Pagi hari, di hari yang sama tapi tempat yang berbeda, Ferry dan Tina sedang menyantap sarapan berdua. Mereka sarapan tanpa bicara satu sama lain. Sejak Ferry mengungkapkan keinginan menikahinya, Tina jadi lebih banyak diam. Dia seperti malu-malu. Ferry berdehem, lalu berkata, "Tina, hari ini aku mau ke kantor KUA. Kalau bisa kamu ikut. Sekalian aku pengen beliin cincin buat emas kawin. Bagaimana? Kamu mau kan?"Tina terkejut, kepalanya sontak mendongak. Sesaat, mereka saling memandang satu sama lain. Lalu, Tina kembali merundukkan kepala, ia tersipu malu. "Ma-mau, Mas."Ferry tersenyum bahagia. Entah sejak kapan, ia mulai menyukai sikap Tina yang malu-malu seperti itu. Usai sarapan, Tina dan Ferry masuk ke dalam mobil. Mereka menuju ke kantor Urusan Agama untuk mendaftarkan pernikahan. Ferry ingin, pernikahannya dengan Tina tercatat di kantor agama dan negara. Tidak ingin seperti pernikahan yang sebelumnya. Selalu hanya menikah sirri. Hanya tercatat di kantor agama saja. Setelah
"Ibuku sudah meninggal." Ucapan Ferry membuat Darmantyo membalikkan badan. "Meninggal? Meninggal dunia maksudmu?" telisik Darmantyo, kedua matanya menyipit, menatap anak kandungnya. Tidak ada pelukan dari seorang ayah yang telah lama tidak melihat anak lelakinya. Tidak ada pelukan dari seorang ayah yang telah lama berpisah dengan anak lelakinya. Seolah datar. Seolah tak saling mengenal. Seolah tak ada ikatan batin sedikit pun antara Darmantyo dan Ferry."Iya. Baru tiga hari Ibuku meninggal dunia." Ferry mengajak Tina yang ketakutan masuk ke dalam rumah. Lelaki yang mengaku menjadi ayah kandung Ferry turut serta masuk ke dalam. "Sakit apa Ibumu, Ferry? Sakit apa dia?" cecar Darmantyo, mensejajari langkah kaki Ferry. "Duduklah di sana! Jangan ikuti aku terus! Duduk dulu!" titah Ferry merasa risih diikuti Darmantyo yang hendak masuk ke dalam kamarnya. Langkah Darmantyo terhenti, menghela napas berat, lalu membalikkan badan, berjalan ke sofa ruang tamu. Lelaki berusia setengah abad
Sampai gerbang depan rumah Mutiara, Darmantyo turun dari ojek online yang dijadikan tumpangannya. Usai membayar ongkos ojek, Darmantyo memandang lekat rumah yang tampaknya tidak terawat. Pandangan Darmantyo mengitari sekeliling, tampak sepi. Darmantyo melangkahkan kaki masuk ke halaman rumah Mutiara. Di depan pintu rumah itu, Darmantyo mengintip keadaan rumah lewat jendela kaca. "Kemana si Mutiara? Apakah di masih bekerja di kantornya Pak Daniel?" gumam Darmantyo. Ia lantas mengetuk pintu, memanggil nama Mutiara. Namun, tak ada jawaban. Darmantyo ingat, dulu sewaktu ia belum di penj4ra pernah masuk ke dalam rumah itu lewat jendela belakang rumah. Lelaki berkumis tebal itu tengok kanan dan kiri. Khawatir ada orang yang melihat aksinya. Suasana sudah mau menjelang Magrib,. Darmantyo mengendap-endap berjalan ke samping rumah Mutiara, hendak ke pintu belakang. Tak dapat dipungkiri, bulu kuduk Darmantyo meremang. "Kenapa rumah Mutiara jadi menyeramkan? Sial."Sampai di depan pintu b
Shella menekan bel rumah Yuda. Tidak berselang lama, asisten rumah tangga Yuda membukakan pintu. "Assalamualaikum, Bi.""Waalaikumsalam. Ya Allah, Mbak Shella ...udah lama sekali baru ke sini." Bibi yang bekerja di rumah Yuda sudah mengenal Shella karena wanita itu dulu kerap kali datang ke rumah itu untuk membicarakan pekerjaan di kantor atau sekadar bersilaturrahmi menemui Gita. "Hehe ... iya, Bi. Bibi apa kabar?""Alhamdulillah Bibi baik. Mbak Shella mau ketemu Pak Yuda atau Ibu Gita?" "Saya mau ketemu Ibu Gita. Ingin melihat kondisinya," jawab Shella tersenyum ramah. Senyum yang sebelumnya mengembang di bibir Bibi, seketika redup. Bibi itu tahu kalau perangai Gita sekarang sangat jauh berbeda dengan Gita yang dulu. "Oh, begitu. Silakan masuk, Mbak. Saya kasih tau Ibu dulu.""Iya, Bi. Makasih banyak."Sebenarnya Bibi juga ingin memberitahu Shella kalau sekarang emosi Gita tidak bisa dikendalikan. Wanita itu tiap hari marah-marah, curigaan dan mudah sekali emosi. Shella dengan
"Enggak usah, Pak. Semuanya udah beres. Ini sekarang saya mau pulang.""Oke, Yuda. Terima kasih banyak. Oh ya, kamu mau pulang ke rumahmu atau mau ke pondok Indah?""Saya belum bisa pulang ke rumah dulu, Pak.""Oh ya udah, terserah kamu."Sambungan telepon terputus. Daniel kembali meletakkan handphone, hendak menghampiri istri tercintanya. Namun, baru beberapa langkah, terdengar suara ketukan pintu kamar. Daniel mengurungan niat menghampiri Namira, ia berjalan ke arah pintu kamar, membuka. "Bianca? Ada apa?" Ternyata Bianca yang mengetuk pintu kamar. Gadis itu berdiri di depan pintu kamar sambil merunduk, memainkan jari jemari. "Kamu mau ngobrol sama Papah?" tanya Daniel lagi. Melihat Bianca masih tetap diam. "Iya, Pah. Maaf, kalau aku ganggu waktu istirahat Papah dan Mamih," ujar Bianca tak enak hati. Namira datang menghampiri, berdiri di samping suaminya. "Aku boleh ikut?" tanya Namira menoleh pada Daniel dan Bianca."Boleh, Mih. Kita bicara di ruang keluarga aja gimana?" tanya
Pagi hari, Darmantyo terbangun dalam keadaan tanpa penutup aurat. Sinar matahari dari jendela kamar membuatnya silau. Ia merentangkan kedua telapak tangan, menguap, dan mengucek kedua mata. Senyumnya merekah mengingat p3rgumvlannya semalam. Darmantyo tak menyangka kalau semalam Mutiara begitu agr3sif, begitu memanas dan suaranya begitu merdu. Sadar akan lamunannya, Darmantyo melihat sekitar. Ia cukup terkejut melihat suasana kamar Mutiara pada siang hari. Sekarang suasana kamar Mutiara sangat terang dan jelas dipandangannya. Darmantyo berulang kali mengucek kedua mata. Ia tak bermimpi. Bahkan tempat tidur yang menjadi saksi bisu peristiwa semalam sangat bau apek. Tidak harum lagi seperti semalam."Apa karena terkena cairanku? Hahahaha ... edaaaan ... si Mutiara edaaan ... semalam benar-benar membuatku berulang kali mengalami pelepasan. Hahahahah ...." Gelak tawa Darmantyo membahana di dalam kamar tersebut. Lelaki berkumis tebal turun dari r4njang, berjalan tanpa sehelai pakaian ma
"Edan! Gak mungkin! Gak mungkin semalam Jin. Eh, Pak Haji! jangan nakut-nakutin saya! Kami itu sempat melakukan ... melakukan uha uha! Nih buktinya, rambut saya saja masih basah. Gila nih tua bangka!"Darmantyo tidak percaya akan ucapan Pak Haji. Ia tidak mungkin bercinta dengan jin. Darmantyo kembali mengingat kejadian semalam, dia benar-benar merasa terpuaskan. Memang ada yang aneh, semalam wajah Mutiara tidak terihat jelas. lelaki itu semakin bingung dan tentu saja takut. Takut kalau yang dikatakan pak Haji benar adanya. Lelaki yang mengenakan peci putih menggelengkan kepala. "Astaghfirullah ... saya cuma ngasih tau. Kalau kamu gak percaya, ya terserah. Lagian kok jadi orang nafsvan begitu. Coba aja kamu lihat rumahnya. Kayak ada orangnya gak? Terawat gak? Dari sini aja bisa lihat, kalau rumah itu rumah kosong! Enggak terawat! Eh, Pak Dar ... yang gila itu bukan saya, tapi kamu! Mau-maunya berc1nt4 sama Jin! Nauzubillahimindzalik ...." cecar Pak Haji bergidik ngeri membayangkan pe
"Sekarang Mbak tau kan, kenapa aku dan papah gak betah di rumah?" tanya Evan ketika menimpali cerita Shella yang kemarin sore bertandang menemui Gita. Mereka berbincang di depan pintu ruangan Evan, seperti biasa. "Iya, Van. Parah sih mental Mamahmu. Apa kalian gak ada niat ajak ke psikiater gitu?" tanya Shella pada anak lelaki Yuda. "Kalau itu sih urusan Papah. Aku gak berani kasih usulan, Mbak. Udahlah biarin aja. Aku udah pusing ngadepin mamah yang sekarang."Shella menghela napas berat. Mengingat kembali pertemuannya dengan Gita kemarin sore. "Salah Mbak sebenarnya, Van. Mbak kurang sabar, kurang tenang ngadepin sikap Mamahmu.""Ya elah, Mbak ... gak bakalan bisa tenang kalau kita dituduh macam-macam. Niat Mbak kan baik, malah ditanggapi gak baik. Menurutku wajar kalau Mbak marah.""Tapi, kasihan mamahmu.""Udah, Mbak ah. Aku mau kerja dulu.""Eh, Van. Papahmu tumben jam segini belum datang? Pak Yuda memangnya tinggal di mana?" Shella merasa aneh pada partner bisnisnya itu. Tid
"Maaf, Tante. Teleponnya nanti lagi, ya? Guruku udah datang. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam."Untung saja guru Kimia datang ke kelas Alea. Kalau tidak? Alea bingung menjawab pertanyaan Nida. Usai menelepon Alea, Nida bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Setelah menemani Shella bertemu dengan klien, Nida berencana akan ke sekolah si kembar. Ingin memastikan apakah Axel masuk sekolah atau tidak? Biar bagaimana pun, Nida lah yang memberitahu tentang kebenaran kedua orang tua Axel dan Alea. Hingga akhirnya sekarang Axel kabur dari rumah. Tiba-tiba Nida teringat Bianca. Apa Bianca akan marah padanya? Tadi sewaktu melewati ruangan Bianca, tampak sepi. Apa mungkin Bianca tidak masuk kantor?*** "Hanif, kamu udah pulang, Nak?" tanya ibu Ros ketika anak kandungnya berdiri di depan pintu rumah. Ia mencium punggung tangan ibu Ros meski sempat kecewa dengan wanita yang telah melahirkannya itu. "Udah, Ma. Aku mau ke kamar dulu," seloroh Hanif yang berusaha menghindar ibu Ros. Ia takut kala
Semenjak kejadian kemarin, rumah Bragastara terasa sepi. Tidak ada lagi keributan antara Axel dan Alea. Bianca tak sanggup jika di rumah terus, mengingat kemarahan Axel padanya. Axel yang selama ini dianggap adik sendiri, kini amat sangat kecewa padanya. "Kamu mau ke kantor?" tanya Evan setelah mengenakan jas. Evan pun sudah memutuskan berangkat ke kantor meski kondisi kesehatannya belum terlalu pulih. "Iya. Aku mau ke kantor saja. Di rumah sepi. Enggak ada anak-anak." Jawaban Bianca membuat kedua pundak Evan menurun. "Bi, berhentilah menganggap mereka anakmu. Axel dan Alea itu adik-adikmu," tandas Evan, sangat kesal setiap kali Bianca ingin dianggap orang tua oleh mereka. "Apa salahnya kalau aku ingin dianggap mamanya? Apa ada yang salah?" tuntut Bianca menatap penuh emosi suaminya. "Enggak salah kalau dari awal kamu bilang yang sebenarnya, Bi ... sekarang lihat mereka. Akibat keputusanmu, Axel membencimu. Apa kamu enggak sadar juga?"Emosi dalam diri Evan sudah tidak dapat dik
"Udah gila ibunya si Hanif. Enak bener dia bilang gitu. Terus kamu bilang apa? Ngizinin Hanif nikah lagi? Mau kamu dipoligami?"Shella tersulut emosi. Sejak dulu, Shella sudah sangat geram melihat tingkah laku keluarga Hanif. Mereka semua benalu dan penjilat. Sering kali meminta uang pada Nida. "Enggaklah, Ma. Aku minta diceraikan kalau Mas Hanif mau poligami. Aku sadar diri, bukan wanita yang ikhlas dan penyabar. Enggak sanggup kalau harus berbagi suami dengan wanita lain." Masih dengan sikap santai, Nida menjawab pertanyaan ibu sambungnya. Shella begitu miris mendengar cerita yang disampaikan Nida. Kasihan Nida. Semasa hidupnya selalu saja ada masalah yang dihadapi."Tapi, Nida ... Kayaknya Hanif enggak mungkin menceraikanmu. Dia sangat mencintaimu. Mama yakin itu."Sebisa mungkin, Shella menghibur Nida. Dibalik sikap tenang dan santainya, Shella yakin sebetulnya Nida pun bersedih. Nida tersenyum miring mendengar tanggapan Shella. "Kalau mamanya yang minta, ada kemungkinan Mas H
"Sudahlah, Ma. Jangan ngomong macam-macam. Aku enggak mungkin menceraikan dia!"Senyum yang sebelumnya terlihat di wajah ibu Ros, seketika lenyap. "Hanif, mau sampai kapan kamu enggak punya anak? Dia itu mandul! Keturunan mandul, Hanif!"Ibu Ros tersulut emosi. Tak menyangka jika anak sulungnya berani melawan perintah padahal sebelumnya tidak pernah."Aku enggak peduli, Ma. Nida mandul atau tidak, aku enggak akan ceraikan dia. Aku sayang Nida, Maaaa ... aku cinta dia ...."Memang, Hanif begitu mencintai Nida. Sejak dulu hingga sekarang cintanya tak pernah berubah. "Halah, cinta, sayang! Kamu itu buta, Hanif! Umurmu udah tua. Tapi, sampai sekarang belum juga punya anak. Kalau kamu udah tua nanti, udah enggak bisa beraktivitas lagi, siapa yang akan menyayangimu? Kamu lihat, Nida. Dia masih muda. Mama yakin, kalau kamu udah sakit-sakitan pasti dia ninggalin kamu! Kalau dia ninggalin kamu, kamu mau sama siapa? Anak enggak punya!"Hanif memejamkan kedua mata, memijat pelipis. Tidak perna
"Apa hubungannya?" Bukannya menjawab, Axel justru balik tanya. Alea manyun, memukul bahu kakaknya. "Pulang ke rumah lagi, Kak. Kasihan mama tau! Nangis terus." Alea mengingat kembali kesedihan yang dialami Bianca. Axel bersikap santai, pandangannya lurus ke depan. "Aku masuk kelas dulu!" Tanpa menanggapi ucapan adiknya, Axel masuk ke dalam kelas. Alea benar-benar dibuat kesal. Rencana mengajak Axel kembali ke rumah gagal lagi. *** "Jam segini baru bangun! Pantas saja asam lambung Hanif sering kumat! Istrinya saja malas menyiapkan sarapan," celetuk ibu Ros saat Nida baru datang ke ruang meja makan. Ibu Ros yang tengah sarapan roti tawar, melirik Nida yang mengacuhkan. "Kamu dengar Mama enggak, Nida?" Sentak ibu Ros. Kedua mata seperti hendak melompat. Amarah terlihat jelas dari raut wajah. "Denger," sahut Nida cuek. Melihat sikap menantunya seperti itu, Ibu Ros semakin marah dan membenci. "Kalau kamu denger, harusnya bangun pagi! Siapin sarapan!" Lagi, Nida te
"Enggak. Mami enggak melakukan kesalahan apapun, Lea. Mami orang yang baik. Namira sahabatku, ibu sambungku yang paling baik bahkan kebaikannya melebihi ibuku sendiri." Bianca langsung menyanggah pertanyaan Alea. Gadis itu tertunduk sesaat, menghela napas berat. "Lalu, kenapa Mama merahasiakan mereka adalah orang tua kandungku?" Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Alea membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak lalu sikap berubah salah tingkah. "Bu-bukan maksud ingin merahasiakan ta-tapi ...."Tak sanggup, Bianca meneruskan kalimat. Teringat kekurangan dalam diri bahwa sebetulnya Bianca tak bisa memberikan keturunan untuk Evan karena ia telah divonis mandul oleh dokter. "Ya udah, Ma. Enggak usah diucapkan kalau memang alasannya akan menyakitiku atau menyakiti hati Mama lagi."Alea mencoba berpikir bijak. Tak ingin wanita yang telah merawatnya penuh kasih sayang itu bersedih dan menangis lagi. "Bukan begitu, Lea. Ma-Mama ....""Kenapa kamu masih saja menyebut diri
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma
"Kamu benar, Xel. Apapun alasan Mbak Bian dan Mas Evan merahasiakan kedua orang tua kalian, tetap salah. Tapi, kamu juga jangan marah lama-lama. Coba kamu tanyakan baik-baik pada mereka, apa alasannya?" Gilang tak mau terlalu banyak menanggapi cerita yang disampaikan Axel. Ia tak mau, kalau dianggap ikut campur atau memihak ke salah satu keluarga itu. "Enggak tau, Bang. Jujur saja, aku masih kecewa. Masih enggak nyangka aja kalau mereka tega sama mama dan papaku. Misalnya mama Bianca membenci mamaku, kenapa pula dia sayang aku dan Alea?"Berbagai tanya diucapkan Axel. Benar-benar bingung dengan alasan Bianca dan Evan merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Ya sudah enggak usah kamu pikirkan dulu. Sekarang lebih baik kamu tenangkan hati dan pikiran.""Iya, Bang."Handphone milik Gilang tiba-tiba berdering. Lelaki itu merogoh saku celana, lalu terlihat nama kontak yang tertera di layar ponsel. Panggilan dari Alea. Gilang tak langsung mengangkat panggilan telepon itu, me
Nida menganggukkan kepala, mendengar tanggapan ibu mertua. "Iya, silakan saja Mama bicara dulu sama Mas Hanif. Maaf, Ma. Aku mau istirahat dulu. Apa masih ada yang mau Mama bicarakan?" Kalau saja tidak menghormati suaminya, Nida sudah ingin memarahi ibu Ros. "Enggak ada. Mama juga mau istirahat." Ibu Ros pergi lebih dulu, meninggalkan Nida yang masih duduk terpaku di ruang makan. Kepergian Ibu Ros dari ruangan itu, membuat Nida tercenung. Nida tak dapat menahan tangisan. Dalam keheningan, ia menangis tersedu-sedu. Nida juga ingin memiliki anak. Nida juga ingin merasakan hamil. Tapi, dia tidak memaksa Tuhan untuk memberinya keturunan. Nida selalu yakin, Tuhan lebih tahu, waktu dan saat yang tepat memiliki buah hati. Dengan kasar, Nida menyeka lelehan air mata. Ia beranjak, membersihkan piring kotor. Setelahnya, masuk ke dalam kamar. Baru saja menutup pintu kamar, terdengar suara dering handphone. Nida tahu, itu adalah suaminya. Nida berjalan menghampiri handphone y