Yuda sudah merasakan kondisinya lebih baik setelah minum obat yang diresepkan dokter. Dia bisa fokus bekerja meski kepalanya agak pusing. Hatinya juga bahagia mendengar Bianca mau dinikahi Evan dalam waktu dekat. Pintu ruangan terdengar diketuk, Yuda mempersilakan masuk. Melihat siapa yang datang ternyata Evan. "Pah, laporan projek di Surabaya done!" ucap Evan meletakkan berkas berisi laporan perkembangan projek property yang berlokasi di Surabaya. Projek lanjutan Pak Wijayanto. "Wah, mau jadi calon manten kerjanya jadi dua kali lipat semangat ya, Van?" sindir Yuda mengulas senyum sembari membuka lembaran demi lembaran laporan yang diajukan Evan."Iya dong, Pah. Semangat menjalani hari semakin membara. Hahahaha ...."Gelak tawa Evan disambut kekehan kecil Yuda. Lelaki itu terbilang jarang sekali tertawa lepas sejak kepergian Dania. Terakhir ia tertawa terbahak-bahak ketika bersama wanita yang dicintai sepenuh hati, Dania Bragastara. "Oke, Van. Nanti Papah cek lagi," imbuh Yuda mel
Kedua mata Tina mengerjap pelan. Kepalanya masih terasa pusing. Bahkan kedua pipinya terasa kebas dan nyeri. Tiba-tiba Tina tersentak kaget, ia langsung duduk meringkuk, menarik selimut. Pandangannya mengitari sekeliling. Tina menelan saliva berulang kali. Menutup seluruh tubuh dengan selimut. Menangis histeris. "Aaaarggghh ... Tolooonggg ... Arrrgghhh!" Ferry yang baru saja keluar dari kamar Tina, bergegas masuk ke dalam. Dia melihat Tina menutup telinga, kedua lutut ditekuk menangis histeris. "Tina, Ya Allah, Tina ...."Tina mendongak, mendengar suara yang amat dikenalinya. Ferry berjalan cepat menghampiri Tina, duduk di sisi ranjang. Tina langsung menghambur dalam pelukan lelaki yang akan menjadi suaminya itu. "Massss ... huhuhuhu ... Maaassss ...." Tine memeluk erat tubuh Ferry. Bayangan Darmantyo yang hendak memperkosanya melintas menghantui. Tubuh Tina gemetar, ia ketakutan. "Tenang, Tina ... Tenang ... kamu udah aman. Kamu aman, Tina ...." Ferry mengusap lembut punggung Ti
Darmantyo berusaha keluar dari pembuangan sampah. Ia butuh tempat tinggal. Tidak mungkin Darmantyo tidur di sana. Langkah kaki lelaki itu tertatih-tatih. Pandangannya mengitari sekeliling, khawatir warga yang mengejarnya tadi menemukan. Dar4h yang mengalir dari bvrungnya semakin merembas dan sangat ngilu. Ingin sekali Darmantyo membuka c3lana panjang, terasa semakin nyeri karena terkena gesekan. "Si4l! Sakit sekali! Br3ngsek!" Sepanjang jalan mencari ojek online, Darmantyo terus saja memaki. Bukannya memohon ampunan, lelaki itu justru memaki keadaannya yang sekarang. Langkah kaki Darmantyo semakin cepat ketika melihat ojek online yang berada di depan warung kopi. "Bang, Bang!" panggil Darmantyo. Abang ojek itu menoleh, memicingkan kedua mata. "Ada apa, Pak?""Bang, tolong anterin saya ke alamat ...." Darmantyo menyebutkan alamat rumah Mutiara. Ia ingin tidur di sana saja dari pada di jalanan. Tidak peduli ada jin penunggu atau tidak. Pokoknya Darmantyo tidak ingin tidur di jalana
Gita sangat bersedih. Hatinya benar-benar hancur. Satu persatu orang yang disayangi pergi meninggalkannya. "Yuliaaa! Yuliaaaa!" teriak Gita dari dalam kamar. Yulia yang tengah menyapu ruang keluarga terkejut. Ia tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar."Ada apa, Bu?" tanya Yulia agak membungkukan badannya."Beliin saya obat tidur di apotek. Ini uangnya. Cepaaattt!" teriak Gita lagi. Dengan tangan gemetar, Yulia mengambil uang dari tangan Gita. "Sa-saya permisi dulu, Bu.""Cepat! Belinya di apotek terdekat saja!" titah Gita tanpa menatap wajah Yulia. Pandangan Gita lurus ke depan. "Baik, Bu."Yulia keluar kamar dengan beberapa pertanyaan. Dia bingung, kenapa Gita membeli obat tidur? Bukannya kalau malam, tidurnya nyenyak?Yulia tidak berani bertanya. Ia hanya menuruti perintah majikannya. Setelah mendapatkan obat tidur, Yulia tergesa-gesa masuk ke dalam kamar, menemui Gita untuk memberikan obat tidur. "Bu, ini obat tidurnya," ujar Yulia pada wanita yang menatap lurus ke jendela kamar
"Pah, Papah, Papah!" Nida mengibaskan telapak tangannya di depan wajah papahnya. Yuda yang tengah melamun tergagap."Eh, iya, Nak?""Ya Allah, malah ngelamun. Tadi aku tanya, Pah. Papah udah makan belum? Udah minum obat belum?" Nida mengulang pertanyaannya. Yuda tersenyum bahagia, mengusap kepala anak gadisnya lalu mencium penuh kasih sayang. "Kamu anak yang baik, Nak. Papah belum sempet makan. Kalau minum obat baru tadi pagi aja," jawab Yuda menatap lekat wajah anak gadisnya. Andai saja Nida tidak pernah berpisah dengannya, mungkin Yuda bisa melihat masa kecil putrinya itu."Kalau gitu, Papah duduk di sini. Aku mau ambilin makan dulu, habis itu minum obat. Obatnya ambil dulu di mobil.""Kamu tau kalau obatnya ada di dalam mobil?" tanya Yuda heran."Taulah. Masa obat dikantongin?" Yuda tertawa sumbang. Menggelengkan kepala melihat raut wajah anak gadisnya. "Iya, ya. Kamu benar.""Papah jangan kemana-mana. Aku mau ambilin nasi dulu."Nida meninggalkan Yuda seorang diri di ruang tam
Bianca beranjak, ke kursi samping rumah yang terdapat kolam ikan hias, lalu dengan senyum mengembang mengangkat telepon dari Evan. "Hallo, Van?" sapa Bianca ketika sambungan telepon terhubung. Entah mengapa, menerima telepon Evan sekarang rasanya sangat berbeda ketika ia belum memutuskan mau dinikahi Evan dalam waktu dekat. "Hai, Bi. Kamu lagi ngapain? Udah makan malam belum?" tanya Evan memberikan perhatian seperti biasanya. Bibir Bianca semakin tersenyum lebar. Hatinya juga semakin berdebar-debar. "Aku tadi lagi nonton tivi sama Mamih. Kalau makan sih udah ... oh ya, di rumahku ada papahmu. Kata Nida, papahmu mau nginap di sini," ujar Bianca duduk bersandar di kursi kayu. "Oh Papah ada di situ?" tanya Evan meyakinkan. "Iya. Mungkin karena papahmu lagi kurang sehat, makanya Papah nyuruh nginap di sini. Misalnya nanti kenapa-napa kan, ada kami," timpal Bianca menjelaskan. "Iya gak apa-apa, Bi. Aku justru makasih banget kamu dan keluargamu ngizinin papah tinggal di situ. Maaf ya,
"Terus, perempuan itu siapa? Dia kan punya saudara cuma Nida aja." Saat Bianca bertanya, notifikasi pesan masuk. "WA dari Evan?" tanya Namira melihat Bianca yang membuka pesan singkat. "Iya, Mih."Pesan Evan berisi foto Shella yang menyantap makan malam. Evan diam-diam memotret Shella sebagai bukti kalau dia sedang bersamanya, [Aku lagi bareng Mbak Shella, Sayang. Dia bantuin aku belanja keperluan untuk acara lamaran kita nanti. Please ya, jangan marah. Kamu boleh cemburu, tapi jangan marah. Aku takut kalau kamu marah.]Bianca merunduk, menjadi malu sendiri karena menaruh curiga pada Evan. Curiga kalau Evan bers3lingkuh. Bianca lantas membalas pesan Evan. [Aku pikir kamu pergi dengan wanita lain. Ya udah hati-hati. Maaf, aku udah marah.]"Apa kata Evan?" tanya Namira penasaran. Walau ia yakin Evan tidak mungkin bers3lingkuh. Bianca menunjukkan foto Shella yang diambil diam-diam. Evan tidak mau Shella merasa bersalah hanya karena Bianca cemburu dan salah paham padanya. "Tuh kan, ka
Entah berapa pil obat tidur yang diminum Gita. Kepalanya terasa pusing. Dia sudah tidak ingin hidup lagi. Menurutnya, sudah tidak ada orang yang menyayangi lagi. Gita merasa hidupnya seorang diri dengan keadaan yang penuh kekurangan. Tubuh Gita semakin lemas, kesadarannya semakin melambat hingga obat yang masih ada di dalam tempatnya jatuh, berhamburan di atas lantai. Tubuh Gita menggelosor. Di luar kamar, Yulia sangat mencemaskan keadaan Gita yang berada di dalam kamar. Ia takut kalau majikannya itu melakukan hal nekat. Tapi, Yulia juga tidak berani masuk ke dalam kamar. Tidak ada pilihan lain, Yulia keluar rumah, minta tolong pada security agar menemaninya masuk ke dalam kamar Gita. "Memangnya kenapa kalau Mbak Yul masuk ke kamar Ibu sendirian?" tanya security merasa segan jika masuk ke dalam ruangan pribadi Gita. "Duh, Pak ... saya takut diomelin. Tapi, saya juga sangat khawatir, Khawatir Ibu ... ibu bertindak nekat," kata Yulia memelankan suaranya. Terlihat kecemasan dari raut
"Udah gila ibunya si Hanif. Enak bener dia bilang gitu. Terus kamu bilang apa? Ngizinin Hanif nikah lagi? Mau kamu dipoligami?"Shella tersulut emosi. Sejak dulu, Shella sudah sangat geram melihat tingkah laku keluarga Hanif. Mereka semua benalu dan penjilat. Sering kali meminta uang pada Nida. "Enggaklah, Ma. Aku minta diceraikan kalau Mas Hanif mau poligami. Aku sadar diri, bukan wanita yang ikhlas dan penyabar. Enggak sanggup kalau harus berbagi suami dengan wanita lain." Masih dengan sikap santai, Nida menjawab pertanyaan ibu sambungnya. Shella begitu miris mendengar cerita yang disampaikan Nida. Kasihan Nida. Semasa hidupnya selalu saja ada masalah yang dihadapi."Tapi, Nida ... Kayaknya Hanif enggak mungkin menceraikanmu. Dia sangat mencintaimu. Mama yakin itu."Sebisa mungkin, Shella menghibur Nida. Dibalik sikap tenang dan santainya, Shella yakin sebetulnya Nida pun bersedih. Nida tersenyum miring mendengar tanggapan Shella. "Kalau mamanya yang minta, ada kemungkinan Mas H
"Sudahlah, Ma. Jangan ngomong macam-macam. Aku enggak mungkin menceraikan dia!"Senyum yang sebelumnya terlihat di wajah ibu Ros, seketika lenyap. "Hanif, mau sampai kapan kamu enggak punya anak? Dia itu mandul! Keturunan mandul, Hanif!"Ibu Ros tersulut emosi. Tak menyangka jika anak sulungnya berani melawan perintah padahal sebelumnya tidak pernah."Aku enggak peduli, Ma. Nida mandul atau tidak, aku enggak akan ceraikan dia. Aku sayang Nida, Maaaa ... aku cinta dia ...."Memang, Hanif begitu mencintai Nida. Sejak dulu hingga sekarang cintanya tak pernah berubah. "Halah, cinta, sayang! Kamu itu buta, Hanif! Umurmu udah tua. Tapi, sampai sekarang belum juga punya anak. Kalau kamu udah tua nanti, udah enggak bisa beraktivitas lagi, siapa yang akan menyayangimu? Kamu lihat, Nida. Dia masih muda. Mama yakin, kalau kamu udah sakit-sakitan pasti dia ninggalin kamu! Kalau dia ninggalin kamu, kamu mau sama siapa? Anak enggak punya!"Hanif memejamkan kedua mata, memijat pelipis. Tidak perna
"Apa hubungannya?" Bukannya menjawab, Axel justru balik tanya. Alea manyun, memukul bahu kakaknya. "Pulang ke rumah lagi, Kak. Kasihan mama tau! Nangis terus." Alea mengingat kembali kesedihan yang dialami Bianca. Axel bersikap santai, pandangannya lurus ke depan. "Aku masuk kelas dulu!" Tanpa menanggapi ucapan adiknya, Axel masuk ke dalam kelas. Alea benar-benar dibuat kesal. Rencana mengajak Axel kembali ke rumah gagal lagi. *** "Jam segini baru bangun! Pantas saja asam lambung Hanif sering kumat! Istrinya saja malas menyiapkan sarapan," celetuk ibu Ros saat Nida baru datang ke ruang meja makan. Ibu Ros yang tengah sarapan roti tawar, melirik Nida yang mengacuhkan. "Kamu dengar Mama enggak, Nida?" Sentak ibu Ros. Kedua mata seperti hendak melompat. Amarah terlihat jelas dari raut wajah. "Denger," sahut Nida cuek. Melihat sikap menantunya seperti itu, Ibu Ros semakin marah dan membenci. "Kalau kamu denger, harusnya bangun pagi! Siapin sarapan!" Lagi, Nida te
"Enggak. Mami enggak melakukan kesalahan apapun, Lea. Mami orang yang baik. Namira sahabatku, ibu sambungku yang paling baik bahkan kebaikannya melebihi ibuku sendiri." Bianca langsung menyanggah pertanyaan Alea. Gadis itu tertunduk sesaat, menghela napas berat. "Lalu, kenapa Mama merahasiakan mereka adalah orang tua kandungku?" Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Alea membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak lalu sikap berubah salah tingkah. "Bu-bukan maksud ingin merahasiakan ta-tapi ...."Tak sanggup, Bianca meneruskan kalimat. Teringat kekurangan dalam diri bahwa sebetulnya Bianca tak bisa memberikan keturunan untuk Evan karena ia telah divonis mandul oleh dokter. "Ya udah, Ma. Enggak usah diucapkan kalau memang alasannya akan menyakitiku atau menyakiti hati Mama lagi."Alea mencoba berpikir bijak. Tak ingin wanita yang telah merawatnya penuh kasih sayang itu bersedih dan menangis lagi. "Bukan begitu, Lea. Ma-Mama ....""Kenapa kamu masih saja menyebut diri
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma
"Kamu benar, Xel. Apapun alasan Mbak Bian dan Mas Evan merahasiakan kedua orang tua kalian, tetap salah. Tapi, kamu juga jangan marah lama-lama. Coba kamu tanyakan baik-baik pada mereka, apa alasannya?" Gilang tak mau terlalu banyak menanggapi cerita yang disampaikan Axel. Ia tak mau, kalau dianggap ikut campur atau memihak ke salah satu keluarga itu. "Enggak tau, Bang. Jujur saja, aku masih kecewa. Masih enggak nyangka aja kalau mereka tega sama mama dan papaku. Misalnya mama Bianca membenci mamaku, kenapa pula dia sayang aku dan Alea?"Berbagai tanya diucapkan Axel. Benar-benar bingung dengan alasan Bianca dan Evan merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Ya sudah enggak usah kamu pikirkan dulu. Sekarang lebih baik kamu tenangkan hati dan pikiran.""Iya, Bang."Handphone milik Gilang tiba-tiba berdering. Lelaki itu merogoh saku celana, lalu terlihat nama kontak yang tertera di layar ponsel. Panggilan dari Alea. Gilang tak langsung mengangkat panggilan telepon itu, me
Nida menganggukkan kepala, mendengar tanggapan ibu mertua. "Iya, silakan saja Mama bicara dulu sama Mas Hanif. Maaf, Ma. Aku mau istirahat dulu. Apa masih ada yang mau Mama bicarakan?" Kalau saja tidak menghormati suaminya, Nida sudah ingin memarahi ibu Ros. "Enggak ada. Mama juga mau istirahat." Ibu Ros pergi lebih dulu, meninggalkan Nida yang masih duduk terpaku di ruang makan. Kepergian Ibu Ros dari ruangan itu, membuat Nida tercenung. Nida tak dapat menahan tangisan. Dalam keheningan, ia menangis tersedu-sedu. Nida juga ingin memiliki anak. Nida juga ingin merasakan hamil. Tapi, dia tidak memaksa Tuhan untuk memberinya keturunan. Nida selalu yakin, Tuhan lebih tahu, waktu dan saat yang tepat memiliki buah hati. Dengan kasar, Nida menyeka lelehan air mata. Ia beranjak, membersihkan piring kotor. Setelahnya, masuk ke dalam kamar. Baru saja menutup pintu kamar, terdengar suara dering handphone. Nida tahu, itu adalah suaminya. Nida berjalan menghampiri handphone y
Nida terkejut bukan main mendengar permohonan ibu Ros yang tak lain ibu mertuanya. Kedua mata Nida nyalang menatap wanita yang telah melahirkan suaminya. Sungguh, sedikitpun ia tak menyangka jika ibu Ros memintanya untuk mengizinkan Hanif menikah lagi.Sadar dari rasa terkejut, Nida menarik napas panjang. Ia tak boleh tersulut emosi. Jika sampai Nida memarahi ibu Ros, wanita itu pasti mengadu berlebihan pada Hanif."Oh, jadi Mama ingin aku izinin Mas Hanif nikah lagi? Supaya Mama dapat cucu dari istri barunya nanti? Begitu?" Nida sengaja mengulang keinginan ibu Ros dengan sikap yang santai. Ia juga melanjutkan suapan makan malamnya. Ibu Ros mengembuskan napas melihat ketenangan sikap Nida. "Iya begitu. Ya habis mau gimana lagi? Kamu juga sadar kan, enggak bisa kasih Hanif anak? Iya 'kan?"Yang salah tingkah bukan Nida, justru ibu Ros. Nida manggut-manggut sembari meneguk segelas air di dalam gelas hingga tandas. "Jujur ya, Ma. Sebenarnya aku enggak mau dipoligami. Enggak mau kala
Di dalam kamar, Nida berdiri di depan pintu. Kedua matanya terpejam, mulutnya mengucapkan istighfar berulang kali. Terkadang Nida sangat bersedih jika mengingat tak juga diberi buah hati. Berbagai cara telah Nida lakukan bahkan ia sempat menawarkan pada Hanif agar melakukan program bayi tabung tapi Hanif tak setuju. "Program bayi tabung itu mahal, Dek.""Tapi aku ada uangnya, Mas. Aku kan kerja. Uang hasil aku kerja kan jarang dipake." "Kamu menganggap Mas enggak punya uang? Kamu merendahkan Mas? Mas emang bukan pengusaha seperti keluargamu, tapi uang PNS yang Mas dapatkan sudah lebih dari cukup. Sudahlah, enggak usah melakukan program bayi tabung. Kalau sudah waktunya, nanti juga kita dikasih anak."Begitulah perdebatan Nida dengan suaminya suatu waktu. Setelah itu, Nida tak mengusulkan apa-apa lagi. Lebih memilih diam dan menerima hinaan dan makian dari keluarga Hanif terutama ibunya. Beruntung, Nida tipikal wanita bodo amatan. Terpenting baginya, Hanif mencintainya dengan tulus d