruangan Yuda terdengar diketuk. Yuda mempersilakan masuk ke dalam. Ternyata Evan. "Ini laporan akhirku, Pah. Kerjaanku hari ini udah clear. Aku mau langsung pulang ke apartemen," ujar Evan tanpa ingin duduk lebih dulu. "Van, duduklah dulu!" titah Yuda pada anak lelakinya. "Apalagi sih, Pah?" Evan sudah pusing karena gara-gara masalah Nida, sekarang hubungannya sedang di ujung tanduk. "Kamu buru-buru sekali. Baru aja jam tiga," kata Yuda yang ingin berbincang dengan Evan. "Pekerjaanku kan udah beres semua, Pah? Mau ngapain lagi?" Evan berbicara sangat ketus pada Yuda. "Memangnya kamu mau kemana, Van?""Mau cari Nida! Biar bagaimanapun, Nida adalah saudaraku, Pah. Aku juga gak mau, gara-gara Nida belum ditemukan, rencana pernikahanku dengan Bianca terancam batal."Y
"Izinin. Aku lihat rekaman CCTV diantar security rumahmu. Aku dengar obrolan Nida dengan papah dan mamahmu. Papahmu sempat membentak Nida. Mungkin itu yang membuat Nida sakit hati. Makanya dia kabur dari rumah." Cerita yang disampaikan Bianca membuat Evan tercenung. Merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Nida dengan baik. "Aku yakin, Mamahmu udah bisa jalan.""Masa sih?" Evan terkejut, menatap lekat gadis yang dicintainya. "Iya. Walaupun aku belum terlalu lama kenal dengan Nida, tapi aku yakin dia bukan orang yang suka ngarang cerita atau pembohong. Coba aja kamu ajak mamahmu ke rumah sakit. Suruh dokter mengecek kedua kakinya." Saran yang disampaikan Bianca ditanggapi anggukkan kepala. "Oke. Besok aku ke rumah, ajak Mamah ke rumah sakit lagi. Kalau sekarang aku lagi malas pulang. Mau di apartemen dulu," ujar Evan duduk bersandar, pandangannya lurus ke depan. "Memangnya kenapa kamu gak mau pulang? Bukannya Mamahmu udah gak marah-marah lagi?" tanya Bianca heran. Keningnya mengk
Yulia terdiam sesaat, memikirkan tawaran dari majikannya. Apa Yulia sanggup membina rumah tangga tanpa didasari rasa cinta? Pernikahan sebelumnya kandas karena orang ketiga padahal mereka saling mencintai sebelum menikah. Apalagi sekarang dengan Evan. Tidak saling mencintai, dan Evan sedang mencintai perempuan lain. Yulia tidak mau merusak hubungan orang lain seperti orang lain merusak hubungannya dulu. "Yulia, kamu kenapa diam saja? Jangan sok jual mahal, Yulia. Aku tau, kamu pasti mau kan nikah dengan anak saya? Anak saya itu tampan, mapan dan baik hati. Hidupmu pasti bahagia punya suami seperti Evan. Aku yakin!" Senyum mencibir terlihat pada wajah Gita. Tak henti membujuk Yulia agar mau dinikahi anak semata wayangnya. Bukan karena Gita setuju akan pernikahan Evan dan Yulia tapi karena Gita tidak mau Evan menikahi wanita keturunan Bragastara. Yulia mengulas senyum tipis, ia lantas menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Gita. "Ibu, mohon maaf sebelumnya. Saya tau, saya
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma? Janga
"Kamu benar, Xel. Apapun alasan Mbak Bian dan Mas Evan merahasiakan kedua orang tua kalian, tetap salah. Tapi, kamu juga jangan marah lama-lama. Coba kamu tanyakan baik-baik pada mereka, apa alasannya?" Gilang tak mau terlalu banyak menanggapi cerita yang disampaikan Axel. Ia tak mau, kalau dianggap ikut campur atau memihak ke salah satu keluarga itu. "Enggak tau, Bang. Jujur saja, aku masih kecewa. Masih enggak nyangka aja kalau mereka tega sama mama dan papaku. Misalnya mama Bianca membenci mamaku, kenapa pula dia sayang aku dan Alea?"Berbagai tanya diucapkan Axel. Benar-benar bingung dengan alasan Bianca dan Evan merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Ya sudah enggak usah kamu pikirkan dulu. Sekarang lebih baik kamu tenangkan hati dan pikiran.""Iya, Bang."Handphone milik Gilang tiba-tiba berdering. Lelaki itu merogoh saku celana, lalu terlihat nama kontak yang tertera di layar ponsel. Panggilan dari Alea. Gilang tak langsung mengangkat panggilan telepon itu, me
Nida menganggukkan kepala, mendengar tanggapan ibu mertua. "Iya, silakan saja Mama bicara dulu sama Mas Hanif. Maaf, Ma. Aku mau istirahat dulu. Apa masih ada yang mau Mama bicarakan?" Kalau saja tidak menghormati suaminya, Nida sudah ingin memarahi ibu Ros. "Enggak ada. Mama juga mau istirahat." Ibu Ros pergi lebih dulu, meninggalkan Nida yang masih duduk terpaku di ruang makan. Kepergian Ibu Ros dari ruangan itu, membuat Nida tercenung. Nida tak dapat menahan tangisan. Dalam keheningan, ia menangis tersedu-sedu. Nida juga ingin memiliki anak. Nida juga ingin merasakan hamil. Tapi, dia tidak memaksa Tuhan untuk memberinya keturunan. Nida selalu yakin, Tuhan lebih tahu, waktu dan saat yang tepat memiliki buah hati. Dengan kasar, Nida menyeka lelehan air mata. Ia beranjak, membersihkan piring kotor. Setelahnya, masuk ke dalam kamar. Baru saja menutup pintu kamar, terdengar suara dering handphone. Nida tahu, itu adalah suaminya. Nida berjalan menghampiri handphone y
Nida terkejut bukan main mendengar permohonan ibu Ros yang tak lain ibu mertuanya. Kedua mata Nida nyalang menatap wanita yang telah melahirkan suaminya. Sungguh, sedikitpun ia tak menyangka jika ibu Ros memintanya untuk mengizinkan Hanif menikah lagi.Sadar dari rasa terkejut, Nida menarik napas panjang. Ia tak boleh tersulut emosi. Jika sampai Nida memarahi ibu Ros, wanita itu pasti mengadu berlebihan pada Hanif."Oh, jadi Mama ingin aku izinin Mas Hanif nikah lagi? Supaya Mama dapat cucu dari istri barunya nanti? Begitu?" Nida sengaja mengulang keinginan ibu Ros dengan sikap yang santai. Ia juga melanjutkan suapan makan malamnya. Ibu Ros mengembuskan napas melihat ketenangan sikap Nida. "Iya begitu. Ya habis mau gimana lagi? Kamu juga sadar kan, enggak bisa kasih Hanif anak? Iya 'kan?"Yang salah tingkah bukan Nida, justru ibu Ros. Nida manggut-manggut sembari meneguk segelas air di dalam gelas hingga tandas. "Jujur ya, Ma. Sebenarnya aku enggak mau dipoligami. Enggak mau kala
Di dalam kamar, Nida berdiri di depan pintu. Kedua matanya terpejam, mulutnya mengucapkan istighfar berulang kali. Terkadang Nida sangat bersedih jika mengingat tak juga diberi buah hati. Berbagai cara telah Nida lakukan bahkan ia sempat menawarkan pada Hanif agar melakukan program bayi tabung tapi Hanif tak setuju. "Program bayi tabung itu mahal, Dek.""Tapi aku ada uangnya, Mas. Aku kan kerja. Uang hasil aku kerja kan jarang dipake." "Kamu menganggap Mas enggak punya uang? Kamu merendahkan Mas? Mas emang bukan pengusaha seperti keluargamu, tapi uang PNS yang Mas dapatkan sudah lebih dari cukup. Sudahlah, enggak usah melakukan program bayi tabung. Kalau sudah waktunya, nanti juga kita dikasih anak."Begitulah perdebatan Nida dengan suaminya suatu waktu. Setelah itu, Nida tak mengusulkan apa-apa lagi. Lebih memilih diam dan menerima hinaan dan makian dari keluarga Hanif terutama ibunya. Beruntung, Nida tipikal wanita bodo amatan. Terpenting baginya, Hanif mencintainya dengan tulus d
Sungguh, perkataan ibu Ros sangat menyinggung hati Nida. Wanita itu menatap tajam mertuanya. "Terserah Mama. Mau makan lauk nasi ini atau mau nunggu aku yang masak tapi aku mandi dulu!" Sangat ketus, Nida berkata.Selama ini, dia sudah berusaha sangat sabar menghadapi mulut ibu mertua yang luar biasa pedasnya. Kerap kali Nida dikatakan mandul pada keluarga Hanif. Hal yang paling tidak disukai Nida, mereka sering kali berkata, "Kayaknya Mbak Nida enggak punya anak karena emang keturunan. Buktinya Mbak Bianca juga enggak punya keturunan."Jika saja karena tidak menghargai suaminya, Nida udah menampar wajah kedua adik iparnya itu. "Dasar menantu enggak tau diri! Harusnya dulu Hanif nikah sama ibu guru Marisa saja bukan nikah sama dia! Menyebalkan! Huh! Aku harus menelepon Hanif. Harus aku adukan sikap istri kurang ajarnya itu!" cetus Ibu Ros mengeluarkan handphone dari saku gamis yang dikenakan. Tidak berselang lama, panggilan telepon ibu Ros diangkat anak sulungnya. "Assalamualaikum
"Dari mana, Pa?" tanya Bianca ketika Evan datang ke ruang makan. Sebelumnya Bianca melihat Evan ke depan rumah. "Dari depan," jawab Evan singkat. Ia melihat raut wajah ceria pada Bianca. Mungkin karena sikap Alea yang sudah biasa-biasa lagi. Seperti tidak ada yang terjadi. Tidak berselang lama, Alea datang dengan senyum tipis. Ia menyapa Bianca dan Evan seperti biasa. Alea sangat berusaha agar tidak ada yang berubah. Ia merasa sangat bahagia dengan kehidupannya. Dengan peran Bianca dan Evan yang mengaku sebagai kedua orang tua. "Lea, Axel mana? Apa dia belum selesai mandi?" tanya Bianca, menatap lekat adiknya yang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. "Ma, Axel tadi keluar rumah. Mungkin dia hanya pergi sebentar. Lebih baik kita makan duluan saja." Evan yang menjawab. Mengetahui kalau Alea tampak kebingungan menjawab pertanyaan Bianca, wanita yang dianggap ibu selama ini. Raut wajah Bianca yang sebelumnya ceria, kini berubah muram. Ia menelan saliva, kembali bersedih. Kepalanya
"Brisik! Minggir! Kalau kamu enggak mau ikut, enggak apa-apa." Axel mendorong adiknya agar menyingkir dari hadapan. Anak lelaki itu telah selesai mengemasi pakaian dan barang-barang ke dalam koper. Figura foto yang ada di tangan Alea, tak diambil. Dengan langkah cepat, Axel keluar kamar, menuruni anak tangga."Axel!" Panggilan Evan membuat langkah kaki Axel terhenti. Evan berjalan cepat menghampiri Axel yang selama ini dianggap anak olehnya. "Kamu mau kemana?" tanya Evan saat berdiri di depan Axel. Kembaran Alea itu tak langsung menjawab, ia terdiam sesaat. Melihat sikap Axel, Evan sudah dapat menerka jika Axel belum mengetahui kemana arah perginya. "Papa enggak akan melarangmu pergi. Tapi, kalau kamu mau, tinggal saja di apartemen Papa. Dan Papa harap, kamu enggak putus sekolah." Sebisa mungkin Evan bicara baik-baik pada Axel. "Terima kasih atas tawarannya tapi aku rasa enggak perlu. Masalah sekolah, enggak perlu khawatir. Aku akan tetap sekolah sampai selesai. Aku pamit."Hanya
Kendaraan yang ditumpangi Axel dan Alea telah memasuki halaman rumah keluarga Bragastara. Rumah yang selama ini menjadi saksi kebahagiaan Axel dan Alea memiliki kedua orang tua seperti Bianca dan Evan.Mesin mobil telah dimatikan, tapi Axel tetap bergeming. Pandangannya nanar pada rumah mewah nan megah itu. Benak Axel masih bertanya, kenapa Bianca begitu tega menyembunyikan kenyataan tentang siapa kedua orang tuanya? Apakah kedua orang tua Axel melakukan kesalahan sehingga Bianca begitu membenci mereka? Sehingga mereka tega tidak memberitahu kenyataan itu?"Mau turun dulu enggak, Kak?" Pertanyaan Alea menyentak lamunan lelaki yang berkulit putih, bermata agak sipit dan memiliki tinggi badan sekitar 178 cm itu. "Ya. Aku mau ngambil barang-barang dan pakaian dulu.""Kak, coba pikirin lagi. Jangan kebawa emosi. Coba berpikir positif," tegur Alea mengingatkan keputusan Axel yang ingin pergi dari rumah. Axel tak menanggapi, ia membuka pintu mobil, lalu berjalan lebih dulu ke pintu depan.