Sampai gerbang depan rumah Mutiara, Darmantyo turun dari ojek online yang dijadikan tumpangannya. Usai membayar ongkos ojek, Darmantyo memandang lekat rumah yang tampaknya tidak terawat. Pandangan Darmantyo mengitari sekeliling, tampak sepi. Darmantyo melangkahkan kaki masuk ke halaman rumah Mutiara. Di depan pintu rumah itu, Darmantyo mengintip keadaan rumah lewat jendela kaca. "Kemana si Mutiara? Apakah di masih bekerja di kantornya Pak Daniel?" gumam Darmantyo. Ia lantas mengetuk pintu, memanggil nama Mutiara. Namun, tak ada jawaban. Darmantyo ingat, dulu sewaktu ia belum di penj4ra pernah masuk ke dalam rumah itu lewat jendela belakang rumah. Lelaki berkumis tebal itu tengok kanan dan kiri. Khawatir ada orang yang melihat aksinya. Suasana sudah mau menjelang Magrib,. Darmantyo mengendap-endap berjalan ke samping rumah Mutiara, hendak ke pintu belakang. Tak dapat dipungkiri, bulu kuduk Darmantyo meremang. "Kenapa rumah Mutiara jadi menyeramkan? Sial."Sampai di depan pintu b
Shella menekan bel rumah Yuda. Tidak berselang lama, asisten rumah tangga Yuda membukakan pintu. "Assalamualaikum, Bi.""Waalaikumsalam. Ya Allah, Mbak Shella ...udah lama sekali baru ke sini." Bibi yang bekerja di rumah Yuda sudah mengenal Shella karena wanita itu dulu kerap kali datang ke rumah itu untuk membicarakan pekerjaan di kantor atau sekadar bersilaturrahmi menemui Gita. "Hehe ... iya, Bi. Bibi apa kabar?""Alhamdulillah Bibi baik. Mbak Shella mau ketemu Pak Yuda atau Ibu Gita?" "Saya mau ketemu Ibu Gita. Ingin melihat kondisinya," jawab Shella tersenyum ramah. Senyum yang sebelumnya mengembang di bibir Bibi, seketika redup. Bibi itu tahu kalau perangai Gita sekarang sangat jauh berbeda dengan Gita yang dulu. "Oh, begitu. Silakan masuk, Mbak. Saya kasih tau Ibu dulu.""Iya, Bi. Makasih banyak."Sebenarnya Bibi juga ingin memberitahu Shella kalau sekarang emosi Gita tidak bisa dikendalikan. Wanita itu tiap hari marah-marah, curigaan dan mudah sekali emosi. Shella dengan
"Enggak usah, Pak. Semuanya udah beres. Ini sekarang saya mau pulang.""Oke, Yuda. Terima kasih banyak. Oh ya, kamu mau pulang ke rumahmu atau mau ke pondok Indah?""Saya belum bisa pulang ke rumah dulu, Pak.""Oh ya udah, terserah kamu."Sambungan telepon terputus. Daniel kembali meletakkan handphone, hendak menghampiri istri tercintanya. Namun, baru beberapa langkah, terdengar suara ketukan pintu kamar. Daniel mengurungan niat menghampiri Namira, ia berjalan ke arah pintu kamar, membuka. "Bianca? Ada apa?" Ternyata Bianca yang mengetuk pintu kamar. Gadis itu berdiri di depan pintu kamar sambil merunduk, memainkan jari jemari. "Kamu mau ngobrol sama Papah?" tanya Daniel lagi. Melihat Bianca masih tetap diam. "Iya, Pah. Maaf, kalau aku ganggu waktu istirahat Papah dan Mamih," ujar Bianca tak enak hati. Namira datang menghampiri, berdiri di samping suaminya. "Aku boleh ikut?" tanya Namira menoleh pada Daniel dan Bianca."Boleh, Mih. Kita bicara di ruang keluarga aja gimana?" tanya
Pagi hari, Darmantyo terbangun dalam keadaan tanpa penutup aurat. Sinar matahari dari jendela kamar membuatnya silau. Ia merentangkan kedua telapak tangan, menguap, dan mengucek kedua mata. Senyumnya merekah mengingat p3rgumvlannya semalam. Darmantyo tak menyangka kalau semalam Mutiara begitu agr3sif, begitu memanas dan suaranya begitu merdu. Sadar akan lamunannya, Darmantyo melihat sekitar. Ia cukup terkejut melihat suasana kamar Mutiara pada siang hari. Sekarang suasana kamar Mutiara sangat terang dan jelas dipandangannya. Darmantyo berulang kali mengucek kedua mata. Ia tak bermimpi. Bahkan tempat tidur yang menjadi saksi bisu peristiwa semalam sangat bau apek. Tidak harum lagi seperti semalam."Apa karena terkena cairanku? Hahahaha ... edaaaan ... si Mutiara edaaan ... semalam benar-benar membuatku berulang kali mengalami pelepasan. Hahahahah ...." Gelak tawa Darmantyo membahana di dalam kamar tersebut. Lelaki berkumis tebal turun dari r4njang, berjalan tanpa sehelai pakaian ma
"Edan! Gak mungkin! Gak mungkin semalam Jin. Eh, Pak Haji! jangan nakut-nakutin saya! Kami itu sempat melakukan ... melakukan uha uha! Nih buktinya, rambut saya saja masih basah. Gila nih tua bangka!"Darmantyo tidak percaya akan ucapan Pak Haji. Ia tidak mungkin bercinta dengan jin. Darmantyo kembali mengingat kejadian semalam, dia benar-benar merasa terpuaskan. Memang ada yang aneh, semalam wajah Mutiara tidak terihat jelas. lelaki itu semakin bingung dan tentu saja takut. Takut kalau yang dikatakan pak Haji benar adanya. Lelaki yang mengenakan peci putih menggelengkan kepala. "Astaghfirullah ... saya cuma ngasih tau. Kalau kamu gak percaya, ya terserah. Lagian kok jadi orang nafsvan begitu. Coba aja kamu lihat rumahnya. Kayak ada orangnya gak? Terawat gak? Dari sini aja bisa lihat, kalau rumah itu rumah kosong! Enggak terawat! Eh, Pak Dar ... yang gila itu bukan saya, tapi kamu! Mau-maunya berc1nt4 sama Jin! Nauzubillahimindzalik ...." cecar Pak Haji bergidik ngeri membayangkan pe
"Sekarang Mbak tau kan, kenapa aku dan papah gak betah di rumah?" tanya Evan ketika menimpali cerita Shella yang kemarin sore bertandang menemui Gita. Mereka berbincang di depan pintu ruangan Evan, seperti biasa. "Iya, Van. Parah sih mental Mamahmu. Apa kalian gak ada niat ajak ke psikiater gitu?" tanya Shella pada anak lelaki Yuda. "Kalau itu sih urusan Papah. Aku gak berani kasih usulan, Mbak. Udahlah biarin aja. Aku udah pusing ngadepin mamah yang sekarang."Shella menghela napas berat. Mengingat kembali pertemuannya dengan Gita kemarin sore. "Salah Mbak sebenarnya, Van. Mbak kurang sabar, kurang tenang ngadepin sikap Mamahmu.""Ya elah, Mbak ... gak bakalan bisa tenang kalau kita dituduh macam-macam. Niat Mbak kan baik, malah ditanggapi gak baik. Menurutku wajar kalau Mbak marah.""Tapi, kasihan mamahmu.""Udah, Mbak ah. Aku mau kerja dulu.""Eh, Van. Papahmu tumben jam segini belum datang? Pak Yuda memangnya tinggal di mana?" Shella merasa aneh pada partner bisnisnya itu. Tid
"Kamu kenapa senyam-senyum begitu, Van?" tanya Yuda setelah Evan menerima telepon dari Bianca. Pemuda itu semakin merekah senyumnya. Yuda menggelengkan kepala melihat tingkah Evan. "Ditanya bukannya jawab, malah senyam-senyum terus," gerutu Yuda menghela napas berat. "Sabar dong, Pah. Aku lagi seneng soalnya sebentar lagi Papah bakalan punya menantu." Ucapan Evan membuat Yuda tercengang. Kedua matanya membeliak, mengubah posisi duduk, lebih menghadap anak lelakinya. "Kamu serius, Van? Emang Bianca mau diajak nikah dalam waktu dekat?" tanya Yuda antusias. Evan menganggukkan kepala mantap. "Insya Allah mau. Tadi dia bilang sendiri." Belum sempat, Yuda menimpali ucapan Evan, suster memanggil Yuda untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Setelah memeriksakan kesehatan pada dokter, Yuda sangat bahagia mendengar kabar kalau Bianca mau dinikahi anaknya dalam waktu dekat. "Kalau begitu, kita persiapkan untuk acara lamarannya, Van. Kamu udah beli cincin belum buat acara lamaran nanti?" Yud
Napas Darmantyo naik turun setelah berlari kencang dari area pemakaman sampai depan perumahan. Ia istirahat di depan teras Minimarket. Mengibaskan telapak tangan di depan wajah. "Edan, edaaaan ... kenapa semalam ... semalam aku bisa ... s3tan sialan. Pantas saja dia sangat agr3sif! S3tan kurang ajar!"Setelah istirahat beberapa menit, Darmantyo merogoh uang yang ada di saku celana. Untung saja, dompetnya dia simpan di dalam saku celana. Tidak ditinggalkan di dalam tas. Setelah menghitung sisa uangnya, Darmantyo mengeluarkan sebungkus rokok, menarik sebatang dan memantik. Setelahnya ia menghisap rokok dalam-dalam. Sebatang rokok telah menjadi puntung. Darmantyo beranjak. Sekarang dia sudah tidak punya tempat tinggal. "Aku gak mau, sisa uangku buat bayar penginapan. Lebih baik aku kembali lagi ke rumah Ferry. Aku akan memaksa tinggal di sana," gumam Darmantyo berjalan kembali mencari ojek online. Tak jauh dari minimarket, Darmantyo melihat tukang ojek online. Ia pun ke rumah Ferry de
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang