"Terus, perempuan itu siapa? Dia kan punya saudara cuma Nida aja." Saat Bianca bertanya, notifikasi pesan masuk. "WA dari Evan?" tanya Namira melihat Bianca yang membuka pesan singkat. "Iya, Mih."Pesan Evan berisi foto Shella yang menyantap makan malam. Evan diam-diam memotret Shella sebagai bukti kalau dia sedang bersamanya, [Aku lagi bareng Mbak Shella, Sayang. Dia bantuin aku belanja keperluan untuk acara lamaran kita nanti. Please ya, jangan marah. Kamu boleh cemburu, tapi jangan marah. Aku takut kalau kamu marah.]Bianca merunduk, menjadi malu sendiri karena menaruh curiga pada Evan. Curiga kalau Evan bers3lingkuh. Bianca lantas membalas pesan Evan. [Aku pikir kamu pergi dengan wanita lain. Ya udah hati-hati. Maaf, aku udah marah.]"Apa kata Evan?" tanya Namira penasaran. Walau ia yakin Evan tidak mungkin bers3lingkuh. Bianca menunjukkan foto Shella yang diambil diam-diam. Evan tidak mau Shella merasa bersalah hanya karena Bianca cemburu dan salah paham padanya. "Tuh kan, ka
Entah berapa pil obat tidur yang diminum Gita. Kepalanya terasa pusing. Dia sudah tidak ingin hidup lagi. Menurutnya, sudah tidak ada orang yang menyayangi lagi. Gita merasa hidupnya seorang diri dengan keadaan yang penuh kekurangan. Tubuh Gita semakin lemas, kesadarannya semakin melambat hingga obat yang masih ada di dalam tempatnya jatuh, berhamburan di atas lantai. Tubuh Gita menggelosor. Di luar kamar, Yulia sangat mencemaskan keadaan Gita yang berada di dalam kamar. Ia takut kalau majikannya itu melakukan hal nekat. Tapi, Yulia juga tidak berani masuk ke dalam kamar. Tidak ada pilihan lain, Yulia keluar rumah, minta tolong pada security agar menemaninya masuk ke dalam kamar Gita. "Memangnya kenapa kalau Mbak Yul masuk ke kamar Ibu sendirian?" tanya security merasa segan jika masuk ke dalam ruangan pribadi Gita. "Duh, Pak ... saya takut diomelin. Tapi, saya juga sangat khawatir, Khawatir Ibu ... ibu bertindak nekat," kata Yulia memelankan suaranya. Terlihat kecemasan dari raut
Gita mengerjapkan kedua mata. Silau, itu yang ia rasakan. Kepalanya masih terasa pusing. Gita mengitari sekeliling, pandangannya jatuh pada selang infus di punggung tangan. Rupanya dia di rumah sakit. Dari tempat tidurnya, kedua mata Gita memicing melihat seorang gadis, mengenakan seragam sekolah sedang menulis sambil sesekali memindahkan pandangannya pada buku tebal di sebelah. Dia, Nida. Di kamar ini hanya ada Nida. Sedangkan Yuda dan Evan, di mana mereka?Gita melihat jam dinding rumah sakit. Jam tiga? Sepertinya jam tiga sore. Mungkin Yuda dan Evan masih kerja di kantor. "Tante, Tante udah sadarkan diri?" tanya Nida tergesa-gesa menghampiri Gita yang menoleh padanya. "Kamu ngapain di sini?" Bukannya menjawab, Gita justru bertanya. Intonasi suaranya sangat dingin dan datar. Sikap Nida langsung salah tingkah. Ia mengulas senyum tipis, garuk-garuk kepala. "Hm, aku ... aku temenin, Tante.""Disuruh Yuda atau disuruh Evan?" Lagi, pertanyaan Gita membuat Nida bingung. "Maaf, Tante.
"Adduuuuhh ... sakit, dok ... sakiiittt ...."Suara seorang lelaki menggema di klinik. sudah pasti akan menunggu lama sedangkan luka pada burung Darmantyo sudah semakin parah. Terkena infeksi. "Sabar, Pak Dar. Namanya juga luka pasti sakit," ucap Pak Haji yang dari kemarin suka menjenguk Darmantyo. Pak Haji hanya menolong sebisanya. Saran dokter klinik, alat v1tal Darmantyo harusnya dipotong lagi agar infeksinya tidak melebar kemana-mana. "Tapi ini ... ini sakit, Pak Haji. Benar-benar bukan sekadar sakit biasa. Tapi sangat sakit sekali," tandas Darmantyo tapi Pak Haji tak terlalu peduli. "Semalam kan dokter menyarankan, lebih baik burungnya dipotong. Kalau gak mau dipotong, ya udah rasakan saja sendiri, Nanti lukanya makin menyebar dan ... na'uzubillahiminzalik," ujar Pak Haji mengingatkan. Kedua pundaknya naik turun, ekspresinya seperti menakut-nakuti. "Enggak mau, Pak Haji. Kalau burung dipotong lagi, nanti saya gak bisa masuk sangkar lagi. Saya gak mau ... aw, aw, arrghh ... s
Nida dan Gita berpelukan. Gadis itu sangat bahagia disuruh memanggil mamah pada Gita. "Sekarang jangan panggil aku tante lagi. Aku ... aku udah maafin mamah kamu. Kamu mau tinggal di rumah kami?" tanya Gita setelah melepaskan pelukannya. Nida yang wajahnya dibasahi air mata, menganggukkan kepala. "Insya Allah, nanti aku mau ngomong dulu sama Om Daniel," jawab Nida pada wanita yang tengah berbaring di atas r4njang pasien. "Iya."***"Pah, kenapa sih ngizinin si Nida nungguin tante Gita di rumah sakit sendirian? Gimana kalau Nida dipvkulin, dijambak atau diperlakukan gak baik sama tante Gita. Kasihan kan Nida, Pah," cerocos Bianca ketika baru pulang dari kampus dan menanyakan keberadaan Nida. Dia begitu mencemaskan keadaan anak adik papahnya itu. "Iya, Mas Ayang. Kenapa juga diizinin? Kasihan Nida." Namira tak kalah cemas begitu mendengar Nida ada di rumah sakit menemani Gita karena Evan dan Yuda bekerja. "Sayang, aku juga baru tau. Tadi Yuda telepon. Kata Yuda, itu kemauan Nida s
"Hebat amat kamu, bisa dicintai sama guru sendiri," timpal Gita ketika Nida menceritakan ada seorang guru yang mencintainya. Dia pun cerita karena Gita yang bertanya, apakah di sekolahnya ada yang jatuh cinta padanya atau tidak? Mau tidak mau, Nida bercerita tentang Pak Hanif yang mengungkapkan perasaan cinta padanya. "Iya tapi ... bikin males. Untung aja sekarang gurunya udah pindah ke sekolah lain," ucap Nida sambil menyuapi Gita makan makanan rumah sakit. "Pindah ngajarnya?""Iya. Gara-garanya sih ditegur Om Daniel," seloroh Nida cemberut. Gita terkejut, kedua matanya membeliak. "Oh ditegur sama Om kamu juga?""Iya, Mah ... tapi aku gak tau, apa yang diomongin Om Daniel ke guru itu.""Hahahaha ... pantesan, Pak Hanif pindah ngajarnya. Kalau kata Mamah, dia pasti diancam sama Om kamu, Nid. Hahahah ....""Mah, pelan-pelan ketawanya. Nanti kesedak." Nida mengambil segelas air, meminumkannya pada Gita. "Terima kasih, ya?""Sama-sama.""Mamah makannya udah dulu," kata Gita menatap s
Daniel jadi ikutan cemas mendengar Nida ada di rumah sakit. Apalagi sampai sekarang Bianca tak juga memberi kabar. "Sayang, kamu telepon Bianca. Apakah dia udah di rumah sakit menemui Nida atau belum?" titah Daniel saat keduanya tengah menonton televisi di dalam kamar. "Sebentar, aku ambil hapenya dulu." Namira beranjak, mengambil handphone yang tergeletak di atas meja rias. Kemudian, menghubungi Bianca. Tidak berselang lama, suara Bianca terdengar. "Iya, Mih. Ada apa?" tanya Bianca sambil keluar ruangan Gita, membiarkan Nida dan Gita yang tengah berbincang. "Kamu udah nyampe rumah sakit? Udah nemuin Nida?" tanya Namira duduk kembali di samping suaminya. Namira sengaja meloudspeaker sambungan teleponnya. "Udah dari tadi, Mih. Udah ketemu Nida juga," jawab Bianca. "Bagaimana keadaan Nida sekarang? Dia dijahatin Gita enggak?" Kali ini, yang bertanya Daniel. Dia sungguh mencemaskan keadaan Nida."Alhamdulillah enggak dij4hatin, Pah. Keadaan Nida juga baik-baik aja bahkan sekarang
"Jangan. Jangan tinggal di sana. Kalau kamu mau main-main ke rumahnya, silakan. Tapi, jangan tinggal di sana." Daniel menjawab sangat tegas. Wajah Nida berubah masam. Bersedih, karena Daniel tidak mengizinkannya tinggal di rumah Yuda dan Gita. Melihat situasi seperti itu, Namira menoleh pada suaminya dan juga pada Nida. Namira berdehem, berucap. "Nida, kamu ganti seragam, mandi dan makan. Setelah itu, istirahat," sela Namira cepat. Tidak ingin melihat kesedihan Nida. "Iya, Kak." Sembari merunduk, Nida membalikkan badan, berjalan gontai menuju kamarnya. Setelah kepergian Nida, Namira menarik napas panjang, menyentuh bahu sang suami. "Mas?""Kenapa, Sayang?""Kenapa sampe membentak begitu?" tanya Namira lembut. Dia hanya takut, nantinya Nida tidak sayang lagi pada Daniel. "Aku bukan membentak, hanya berusaha tegas. Lagipula, mau ngapain Nida tinggal di rumah Yuda? Jangan hanya baru sehari Gita berubah menjadi baik, terus dia beranggapan Gita berubah baik selamanya? Belum tentu jug
"Udah gila ibunya si Hanif. Enak bener dia bilang gitu. Terus kamu bilang apa? Ngizinin Hanif nikah lagi? Mau kamu dipoligami?"Shella tersulut emosi. Sejak dulu, Shella sudah sangat geram melihat tingkah laku keluarga Hanif. Mereka semua benalu dan penjilat. Sering kali meminta uang pada Nida. "Enggaklah, Ma. Aku minta diceraikan kalau Mas Hanif mau poligami. Aku sadar diri, bukan wanita yang ikhlas dan penyabar. Enggak sanggup kalau harus berbagi suami dengan wanita lain." Masih dengan sikap santai, Nida menjawab pertanyaan ibu sambungnya. Shella begitu miris mendengar cerita yang disampaikan Nida. Kasihan Nida. Semasa hidupnya selalu saja ada masalah yang dihadapi."Tapi, Nida ... Kayaknya Hanif enggak mungkin menceraikanmu. Dia sangat mencintaimu. Mama yakin itu."Sebisa mungkin, Shella menghibur Nida. Dibalik sikap tenang dan santainya, Shella yakin sebetulnya Nida pun bersedih. Nida tersenyum miring mendengar tanggapan Shella. "Kalau mamanya yang minta, ada kemungkinan Mas H
"Sudahlah, Ma. Jangan ngomong macam-macam. Aku enggak mungkin menceraikan dia!"Senyum yang sebelumnya terlihat di wajah ibu Ros, seketika lenyap. "Hanif, mau sampai kapan kamu enggak punya anak? Dia itu mandul! Keturunan mandul, Hanif!"Ibu Ros tersulut emosi. Tak menyangka jika anak sulungnya berani melawan perintah padahal sebelumnya tidak pernah."Aku enggak peduli, Ma. Nida mandul atau tidak, aku enggak akan ceraikan dia. Aku sayang Nida, Maaaa ... aku cinta dia ...."Memang, Hanif begitu mencintai Nida. Sejak dulu hingga sekarang cintanya tak pernah berubah. "Halah, cinta, sayang! Kamu itu buta, Hanif! Umurmu udah tua. Tapi, sampai sekarang belum juga punya anak. Kalau kamu udah tua nanti, udah enggak bisa beraktivitas lagi, siapa yang akan menyayangimu? Kamu lihat, Nida. Dia masih muda. Mama yakin, kalau kamu udah sakit-sakitan pasti dia ninggalin kamu! Kalau dia ninggalin kamu, kamu mau sama siapa? Anak enggak punya!"Hanif memejamkan kedua mata, memijat pelipis. Tidak perna
"Apa hubungannya?" Bukannya menjawab, Axel justru balik tanya. Alea manyun, memukul bahu kakaknya. "Pulang ke rumah lagi, Kak. Kasihan mama tau! Nangis terus."Alea mengingat kembali kesedihan yang dialami Bianca. Axel bersikap santai, pandangannya lurus ke depan. "Aku masuk kelas dulu!" Tanpa menanggapi ucapan adiknya, Axel masuk ke dalam kelas. Alea benar-benar dibuat kesal. Rencana mengajak Axel kembali ke rumah gagal lagi.*** "Jam segini baru bangun! Pantas saja asam lambungnya sering kumat! Istrinya saja malas menyiapkan sarapan," celetuk ibu Ros saat Nida baru datang ke ruang meja makan. Ibu Ros yang tengah sarapan roti tawar, melirik Nida yang mengacuhkan. "Kamu dengar Mama enggak, Nida?" Sentak ibu Ros. Kedua mata seperti hendak melompat. Amarah terlihat jelas dari raut wajah. "Denger," sahut Nida cuek. Melihat sikap menantunya seperti itu, Ibu Ros semakin marah dan membenci. "Kalau kamu denger, harusnya bangun pagi! Siapin sarapan!"Lagi, Nida tetap cuek. Ia justru me
"Enggak. Mami enggak melakukan kesalahan apapun, Lea. Mami orang yang baik. Namira sahabatku, ibu sambungku yang paling baik bahkan kebaikannya melebihi ibuku sendiri." Bianca langsung menyanggah pertanyaan Alea. Gadis itu tertunduk sesaat, menghela napas berat. "Lalu, kenapa Mama merahasiakan mereka adalah orang tua kandungku?" Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Alea membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak lalu sikap berubah salah tingkah. "Bu-bukan maksud ingin merahasiakan ta-tapi ...."Tak sanggup, Bianca meneruskan kalimat. Teringat kekurangan dalam diri bahwa sebetulnya Bianca tak bisa memberikan keturunan untuk Evan karena ia telah divonis mandul oleh dokter. "Ya udah, Ma. Enggak usah diucapkan kalau memang alasannya akan menyakitiku atau menyakiti hati Mama lagi."Alea mencoba berpikir bijak. Tak ingin wanita yang telah merawatnya penuh kasih sayang itu bersedih dan menangis lagi. "Bukan begitu, Lea. Ma-Mama ....""Kenapa kamu masih saja menyebut diri
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma
"Kamu benar, Xel. Apapun alasan Mbak Bian dan Mas Evan merahasiakan kedua orang tua kalian, tetap salah. Tapi, kamu juga jangan marah lama-lama. Coba kamu tanyakan baik-baik pada mereka, apa alasannya?" Gilang tak mau terlalu banyak menanggapi cerita yang disampaikan Axel. Ia tak mau, kalau dianggap ikut campur atau memihak ke salah satu keluarga itu. "Enggak tau, Bang. Jujur saja, aku masih kecewa. Masih enggak nyangka aja kalau mereka tega sama mama dan papaku. Misalnya mama Bianca membenci mamaku, kenapa pula dia sayang aku dan Alea?"Berbagai tanya diucapkan Axel. Benar-benar bingung dengan alasan Bianca dan Evan merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Ya sudah enggak usah kamu pikirkan dulu. Sekarang lebih baik kamu tenangkan hati dan pikiran.""Iya, Bang."Handphone milik Gilang tiba-tiba berdering. Lelaki itu merogoh saku celana, lalu terlihat nama kontak yang tertera di layar ponsel. Panggilan dari Alea. Gilang tak langsung mengangkat panggilan telepon itu, me
Nida menganggukkan kepala, mendengar tanggapan ibu mertua. "Iya, silakan saja Mama bicara dulu sama Mas Hanif. Maaf, Ma. Aku mau istirahat dulu. Apa masih ada yang mau Mama bicarakan?" Kalau saja tidak menghormati suaminya, Nida sudah ingin memarahi ibu Ros. "Enggak ada. Mama juga mau istirahat." Ibu Ros pergi lebih dulu, meninggalkan Nida yang masih duduk terpaku di ruang makan. Kepergian Ibu Ros dari ruangan itu, membuat Nida tercenung. Nida tak dapat menahan tangisan. Dalam keheningan, ia menangis tersedu-sedu. Nida juga ingin memiliki anak. Nida juga ingin merasakan hamil. Tapi, dia tidak memaksa Tuhan untuk memberinya keturunan. Nida selalu yakin, Tuhan lebih tahu, waktu dan saat yang tepat memiliki buah hati. Dengan kasar, Nida menyeka lelehan air mata. Ia beranjak, membersihkan piring kotor. Setelahnya, masuk ke dalam kamar. Baru saja menutup pintu kamar, terdengar suara dering handphone. Nida tahu, itu adalah suaminya. Nida berjalan menghampiri handphone y
Nida terkejut bukan main mendengar permohonan ibu Ros yang tak lain ibu mertuanya. Kedua mata Nida nyalang menatap wanita yang telah melahirkan suaminya. Sungguh, sedikitpun ia tak menyangka jika ibu Ros memintanya untuk mengizinkan Hanif menikah lagi.Sadar dari rasa terkejut, Nida menarik napas panjang. Ia tak boleh tersulut emosi. Jika sampai Nida memarahi ibu Ros, wanita itu pasti mengadu berlebihan pada Hanif."Oh, jadi Mama ingin aku izinin Mas Hanif nikah lagi? Supaya Mama dapat cucu dari istri barunya nanti? Begitu?" Nida sengaja mengulang keinginan ibu Ros dengan sikap yang santai. Ia juga melanjutkan suapan makan malamnya. Ibu Ros mengembuskan napas melihat ketenangan sikap Nida. "Iya begitu. Ya habis mau gimana lagi? Kamu juga sadar kan, enggak bisa kasih Hanif anak? Iya 'kan?"Yang salah tingkah bukan Nida, justru ibu Ros. Nida manggut-manggut sembari meneguk segelas air di dalam gelas hingga tandas. "Jujur ya, Ma. Sebenarnya aku enggak mau dipoligami. Enggak mau kala
Di dalam kamar, Nida berdiri di depan pintu. Kedua matanya terpejam, mulutnya mengucapkan istighfar berulang kali. Terkadang Nida sangat bersedih jika mengingat tak juga diberi buah hati. Berbagai cara telah Nida lakukan bahkan ia sempat menawarkan pada Hanif agar melakukan program bayi tabung tapi Hanif tak setuju. "Program bayi tabung itu mahal, Dek.""Tapi aku ada uangnya, Mas. Aku kan kerja. Uang hasil aku kerja kan jarang dipake." "Kamu menganggap Mas enggak punya uang? Kamu merendahkan Mas? Mas emang bukan pengusaha seperti keluargamu, tapi uang PNS yang Mas dapatkan sudah lebih dari cukup. Sudahlah, enggak usah melakukan program bayi tabung. Kalau sudah waktunya, nanti juga kita dikasih anak."Begitulah perdebatan Nida dengan suaminya suatu waktu. Setelah itu, Nida tak mengusulkan apa-apa lagi. Lebih memilih diam dan menerima hinaan dan makian dari keluarga Hanif terutama ibunya. Beruntung, Nida tipikal wanita bodo amatan. Terpenting baginya, Hanif mencintainya dengan tulus d