"Pah, Papah, Papah!" Nida mengibaskan telapak tangannya di depan wajah papahnya. Yuda yang tengah melamun tergagap."Eh, iya, Nak?""Ya Allah, malah ngelamun. Tadi aku tanya, Pah. Papah udah makan belum? Udah minum obat belum?" Nida mengulang pertanyaannya. Yuda tersenyum bahagia, mengusap kepala anak gadisnya lalu mencium penuh kasih sayang. "Kamu anak yang baik, Nak. Papah belum sempet makan. Kalau minum obat baru tadi pagi aja," jawab Yuda menatap lekat wajah anak gadisnya. Andai saja Nida tidak pernah berpisah dengannya, mungkin Yuda bisa melihat masa kecil putrinya itu."Kalau gitu, Papah duduk di sini. Aku mau ambilin makan dulu, habis itu minum obat. Obatnya ambil dulu di mobil.""Kamu tau kalau obatnya ada di dalam mobil?" tanya Yuda heran."Taulah. Masa obat dikantongin?" Yuda tertawa sumbang. Menggelengkan kepala melihat raut wajah anak gadisnya. "Iya, ya. Kamu benar.""Papah jangan kemana-mana. Aku mau ambilin nasi dulu."Nida meninggalkan Yuda seorang diri di ruang tam
Bianca beranjak, ke kursi samping rumah yang terdapat kolam ikan hias, lalu dengan senyum mengembang mengangkat telepon dari Evan. "Hallo, Van?" sapa Bianca ketika sambungan telepon terhubung. Entah mengapa, menerima telepon Evan sekarang rasanya sangat berbeda ketika ia belum memutuskan mau dinikahi Evan dalam waktu dekat. "Hai, Bi. Kamu lagi ngapain? Udah makan malam belum?" tanya Evan memberikan perhatian seperti biasanya. Bibir Bianca semakin tersenyum lebar. Hatinya juga semakin berdebar-debar. "Aku tadi lagi nonton tivi sama Mamih. Kalau makan sih udah ... oh ya, di rumahku ada papahmu. Kata Nida, papahmu mau nginap di sini," ujar Bianca duduk bersandar di kursi kayu. "Oh Papah ada di situ?" tanya Evan meyakinkan. "Iya. Mungkin karena papahmu lagi kurang sehat, makanya Papah nyuruh nginap di sini. Misalnya nanti kenapa-napa kan, ada kami," timpal Bianca menjelaskan. "Iya gak apa-apa, Bi. Aku justru makasih banget kamu dan keluargamu ngizinin papah tinggal di situ. Maaf ya,
"Terus, perempuan itu siapa? Dia kan punya saudara cuma Nida aja." Saat Bianca bertanya, notifikasi pesan masuk. "WA dari Evan?" tanya Namira melihat Bianca yang membuka pesan singkat. "Iya, Mih."Pesan Evan berisi foto Shella yang menyantap makan malam. Evan diam-diam memotret Shella sebagai bukti kalau dia sedang bersamanya, [Aku lagi bareng Mbak Shella, Sayang. Dia bantuin aku belanja keperluan untuk acara lamaran kita nanti. Please ya, jangan marah. Kamu boleh cemburu, tapi jangan marah. Aku takut kalau kamu marah.]Bianca merunduk, menjadi malu sendiri karena menaruh curiga pada Evan. Curiga kalau Evan bers3lingkuh. Bianca lantas membalas pesan Evan. [Aku pikir kamu pergi dengan wanita lain. Ya udah hati-hati. Maaf, aku udah marah.]"Apa kata Evan?" tanya Namira penasaran. Walau ia yakin Evan tidak mungkin bers3lingkuh. Bianca menunjukkan foto Shella yang diambil diam-diam. Evan tidak mau Shella merasa bersalah hanya karena Bianca cemburu dan salah paham padanya. "Tuh kan, ka
Entah berapa pil obat tidur yang diminum Gita. Kepalanya terasa pusing. Dia sudah tidak ingin hidup lagi. Menurutnya, sudah tidak ada orang yang menyayangi lagi. Gita merasa hidupnya seorang diri dengan keadaan yang penuh kekurangan. Tubuh Gita semakin lemas, kesadarannya semakin melambat hingga obat yang masih ada di dalam tempatnya jatuh, berhamburan di atas lantai. Tubuh Gita menggelosor. Di luar kamar, Yulia sangat mencemaskan keadaan Gita yang berada di dalam kamar. Ia takut kalau majikannya itu melakukan hal nekat. Tapi, Yulia juga tidak berani masuk ke dalam kamar. Tidak ada pilihan lain, Yulia keluar rumah, minta tolong pada security agar menemaninya masuk ke dalam kamar Gita. "Memangnya kenapa kalau Mbak Yul masuk ke kamar Ibu sendirian?" tanya security merasa segan jika masuk ke dalam ruangan pribadi Gita. "Duh, Pak ... saya takut diomelin. Tapi, saya juga sangat khawatir, Khawatir Ibu ... ibu bertindak nekat," kata Yulia memelankan suaranya. Terlihat kecemasan dari raut
Gita mengerjapkan kedua mata. Silau, itu yang ia rasakan. Kepalanya masih terasa pusing. Gita mengitari sekeliling, pandangannya jatuh pada selang infus di punggung tangan. Rupanya dia di rumah sakit. Dari tempat tidurnya, kedua mata Gita memicing melihat seorang gadis, mengenakan seragam sekolah sedang menulis sambil sesekali memindahkan pandangannya pada buku tebal di sebelah. Dia, Nida. Di kamar ini hanya ada Nida. Sedangkan Yuda dan Evan, di mana mereka?Gita melihat jam dinding rumah sakit. Jam tiga? Sepertinya jam tiga sore. Mungkin Yuda dan Evan masih kerja di kantor. "Tante, Tante udah sadarkan diri?" tanya Nida tergesa-gesa menghampiri Gita yang menoleh padanya. "Kamu ngapain di sini?" Bukannya menjawab, Gita justru bertanya. Intonasi suaranya sangat dingin dan datar. Sikap Nida langsung salah tingkah. Ia mengulas senyum tipis, garuk-garuk kepala. "Hm, aku ... aku temenin, Tante.""Disuruh Yuda atau disuruh Evan?" Lagi, pertanyaan Gita membuat Nida bingung. "Maaf, Tante.
"Adduuuuhh ... sakit, dok ... sakiiittt ...."Suara seorang lelaki menggema di klinik. sudah pasti akan menunggu lama sedangkan luka pada burung Darmantyo sudah semakin parah. Terkena infeksi. "Sabar, Pak Dar. Namanya juga luka pasti sakit," ucap Pak Haji yang dari kemarin suka menjenguk Darmantyo. Pak Haji hanya menolong sebisanya. Saran dokter klinik, alat v1tal Darmantyo harusnya dipotong lagi agar infeksinya tidak melebar kemana-mana. "Tapi ini ... ini sakit, Pak Haji. Benar-benar bukan sekadar sakit biasa. Tapi sangat sakit sekali," tandas Darmantyo tapi Pak Haji tak terlalu peduli. "Semalam kan dokter menyarankan, lebih baik burungnya dipotong. Kalau gak mau dipotong, ya udah rasakan saja sendiri, Nanti lukanya makin menyebar dan ... na'uzubillahiminzalik," ujar Pak Haji mengingatkan. Kedua pundaknya naik turun, ekspresinya seperti menakut-nakuti. "Enggak mau, Pak Haji. Kalau burung dipotong lagi, nanti saya gak bisa masuk sangkar lagi. Saya gak mau ... aw, aw, arrghh ... s
Nida dan Gita berpelukan. Gadis itu sangat bahagia disuruh memanggil mamah pada Gita. "Sekarang jangan panggil aku tante lagi. Aku ... aku udah maafin mamah kamu. Kamu mau tinggal di rumah kami?" tanya Gita setelah melepaskan pelukannya. Nida yang wajahnya dibasahi air mata, menganggukkan kepala. "Insya Allah, nanti aku mau ngomong dulu sama Om Daniel," jawab Nida pada wanita yang tengah berbaring di atas r4njang pasien. "Iya."***"Pah, kenapa sih ngizinin si Nida nungguin tante Gita di rumah sakit sendirian? Gimana kalau Nida dipvkulin, dijambak atau diperlakukan gak baik sama tante Gita. Kasihan kan Nida, Pah," cerocos Bianca ketika baru pulang dari kampus dan menanyakan keberadaan Nida. Dia begitu mencemaskan keadaan anak adik papahnya itu. "Iya, Mas Ayang. Kenapa juga diizinin? Kasihan Nida." Namira tak kalah cemas begitu mendengar Nida ada di rumah sakit menemani Gita karena Evan dan Yuda bekerja. "Sayang, aku juga baru tau. Tadi Yuda telepon. Kata Yuda, itu kemauan Nida s
"Hebat amat kamu, bisa dicintai sama guru sendiri," timpal Gita ketika Nida menceritakan ada seorang guru yang mencintainya. Dia pun cerita karena Gita yang bertanya, apakah di sekolahnya ada yang jatuh cinta padanya atau tidak? Mau tidak mau, Nida bercerita tentang Pak Hanif yang mengungkapkan perasaan cinta padanya. "Iya tapi ... bikin males. Untung aja sekarang gurunya udah pindah ke sekolah lain," ucap Nida sambil menyuapi Gita makan makanan rumah sakit. "Pindah ngajarnya?""Iya. Gara-garanya sih ditegur Om Daniel," seloroh Nida cemberut. Gita terkejut, kedua matanya membeliak. "Oh ditegur sama Om kamu juga?""Iya, Mah ... tapi aku gak tau, apa yang diomongin Om Daniel ke guru itu.""Hahahaha ... pantesan, Pak Hanif pindah ngajarnya. Kalau kata Mamah, dia pasti diancam sama Om kamu, Nid. Hahahah ....""Mah, pelan-pelan ketawanya. Nanti kesedak." Nida mengambil segelas air, meminumkannya pada Gita. "Terima kasih, ya?""Sama-sama.""Mamah makannya udah dulu," kata Gita menatap s
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang