Bianca terbakar cemburu. Cemburu pada perawat Gita yang sekarang tinggal satu atap dengan kekasihnya. Evan tak marah, justru ia senang kalau Bianca cemburu padanya. "Sayang, cintaku cuma buat kamu. Sayangku cuma buat kamu. Serius." Evan berusaha meyakinkan Bianca bahwa di hatinya hanya ada nama Bianca. "Halah, pret. Tetep aja kalau dia godain kamu, kamu akan tergoda.""Jangan suuzhon. Gak baik itu. Sayang, aku juga masih kepikiran permintaan papahmu. Pak Daniel benar, kalau kita sering jalan berdua, takutnya kita khilaf. Apalagi kan ... kita udah sama-sama dewasa."Bianca memutar bola mata malas. Dia memejamkan kedua mata sejenak. "Kalau kita udah nikah, kamu mau ajak aku tinggal di mana?" tanya Bianca masih terdengar ketus suaranya. "Kita tinggal di apartemen. Kamu lupa, kalau aku punya apart? Kamu kan ke pernah aku ajak ke sana."Bianca lupa. Evan benar, lelaki itu pernah mengajaknya ke apartemen saat mereka baru pertama kali berjumpa. "Ya udah nanti aku pikir-pikir lagi. Sekar
"Kamu kenapa, Bi? Kelihatan lemes banget?" tegur Namira ketika keluarga Bragastara baru menyelesaikan sarapan. Bianca hari ini tidak ada kelas. Sedangkan Daniel ke ruang kerja sebentar, mau mengecek laporan semalam yang dikirim Yuda lewat email. Sementara Nida, sudah berangkat ke sekolah. Namira menempelkan punggung tangan pada kening anak sambungnya. Memastikan suhu tubuh Bianca. Ia khawatir jika sahabatnya itu jatuh sakit. "Badanmu gak panas. Ada apa sih? Masih mikirin permintaan Papahmu?" tanya Namira lagi meski pertanyaan pertama tak kunjung mendapat jawaban. "Aku lagi bingung, Mih," jawaban Bianca rendah suaranya. Namira mendekatkan diri pada Bianca, merangkul pundak wanita yang sudah lama dikenal. "Bingung mau nikah dalam waktu cepat atau nanti?" terka Namira seolah sudah dapat apa yang dipikirkan Bianca. Pertanyaan Namira ditanggapi anggukkan kepala. "Iya. Semalam aku gak bisa tidur tau!" ujar Bianca memanyunkan bibir beberapa centi. Bianca mengubah posisi duduk, lebih m
Evan tak peduli larangan mamahnya. Ia tetap berangkat ke kantor, masuk ke dalam mobil tanpa ingin menanggapi ucapan Gita yang dipenuhi amarah. Gita frustasi, menjerit-jerit. Ia memukul kedua pahanya berulang kali. Tidak ada rasa sakit, tidak ada rasa nyeri yang dialami Gita. Yulia, perawat yang mendapat perintah merawat Gita tak berani menenangkan wanita itu. "Yulia! Yuliaaaa ...." panggil Gita pada perawatnya. Yulia yang bengong di belakang Gita berjalan cepat menghampiri. "I-iya, Bu? Iya ada apa?" Suara Yulia bergetar takut. Sorot mata Gita memerah. Amarah telah menguasai dirinya. "Kenapa kamu diam aja? Aku mau masuk ke dalam!" "I-iya, Bu. Iya ...."Dengan cekatan, Yulia mendorong kursi roda yang ditempati Gita, masuk ke dalam rumah. ***Sepanjang jalan, Evan memikirkan sikap mamahnya yang sekarang. Sempat terpikirkan olehnya ingin mengajak Gita ke psikiater atau psikolog. Evan merasa kalau Gita kejiwaannya terganggu, jadi mudah marah, mudah tersinggung dan mudah berpikiran b
"Van, Papahmu tadi pagi tumben minta dibeliin sarapan sama Mbak. Lagi ada masalah, ya? Sorry, kalau Mbak kepo." Shella sebenarnya tak enak hati bertanya demikian. Tapi rasa penasarannya membuat Shella tak fokus bekerja. "Iya, Mbak. Biasalah ... masalah Mamah. Aku juga pusing ngadepin sikap Mamah yang sekarang apalagi papah."Evan sudah mengenal Shella cukup lama. Bahkan Evan sudah menganggap janda itu seperti kakak sendiri. "Emang kondisimu mamahmu gimana? Bukannya sekarang udah bisa bicara, ya?""Nah itu ... kalau lihat sikap Mamah kayak sekarang, aku malah pengen mamah belum bisa bicara lagi, Mbak.""Eh, kamu ... kalau ngomong jangan kayak gitu, Van. Itu Mamah kamu lho." Shella terkejut, langsung mengingatkan Evan. Evan menghela napas berat, menggelengkan kepala. "Sikap dan sifat mamah sekarang beda banget sama yang dulu, Mbak. Bikin pusing. Ya bayangin aja, tiap hari marah-marah gak jelas. Ngelarang gak jelas. Nuduh gak jelas. Ya pokoknya serba gak jelas."Shella jadi penasaran
Pagi hari, di hari yang sama tapi tempat yang berbeda, Ferry dan Tina sedang menyantap sarapan berdua. Mereka sarapan tanpa bicara satu sama lain. Sejak Ferry mengungkapkan keinginan menikahinya, Tina jadi lebih banyak diam. Dia seperti malu-malu. Ferry berdehem, lalu berkata, "Tina, hari ini aku mau ke kantor KUA. Kalau bisa kamu ikut. Sekalian aku pengen beliin cincin buat emas kawin. Bagaimana? Kamu mau kan?"Tina terkejut, kepalanya sontak mendongak. Sesaat, mereka saling memandang satu sama lain. Lalu, Tina kembali merundukkan kepala, ia tersipu malu. "Ma-mau, Mas."Ferry tersenyum bahagia. Entah sejak kapan, ia mulai menyukai sikap Tina yang malu-malu seperti itu. Usai sarapan, Tina dan Ferry masuk ke dalam mobil. Mereka menuju ke kantor Urusan Agama untuk mendaftarkan pernikahan. Ferry ingin, pernikahannya dengan Tina tercatat di kantor agama dan negara. Tidak ingin seperti pernikahan yang sebelumnya. Selalu hanya menikah sirri. Hanya tercatat di kantor agama saja. Setelah
"Ibuku sudah meninggal." Ucapan Ferry membuat Darmantyo membalikkan badan. "Meninggal? Meninggal dunia maksudmu?" telisik Darmantyo, kedua matanya menyipit, menatap anak kandungnya. Tidak ada pelukan dari seorang ayah yang telah lama tidak melihat anak lelakinya. Tidak ada pelukan dari seorang ayah yang telah lama berpisah dengan anak lelakinya. Seolah datar. Seolah tak saling mengenal. Seolah tak ada ikatan batin sedikit pun antara Darmantyo dan Ferry."Iya. Baru tiga hari Ibuku meninggal dunia." Ferry mengajak Tina yang ketakutan masuk ke dalam rumah. Lelaki yang mengaku menjadi ayah kandung Ferry turut serta masuk ke dalam. "Sakit apa Ibumu, Ferry? Sakit apa dia?" cecar Darmantyo, mensejajari langkah kaki Ferry. "Duduklah di sana! Jangan ikuti aku terus! Duduk dulu!" titah Ferry merasa risih diikuti Darmantyo yang hendak masuk ke dalam kamarnya. Langkah Darmantyo terhenti, menghela napas berat, lalu membalikkan badan, berjalan ke sofa ruang tamu. Lelaki berusia setengah abad
Sampai gerbang depan rumah Mutiara, Darmantyo turun dari ojek online yang dijadikan tumpangannya. Usai membayar ongkos ojek, Darmantyo memandang lekat rumah yang tampaknya tidak terawat. Pandangan Darmantyo mengitari sekeliling, tampak sepi. Darmantyo melangkahkan kaki masuk ke halaman rumah Mutiara. Di depan pintu rumah itu, Darmantyo mengintip keadaan rumah lewat jendela kaca. "Kemana si Mutiara? Apakah di masih bekerja di kantornya Pak Daniel?" gumam Darmantyo. Ia lantas mengetuk pintu, memanggil nama Mutiara. Namun, tak ada jawaban. Darmantyo ingat, dulu sewaktu ia belum di penj4ra pernah masuk ke dalam rumah itu lewat jendela belakang rumah. Lelaki berkumis tebal itu tengok kanan dan kiri. Khawatir ada orang yang melihat aksinya. Suasana sudah mau menjelang Magrib,. Darmantyo mengendap-endap berjalan ke samping rumah Mutiara, hendak ke pintu belakang. Tak dapat dipungkiri, bulu kuduk Darmantyo meremang. "Kenapa rumah Mutiara jadi menyeramkan? Sial."Sampai di depan pintu b
Shella menekan bel rumah Yuda. Tidak berselang lama, asisten rumah tangga Yuda membukakan pintu. "Assalamualaikum, Bi.""Waalaikumsalam. Ya Allah, Mbak Shella ...udah lama sekali baru ke sini." Bibi yang bekerja di rumah Yuda sudah mengenal Shella karena wanita itu dulu kerap kali datang ke rumah itu untuk membicarakan pekerjaan di kantor atau sekadar bersilaturrahmi menemui Gita. "Hehe ... iya, Bi. Bibi apa kabar?""Alhamdulillah Bibi baik. Mbak Shella mau ketemu Pak Yuda atau Ibu Gita?" "Saya mau ketemu Ibu Gita. Ingin melihat kondisinya," jawab Shella tersenyum ramah. Senyum yang sebelumnya mengembang di bibir Bibi, seketika redup. Bibi itu tahu kalau perangai Gita sekarang sangat jauh berbeda dengan Gita yang dulu. "Oh, begitu. Silakan masuk, Mbak. Saya kasih tau Ibu dulu.""Iya, Bi. Makasih banyak."Sebenarnya Bibi juga ingin memberitahu Shella kalau sekarang emosi Gita tidak bisa dikendalikan. Wanita itu tiap hari marah-marah, curigaan dan mudah sekali emosi. Shella dengan
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang