Mutiara telah mengenakan pakaian serba hitam. Di depan kaca meja rias, ia tertawa terbahak-bahak. Menertawakan dirinya dan menertawakan aksi yang akan dilakukannya. Mutiara tidak mau membuang waktu lagi. Sudah terlampau lama ia menunggu cinta Daniel. Terlampau sabar ia menginginkan menjadi istri Daniel. Satu persatu akan ia musnahkan penghalangnya. Hari ini, Mutiara berencana ingin melenyapkan ny4wa Namira. Sebilah pisau telah ia masukkan ke dalam tas yang dikenakan. Mutiara yakin, kalau hari ini, Namira hanya berdua dengan Bi Rusmi. Semuanya sudah terencana. Mutiara telah memikirkan rencana j4hat ini sejak di dalam rumah sakit jiwa. Wanita yang telah mengenakan pakaian gamis dan kerudung serba hitam, serta cadar yang menutupi wajahnnya, sudah siap menuju ke rumah Daniel. Ke sana, ia menaiki ojek onlie.Sampai di depan gerbang rumah Daniel, salah satu security bertanya. "Saya teman SMA-nya Namira. Saya ingin bertemu dengannya, ingin mengucapkan selamat menempuh hidup baru karena ..
Blesh! Blesh! "M4ti kau...." Bisik Mutiara tepat di depan telinga Namira. Kedua mata Namira membeliak terkejut, merasakan sakit pada sisi kanan perutnya. Mutiara mendorong tubuh istri Daniel. Namira memegang sisi perut yang terasa nyeri. Darah membasahi tangannya. Pisau yang ada di tangan Mutiara meneteskan darah segar. "Arrghh! Arrgh!" Tubuh Namira terhuyung ke belakang. Merasakan nyeri yang teramat sangat."M4ti kau, Namira! Hahaha...." teriak Mutiara sambil mengangkat pis4u, hendak menghunuskan p1sau ke perut Namira lagi. "Kak Namiraaaa!" Teriakan Nida membuat Mutiara menoleh. Ciaaaatt!Nida menendang tangan Mutiara, hingga pis4u ditangan wanita itu terpelanting. Jatuh ke atas lantai. Prang ...Mutiara terkejut mendapat tendangan mendadak dari Nida. Tak banyak pikir lagi, Nida langsung memvkul wajah Mutiara dengan kemampuan karatenya.Bugh! Satu pukulan mendarat di pipi kiri Mutiara. Tubuh Mutiara terhuyung ke kanan. Tidak sampai disitu, tendangan Nida juga mendarat sempur
"Kamu ada di mana, Van?" Yuda yang masih berada di tengah jalan menuju rumah sakit istrinya, menghubungi Evan. "Lagi di jalan, Pah. Ini mau balik lagi ke rumah sakit.""Papah kan semalam udah larang kamu, jangan anter jemput Bianca dulu. Temenin mamah kamu dulu, Van!" Yuda tak dapat menahan emosi. Ia memarahi anak lelakinya. Bukan tanpa sebab Yuda memarahi Evan. Itu karena Yuda tak ingin Gita mengamuk lagi. Sudah Yuda duga kalau Gita pasti akan mengamuk, dia pasti akan berpikir kalau Evan dan Yuda tidak peduli padanya, tidka perhatian padanya, lebih mementingkan orang lain. "Ya maaf, Pah. Aku bosan ... aku cuma bengong aja. Papah kan tau, aku gak bisa begitu. Lagian kondisi Mamah udah lebih baik. Udah bisa ngomong sepatah atau dua patah kata."Evan beralasan. Terlalu lama sendirian di rumah sakit membuat Evan jenuh. Tidak ada teman ngobrol. Lebih penting lagi, Evan kangen pada Bianca. "Kamu gak boleh gitu, Van. Mamah kamu itu wanita yang telah melahirkanmu. Wanita yang sayang sama
Bianca naik ojek online menuju rumah sakit. Air matanya tak juga berhenti sepanjang jalan. Hati Bianca tak henti berdoa agar Allah memberi keselamatan pada Namira dan juga calon adiknya. "Ya Allah ya Rohman ... Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang, hamba mohon, tolong beri keselamatan pada Ibuku dan juga calon bayinya ya Allah ...."Sampai di depan gerbang rumah sakit, Bianca turun, membayar ongkos. "Kembalian uangnya, Mbak.""Ambil aja, Pak. Tapi, saya minta doanya ya. Semoga Allah menyelamatkan Ibu saya dan calon anak yang dikandungnya, ya Pak? Saya minta doanya."Seorang bapak tukang ojek online yang berusia sekitar lima puluh tahunan itu menganggukkan kepala seraya mengucapkan terima kasih dan memanjatkan doa seperti yang dipinta Bianca. Langkah kaki gadis itu sangat cepat. Ia berlari kecil menuju ruangan gawat darurat. Dari jarak beberapa meter, Bianca melihat papahnya dan juga Nida sedang duduk di bangku panjang depan ruangan tersebut. "Papah! Nida!" Bianca berteriak, be
Lemas sudah persendian Daniel, Nida dan Bianca. Mereka bertiga sangat terpukul akan musibah yang menimpa Namira. Mendengar penjelasan dokter, mereka semua terdiam. "Dokter terima kasih atas bantuannya," ujar Nida tersenyum pada dokter itu. Daniel dan Bianca tak dapat berkata-kata. Hanya Nida yang berusaha tetap kuat. "Iya, sama-sama. Kalian bisa lihat kondisi pasien setelah dipindahkan ke ruang rawat inap.""Iya, dok."Setelah permisi, dokter kembali masuk ke dalam ruangan. "Om, Kak Bian, kita duduk di sana lagi sambil nunggu Kak Namira dipindahkan ke ruang rawat inap," ucap Nida pada ayah dan anak itu. Mereka menurut, duduk di bangku panjang yang sebelumnya ditempati. Bianca dan Daniel tak dapat mencegah airmata yang terus-menerus membasahi wajah mereka. Daniel yang baru kemarin sore melihat perkembangan calon buah hatinya di layar monitor USG, kini janin itu telah tiada. Kedua tangan Bianca mengepal kuat mengingat kembali orang yang tega menvsuk perut Namira hingga janin yang
"Oh oke. Kakak jangan pergi dari rumah sendirian," pesan Nida yang mengkhawatirkan Bianca. "Iya, Nida. Aku enggak akan kemana-mana. Aku cuma mau ngobrol sama mereka, setelah itu mau ngecek rekaman CCTV. Udah sana, masuk ke dalam rumah! Cepat mandi, ganti pakaian itu!" titah Bianca pada Nida. "Iya, Kak.""Pak Joko!"Ternyata di pos jaga ada Joko, yang menjadi supir pribadi keluarga Bragastara. "Non Bianca, bagaimana keadaan Non Namira? Astaghfirullah saya gak tau, Non. Maafin saya, Non Bianca, Non Nida," ungkap Pak Joko yang tidak ada di rumah karena ia sedang disuruh mengantar Bi Rusmi. "Gak apa-apa, Pak. Alhamdulillah sekarang udah lebih baik kondisinya. Doakan semoga Mamihku cepat sehat lagi." Pandangan Bianca kembali berembun, Ia benar-benar tidak bisa menahan air matanya. Kesedihannya sangat jelas terlihat. Tidak hanya Pak Joko, security yang mempersilakan tamu misterius itu masuk ke dalam rumah pun, sangat bersedih, menyesal dan merasa bersalah. "Udah jangan pada merasa bers
"Astaghfirullahalazim ya Allah ... kenapa masih saja ada orang yang jahat pada Non Namira? padahal Non Namira orang yang baik. Astaghfirullahalazim ya Allah," rintih Bi Rusmi ketika mendengar kabar kodisi Namira saat ini dari Nida. Gadis belasan tahun itu sudah mandi dan membersihkan diri. Ia tengah menyantap makan siang meski kurang berselera. "Iya, Bi. Sampai sekarang Kak Namira belum sadarkan diri," kata Nida sambil menyuap nasi ke dalam mulutnya. Namun, air mata sedari tadi tak juga berhenti. Bu Fatma yang duduk di kursi samping Nida, tak henti menangis. Masih ingat di pelupuk matanya, ketika Namira perutnya bersimbah darah. "Kasihan Non Namira. Anak pertamanya yang belum berdosa telah ... telah ... huhuhu ...." Kalimat Bu Fatma menggantung, tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Ia menangis tersedu-sedu, begitu pula Bi Rusmi dan Nida. Nida menyudahi makan siangnya. Nasi yang masih banyak, ia biarkan tersisa."Bi Rus, Bu, aku mau ke rumah sakit lagi. Kasihan Om, dia sendirian," uc
"Pak Daniel pergi? Bukannya tadi Pak Daniel ke kantor?" tanya Yuda heran ketika Shella menyampaikan kalau Daniel sudah pergi lagi. "Iya, Pak. Tadi Pak Daniel memang datang ke sini tapi gak lama, keluar lagi sambil menelepon. Gak tau telepon dari siapa. Raut wajahnya juga kayak yang panik gitu," ujar Shella yang memang lihat kepergian Daniel yang tampak tergesa-gesa. "Ada apa, ya? Aku kok ngerasa ada yang gak beres. Sebentar, aku telepon dulu," ucap Yuda mengeluarkan ponsel dari saku jas nya. "Iya, Pak. Saya mau lanjut kerja dulu," ujar Shella masuk kembali ke ruangannya. Satu panggilan tak diangkat Daniel. Yuda mencari kontak Namira. Barang kali saja, Daniel pulang ke rumah karena Namira yang meminta. Namun, nihil. Handphone Namira juga hanya berdering, tidak ada yang mengangkat. Kemudian, Yuda menghubungi Bianca. Tapi dia ingat, kalau Bianca sedang di kampus. Buktinya tadi Evan habis mengantarnya. Tidak ada cara lain mengetahui Daniel kecuali Nida. Anak gadisnya itu tadi pagi me
"Mbak, duit lima ratus ribu cukup buat beli apa? Gila aja!"Bukannya berterima kasih, Hanifa justru marah-marah. Friska yang mendengar ucapan Hanifa menghela napas berat. Pikirnya, ibu dan anak sama saja! Ibu Ros juga demikian. Friska teringat pada Nida sewaktu menjadi menantu ibu Ros dan kakak ipar Hanifa. Apa Nida juga mengalami hal yang dialaminya?"Kamu bilang cukup buat beli apa? cukup buat beli beras 10 kilo, cukup buat beli telor 10 kilo, cukup buat---""Udah, udah, jangan berisik! Kalau enggak mau nambahin uangnya, enggak usah ceramah! Tau gini, mending mas Hanif masih sama Mbak Nida. Mbak Nida itu baik orangnya. Selalu ngasih kami uang sesuai yang kami minta!" omel Hanifa tak tahu diri. Friska terkejut mendengar Hanifa membandingkan dirinya dengan mantan istri sang suami. Hanif pun terkejut karena Friska menyebut nama Nida di depan Friska apalagi sampai membandingkan. Amarah dalam diri Friska tak dapat dibendung lagi, ia pun membalas ucapan Hanifa. "Eh, seenaknya aja kamu ng
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a