Napas Darmantyo naik turun setelah berlari kencang dari area pemakaman sampai depan perumahan. Ia istirahat di depan teras Minimarket. Mengibaskan telapak tangan di depan wajah. "Edan, edaaaan ... kenapa semalam ... semalam aku bisa ... s3tan sialan. Pantas saja dia sangat agr3sif! S3tan kurang ajar!"Setelah istirahat beberapa menit, Darmantyo merogoh uang yang ada di saku celana. Untung saja, dompetnya dia simpan di dalam saku celana. Tidak ditinggalkan di dalam tas. Setelah menghitung sisa uangnya, Darmantyo mengeluarkan sebungkus rokok, menarik sebatang dan memantik. Setelahnya ia menghisap rokok dalam-dalam. Sebatang rokok telah menjadi puntung. Darmantyo beranjak. Sekarang dia sudah tidak punya tempat tinggal. "Aku gak mau, sisa uangku buat bayar penginapan. Lebih baik aku kembali lagi ke rumah Ferry. Aku akan memaksa tinggal di sana," gumam Darmantyo berjalan kembali mencari ojek online. Tak jauh dari minimarket, Darmantyo melihat tukang ojek online. Ia pun ke rumah Ferry de
Yuda sudah merasakan kondisinya lebih baik setelah minum obat yang diresepkan dokter. Dia bisa fokus bekerja meski kepalanya agak pusing. Hatinya juga bahagia mendengar Bianca mau dinikahi Evan dalam waktu dekat. Pintu ruangan terdengar diketuk, Yuda mempersilakan masuk. Melihat siapa yang datang ternyata Evan. "Pah, laporan projek di Surabaya done!" ucap Evan meletakkan berkas berisi laporan perkembangan projek property yang berlokasi di Surabaya. Projek lanjutan Pak Wijayanto. "Wah, mau jadi calon manten kerjanya jadi dua kali lipat semangat ya, Van?" sindir Yuda mengulas senyum sembari membuka lembaran demi lembaran laporan yang diajukan Evan."Iya dong, Pah. Semangat menjalani hari semakin membara. Hahahaha ...."Gelak tawa Evan disambut kekehan kecil Yuda. Lelaki itu terbilang jarang sekali tertawa lepas sejak kepergian Dania. Terakhir ia tertawa terbahak-bahak ketika bersama wanita yang dicintai sepenuh hati, Dania Bragastara. "Oke, Van. Nanti Papah cek lagi," imbuh Yuda mel
Kedua mata Tina mengerjap pelan. Kepalanya masih terasa pusing. Bahkan kedua pipinya terasa kebas dan nyeri. Tiba-tiba Tina tersentak kaget, ia langsung duduk meringkuk, menarik selimut. Pandangannya mengitari sekeliling. Tina menelan saliva berulang kali. Menutup seluruh tubuh dengan selimut. Menangis histeris. "Aaaarggghh ... Tolooonggg ... Arrrgghhh!" Ferry yang baru saja keluar dari kamar Tina, bergegas masuk ke dalam. Dia melihat Tina menutup telinga, kedua lutut ditekuk menangis histeris. "Tina, Ya Allah, Tina ...."Tina mendongak, mendengar suara yang amat dikenalinya. Ferry berjalan cepat menghampiri Tina, duduk di sisi ranjang. Tina langsung menghambur dalam pelukan lelaki yang akan menjadi suaminya itu. "Massss ... huhuhuhu ... Maaassss ...." Tine memeluk erat tubuh Ferry. Bayangan Darmantyo yang hendak memperkosanya melintas menghantui. Tubuh Tina gemetar, ia ketakutan. "Tenang, Tina ... Tenang ... kamu udah aman. Kamu aman, Tina ...." Ferry mengusap lembut punggung Ti
Darmantyo berusaha keluar dari pembuangan sampah. Ia butuh tempat tinggal. Tidak mungkin Darmantyo tidur di sana. Langkah kaki lelaki itu tertatih-tatih. Pandangannya mengitari sekeliling, khawatir warga yang mengejarnya tadi menemukan. Dar4h yang mengalir dari bvrungnya semakin merembas dan sangat ngilu. Ingin sekali Darmantyo membuka c3lana panjang, terasa semakin nyeri karena terkena gesekan. "Si4l! Sakit sekali! Br3ngsek!" Sepanjang jalan mencari ojek online, Darmantyo terus saja memaki. Bukannya memohon ampunan, lelaki itu justru memaki keadaannya yang sekarang. Langkah kaki Darmantyo semakin cepat ketika melihat ojek online yang berada di depan warung kopi. "Bang, Bang!" panggil Darmantyo. Abang ojek itu menoleh, memicingkan kedua mata. "Ada apa, Pak?""Bang, tolong anterin saya ke alamat ...." Darmantyo menyebutkan alamat rumah Mutiara. Ia ingin tidur di sana saja dari pada di jalanan. Tidak peduli ada jin penunggu atau tidak. Pokoknya Darmantyo tidak ingin tidur di jalana
Gita sangat bersedih. Hatinya benar-benar hancur. Satu persatu orang yang disayangi pergi meninggalkannya. "Yuliaaa! Yuliaaaa!" teriak Gita dari dalam kamar. Yulia yang tengah menyapu ruang keluarga terkejut. Ia tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar."Ada apa, Bu?" tanya Yulia agak membungkukan badannya."Beliin saya obat tidur di apotek. Ini uangnya. Cepaaattt!" teriak Gita lagi. Dengan tangan gemetar, Yulia mengambil uang dari tangan Gita. "Sa-saya permisi dulu, Bu.""Cepat! Belinya di apotek terdekat saja!" titah Gita tanpa menatap wajah Yulia. Pandangan Gita lurus ke depan. "Baik, Bu."Yulia keluar kamar dengan beberapa pertanyaan. Dia bingung, kenapa Gita membeli obat tidur? Bukannya kalau malam, tidurnya nyenyak?Yulia tidak berani bertanya. Ia hanya menuruti perintah majikannya. Setelah mendapatkan obat tidur, Yulia tergesa-gesa masuk ke dalam kamar, menemui Gita untuk memberikan obat tidur. "Bu, ini obat tidurnya," ujar Yulia pada wanita yang menatap lurus ke jendela kamar
"Pah, Papah, Papah!" Nida mengibaskan telapak tangannya di depan wajah papahnya. Yuda yang tengah melamun tergagap."Eh, iya, Nak?""Ya Allah, malah ngelamun. Tadi aku tanya, Pah. Papah udah makan belum? Udah minum obat belum?" Nida mengulang pertanyaannya. Yuda tersenyum bahagia, mengusap kepala anak gadisnya lalu mencium penuh kasih sayang. "Kamu anak yang baik, Nak. Papah belum sempet makan. Kalau minum obat baru tadi pagi aja," jawab Yuda menatap lekat wajah anak gadisnya. Andai saja Nida tidak pernah berpisah dengannya, mungkin Yuda bisa melihat masa kecil putrinya itu."Kalau gitu, Papah duduk di sini. Aku mau ambilin makan dulu, habis itu minum obat. Obatnya ambil dulu di mobil.""Kamu tau kalau obatnya ada di dalam mobil?" tanya Yuda heran."Taulah. Masa obat dikantongin?" Yuda tertawa sumbang. Menggelengkan kepala melihat raut wajah anak gadisnya. "Iya, ya. Kamu benar.""Papah jangan kemana-mana. Aku mau ambilin nasi dulu."Nida meninggalkan Yuda seorang diri di ruang tam
Bianca beranjak, ke kursi samping rumah yang terdapat kolam ikan hias, lalu dengan senyum mengembang mengangkat telepon dari Evan. "Hallo, Van?" sapa Bianca ketika sambungan telepon terhubung. Entah mengapa, menerima telepon Evan sekarang rasanya sangat berbeda ketika ia belum memutuskan mau dinikahi Evan dalam waktu dekat. "Hai, Bi. Kamu lagi ngapain? Udah makan malam belum?" tanya Evan memberikan perhatian seperti biasanya. Bibir Bianca semakin tersenyum lebar. Hatinya juga semakin berdebar-debar. "Aku tadi lagi nonton tivi sama Mamih. Kalau makan sih udah ... oh ya, di rumahku ada papahmu. Kata Nida, papahmu mau nginap di sini," ujar Bianca duduk bersandar di kursi kayu. "Oh Papah ada di situ?" tanya Evan meyakinkan. "Iya. Mungkin karena papahmu lagi kurang sehat, makanya Papah nyuruh nginap di sini. Misalnya nanti kenapa-napa kan, ada kami," timpal Bianca menjelaskan. "Iya gak apa-apa, Bi. Aku justru makasih banget kamu dan keluargamu ngizinin papah tinggal di situ. Maaf ya,
"Terus, perempuan itu siapa? Dia kan punya saudara cuma Nida aja." Saat Bianca bertanya, notifikasi pesan masuk. "WA dari Evan?" tanya Namira melihat Bianca yang membuka pesan singkat. "Iya, Mih."Pesan Evan berisi foto Shella yang menyantap makan malam. Evan diam-diam memotret Shella sebagai bukti kalau dia sedang bersamanya, [Aku lagi bareng Mbak Shella, Sayang. Dia bantuin aku belanja keperluan untuk acara lamaran kita nanti. Please ya, jangan marah. Kamu boleh cemburu, tapi jangan marah. Aku takut kalau kamu marah.]Bianca merunduk, menjadi malu sendiri karena menaruh curiga pada Evan. Curiga kalau Evan bers3lingkuh. Bianca lantas membalas pesan Evan. [Aku pikir kamu pergi dengan wanita lain. Ya udah hati-hati. Maaf, aku udah marah.]"Apa kata Evan?" tanya Namira penasaran. Walau ia yakin Evan tidak mungkin bers3lingkuh. Bianca menunjukkan foto Shella yang diambil diam-diam. Evan tidak mau Shella merasa bersalah hanya karena Bianca cemburu dan salah paham padanya. "Tuh kan, ka
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang