"Pak Daniel pergi? Bukannya tadi Pak Daniel ke kantor?" tanya Yuda heran ketika Shella menyampaikan kalau Daniel sudah pergi lagi. "Iya, Pak. Tadi Pak Daniel memang datang ke sini tapi gak lama, keluar lagi sambil menelepon. Gak tau telepon dari siapa. Raut wajahnya juga kayak yang panik gitu," ujar Shella yang memang lihat kepergian Daniel yang tampak tergesa-gesa. "Ada apa, ya? Aku kok ngerasa ada yang gak beres. Sebentar, aku telepon dulu," ucap Yuda mengeluarkan ponsel dari saku jas nya. "Iya, Pak. Saya mau lanjut kerja dulu," ujar Shella masuk kembali ke ruangannya. Satu panggilan tak diangkat Daniel. Yuda mencari kontak Namira. Barang kali saja, Daniel pulang ke rumah karena Namira yang meminta. Namun, nihil. Handphone Namira juga hanya berdering, tidak ada yang mengangkat. Kemudian, Yuda menghubungi Bianca. Tapi dia ingat, kalau Bianca sedang di kampus. Buktinya tadi Evan habis mengantarnya. Tidak ada cara lain mengetahui Daniel kecuali Nida. Anak gadisnya itu tadi pagi me
"Tapi, Pah ... menurutku sekarang kita fokus untuk penyembuhan Kak Namira. Aku takut sekali dia down apalagi kalau tau anaknya telah ----"Kalimat Nida menggantung, tidak kuasa melanjutkannya. Terdengar helaan napas di ujung telepon, Yuda mengerti maksud anak kandungnya."Kamu tenang aja, Nida. Papah akan melakukan penyelidikan ini tanpa melibatkan pihak kepolisian dulu. Papah juga enggak akan memberitahu Om kamu tentang niat Papah," ucap Yuda menenangkan Nida. "Iya, Pah. Terima kasih. Sekarang aku mau ke rumah sakit lagi. Mau temenin Om Daniel.""Iya, Nak. Hati-hati. Selepas pulang kantor, Papah akan menyempatkan menjenguk Non Namira.""Terima kasih, Pah."Sambungan telepon putus setelah Nida mengucapkan salam. Yuda menjawab salam lalu melanjutkan pekerjaannya. Bianca telah siap hendak pergi ke rumah sakit. Dia ingin melihat kondisi Namira. Kalau hanya menunggu kabar dari papahnya, Bianca tidak sabar. "Nida, kamu bawa apa itu?" tanya Bianca saat Nida menunggu Bianca di ruang kelu
Pak Joko bergegas ke rumah Mutiara, ingin melihat keadaan wajah wanita yang baru keluar dari rumah sakit jiwa. Jika melihat dari rekaman CCTV, harusnya terdapat luka lebam akibat pukulan Nida. Di rekaman itu juga Nida sangat kuat memvkul wajah Mutiara. Kendaraan yang ditumpangi Pak Joko berhenti tak jauh dari rumah Mutiara. Dari dalam mobil, ia memerhatikan rumah yang pintunya tertutup rapat. Pak Joko berpikir sejenak, apakah dia pura-pura bertamu ke rumah itu atau tidak? Pak Joko yakin, meski mereka kerap kali bertemu, tapi Mutiara pasti tidak mengenalnya. Pandangan Pak Joko beralih pada warung yang berada di seberang jalan. Lelaki itu pun melaju ke warung tersebut. Mematikan mesin mobil, ia turun. Pura-pura hendak membeli rokok sambil bertanya tentang Mutiara. "Orang baru di sini, Pak?" tanya pemilik toko yang mengenakan peci warna putih, kain sarung dan baju koko. Kalau dilihat dari penampilannya seperti pak haji. "Bukan Pak Haji. Saya cuma mau silaturahmi ke rumah temen, tapi
Namira telah berada di ruang rawat inap. Daniel tak juga beranjak dari tempat. Ia begitu mencemaskan istrinya yang masih tergolek lemah. Sedari tadi, Namira belum juga sadarkan diri. Menurut dokter, karena pengaruh obat bius sewaktu di ruang gawat darurat. Air mata Daniel sudah kering. Kepalanya yang pusing sudah tidak ia rasakan. Genggaman tangan pada telapak tangan Namira, tak juga ia lepaskan. Daniel tak bosan memandang wajah Namira yang masih pucat pasi. Jemari Namira bergerak, kedua mata Daniel membeliak, senyumnya mengembang seketika. Daniel menegakkan tubuh, memanggilnya. "Sayang ... Bangun, Sayang ... Buka matamu ...." Panggil Daniel lirih. Ia tak bisa menutupi kesedihannya melihat kondisi Namira saat ini. Kedua mata Namira mengerjap, perlahan-lahan ia membuka kedua mata, menoleh pada suaminya. Seulas senyum tipis Namira perlihatkan, membuat hati Daniel kembali bersedih. Wanita itu pandai sekali menyembunyikan kesedihannya. Daniel menc1umi punggung tangan Namira, berulang
"Udah, Pak. Tadi Nida yang mengabarkan. Pak Daniel, saya turut prihatin atas yang menimpa Non Namira.""Iya, Yuda. Terima kasih. Saya hanya ingin mendengar apa saja yang dibicarakan pak Wijayanto. Apakah dia komplain masalah harga atau lainnya?" selidik Daniel yang tak mau mengecewakan klien apalagi pak Wijayanto klien mereka sejak lama. "Alhamdulillah enggak, Pak. Justru Pak Wijayanto ingin kerja sama lagi. Dia bulan ini langsung menangani dua proyek dan semua itu ingin dihandle perusahaan kita, Pak Daniel," ungkap Yuda pada bos-nya. Daniel menganggukkan kepala, hatinya senang jika klien yang bekerja sama dengan perusahaannya mendapat keuntungan besar dan mau kerja sama lagi di lain waktu. "Jangan dulu, Yuda. Kita selesaikan proyek yang ada. Masalahnya sekarang saya jarang ke kantor. Takutnya enggak kepegang. Sekarang kamu kasih tau pak Wijayanto kalau kita belum bisa menerima proyek lain. Kalau proyek yang ada udah beres, barulah menerima proyek baru atau proyek lanjutan." Keputu
"Sayang, hei ...." Daniel menangkupkan kedua tangan pada wajah Namira. Menyuruh wanita itu jangan memandangi perutnya. "A-nak kita, Mas ... anak kitaaaa ...." Tangisan Namira pecah. Daniel berdiri, memeluk tubuh istrinya sangat hati-hati. Namira menangis dalam pelukan lelaki yang amat dicintainya. Mereka menangis tersedu-sedu. Begitu pula Bianca. Memang, Bianca yang menyampaikan kabar itu. Dia tidak ingin Namira mendengar dari orang lain, lebih baik darinya. Meski kabar tersebut sangat menyedihkan dan menyakitkan akan tetapi, Namira harus tahu kebenarannya walau pahit sekalipun. "Enggak apa-apa, Sayang. Bagiku, yang penting kamu selamat. Gak apa-apa, Sayang," hibur Daniel sembari menyeka lelehan air mata Namira, mengecup kening isrtrinya cukup lama. Sungguh, kejadian ini membuat Daniel dan Namira terpukul. Ia terlalu mengabaikan firasat yang Tuhan berikan. Daniel menangis tersedu-sedu. Begitu pula Namira. Bianca tak sanggup melihat Daniel dan Namira diselimuti kesedihan. Ia keluar
Bianca menendang pintu kamar Mutiara. Sepasang manusia tanpa ikatan suami istri sedang melakukan perbuatan yang amat menj1jikan. "Ibl111ssssss ... berani sekali berfantasi papahkuuuuu ...." Bianca menarik tubuh Mutiara yang sedang berada di atas tubuh lelaki yang tidak kenalinya. Rambut Mutiara dij4mbak keras Bianca, lalu men4mpar sangat keras. Lelaki yang mel4yani Mutiara berlari pergi setelah memunguti pakaiannya yang berserakan di atas lantai. Mutiara tanpa tahu malu, tubuhnya berdiri tegak. Tidak merasa malu sedikit pun pad Bianca. "Kamu wanita g1la! B3jat! Ibl1s! aku udah tau, kalau kamu yang menvsuk perut Mamihku! B1adab!" Penuh luapan emosi, Bianca menarik lagi rambut Mutiara yang tergerai. Wanita itu bukannya kesakitan justru tertawa terbahak-bahak. Bianca mendorong tubuh keriput itu ke atas tempat tidur. Melemparkan daster pada Mutiara. Wanita tidak w4ras itu mengenakan daster tanpa pakaian d4lam. Lalu, tanpa Bianca duga, Mutiara berlari keluar kamar sambil tertawa lepas
"Oh itu. Emang Papah udah gak mau ke kantor lagi, Mih?" telisik Bianca sambil membuka bungkus biskuit, lalu menyodorkan pada Namira. "Katanya enggak. Dia gak mau ninggalin aku di rumah lagi. Papahmu trauma."Kesedihan kembali terlihat dari raut wajah cantik alami itu. Bianca meraih telapak tangan Namira. "Insya Allah, kejadian itu enggak akan terulang lagi," kata Bianca yakin. Kening Namira mengkerut, mendengar ucapan Bianca yang terdengar sangat meyakinkan."Kamu kok bisa yakin gitu?"Hem, Bianca keceplosan lagi. Sikapnya langsung berubah salah tingkah. Baru saja hendak menjawab, suara dering handphone terdengar. "Sebentar, Mih. Ada telepon."Namira hanya menganggukkan kepala. Bianca merogoh ponsel dari dalam tas selempangnya, terlihat nama Pak Joko. "Hallo, Pak Joko?""Non Bianca di mana sekarang?" suara Pak Joko terdengar cemas. "Saya di rumah sakit. Temenin Mamih. Kenapa, Pak?"Namira memerhatikan anak sambungnya yang tengah menerima telepon dari Pak Joko yang tak lain supir
"Dari tadi aku teleponin enggak aktif nomornya, Bang."Alea semakin mencemaskan keadaan kakaknya. Dia tidak tahu lagi kemana mencari keberadaan Axel. "Lea, coba kamu tanya ke temen-temennya. Barang kali aja mereka ada yang tau. Sekarang Abang enggak bisa bantu nyariin Axel. Kamu lihat sendiri, pengunjung lagi banyak.""Iya, Bang. Enggak apa-apa. Ya udah deh, aku pamit dulu."Alea membalikkan badan, menghampiri Nida yang duduk di salah satu kursi cafe. "Tante, Kak Axel enggak ada di sini," ujar Alea menunjukkan raut wajah lesu. "Kemana?""Enggak tau. Handphone-nya juga enggak aktif.""Coba kamu tanyain ke teman-temannya. Kali aja ada yang tau."Nida memberi saran sebab ia juga tidak tahu tempat yang biasa Axel kunjungi. Tempat tongkrongannya. "Aku enggak punya nomor teman-teman Axel," jawab Alea cemberut. Pikirannya mengingat tempat yang biasa Axel kunjungi selain cafe. "Alea, mungkin enggak, kalau Axel udah kembali pulang ke rumah?"Alea mendongak, menatap lekat Nida. "Benar jug
Ibu Ros sangat geram mendengar jawaban anak sulungnya. Tidak menyangka jika Hanif membantah perintahnya. Selama ini, Hanif selalu mengabulkan segala perintah ibu Ros. Tapi sekarang, dengan berani Hanif menolak?"Berani sekali kamu nolak perintah Mama, Hanif?" sentak ibu Ros masih tak terima dengan jawaban Hanif. "Ma, kalau Mama minta uang, minta ini dan itu, aku pasti kabulin. Tapi kalau minta aku nikah lagi atau ceraikan Nida, aku minta maaf, Ma. Aku enggak akan pernah mengabulkannya!" Hanif masih dalam pendiriannya. Tidak akan pernah menceraikan Nida walau ibu Ros sendiri yang mendesak. "Hanif, Nida udah izinin kamu. Dia izinin kamu nikah tapi---""Tapi, aku harus menceraikannya dulu 'kan?" sela Hanif sebelum ibu Ros menyelesaikan ucapannya. "Enggak, Ma. Aku enggak akan menceraikannya."Tanpa berkata apa-apa lagi, Hanif beranjak, meninggalkan wanita yang telah melahirkannya. Ia tak mau berdebat lebih lama lagi. Hanif takut semakin tersulut emosi. Walau bagaimana pun, ibu Ros adal
"Maaf, Tante. Teleponnya nanti lagi, ya? Guruku udah datang. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam."Untung saja guru Kimia datang ke kelas Alea. Kalau tidak? Alea bingung menjawab pertanyaan Nida. Usai menelepon Alea, Nida bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Setelah menemani Shella bertemu dengan klien, Nida berencana akan ke sekolah si kembar. Ingin memastikan apakah Axel masuk sekolah atau tidak? Biar bagaimana pun, Nida lah yang memberitahu tentang kebenaran kedua orang tua Axel dan Alea. Hingga akhirnya sekarang Axel kabur dari rumah. Tiba-tiba Nida teringat Bianca. Apa Bianca akan marah padanya? Tadi sewaktu melewati ruangan Bianca, tampak sepi. Apa mungkin Bianca tidak masuk kantor?*** "Hanif, kamu udah pulang, Nak?" tanya ibu Ros ketika anak kandungnya berdiri di depan pintu rumah. Ia mencium punggung tangan ibu Ros meski sempat kecewa dengan wanita yang telah melahirkannya itu. "Udah, Ma. Aku mau ke kamar dulu," seloroh Hanif yang berusaha menghindar ibu Ros. Ia takut kala
Semenjak kejadian kemarin, rumah Bragastara terasa sepi. Tidak ada lagi keributan antara Axel dan Alea. Bianca tak sanggup jika di rumah terus, mengingat kemarahan Axel padanya. Axel yang selama ini dianggap adik sendiri, kini amat sangat kecewa padanya. "Kamu mau ke kantor?" tanya Evan setelah mengenakan jas. Evan pun sudah memutuskan berangkat ke kantor meski kondisi kesehatannya belum terlalu pulih. "Iya. Aku mau ke kantor saja. Di rumah sepi. Enggak ada anak-anak." Jawaban Bianca membuat kedua pundak Evan menurun. "Bi, berhentilah menganggap mereka anakmu. Axel dan Alea itu adik-adikmu," tandas Evan, sangat kesal setiap kali Bianca ingin dianggap orang tua oleh mereka. "Apa salahnya kalau aku ingin dianggap mamanya? Apa ada yang salah?" tuntut Bianca menatap penuh emosi suaminya. "Enggak salah kalau dari awal kamu bilang yang sebenarnya, Bi ... sekarang lihat mereka. Akibat keputusanmu, Axel membencimu. Apa kamu enggak sadar juga?"Emosi dalam diri Evan sudah tidak dapat dik
"Udah gila ibunya si Hanif. Enak bener dia bilang gitu. Terus kamu bilang apa? Ngizinin Hanif nikah lagi? Mau kamu dipoligami?"Shella tersulut emosi. Sejak dulu, Shella sudah sangat geram melihat tingkah laku keluarga Hanif. Mereka semua benalu dan penjilat. Sering kali meminta uang pada Nida. "Enggaklah, Ma. Aku minta diceraikan kalau Mas Hanif mau poligami. Aku sadar diri, bukan wanita yang ikhlas dan penyabar. Enggak sanggup kalau harus berbagi suami dengan wanita lain." Masih dengan sikap santai, Nida menjawab pertanyaan ibu sambungnya. Shella begitu miris mendengar cerita yang disampaikan Nida. Kasihan Nida. Semasa hidupnya selalu saja ada masalah yang dihadapi."Tapi, Nida ... Kayaknya Hanif enggak mungkin menceraikanmu. Dia sangat mencintaimu. Mama yakin itu."Sebisa mungkin, Shella menghibur Nida. Dibalik sikap tenang dan santainya, Shella yakin sebetulnya Nida pun bersedih. Nida tersenyum miring mendengar tanggapan Shella. "Kalau mamanya yang minta, ada kemungkinan Mas H
"Sudahlah, Ma. Jangan ngomong macam-macam. Aku enggak mungkin menceraikan dia!"Senyum yang sebelumnya terlihat di wajah ibu Ros, seketika lenyap. "Hanif, mau sampai kapan kamu enggak punya anak? Dia itu mandul! Keturunan mandul, Hanif!"Ibu Ros tersulut emosi. Tak menyangka jika anak sulungnya berani melawan perintah padahal sebelumnya tidak pernah."Aku enggak peduli, Ma. Nida mandul atau tidak, aku enggak akan ceraikan dia. Aku sayang Nida, Maaaa ... aku cinta dia ...."Memang, Hanif begitu mencintai Nida. Sejak dulu hingga sekarang cintanya tak pernah berubah. "Halah, cinta, sayang! Kamu itu buta, Hanif! Umurmu udah tua. Tapi, sampai sekarang belum juga punya anak. Kalau kamu udah tua nanti, udah enggak bisa beraktivitas lagi, siapa yang akan menyayangimu? Kamu lihat, Nida. Dia masih muda. Mama yakin, kalau kamu udah sakit-sakitan pasti dia ninggalin kamu! Kalau dia ninggalin kamu, kamu mau sama siapa? Anak enggak punya!"Hanif memejamkan kedua mata, memijat pelipis. Tidak perna
"Apa hubungannya?" Bukannya menjawab, Axel justru balik tanya. Alea manyun, memukul bahu kakaknya. "Pulang ke rumah lagi, Kak. Kasihan mama tau! Nangis terus." Alea mengingat kembali kesedihan yang dialami Bianca. Axel bersikap santai, pandangannya lurus ke depan. "Aku masuk kelas dulu!" Tanpa menanggapi ucapan adiknya, Axel masuk ke dalam kelas. Alea benar-benar dibuat kesal. Rencana mengajak Axel kembali ke rumah gagal lagi. *** "Jam segini baru bangun! Pantas saja asam lambung Hanif sering kumat! Istrinya saja malas menyiapkan sarapan," celetuk ibu Ros saat Nida baru datang ke ruang meja makan. Ibu Ros yang tengah sarapan roti tawar, melirik Nida yang mengacuhkan. "Kamu dengar Mama enggak, Nida?" Sentak ibu Ros. Kedua mata seperti hendak melompat. Amarah terlihat jelas dari raut wajah. "Denger," sahut Nida cuek. Melihat sikap menantunya seperti itu, Ibu Ros semakin marah dan membenci. "Kalau kamu denger, harusnya bangun pagi! Siapin sarapan!" Lagi, Nida te
"Enggak. Mami enggak melakukan kesalahan apapun, Lea. Mami orang yang baik. Namira sahabatku, ibu sambungku yang paling baik bahkan kebaikannya melebihi ibuku sendiri." Bianca langsung menyanggah pertanyaan Alea. Gadis itu tertunduk sesaat, menghela napas berat. "Lalu, kenapa Mama merahasiakan mereka adalah orang tua kandungku?" Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Alea membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak lalu sikap berubah salah tingkah. "Bu-bukan maksud ingin merahasiakan ta-tapi ...."Tak sanggup, Bianca meneruskan kalimat. Teringat kekurangan dalam diri bahwa sebetulnya Bianca tak bisa memberikan keturunan untuk Evan karena ia telah divonis mandul oleh dokter. "Ya udah, Ma. Enggak usah diucapkan kalau memang alasannya akan menyakitiku atau menyakiti hati Mama lagi."Alea mencoba berpikir bijak. Tak ingin wanita yang telah merawatnya penuh kasih sayang itu bersedih dan menangis lagi. "Bukan begitu, Lea. Ma-Mama ....""Kenapa kamu masih saja menyebut diri
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma